I Can't Believe My Love is A Gamer Episode 27

Re:End of A Dream

Tidak mungkin! Katakan ini tidak benar! Katakan tidak benar pada hatiku!
Tidak mungkin aku mendapat perasan ini! Padahal aku membenci gadis brengsek itu! Aku … memang jadi jatuh cinta dengan Nabila? Apakah perasaan benci yang kupendam selama ini berubah menjadi cinta?
Aku … sebenarnya menaksir dia? Jadi ini alasan mengapa perasaan ini muncul? Aku sebenarnya tidak ingin Nabila pergi dari kehidupanku untuk selamanya?
Aku benar-benar bingung! Aku mencoba untuk membantah kata hatiku, tapi … nasi telah menjadi bubur. Aku memang berbuat salah pada Nabila. Aku yang memarahinya karena membuat hubungan pura-pura hanya untuk menggangguku.
Kenapa jadi begini! Aku tidak percaya kalau aku jatuh cinta dengan gadis brengsek seperti dia! Aku juga tidak percaya kalau cintaku adalah seorang gamer seperti gadis brengsek itu! I Can’t Believe My Love is A Gamer!
Aku sudah melakukan berbagai cara untuk menghentikan perasaan itu, mulai dari main game di PlayStation 4 seperti Persona 5, Guilty Gear, dan DJMAX Respect, main game di hp seperti Fate/Grand Order dan Arcaea, hingga mendengarkan musik random entah dari aplikasi music player dan YouTube.
Salah satu lagu yang kudengar adalah Re : End of A Dream karya uma vs. Morimori Atsushi, salah satu entri BMS of Fighters Ultimate 2016. Lagu itu diawali oleh semacam nada chiptune, lalu beralih ke awesomeness musik hardcore renaissance, entah itu campuran synth dan chiptune, entahlah. Lagu ini menjadi sangat awesome dan menarik.
Sialnya, lagu itu belum membantuku untuk melupakan perasaan yang sedang kuhadapi sekarang. Kenapa awalnya aku membenci gadis brengsek itu akhirnya berubah menjadi perasaan cinta? Kenapa?
Apakah aku telah memakan apel busuk akibat membenci gadis brengsek itu? Apakah aku telah masuk ke dalam zona berbahaya yang namanya cinta? Ah! Kenapa aku sama sekali tidak sadar!
“Arfian, makan malam!” ujar kakakku.
“Iya.”
Mungkin ini saat yang tepat. Mungkin saja hidangan buatan ibuku dapat mengalihkan perhatian dari rasa kebingunganku sekaligus menjadi cinta. Tentu saja aku tidak ingin mengatakan yang sebenarnya, keluargaku takkan mengerti apa itu cinta versi diriku.
Aku kebingungan apa aku juga menjadi ikut-ikutan masuk stereotip cinta? Tidak mungkin! Ini bohong! Aku sama sekali tidak berniat untuk menghabiskan masa muda demi cinta!
***
“Lo kenapa sih pucat gitu?” tanya Oktavian saat jam istirahat.
“Gue bingung banget,” jawabku. “Dari kemarin nih.”
“Jangan-jangan tentang Nabila itu ya?” Sialnya, tebakan Oktavian benar.
“Udah deh, iya, gue ngaku! Gue enggak bisa ngehapus Nabila dari kehidupan gue! Gue tahu gue benci dia, si gadis brengsek itu. Terus gue enggak nyangka bakal jadi ginian!”
“Ciyeee, jatuh cinta nih! Lo udah—”
“Jatuh cinta? Gue enggak minta buat dia jatuh cinta sama gue! Dia juga enggak minta gue buat jatuh cinta sama dia! Dia emang gadis brengsek!”
“Eh!” Abi baru saja masuk ke dalam kelas sehabis dari kantin. “Tenang aja, Nabila juga sebenarnya enggak mau pindah ke Jeju, Korea. Dia udah coba minta buat tinggal di sini, tapi masalahnya dia mau tinggal di mana. Dia kan anak tunggal.”
“Gampang, dia punya pembantu,” seru Oktavian. “Lagian, dia kan orang kaya. Rumahnya mewah banget, kita kan pada pernah ke rumahnya.”
