I Can't Believe My Love is A Gamer Episode 24
Go Back 2 Your Rave
“Arfian,
syukurlah, udah balik. Eh, bawa teman juga?” sapa kakakku begitu aku dan
Oktavian tiba di rumah.
“Iya,
saya, Oktavian, Kak,” Oktavian memperkenalkan diri. “Mau nginap juga malam
ini.”
“Oh,
silakan masuk,” ucap kakakku.
Tanpa
berkata apapun lagi, kami melangkah ke kamarku setelah melepas sepatu. Kami
melepas tas dan menaruhnya di lantai. Oktavian pun langsung berbaring di tempat
tidurku, kelelahan sehabis menyetir motor dan bermain futsal.
Baru
saja aku tiba di kamar, kakakku mengetuk pintu seraya memanggil. “Arfian, Kakak
pengen ngomong dulu bentar, di meja makan aja.”
“Iya,
Kak,” ucapku.
“Eh,
maaf jadi ngerepotin,” ucap Oktavian sungkan ketika aku keluar dari kamar.
“Enggak
apa-apa,” respon kakakku.
Ketika
aku sudah berada di depan meja makan bersama kakakku, tentu aku tahu apa yang
dia ingin bicarakan. Aku tahu kakakku melihat diriku membentak Ibu setelah
terlalu banyak mengomel, jadi, aku siapkan diri.
“Arfian,
Kakak cuma pengen ngingatin kalau maksud Ibu itu bukannya macam-macam. Kamu
tadi emang lagi bete habis tadi malam itu, kan?”
Aku
terdiam menunggu dan membiarkan kakakku berbicara terlebih dahulu. Sudah cukup,
aku akan merespon nanti. Aku menahan emosi ketika ingin merespon.
“Arfian,
Ibu ngasih tahu kamu karena Ibu peduli. Bukannya apa-apa, tapi Ibu ngasih tahu
biar kamu bisa lebih baik. Ya, Kakak tahu kamu enggak suka cara Ibu sama Ayah
ngomongnya. Kalau kamu malah ngelawan, ya malah marah lah.
“Pas
Kakak sama kayak kamu, Kakak juga sebenarnya enggak suka sama kata-kata Ibu
sama Ayah. Ya, kalau dipikir lagi ternyata ada benarnya juga, Kakak juga ada
salahnya sih, ya awalnya ngerasa kalau Kakak pikir paling benar.
“Seenggaknya,
kamu harus bersyukur kalau Ayah sama Ibu emang masih peduli sama kamu. Toh kamu
juga enggak pernah ngeluh gimana Ayah sama Ibu nasihatinnya. Kamu malah jadi
tertutup gitu. Kakak paham, pas mereka maksa kamu masuk IPA, kamu jadi tertutup
gini. Kakak juga masuk IPA waktu itu, ya, Kakak enggak apa-apa. Kakak sih tetap
aja dapat nilai jelek pas pelajaran IPA, apalagi fisika.
“Arfian,
enggak apa-apa. Kalau kamu emang enggak nyaman, mending ngomong aja terus
terang. Tapi maksud Ibu sama Ayah negur kamu itu bukan hal yang aneh, mereka
pengen ngebantu kamu.”
Aku
perlahan meresapi setiap kata yang telah terlontar oleh kakakku. Selama ini,
aku memang ceroboh, tidak ingin mendengarkan sama sekali. Aku telah melewatkan
maksud dari nasihat orangtuaku yang berulang-ulang. Aku sama sekali tidak habis
pikir. Kenapa aku bodoh sekali?
“Udah
gih.” Kakak menepuk pundakku. “Kamu boleh balik ke kamarmu. Toh, teman kamu
udah nunggu. Nanti, pas makan, kamu omongin sama Ayah dan Ibu, oke?”
“Iya,
Kak,” ucapku sebelum berbalik menuju kamar.
Begitu
aku kembali ke kamar, kulihat Oktavian masih berbaring di kamar seraya
bersantai. Dia menyilangkan kedua tangan dan menempatkannya pada perut. Begitu
lelah dia setelah mengantar diriku menuju rumah.
“Gimana?”
tanya Oktavian.
“Gimana
apaan?”
“Ya,
tadi ngomong masalah itu, kan?”
“Lo
dengar ya?”
“Oh,
sorry.”
“Enggak
apa-apa lah.” Aku duduk di samping Oktavian. “Ya, ngomonginnya soal masalah
yang tadi sih. Lo benar, ternyata emang maksud Ayah sama Ibu tuh baik.”
“Tuh
kan! Gue bilang juga apa!”
“Oktavian,
gue … putus sama Nabila,” aku mengungkapkan. “Aku udahan pura-pura pacaran sama
dia. Lagian—”
“Whoa!
Terus dianya gimana?”
“Dianya
nangis lah, emang. Lagian, gue enggak minta dia pura-pura pacaran sama dia. Gue
udah capek keganggu sama dia terus. Itu cewek emang brengsek banget. Puas dia
udah nyesal pengen pura-pura pacaran sama gue. Udah tahu gue enggak suka sama
dia, udah tahu gue emang kasar sama dia pas pertama kali ketemu.”
