I Can't Believe My Love is A Gamer Episode 28
Sayonara Hatsukoi
Apakah benar Nabila memang cinta pertamaku?
Pertanyaan
itu terus mengganjal di pikiranku. Aku tidak ingin mengakuinya. Aku terus
menolak perasaan itu.
Kenapa
perasaan benci pada gadis brengsek itu berakhir menjadi sebuah cinta. Kenapa? Apa
gara-gara aku tidak ingin melihatnya? Jadi, aku ingin melihatnya lagi? Berharap
agar dia tidak pergi?
Ah!
Sialan! Ini membuatku benar-benar bingung, sampai-sampai aku tetap malas gerak
dan tetap berbaring di tempat tidur semalaman. Aku jadi malas melakukan apapun,
termasuk mengerjakan PR, main game,
dan merapikan kamar.
Kucoba
kualihkan dengan mendengarkan musik random.
Lagu yang sedang kudengarkan sekarang adalah Sayonara Hatsukoi karya Redshift menggunakan vocaloid Megurine
Luka. Sejenak, aku fokus mendengar lirik yang dinyanyikan Megurine Luka sambil
bersenandung.
Fuyu no kaze wa kokoro ni sasaru
Zutto mae kara iitakatta kedo
Nande ii nikui n darou
Kono machi ni oreba mousou ni shizumu
Itte mite
"Mata aou ne"
Kimi ga modoeu wo matteite mo ii ka
I just can't say it to you ———
Kimi no mae ni wa zettai nakanai
Mou nani mo kanjinai
Kokoro no naka nakunatta
***
Kamis,
H-2 menjelang keberangkatan Nabila ke Jeju. Aku sama sekali tidak dapat
berkonsentrasi menghadapi materi pelajaran, apa mungkin gara-gara perasaan complicated-ku terhadap Nabila.
“Jadi,
lo pikirinnya gimana semalam?” tanya Oktavian ketika jam istirahat baru saja
berlangsung.
“Enggak,
gue terus kebayang melulu. Apa mungkin emang wajib minta maaf sama si Nabila?”
tanggapku.
“Nabila
udah mulai enggak masuk, kan?” tanya Abi.
Aku
menghela napas. “Dua hari lagi sebelum Nabila pergi ke Jeju. Tapi gue enggak
tahu gimana mau minta maafnya.”
“Kita
bakal bantu lo,” ucap Oktavian.
“Ya,
kayak pas Oktavian mau nembak Vera. Kita bikin puisi buat minta maaf ke Nabila,
sekaligus buat nembak hatinya,” usul Abi bangkit menemui kami berdua yang
sedang duduk.
“Woi,
ini kan buat soal nembak hatinya!” bantahku. “Gue cuma pengen minta maaf, gitu
doang.”
“Oh
ya, kita kan pernah ke rumahnya Nabila, rumahnya yang kayak orang kaya raya
gitu,” Abi mengusulkan lagi.
“Dia
kan emang orang kaya!” Oktavian mengingatkan.
“Oke
deh, puisi aja. Puisinya bukan buat nembak, tapi buat permintaan maaf. Soalnya
dia udah minta maaf ke gue, giliran gue yang minta maaf.” Aku agak setuju
dengan usul Abi. “Yang ngebantu lo bikin puisi lagi ke kantin ya?”
“Iya,
yuk ke kantin!” ajak Oktavian berdiri. “Daripada bingung, mending cari makan
aja. Ayo! Katanya ada menu baru di sana, pisang nugget, mau nyobain enggak?”
“Hayu
dong! Sekalian biar ngehibur lo, Arfian!” ucap Abi.
***
Sepulang
sekolah, aku menarik secarik kertas dari buku catatan begitu beberapa teman
sekelas telah meninggalkan kelas. Kuambil pulpen dan mendekatkannya pada kertas
kosong.
Tapi
… aku tidak tahu akan kumulai dengan kata apa. Puisi harus benar-benar
sempurna, pesannya harus benar-benar tersampaikan. Aku sama sekali tidak tahu
apa kata-kata indah yang dapat kuungkap! Aku sama sekali tidak tahu!
“Arfian,
Oktavian, Abi, dicariin tuh!” seru salah satu teman sekelas kami.
“Siapa?”
tanya Abi bangkit.
“Katanya
sih Fatin, dari kelas 10.”
“Suruh
masuk aja!” usul Oktavian.
“Arfian,
Oktavian, sama Abi, gue mau ngomong sama lo. Gue sebenarnya punya rencana buat
besok sepulang sekolah. Buat going away
party-nya Nabila,” Fatin mengungkapkan ketika memasuki kelas kami. “Oh ya,
ada yang bisa bikin video enggak? Syuting atau edit lah.”
Beberapa
dari teman sekelas kami mengacungkan tangan seraya menjawab kebutuhan Fatin.
Fatin hanya mengangguk kagum.
“Emang
video buat apa?” tanya salah satu teman sekelas kami.