“Dia enggak punya pembantu katanya,” tanggap Abi. “Ya, jadi dia bisa dibilang udah mandiri, ngelakukan segalanya sendiri, ngeberesin kamar, ngebersihin kamar mandi sendiri, cuci piring, cuci baju, dan segala pekerjaan pembantu.”
“Masa sih? Kan repot rumahnya seluas gitu!”
“Ya, dia emang harus pindah. Mau gimana lagi, kan tiap orangtua sayang sama anak. Mereka tentu aja enggak mau kepisah sama anaknya sendiri, apalagi kalau belum dewasa.”
“Emang dia belum dewasa apa?” tanya Oktavian.
“Ya, dia masih remaja sih. Jadi dia belum siap buat tanggung jawab hidup mandiri sebagai remaja. Hidup sendiri tanpa orangtua itu berat lho. Padahal itu udah jadi idaman setiap remaja. Ya, bebas dari orangtua sih, tapi responsible-nya malah repot.”
Aku jadi terpikir dengan kata Abi, begitu juga saat rencanaku untuk menjauh dari orangtua. Ya, aku pernah ingin hidup menjauh dari orangtua, tidak ingin terikat pada peraturan, nasihat, dan larangan mereka yang bertele-tele. Aku bahkan pernah melampiaskan kemarahan yang selama itu terpendam ketika ibuku memarahiku karena menemukan nilai quiz fisika yang rendah.
Benar, aku belum siap untuk hidup mandiri dan jauh dari orangtua. Tentu orangtua akan khawatir karena dalam kehidupan secara mandiri akan ada tanggung jawab yang lebih besar, lebih besar daripada yang selama ini kubayangkan.
“Oh ya, Arfian, lo udah cinta sama Nabila, kan! Gue pengen ngebantu lo nembak!” usul Oktavian.
“Nembak? Kan Nabila mau pindah ke Korea! Enggak mungkin lah!”
“Ada lho yang namanya LDR, long distance relationship.”
“Iya juga sih. Tapi kan enggak sampai gitu juga kali!”
Aku menyela, “Udah deh. Gini aja, gue pengen minta maaf sama dia. Gue udah bikin dia kesal pas pertama kali ketemu di game center, dia nuduh gue RCT—”
Abi memotong, “Jadi pas dia cerita, dia maksud orang itu lo? Orang yang enggak mau gantian mainnya.”
“Gue cuma ngikutin aturannya doang! Ya, kalau mau main, tulis aja nama di papan antrean. Ribet banget jadi orang!” aku menyela lagi. “Ya, di game center, gue emang dituduh enggak mau gantian mainnya. Terus, dia malah pengen pura-pura pacarana sama gue, padahal gue aja enggak mau, ya terlalu tiba-tiba lah. Masa baru kenal, malah langsung pacaran sih.
“Gue udah muak sama kelakuan dia, di tempat futsal, gue marahin dia, sampai dia nangis bombay. Gue puas banget waktu itu, gue bisa ngebuat dia nangis. Terus, pas dia mau pindah ke Jeju, itu dia, perasaan itu muncul. Gue coba untuk nolak, tapi enggak mau hilang.”
“Tah, itu enggak enaknya,” Oktavian mulai berpesan. “Balas dendam itu sebenarnya enggak guna lah. Ngapain balas dendam. Kalau terwujud, enggak bakal puas lah. Apalagi sama cewek yang sebenarnya udah nyebelin sama lo tapi malah lo suka.”
“Enggak nyambung ah lo, Oktavian!” tanggap Abi. “Intinya, lo harus minta maaf ke Nabila sebelum dia pergi. Tapi dia malah enggak bakal masuk hari ini katanya. Kata si Fatin. Tapi entar Jumat katanya mau ke sini, biar bisa say goodbye teman sekelasnya, terus ke kita semua. Ya, ibaratnya, entar katanya harus pada kumpul di halaman sekolah buat say goodbye ke dianya.”
“Iya sih, seenggaknya pihak sekolah ngadain acara pelepasan dia yang mau pindah ke luar negeri, ke Korea,” tanggap Oktavian. “Mau enggak mau, lo intinya harus minta maaf, biar perasaan enggak enak lo hilang. Eh, lo juga cinta sama dia kan?”
“Enggak tahu sih. Gue masih nanya-nanya ke sendiri. Gue … emang udah masuk perangkap zona berbahaya cintanya atau kagak, gue masih bingung. Bingung banget,” jawabku.
