I Can't Believe My Love is A Gamer Episode 25

Love is A Danger Zone 2

Sekali lagi, aku hanya bisa mengatakan kalau Love is A Danger Zone, untuk kedua kalinya. Sama halnya ketika kudengarkan lagu Love is A Danger Zone 2 lewat aplikasi YouTube ketika jam istirahat hari Selasa.
Tahu kenapa? Oktavian tengah menyiapkan diri untuk menyatakan cinta pada Vera, katakan cinta katanya. Entah kenapa aku jadi ingat theme song Katakan Cinta, reality show percintaan yang pernah tayang di sebuah saluran televisi nasional.
Sekali lagi, kubayangkan apa jadinya ketika Vera menerima cintanya Oktavian. Ya, seperti biasa, pasti akan mengumbar segalanya di media sosial. Seperti pamer selfie kemesraan, mengumumkan bahwa dia udah pacaran, merayakan “anniversary” setiap bulan, dan pamer keserasian.
Kualihkan pikiran menuju lirik Love is A Danger Zone 2 yang sedang kudengarkan. Berharap saja Oktavian tidak termakan zona berbahaya cinta yang terdiri dari apel busuk.

I pray this will never end
I had my heart open wide
catch me I'm fall

I pray this will never end
I had my heart open wide wide wide wide wide

I pray this will I pray this will I pray this will never end
open wide wide wide wide wide

I pray this will I pray this will I pray this will never end
open wide wide wide wide wide

