While We Ran Away Episode 3
Kebenaran yang Tersembunyi
Mungkin
aku punya begitu banyak beban di pikiran karena ujian akhir semester terakhir
yang akan diadakan pada hari ini adalah pelajaran tersulit bagi kebanyakan
siswa sepertiku. Tak heran, pelajaran itu ditempatkan paling akhir dalam jadwal
ujian, sebenarnya ini tidak membuatku terkejut sama sekali.
Apa
boleh buat, aku tidak memaksakan diri agar terus membaca materi ujian semalaman
karena begitu lelah, entah mengapa. Aku juga tidak begitu yakin apakah semua
materi berupa rumus dan konsep juga telah masuk secara permanen ke dalam
otakku. Mungkin saja aku kehilangan ingatan tentang materi ujian ketika menatap
beberapa soal nanti, seperti lampu terang terlalu menerangi panggung saat
tampil atau bertanding.
Aku
hanya duduk menikmati sarapan berupa roti isi selai cokelat hazelnut, cukup
untuk membuat perutku terisi setelah sarapan, aku memang tidak sarapan nasi
ditambah lauk pauk seperti kebanyakan orang. Manisnya selai cokelat hazelnut menyelimuti tawarnya roti
begitu potongannya masuk ke mulutku.
Biasanya
Ayah berangkat pagi-pagi sekali, katanya urusan kantor, begitulah kerjaan
pejabat politik, sekali lagi, aku tidak begitu peduli terhadap politik, apalagi
ketika beberapa kabar negatif masuk berita, terutama tentang penyalahgunaan
kekuasaan seperti korupsi dan menyepelekan tanggung jawab terhadap negara.
Aku
hanya berharap semoga Ayah tidak pernah terjerumus pada sisi gelap politik
nasional. Aku tahu Ayah telah mengajariku hidup sederhana meski punya banyak
uang hasil dari gaji pejabat politik. Aku sama sekali tidak peduli apa pekerjaan
ayahku meski pun sekali-kali bangga.
Begitu
aku selesai memakan roti isi selai cokelat hazelnut,
kulihat Sena baru saja keluar dari kamarnya sambil membawa tas dan sudah
berpakaian seragam sekolah. Tetapi, ada hal yang biasanya tidak kulihat pada Sena.
Aku
seperti terhenti ketika menatap Sena perlahan-lahan mengambil langkah kecil
sedikit demi sedikit hanya untuk melangkah mendekati meja makan. Tetapi, hal
yang membuatku terhenti bukan hanya itu.
Kulihat
juga warna yang berbeda pada sekujur tubuh Sena, hampir sama persis ketika
kulihat kemarin, tetapi mungkin saja ini berbeda. Kulihat beberapa goresan
terlihat pada tangan Sena meski dari jauh.
Aku
berdiri dari tempat duduk untuk melihat lebih jauh terhadap warna yang berbeda
pada kulit Sena. Goresan yang kulihat seperti sayatan pisau tapi tidak dalam
sama sekali. Kulihat pula warna merah kecoklatan atau ungu keabu-abuan mulai
bertambah, terutama pada lengan mengiringi beberapa goresan.
“Sena?”
panggilku ketika aku menyentuh lengan Sena. “Ini … kenapa ya?”
Kulihat
juga Sena hanya menatap ke lantai sambil berjalan tadi, dia tidak menatapku
ketika dia akan mengutarakan jawabannya. Entah kenapa, aku hanya merasa kalau
Sena memang sedang … tidak bersemangat.
“Sena
… tadi malam … pengen ngupasin mangga sendiri, tapi … malah kena pisau
kulitnya. Terus … tangannya malah kena tembok.” Entah kenapa, jawaban Sena
tidak dapat kuterima sesuai dengan kenyataan pada dirinya. “Kemarin … dapat
mangga dari teman, mangganya belum dikupas sama dipotong.”
Aku
secara impulsif bertanya balik, “Kok enggak tanya Kakak sama Ibu? Kan bisa
Kakak kupas buat Sena.”
“Kakak
sama Ibu … udah tidur, takutnya ngeganggu.”
“Ya
udah, lain kali, kalau mau minta kupas sama potong, bilang ya sama Kakak atau
enggak Ibu. Pisau kan tajam banget. Makan dulu, Kakak udah bikin roti. Habis
makan, kita berangkat.”
“Iya,
Kak,” respon Sena sebelum mengambil satu roti isi selai cokelat hazelnut.
SAKIT, BU! SAKIT! AMPUN!
NGAKU! NGAKU!