“Ya,
buat salam perpisahan ke Nabila, yang mau pindah ke Jeju Island,” tanggap Fatin.
Begitu
mendengar kata “Jeju Island”, ya,
beberapa gadis dari kelas kami langsung heboh. Mereka sungguh iri karena salah
satu adik kelas mereka akan pindah ke Korea, kemungkinan bisa bertemu idol K-Pop, menonton acara musik K-Pop,
dan jalan-jalan di kecanggihan kota Seoul.
“Udah
tenang dong,” ucap Fatin. “Gue sebenarnya pengen ke sana dong. Oke, kalian
semua boleh bantu deh. Demi ngebantu teman lo, adik kelas yang pengen pindah ke
Jeju. Kita buat kenangan yang enggak terlupakan!”
“Boleh
deh!” seru salah satu teman sekelasku.
“Oh
ya, lo lanjutin aja bikin puisi buat si Nabila!” seru Oktavian menepuk
pundakku.
“Puisi?
Puisi buat apa? Oh … jangan bilang Arfian emang pengen balikkan sama Nabila.
Kok baru sekarang sih ngungkapinnya,” respon Fatin.
“Dia
pengen minta maaf, terus bikin kenangan yang enggak mungkin terlupakan—” ucap
Abi.
Aku
memutuskan untuk mengaku, “Dia yang pura-pura pengen pacaran sama gue!”
“Eh?
Apa?” Fatin tidak bisa berkata-kata.
Aku
mulai menceritakannya, “Gue pengen ceritain yang sebenarnya. Gue … udah jahat
sama dia, bahkan sejak dia nuduh gue sebagai player yang enggak mau gantian main sebuah game di game center. Gue
udah benci sama kelakuan brengsek dia, dia benar-benar jadi brengsek pas tahu
gue satu sekolah sama dia, apalagi, gue enggak nyangka kalau dia jadi adik
kelas gue sendiri.
“Terus,
ini yang terjadi. Tanpa persetujuan gue, tanpa bilang-bilang, dia malah manggil
gue Sayang. Dia rela pura-pura
pacaran sama gue cuma buat ngeganggu lah, ngeganggu gue. Gue enggak sudi jadi
pacar pura-pura dia. Sebenarnya, gue enggak pernah setuju kalau harus jadi
pacar pura-puranya dia, apalagi benaran.”
“Terus?
Ini cuma pura-pura?” tanya Fatin lagi.
“Iya.
Tapi—”
Oktavian
memotong, “Dia emang suka sama Nabila!”
“Ciyeeee!!”
Sialan, terima kasih banyak, Oktavian. Sekarang seluruh kelas menyorakiku
karena menyukai Nabila, memang.
“Makanya,
kita sekaligus mau ngebantu dia bikin puisi buat Nabila, ya buat nembak dia.”
“Woi!”
Aku mengganggu ucapan Oktavian.
“Ya,
sebenarnya cuma sekadar minta maaf.”
“Udah
deh!” Kali ini Abi juga membujukku untuk melakukan hal yang salah. “Ngaku aja
deh! Lo emang suka banget sama Nabila. Kelihatan kalau lo ngomong soal Nabila.
Lo enggak usah nge-deny lagi deh.”
“Fine lah! Gue ngaku! Gue … entah kenapa,
habis gue benci Nabila, habis gue jelek-jelekin dia, habis gua beri pelajaran,
gue … gue suka sama dia.”
Oke,
mendadak rasa yang mengganjal sejak mungkin awal minggu mulai menghilang.
Mungkin rasa yang berada di hatiku ingin menunggu untuk meledak ketika aku
mengungkapkannya.
“Jadi
lo pengen LDR?” Fatin mendekatiku.
“Enggak
gitu juga lah,” jawabku. “Anggap aja dia bakal nolak gue, apalagi LDR kan …
peluangnya tinggi buat putus.”
“Ah,
sok tahu lo!” Oktavian lagi-lagi menepuk bahuku. “Belum tentu lah dia bakal
nolak lo.”
“Udah,
deh, gue mau bikin puisi!” seruku. “Kan cuma mau minta maaf.”
“Iya
deh, Arfian. Kita bantuin.”
***
“Gimana,
Kak?” Aku meminta pendapat Kakakku setelah membacakan puisi perpisahan khusus
untuk Nabila di kamarnya.
“Ya,
emang lo ada salah apa sama dia?” Kakakku kembali duduk di tempat tidurnya,
menghadapku.
Aku
pun akhirnya duduk di samping kakakku. “Ya, gini, Kak. Arfian ketemu sama itu
cewek pas lagi main di mall, main game lah.
Terus dia malah nuduh Arfian enggak mau gantian mainnya. Padahal, kalau dia mau
main, harusnya sih dia nulis nama di papan antrean.
“Terus,
pas ketemu dia lagi, enggak nyangka kalau dia itu adik kelas. Terus, dia
ngeganggu Arfian, bahkan rela-relain jadi pacar bohongan. Arfian udah capek
ngurusin dia, jadi marahin lah itu cewek. Ya, dia nangis.