“Oh
ya, Arfian,” Oktavian mencoba mengalihkan topik pembicaraan. “Pas Senin,
menurut lo, gue nembak si Vera aja ya? Pas itu?”
“Ya,
terserah sih. Kalau emang enggak sabar, tembak aja dia, dia kan gebetan lo.”
Tentu
aku memberi ekspektasi bagaimana jika Vera menerima cinta Oktavian. Seperti
anak zaman now yang baru pacaran,
pasti mereka akan mengunggah foto di Instagram sebagai peresmian pacaran. Aku
takkan kaget kalau mereka akan mengunggah setiap foto kemesraan mereka di
setiap media sosial beken.
Tentu
aku teringat stereotip orang pacaran, menyalahartikan anniversary. Alih-alih setahun, mereka merayakan hari jadi pacaran
dalam setiap bulan, hanya sekadar pamer kemesraan, hanya itu. Aku takkan kaget
kalau Oktavian akan merayakan anniversary
jadian dengan Vera sebulan kemudian.
“Eh,
Arfian, gue pengen dengarin musik lo dong!” ucap Oktavian yang sepertinya mulai
tertarik dengan musik anti-mainstream.
“Setel aja.”
Kuambil
hp dan kubuka aplikasi music player.
Beruntung aku sedang ingin memainkan lagu Go
Back 2 Your Rave karya nora2r. Aku menyimpan versi extended-nya di hp agar bisa lebih puas, tentu bukan remix, tetapi original extended mix-nya.
Menurutku
lagu ini kurang lebih mendekati genre hip-hop, tetapi tanpa rap. Aku begitu menikmati suara gesekan
hitam di turntable pada awal lagu.
Menurutku lagu nora2r yang satu ini lebih enak didengar daripada B.B.K.K.B.K.K.
“Entar
habis ini setel We Alive dong!” seru
Oktavian.
“Iya
deh,” ucapku.
“Eh,
entar kalau nyokap bokap lo datang, nanyain tentang gue, bilang aja mau belajar
bareng, belajar fisika”
“Tapi
kan nilai lo juga jelek kan?”
“Kan
gue nilainya tinggian. Lo sih enggak ngelihat nilai-nilai pelajaran IPA gue
gimana.”
“Ah!
Dasar lo!”
***
“Arfian,
makan!” Itulah panggilan ibuku.
“Iya,
Bu!” balasku. “Oktavian, yuk makan.”
“Oh
iya, si Abi katanya mau ke sini besok,” ujar Oktavian ketika kami berdua keluar
dari kamar. “Mau main juga katanya.”
“Eh,
ada temannya ya,” sambut ibuku pada Oktavian.
“Iya,
Bu. Saya Oktavian, jadi ngerepotin,” Oktavian membalas begitu seluruh keluarga
sudah berkumpul di meja makan.
“Enggak
apa-apa, katanya mau nginap ya?”
“Iya,
Bu. Maaf banget.”
Setelah
mengambil sepiring nasi, kami melihat menu makan malam kali ini. Ayam goreng
kelapa, sup sayuran, dan tahu serta tempe goreng, semuanya tertata di meja
makan. Oktavian mengambil sepotong ayam goreng, tahu, dan tempe serta menaruh
di atas sepiring nasi.
“Mau
kecap sambalnya?” tawar kakakku.
Aku
tahu waktu itu aku marah kepada ibu tadi pagi, tapi aku mencoba untuk menahannya.
Aku sudah mendapat pesan dari Oktavian dan kakakku, jadi aku akan mencoba untuk
tidak memasang muka cemberut.
Aku
ambil sepotong ayam goreng kelapa menuju sepiring nasi dan menuangkan kecap
sambal. Aku mulai menikmati sesuap nasi dengan sepotong daging ayam berkecap
sambal.
Begitu
potongan ayam yang telah kucocol kecap sambal telah sampai di lidah, aku dapat
merasakan campuran gurihnya bumbu kelapa, lembutnya daging ayam yang matang
merata, dan manis pedasnya kecap sambal. Sungguh enak. Beruntung sekali aku
tetap pulang ke rumah, aku juga teringat kalau masakan ibuku memang yang paling
enak, penuh dengan cinta dan kasih sayang, tidak sekadar dibuat-buat.
Kemarahanku
semakin mereda ketika menikmati masakan ibuku. Beruntung sekali, Oktavian telah
membuat keputusan tepat, benar-benar keputusan tepat. Dia bahkan rela untuk
menemaniku kembali ke rumah, sampai harus menginap segala.
Tapi,
saat yang sama, aku juga memikirkan kembali kesalahanku. Aku yakin telah
membuat Ibu dan Ayah marah karena bentakanku untuk berhenti menasihati seperti
anak kecil. Aku memang bosan dan muak dengan ucapan mereka, tetapi aku telah
melawan mereka. Sungguh, aku telah membuat mereka marah dan aku pantas
mendapatkannya.