Entah
kenapa, bentakan semalam terputar kembali di dalam otakku, apalagi jika melihat
kondisi Sena seperti ini. Apakah … anak kecil yang menjerit tadi malam itu
benar-benar Sena? Terus … siapa ibu-ibu yang membentaknya semalam?
Ah,
tidak. Tidak mungkin itu Sena. Aku terpikir kalau itu bentakan dari tetangga
sebelah tadi malam. Bentakan yang begitu keras hingga membangunkanku semalam,
aku ingin menegur mereka, tetapi entah kenapa aku hanya ingin tidur lagi,
mempersiapkan diri untuk ujian hari ini.
“Eh?
Kok belum berangkat?” Ibu tiriku menemui kami begitu melangkah dari kamar.
“Udah siang, nanti telat dong datangnya. Apalagi ujian terakhir kan.”
“I-iya,
Bu,” jawabku sebelum berbalik pada Sena. “Sena, makannya cepat ya. Kita bentar
lagi berangkat!”
***
Sebuah
bel berbunyi terompet berdering sebanyak tiga kali, pertanda bahwa ujian hari
ini telah selesai. Ujian pelajaran tersulit di sekolah, bagi kebanyakan siswa
SMA, akhirnya selesai juga.
Begitu
guru pengawas mengumumkan agar kami mengumpulkan lembar jawaban dan soal serta
menghentikan aktivitas mengotret dan menjawab beberapa soal tersisa, aku
menatap kembali lembar jawaban, semua soal berbentuk pilihan ganda. Aku sudah membulatkan
setiap jawaban yang kuyakin benar atau hanya sekadar tebak-tebakan pada setiap
soal di lembar jawaban. Aku baru saja selesai mengerjakan soal terakhir begitu
ujian berakhir.
Beberapa
keluhan dari sesama siswa bisa kudengar setelah kami mengumpulkan lembar
jawaban dan soal pada guru pengawas. Terlebih, keluhan blak-blakan terdengar
lebih keras ketika guru pengawas telah meninggalkan kelas.
“Ah!
Susah banget!”
“Udah
pakai rumus gini, terus jawabannya enggak ketemu lagi. Harusnya enggak ada
jawaban yang benar!”
“Pusing
tahu mikirin angka sama rumus!”
Ya,
sudah biasa, keluhan seperti ini memang umum pada akhir ujian pelajaran
tersulit di sekolah bagi kebanyakan siswa. Pikiran sudah terkuras, apalagi
batas kesabaran terhadap materi pelajaran berupa rumus dan teori sudah mencapai
batasnya ketika ujian. Aku tahu, ujian tadi benar-benar membuatku
berputar-putar.
Tapi,
alasan mengapa aku memberi jawaban tebak-tebakan dalam beberapa soal bukan
hanya karena aku menghabiskan banyak waktu mengerjakan beberapa soal lain,
terutama soal yang setidaknya bisa kukerjakan meski begitu sulit, tetapi juga
kilas balik semalam terputar kembali di dalam otakku.
“Yoshi!”
teman bangku sebelah menepuk pundakku, tentu dia adalah teman yang mengajakku
untuk main futsal dari kemarin. “Futsal yuk sore ini!”
“So-sorry,
gue … harus jaga adik di rumah,” aku membuat-buat alasan agar bisa mengawasi
Sena di rumah, terlebih aku juga telah memikirkan ada hal yang seharusnya tak
kupikirkan ketika mengingat jawabannya terhadap pertanyaanku.
“Please lah! Enggak rame dong kalau lo
enggak ikutan!” seru temanku.
“Habisnya
adik gue sendirian di rumah,” jawabku sambil mengambil ponsel.
Kulihat
layar ponsel menunjukkan notifikasi panggilan tak terjawab dan pesan masuk di
WhatsApp, kali ini, ayahku sekali lagi mengirimkan sebuah pesan yang membuatku
tercengang hingga tidak bisa berkata-kata sejenak. Aku seperti kehabisan napas
ketika menatap setiap kata pada pesan dari Ayah.
Yoshi, cepat ke sekolahnya Sena. Gurunya
nelpon dia pingsan habis ujian. Sena lagi di UKS
Sena
pingsan? Tunggu … kenapa? Aku tidak bisa percaya hal ini terjadi! Aku jadi
begitu khawatir begitu mendengar kabar dari Ayah, apalagi Ayah sedang tidak
bisa ke sekolahnya Sena karena urusan kantor seperti biasa.
Secara
cepat, aku buru-buru mengambil tasku dari bawah meja, tidak ingin menunda lagi
untuk menemui Sena di sekolahnya, apalagi dia tidak sadarkan diri setelah
ujiannya berakhir.
“Yoshi,
kenapa?” tanya salah satu teman sekelas yang berdiri di dekat pintu.