“Habis
itu, enggak tahu kenapa, ada yang ngeganjal di pikiran. Ya, katanya Arfian
emang suka sama dia. Arfian udah nolak semua pikiran itu dengan segala cara.
Ya, udah benci, enggak tahu kenapa Arfian sendiri jadi suka sama dia. Ya, itu
datang gitu aja.
“Ya,
habis itu, dia malah mau pindah ke Korea. Pas dia bilang gitu, gue enggak bisa
senang ngelihat dia udah pergi ngejauh dari Arfian. Itu rasa suka muncul di
pikiran Arfian, Kak. Muncul gitu aja, Kak. Gue malah galau mikirin gimana kalau
dia emang benaran pergi.”
Kakakku
menganggapi, “Arfian, intinya lo emang mau minta maaf sama dia sih. Kamu udah
brengsek sama itu cewek. Kakak enggak bisa bilang apa-apa tentang masalah kamu.
Udah, puisi kamu udah bagus kok. Kakak juga enggak nyangka kalau kamu bisa baca
puisi sebagus yang tadi. Ya, intinya ungkapin aja segala perasaan kamu ke dia,
pengen minta maaf, minta maaf, nembak hati dia, ya, silakan.”
“Kakak.
Makasih udah ngebantu Arfian. Arfian ngerti kok.”
“Kan
satu keluarga harus saling bantu dong! Hehe.”
“Iya,
deh. Mau main Guilty Gear enggak?”
“Kan
Kakak ada tugas?”
“Belakangan
deh. Kakak emang lagu gabut ngerjain tugas. Ayo!”
Kami
berdua berjalan menuju kamarku untuk mulai bermain Guilty Gear. Rasanya begitu rindu bermain Guilty Gear seperti dulu lagi, apalagi hanya sekali saat orangtua
tidak ada di rumah.
“Eh,
kamu UAS mulai awal Desember ya? Jangan lupa belajar deh! Jangan nunggu kamu
dimarahin Ibu sama Ayah lagi. Entar kamu marah-marah sendiri.”
“Iya,
deh. Arfian janji bakal belajar sungguh-sungguh. Arfian yakin pasti bisa
ngerjain semua soal.”
“Gitu
dong!” seru kakakku ketika kami duduk di tempat tidur setelah menyalakan
PlayStation 4. “Kalau emang lagi ada masalah, kamu mending cerita sama Kakak.
Mungkin Kakak bisa bantu gimana mecahin masalah kamu di sekolah.”
“Iya
deh, Kak.”
“Oh
ya, mau karaoke-an bareng sebelum
main?”
“Ngapain?”
“Ya,
senang-senang aja. Udah lama enggak karaoke-an bareng Arfian sih. Kamu pas
kecil keras-keras banget nyanyinya. Jadi kangen lah!”
“Iya,
tapi Kakak enggak bakal kenal sama lagu yang bakal kuputar. Sesuai sama masalah
Arfian.”
“Mau
main lagu apa emang? Ya, kalau ada liriknya, Kakak mau dong.”
“Sayonara Hatsukoi dari Redshift. Oh ya,
sebenarnya Redshift itu grup komposer lagu vocaloid asal Indonesia lho.”
“Indonesia?
Wow! Hebat banget! Lagunya lagu Indo atau Jepang.”
“Bahasa
Jepang lah!” ucapku sambil mulai menyetel lagu Sayonara Hatsukoi karya Redshift lewat aplikasi music player.
“Bentar
deh, cari dulu liriknya. Oh dapat! Yang ini ya?” Kakakku menunjukkan hasil
pencarian lirik Sayonara Hatsukoi.
“Sesuai banget sama masalah kamu, Arfian.”
“Iya
dong! Arfian mulai mainin ya!” Aku mulai memainkan lagu itu.
Begitu
lagu dimulai, kami pun ikut menyanyikan liriknya, mengikuti vokal Megurine
Luka, entah fals atau tidak, kami anggap menyesuaikan nada vokalnya.
Setidaknya, ini adalah sebuah obat untuk kebimbanganku yang telah mengganjal di
pikiran.
Shuppatsu GEETO de miteita
Ano itoshii hito no senaka ga
Mou kokoro no koe ga kikoenai
Hatsukoi no owari wo tsugeru namida ga deta
Fuyu no kaze wa kokoro ni sasaru
Zutto mae kara iitakatta kedo
Nande ii nikui n darou
Kono machi ni oreba mousou ni shizumu
Itte mite
"Mata aou ne"
Kimi ga modoeu wo matteite mo ii ka
I just can't say it to you ———
Kimi no mae ni wa zettai nakanai
Mou nani mo kanjinai
Kokoro no naka nakunatta
"Ikanaide?"
Mune ga sawagashii, dakedo muguchi
I'll never accept it, no ———
Nakimushi no watashi wo dakishimete
Namida wo fuite hoshii
Kimi wo wasureru you ni
Comments
Post a Comment