“Udah deh. Enggak enak kalau lo ngebantah terus di dalam hati. Nanti malah pusing mikirinnya. Lo mending terima aja gimana perasaan lo sama dia, sekalian minta maaf. Nanti pas goodbye party-nya Nabila sebelum Jumatan entar.”
Abi menambah, “Iya, nih, enggak enak kalau tetap aja dendam sama dia. Dia juga enggak enak kalau ada unfinished business sama lo. Lo kelarin masalah lo sama dia, terus—”
“Gue ngaku suka dia?” aku memotong. “Ya, percuma aja! Mana bisa pacaran kalau jauh-jauh!”
“Paling LDR-an, gampang,” ucap Abi.
***
Melakukan apapun jadi tidak begitu bersemangat. Aku terus tersesat di zona berbahaya cinta. Kegalauan, dari apel busuk, telah meracuni seluruh otakku. Aku bingung sekali apa yang harus kukatakan untuk meminta maaf pada Nabila. Sungguh, aku benar-benar bingung.
Sekali lagi aku bertanya pada diriku ketika aku bermain seperti biasa di game center. Apakah aku benar-benar menaksir gadis brengsek yang kubenci? Aku tak tahu jawaban pasti. Tidak mungkin perasaan benci menjadi sebuah perasaan cinta.
Ini dia, stereotip yang sering terlihat di sinetron enggak jelas, atau enggak film televisi, biasanya awalnya benci menjadi cinta. Seringkali setiap orang mengidentikkan hubungan benci terhadap lawan jenis hingga akhirnya berubah menjadi perasaan cinta, dan selalu happy ending, pacaran.
Aku tentu tidak ingin mengikuti stereotip yang ada. Aku hanya ingin mengikuti caraku sendiri, kupikir pacaran di masa muda hanyalah omong kosong belaka. Kenapa tidak langsung menikah saja? Kenapa orang pacaran harus identik dengan pamer kemesraan di media sosial, pamer kerinduan lewat status, dan merayakan anniversary sebulan jadian. Jelas-jelas anniversary itu satu tahun, bukan sebulan. Merasa saja media sosial disalahgunakan oleh orang-orang pacaran hingga harus menimbun banyak like dan komentar.
Aku membuka aplikasi LINE ketika diriku menyudahi kegiatan bermain di game center, meski tahu tidak punya akun Nabila sama sekali. Nabila juga jarang menghubungiku, apalagi meneleponku. Sudah jadi rahasia pribadi kalau aku muak dengan perbuatan gadis brengsek itu. Begitu juga dengan Nabila, dia juga tidak ingin aku berada di sampingnya, meski dia rela berpura-pura pacaran demi menggangguku.
Kulihat salah satu pesan yang belum kubaca ternyata dari Nabila, si gadis brengsek itu. Sial, kulihat pesan itu tiba di ponselku hari Minggu, dua hari setelah aku mencampakkannya dan memarahinya di tempat futsal.
Aku melihat Nabila telah mengirimkan lima pesan berturut-turut begitu kubuka chat log. Aku menggeleng ketika melihat apa saja yang telah dia tulis sebagai pesan kepadaku.
Arfian, maaf ya.
Kamu masih marah sama aku?
Jawab dong.
Lo masih marah sama aku?
Ya sudah, lupakan saja yang aku tulis. Hapus saja
Terus? Darimana dia tahu LINE-ku? Padahal aku tidak meminta LINE-nya, apalagi dia tidak pernah meminta LINE-ku langsung. Oke, aku memutuskan untuk tidak menjawab pertanyaan yang terlontar dari pesan tertulisnya. Akan membuang waktu jika aku berurusan dengannya.
Andai saja semua yang kurasakan sekarang adalah mimpi, sebuah mimpi. Tapi ini kenyataan, aku masih bangun. Aku tetap saja tidak percaya kalau aku benar-benar jatuh cinta dengan si gadis brengsek itu.

Jujur, aku masih saja tidak percaya. Aku tidak percaya cintaku adalah seorang gamer seperti dia.

Comments

Popular Posts