“Ke kantin yuk!” ajak Abi padaku dan Oktavian. “Kan mau nembak Vera hari ini, kan?”
“Nanti lah, pas balik. Gue jadian sama dia!” ucap Oktavian optimis.
Aku sedang tidak ingin ke kantin pada jam istirahat, apalagi bertemu dengan Nabila. Sejak pertengkaran di tempat futsal itu, hingga aku harus melampiaskan seluruh kemarahan pada gadis brengsek itu, aku tidak pernah melihat dia lagi. Mau ke kantin saja aku sudah malas, sangat malas kalau harus bertemu dengannya.
“Oktavian, ke kantin yuk!” ajak Abi. “Si Fatin sama Vera mau ketemu lo nih!”
“Eh? Enggak ah, ajak aja mereka ke sini,” aku mencari alasan agar tidak perlu keluar kelas.
“Udah ah! Lo ikut aja!” seru Oktavian.
***
“Tumben, Nabila enggak ke kantin bareng lo,” ucap Oktavian.
“Dia enggak masuk, katanya ada urusan keluarga,” jawab Fatin sederhana. “Ya, kemarin aja dia disuruh pulang habis istirahat sama orangtuanya.”
Beruntung sekali, aku tidak perlu menghadapi Nabila, si gadis brengsek itu. Mungkinkah dia emang enggak mau ketemu sama aku habis pertengkaran di tempat futsal Jumat lalu? Ah, dia mungkin malu ke sekolah hanya untuk melihat diriku.
Aku begitu lega ketika tidak perlu melihat Nabila di depan wajahku lagi, untuk saat ini. Aku tidak sudi kalau harus kembali berpura-pura pacaran dengan dia tanpa seizinku. Dari awal, aku tidak pernah setuju, apalagi ingin membicarakannya, apakah dia harus rela pura-pura pacaran denganku.
Sejauh ini, dia pura-pura pacaran denganku hanya untuk menganggu. Dia hanyalah penuduh RCT yang tidak mau mengantre di game center di mall. Aku tidak ingin melihatnya lagi. Begitu lega aku tidak perlu melihatnya lagi, untuk hari ini.
Kutatap juga Oktavian mulai menonjolkan charm-nya pada Vera. Ayolah, Oktavian, itu takkan membuat kejutan lagi pada Vera. Sudah jelas kalau Vera akan tahu kalau Oktavian menyukainya.
Oktavian mulai mengatakan pada Vera, “Oh ya, mau ketemuan pas pulang sekolah. Um … maksudnya, pengen pulang bareng, Vera?”
“Lho, tumben lo ngajak,” respon Vera. “Emang kenapa?”
“Ya, pengen aja,” Oktavian mengungkapkan alasan terlemah ketika akan menembak hati Vera.
“Ya …. Entar deh, lihat dulu situasi,” ucap Vera.
“Oh ya, emang ada urusan apa si Nabila?” tanya Abi.
“Enggak tahu juga sih. Ada urusan keluarga, entah kenapa kerasa ngedadak gitu sih. Enggak tahu dia bakalan masuk besok atau kagak. Gue juga udah nge-LINE dia, terus enggak dibalas.”
“Oh, gitu.”
Aku tidak perlu peduli lagi dengan Nabila, benar-benar tidak perlu. Mengapa aku harus mengkhawatirkannya. Aku juga sudah membuat dia nangis bombay saat memutuskan hubungan pura-pura itu. Aku capek berhadapan dengan gadis brengsek itu. Ketika aku tidak perlu berurusan dengannya, aku puas dan senang. Itulah akibatnya kalau berhadapan dengan cowok yang selalu patuh sama aturan di game center.
Aku tidak perlu peduli dengannya lagi. Aku hanya perlu peduli sama diriku, teman-temanku, dan keluargaku. Dia dihapus dari daftar kepedulianku.
***
“Gimana gue baca puisinya?” Oktavian berlatih puisi untuk terakhir kalinya sebelum membacakannya pada Vera sepulang sekolah.
“Udah bagus kok, bagus banget!” seru Abi ketika sebagian teman sekelas kami mengambil tas dan keluar dari kelas. “Iya, udah cocok. Pasti dia dapat tembakan lo! Kalau lo berhasil, bilang ya!”
“Oke deh, gue jemput dia! Gue nembak dia di halaman sekolah! Duluan!” Oktavian akhirnya bangkit mengambil tas dan berlari keluar dari kelas.
“Eh, Arfian,” Abi memanggil ketika aku bangkit mengambil tas. “Jangan balik dulu.”
“Emang kenapa? Mau nge-stalk dia?”
“Emang! Pengen lihat lah gimana tembaknya. Penasaran si Vera bakal nerima atau kagak. Hayu! Entar kita pulang bareng aja!”
“Ah! Ngapain! Kan biar Oktavian kasih tahu kita lah!”
“Penasaran lah! Bisa jadi ini pelajaran buat nembaknya gimana lah! Ini operasi Katakan Cinta!”
Klise, apa memang ini sebuah reality show? Reality show dimana partisipannya mengatakan seluruh perasaan sepenuh hati, entah itu bakal ditolak atau enggak. Aku yakin reality show pasti ada yang menjadi rekayasa, atau sekadar reka ulang.
Begitu kami berdua melangkah keluar dari kelas, Oktavian dan Vera telah berjalan melewati selasar menuju pintu keluar gedung sekolah. Kami mengikutinya karena Abi penasaran apa jawaban Vera. Tentu saja, kami harus berhati-hati agar tidak mengeluarkan sekeras apapun. Kalau tidak, nanti Vera curiga kalau kita ikut campur dengan rencana Oktavian.
Kulihat Oktavian dan Vera berhenti setelah menginjakkan kaki di halaman depan sekolah begitu kami menghentikan langkah di depan pintu masuk sekolah. Kulihat juga Oktavian mengeluarkan sepucuk kertas.
“Gue pengen ngebaca puisi, lo yang nilai gimana bagus atau enggaknya,” ucap Oktavian.
“Eh?” Vera tidak bisa berkata-kata.
Kami ikut mendengar bagaimana Oktavian membacakan puisinya sendiri. Suara Oktavian begitu mendayu-dayu sampai harus menghayati setiap bait puisinya, apalagi, dia berada di depan Vera, pujaan hatinya.

Wahai bidadariku
Aku telah datang dari masa depan ke tempat aslimu
Hanya untuk melihat dirimu
Aku mungkin bukan seorang pangeran berkuda putih
Tapi aku begini apa adanya
Aku hanya ingin memujimu sebagai bidadari
Bidadari yang dapat menembak hatiku secara utuh