“Gue
… jemput adik, gue duluan!” aku pamit.
***
Aku
segera memasuki ruangan UKS sekolahnya Sena setelah terburu-buru masuk gedung
sekolah. Tidak ingin teralihkan oleh setiap anak SD sebaya dengan Sena berjalan
menikmati akhir dari ujian akhir semester, aku hanya mempercepat langkah
mencari UKS, jika perlu, aku juga bertanya pada anak-anak itu agar
mempertunjukkan jalan ke sana.
Aku
pun tiba di UKS ketika menatap pintu bertanda segitiga hijau di dekat tangga
menuju lantai atas. Begitu kulewati pintu masuk UKS, sudah terlihat guru
berjilbab merah jambu tengah menemani Sena yang terbaring di salah satu tempat
tidur bersprei biru.
Ruang
UKS di sekolah Sena kulihat memiliki dinding keramik coklat pada bagian bawah
dan cat putih pada bagian atas ruangan, tiga tempat tidur yang terpisah oleh
gorden hijau di hadapanku, dan beberapa reminder
tentang kesehatan berupa poster tertempel di dinding.
Dengan
cepat, aku melangkah mendekati tempat tidur paling kanan yang tengah Sena
tumpangi. Guru berjilbab merah jambu yang tengah mengawasi Sena pun berbalik
menatapku.
Aku
segera memperkenalkan diri, “Sa-saya kakaknya Sena, Bu. Saya Yoshi.”
Aku
begitu malu ketika aku harus mewakili Ayah agar menjemput Sena, terutama ketika
dia mendadak lemas seperti ini, terlebih aku masih memakai seragam sekolah
terbungkus oleh jaket hitam. Entah kenapa, aku merasa begitu canggung ketika
menemui guru SD yang tengah mengawasi Sena di UKS.
“Oh,
Kakaknya Yoshi ya?” balas guru berjilbab merah jambu itu. “Tadi … pas waktu
ujian mau beres … Sena pingsan. Kayaknya kecapekan. Terus … pas diantar ke UKS,
kelihatan ada luka semacam memar begitu di tangan Sena.”
“Terus
… ujiannya gimana?” tanyaku secara impulsif.
“Ya
… dia sebenarnya udah isi semua jawabannya,” jawab guru itu. “Ibu mau tanya ya.
Ini Sena kenapa ya sampai luka-luka begitu? Terus … dia kelihatannya kurang
tidur.”
“Ta-tadi,
kata Sena, dia pengen ngupas mangga tadi malam, terus malah kena pisau,” aku
jawab sesuai dengan apa kata Sena tadi pagi.
“Kak
Yoshi, Ibu minta maaf kalau nanya begini. Apa … ada masalah di rumah?”
Ketika
pertanyaan guru itu terlontar dari mulutnya, sekali lagi pikiran bentakan
antara ibu-ibu dan seorang anak perempuan kembali berputar di dalam pikiranku.
Aku juga menatap warna pada lengan Sena masih sama seperti tadi pagi.
Apakah
ini penyebab Sena pingsan? Apakah semalam Sena memang kurang tidur gara-gara
sesuai dengan hal yang kupikirkan? Apakah Sena memang anak perempuan yang kena
bentak dan cambukan sapu lidi atau semacamnya semalam?
Ah,
itu hanya pikiranku. Tidak mungkin Sena menjadi korban. Lagipula, seingatku,
bentakan itu terdengar keras dari sebelah, mungkin dari tetangga. Aku … mungkin
ingin menghentikannya, tetapi … aku terlalu lelah sehabis belajar untuk ujian
tadi.
“Ibu
minta maaf ya kalau nanya begini, kalau tidak mau jawab—”
Aku
memotong ucapan guru itu, “Bu, maaf menyela. Sebenarnya … enggak ada masalah di
rumah.”
“Begitu.
Di rumah, tinggal sama siapa aja?”
“Tinggal
sama Ayah sama Ibu. Sebenarnya ibu tiri, Ibu udah meninggal.”
“Oh
… Ibu turut prihatin. Ya sudah, kalau mau sendiri sama Sena, Ibu keluar dulu
ya.”
“Iya,
Bu. Terima kasih banyak sudah menghubungi ayah saya,” ucapku ketika guru
berjilbab merah jambu itu melewati pintu keluar UKS.
Aku
menemui Sena yang masih terbujur kaku di tempat tidur biru. Kutatap kembali
warna memar pada kulit lengan Sena. Kupegang juga lengannya, tetapi entah
kenapa terasa ringan, mungkin Sena sedang lemas sehabis pingsan saat ujian.
“Sena
enggak apa-apa, kan?” tanyaku.