Oktavian
dan aku menyelesaikan makan terlebih dulu, sementara kakak dan adikku masih
melanjutkan makan sambil mengobrol. Ketika aku tengah berdiri, ibuku menatap
seraya ingin mengatakan sesuatu.
“Arfian,
Ibu mau ngomong sama kamu, sekeluarga,” ujar ibuku.
Oktavian
meninggalkan meja makan duluan setelah menepuk pundakku. “Gue ke kamar duluan
ya.”
Aku
benar-benar tidak tahu apakah Ibu akan memarahiku, apakah Ayah juga akan
memarahiku karena perbuatanku sendiri. Aku tadi pagi terasa lepas kendali,
sampai harus melampiaskan seluruh kemarahan di sekolah.
“Arfian,
Ibu pengen ngasih tahu. Ibu tuh ngasih tahu apa-apa sebenarnya sayang sama
Arfian. Ibu tuh nasihatin ke semuanya biar ke depannya lebih baik. Semuanya Ibu
nasihatin soalnya Ibu enggak mau ngelihat anak-anak pada enggak tahan sama
kehidupan di tengah-tengah masyarakat.
“Kalau
enggak mau ngedengar nasihat keluarga, gimana mau hidup di tengah-tengah
masyarakat. Ayah sama Ibu pengen ngasih yang terbaik buat anak-anak, semuanya.
Bukan maksud apa-apa, Ibu peduli sama kalian, Ibu sama Ayah sayang sama
anak-anak.”
“Bu,
jadi nasihat enggak buat ngehalangin apa yang kita mau?” tanya adikku.
Kakakku
mengambil alih untuk menjawab, “Ya, Ibu kan enggak larang, ya segala sesuatu
pasti ada batasnya.”
“Ya,
jangan lupa, kalian masih pelajar. Masa depan anak-anak Ibu masih pada panjang.
Mumpung masih muda, setiap perbuatan itu krusial sama berpengaruh buat ke
depannya. Ibu juga coba sebaik mungkin ngarahin hidup kalian biar masa depannya
lebih baik. Setiap orangtua pengen anaknya lebih sukses, lebih baik, sama lebih
bijak daripada mereka sendiri.
“Ya,
nanti ke depannya bakal kerasa sendiri, apalagi kalau udah berkeluarga sama
udah punya anak. Nanti kerasa gimana di masa depan.”
Aku
tidak berbicara sama sekali, aku hanya ingin menahan diri dari kemarahanku. Aku
pun sadar, orangtua bukan sekadar menasihati asal-asalan sampai harus
berulang-ulang, mereka hanya ingin anak-anaknya sendiri siap untuk menghadapi
dunia bermasyarakat, apalagi untuk masa depan.
“Ya,
bersyukur aja kalian masih punya orangtua yang masih kasih nasihat. Syukur aja
sekeluarga masih bisa kumpul begini, makan bareng, pergi bareng, sama di rumah
bareng lah. Gitu.”
Aku
hanya mengangguk, mengerti apa maksud ibuku. Selama ini, aku tidak ingin mendengar
apa yang terlontar dari mulut orangtuaku. Kukira hanya sekadar memarahi sambil
memberitahu apapun berulang-ulang, mulai dari larangan, peringatan, dan
nasihat. Aku selama ini hanya ingin mendengarkan musik keras-keras alih-alih
mendengar kata mereka saat perjalanan bareng.
Aku
pun berlalu dari meja makan menuju kamar. Kutemui Oktavian yang menyetel lagu We Alive karya Cosmograph lewat aplikasi
YouTube. Ternyata, sahabatku ketagihan sama lagu itu.
“Gimana?”
tanya Oktavian.
“Gue
emang … ceroboh. Gue emang selama ini enggak mau nerima apapun yang dilontarkan
orangtuaku.”
“Tuh,
apa gue bilang. Lo beruntung masih punya orangtua yang ngedukung lo.
Seenggaknya, lo sendiri udah sadar gimana orangtua lo ngasih tahu apa-apa buat
ke depannya. Lo juga harus terima nasihat mereka, apalagi dari orang lain,
apalagi dari guru. Mereka cuma pengen ngebantu sekaligus ngedukung lo.”
“Iya,
gue ngerti sekarang,” ucapku.
Mulai
sekarang, aku akan menjadi orang yang terbuka, agar aku bisa menjadi lebih
baik. Segala pesan yang cocok baik dari orangtua, teman, atau orang lain akan
kuterima. Aku mungkin takkan mengeluh lagi.
“Lo
sih, enggak cerita dari awal!” seru Oktavian.
“Ah!
Lo maksa ah! Lo tahu darimana gue ada masalah di rumah tadi?”
“Ya,
gue tahu pas lo pengen nginap di rumah gue. Sekalian lah gue pengen ngebantu
nyelesaiin masalah lo sama orangtua. Sekalian nginap juga.”
“Dasar!”
ucapku sambil membantingkan bantal pada Oktavian.
Comments
Post a Comment