Oke, itu puisi yang cukup berlebihan, cukup berlebihan sebagai senjata menembak hati seorang gadis seperti Vera. Kuharap aku tidak pernah melihat orang menembak hati seseorang dengan puisi yang lebay itu lagi.
Kembali ke main event, aku memfokuskan pandangan ke Oktavian. Vera hanya mengangguk-angguk bereaksi.
Vera mengungkapkan, “Bagus banget, itu puisi cinta ya?”
“Emang.”
“Lo bacanya bagus banget sih! Kayak ngehayati gitu sih. Lo kayaknya emang cocok jadi pembaca puisi, kalau enggak penulis lagu, kalau enggak penyanyi.”
“Iya sih, hehe. Tapi intinya—” Oktavian berlutut di hadapan Vera, ini dia. “—Vera, lo mau enggak jadian?”
“Jadian?”
“Iya, jadian bareng gue.”
Ini dia! Oktavian sudah mengeluarkan senjata untuk menembak hati Vera secara utuh! Kalimat-kalimat itu akan menancap hati Vera secara utuh!
“Oktavian—” Vera kembali bereaksi. “—Manis banget, tapi lo enggak usah kayak gitu juga kali.”
“Hah?” ucapku dan Abi.
“Eh?” ucap Oktavian.
“Kamu enggak malu dilihat sama orang banyak?” Vera menunjukkan masih ada orang di halaman sekolah yang melihat mereka berdua.
“Gue rela kok. Gue rela malu demi ngedapatin hati lo,” ungkap Oktavian.
Vera menggelengkan kepala sambil memutar kedua tangannya. “Um, Oktavian. Gue enggak bisa. Gue sebenarnya udah punya pacar.”
“Eh?” ucap Oktavian tidak bisa berkata-kata.
“Hah?” ucap Abi.
Wah, seluruh penonton kejadian ini di halaman sekolah pasti kecewa, sangat kecewa ketika Vera menolak cinta Oktavian karena satu hal, satu hal. Vera sebenarnya sudah punya pacar, itu pun aku sama sekali tidak tahu. Abi dan Oktavian saja tidak tahu apa benar Vera sudah punya sang pujaan hati.
Oktavian menganga sangat lebar, sampai seperti ke ujung dunia, membuat relief berlutut seperti patung. Abi terasa ingin pingsan ketika kedua tangannya memijat kepalanya sendiri. Aku khusyuk tidak dapat berkata apapun sebagai reaksi penolakan cinta Oktavian dari Vera.
Ternyata usaha Oktavian untuk menyatakan cinta, mulai dari nol hingga membuat puisi indah, berakhir sia-sia, bernilai NOL BESAR, NOL BESAR.
Vera mengambil ponselnya. “Oh, pacar gue udah nungguin. Gue ada urusan, gue duluan ya.”
Ya, sekali lagi Oktavian telah seperti memakan apel busuk, kali ini dari penolakan cinta, penolakan cinta. Dia telah masuk zona berbahaya bagaimana orang-orang sudah telanjur cinta.
Sekali lagi, Love is A Danger Zone. Aku ingin mendengarkan lagu itu ketika menyaksikan penolakan cinta itu. Kulihat juga Oktavian tidak dapat berkata apapun lagi, apalagi saat Abi dan aku menemuinya.
“Oktavian, udah enggak apa-apa. Cewek kan masih banyak, enggak cuma dia doang,” Abi mencoba untuk menghibur.
Aku tetap fokus pada lirik Love is A Danger Zone, aku tidak ingin tercemar apel busuk dari zona berbahaya cinta. Cinta itu berbahaya, sungguh.

You're like the sun
Shine on me forever
You are the one
Take me even higher
Shine on me
Shine on me
Shine on me forever
Like a star, in the sky
Burnin' out
Forever on fire

“Eh, itu kan si Nabila!” seru Abi menunjuk seseorang di depan gerbang sekolah.
Nabila? Tidak mungkin! Sialan! Gadis brengsek itu berada di depan kami! Kali ini, lebih buruk, kedua orangtuanya juga bersamanya! Apa yang sedang terjadi padanya? Tunggu, bukan saatnya aku memedulikan gadis brengsek itu!
“Nabila, kok datang jam segini sama orang tua lo?” kudengar Vera berbicara dengan Nabila.
“Ya, ada urusan sih sama guru. Nanti lah gue omongin,” kudengar jawaban Nabila seperti apa.
“Oh, kalau gitu gue duluan, cowok gua udah nunggu nih,” Vera pamit.
Kuterdiam ketika Nabila melewati halaman sekolah, dia mengabaikan kami begitu saja, pandangannya fokus ke arah pintu gedung sekolah. Kurasa dia sudah melupakanku, dia tidak perlu menemuiku sama sekali.
Baguslah, dia tidak ingin berurusan lagi denganku, begitu juga denganku. Aku tidak mau menemuinya lagi, untuk selamanya.
“Eh? Si Nabila kenapa tuh?” ucap Abi ketika Nabila dan orangtuanya memasuki gedung sekolah.
“Iya, deh, gue akuin, gue enggak pernah nanya dia single atau kagak,” Oktavian mengungkapkan. “Ya, masih ada banyak cewek di luar, kan?”
“Udah deh, si Nabila katanya ada urusan sama guru kan?” ungkap Abi. “Gue penasaran kenapa nih.”

Kita mau curi dengar percakapannya? Itu takkan sopan sama sekali! Apalagi, aku tidak ingin berurusan dengan gadis brengsek itu lagi, bukan?

Comments

Popular Posts