Sena
mengangguk sambil membuat senyuman. “Sena enggak apa-apa, Kak.”
“Sena,
kalau ada apa-apa di rumah. Bilang aja sama Kakak ya. Kakak tahu kalau Sena ada
masalah, ya kalau emang enggak mau ngomong, Kakak enggak bakal maksa. Entar,
kalau mau ngomong, Kakak pasti dengar. Kakak janji, Kakak bakal ngebantu Sena.
Asal, Sena jujur ya. Kan … bohong enggak benar.”
“I-iya,
Kak. Sena janji.”
“Nah,
gitu dong adiknya Kakak. Mau pulang sekarang? Kan istirahat di kamar bisa. Atau
mau di sini dulu bentar?”
“Na-nanti
pulangnya. Sena kayaknya masih capek.”
“Iya.
Kakak temani ya,” ucapku tersenyum.
Aku
duduk di kursi menghadap kasur Sena sambil mengeluarkan ponsel, menatap layar
telah mengeluarkan notifikasi berupa pesan masuk lewat LINE, seperti biasa,
dari temanku dan juga grup kelas.
Kubuka
aplikasi LINE untuk membaca pesan masuk dari temanku, ya teman bangku sebelahku
di kelas. Kudapat pertanyaan sama persis seperti waktu di kelas sebelum pulang.
Lagi-lagi dia mengajakku untuk bermain futsal, katanya tidak seru kalau aku
tidak ikutan. Ah, apakah ini yang namanya memaksa? Katanya mulainya nanti sore,
aku begitu bingung.
Aku
bukanlah penggemar olahraga manapun, apalagi sepak bola atau pun futsal. Jangan
heran kalau aku selalu menolak untuk bermain futsal setiap sehabis pelajaran
olahraga. Penyebab mengapa aku tidak begitu suka olahraga adalah pemaksaan dari
Ayah ketika dia belum sesibuk sekarang. Ayah selalu memaksa agar aku ikut
berolahraga bareng sepupu yang datang atau hanya teman sekalipun, bahkan
berenang saja aku tidak ingin ikutan sampai harus dibentak agar aku mau.
Sebenarnya,
aku tidak begitu dekat dengan Ayah. Aku memang dekat dengan Ibu waktu dulu.
Mungkin karena Ayah begitu sibuk dari pagi hingga malam kerja dalam bidang
politik, apalagi sekarang sebagai salah satu pejabat. Aku paham pelajaran yang
selalu kuingat dari Ayah adalah tetap hidup sederhana, tidak peduli aku punya
berapa banyak uang. Ibu juga dulu mendukung pendapat Ayah seperti itu.
Notifikasi
pesan dari grup ekskul English Club membuyarkan
lamunan tentang masa laluku. Kubuka pesan itu dan membacanya. Oh tidak, rapat?
Rapat mendadak setelah ujian berakhir? Mendadak sekali. Kalau saja diberitahu
lebih awal, aku akan menghubungi ibu tiriku agar menjemput Sena dan
mengantarnya pulang. Apa boleh buat, akhirnya aku memutuskan.
“Sena,
Kakak antar kamu pulang sekarang ya. Kakak harus balik ke sekolah lagi, ada
urusan teman sih. Udah baikan, kan?” tanyaku.
“I-iya,
Kak.” Sena bangkit dari posisi berbaring di tempat tidur.
“Bisa
turun sendiri ya?”
Sena
menghentakkan perlahan kedua kaki pada lantai putih ruang UKS sekolahnya,
setidaknya dia baik-baik saja setelah apa yang dia telah alami selama ini. Dia
… benar-benar gadis kecil tangguh meski memiliki beberapa goresan dan beberapa
warna berbeda pada kulit.
“Enggak
apa-apa kalau Yoshi enggak di rumah bareng Sena?” Aku hanya ingin memastikan.
Kupandangi
Sena kembali menatap ke arah lantai putih. Entah kenapa, aku merasa kalau Sena
begitu sedih jika kutinggal di rumah sendirian bersama ibu tiriku, apalagi ketika
dia menggeleng pelan.
“Kenapa?
Kakak cuma bentar kok,” aku mencoba untuk menenangkan Sena.
Sena
menjawab sambil menyamarkan ekspresinya dengan senyuman, “Eng-enggak apa-apa,
Kak.”
“Oke
deh. Pas Kakak pulang, entar Kakak beliin keripik kesukaan Sena ya. Asal, Sena
nunggunya sabar ya.”
“I-iya,
Kak.”
“Ayo,
berangkat sekarang yuk,” ajakku ketika kami berdua mulai menghadap pintu keluar
UKS.
Comments
Post a Comment