While We Ran Away Episode 2 (Sneak Peek)
Hal yang Tak Kuketahui
“Eh,
Yoshi, besok lo kosong kan pulang habis ujian? Futsal yuk!” seru salah satu
teman sekelasku.
Besok,
ujian akhir semester memang akan berakhir, tentu ini jadi kesempatan agar bisa
melepas rasa penat dan panas sehabis berlama-lama pusing memikirkan belajar dan
mengeluarkan jawaban pada setiap soal. Tentu aku tahu setiap orang pasti akan
tercemar oleh rasa penat karena harus terus menerus belajar demi ujian, apalagi
lolos dari standar kelulusan.
“Yoshi?
Ikutan futsal enggak besok?” lelaki berkulit sawo dan berambut hitam agak
gondrong itu bertanya lagi padaku.
“Enggak
kayaknya,” jawabku.
“Ah!
Kok kagak sih? Lo kalau diajak futsal gitu aja jawabnya, lo jarang sih ikutan
futsal.”
“I-iya
juga. Gue … soalnya … harus ngejaga rumah sama adik.”
“Ah!
Santai aja lah! Paling ada nyokap lo yang jaga rumah, nyokap lo enggak kerja,
kan?”
“Entar
… gue pikirin dulu.”
“Nanti
LINE aja paling kalau lo bisa! Duluan!” temanku akhirnya pamit.
Kulihat
beberapa bangku di belakangku satu per satu mulai kosong, menurutku wajar,
sangat wajar. Pasti setiap siswa di kelasku pulang duluan karena tidak ingin
berlama-lama hang out sehabis ujian
berakhir, aku tidak tahu apa mereka juga akan langsung belajar atau malah malas
gerak di rumah, atau mungkin mereka bakal hang
out di tempat lain, mungkin sambil belajar.
Aku
bangkit dari bangku sambil mengambil tas ransel hitam. Aku memang salah satu
siswa yang duduk di bangku barisan depan, mungkin karena aku tidak ingin ikut
keributan siswa di barisan belakang, memang wajar.
Begitu
aku melangkah menuju pintu yang terletak di samping kanan, kulihat layar
ponselku menunjukkan pukul 11:05 dan notifikasi WhatsApp dari Ayah. Seperti
biasa, sehabis aku pulang sekolah, biasanya Ayah mengingatkan untuk menjemput
Sena, lebih sering kalau Ayah akan pulang terlambat.
***
Anak-anak
berseragam kemeja putih dan rompi merah berlalu meninggalkan halaman sekolah
yang kukunjungi. Di sini adalah di mana Sena bersekolah. Aku memang menunggu sambil
memegang setir motor di depan pintu gerbang sekolah.
Kulihat
beberapa anak begitu ceria dan berseri-seri berjalan bareng teman-teman mereka
sambil bercengkrama, ada juga yang seperti melompat-lompat mengekspresikan
kepolosan mereka, menginjakkan kaki pada lantai bebatuan abu-abu, mungkin
karena ujian akhir semester akan berakhir besok.
Kupandang
pintu gerbang sekolah berwarna merah yang diimpit pagar batu-bata merah terbuka
lebar. Seluruh anak-anak yang keluar dari halaman sekolah satu per satu menemui
orangtua atau masuk ke mobil jemputan. Salah satu mobil jemputan memang ada di
dekat sepeda motorku.
Sampai-sampai
aku juga memutar sebuah kilas balik waktu masih SD, aku memang harus naik
jemputan karena Ayah memang sibuk bekerja dan Ibu tidak bisa mengemudi mobil. Aku
kangen masa-masa saat aku bisa tersenyum lebar seperti anak-anak polos, begitu
menyenangkan.
“Kak!”
Sena membuyarkan lamunanku dari sebelah kanan.
“Oh!”
ucapku terkejut. “Kagetin aja, Sena.”
“Sena
ujiannya tinggal besok, Kak.” Aku bisa menatap senyuman lebar Sena begitu dia
berkata.
“Iya,
Kakak juga ujian terakhir besok.” Aku mulai bangkit dari tempat duduk motorku. “Nah,
pulang yuk. Enggak enak kalau lama-lama di sini.”
Aku
mulai mengangkat tubuh Sena untuk menaikkan dirinya menuju tempat duduk
belakang motor, tepat di belakangku. Agak berat jika kuangkat Sena
tinggi-tinggi. Ketika aku menempatkan Sena pada tempat duduk belakang motor,
aku tercengang ketika menatap sesuatu.
Sesuatu
yang sama persis ketika kulihat tadi malam, sebuah warna berbeda dari kulitnya,
kulit polosnya, aku tidak begitu tahu apakah warna itu merah kecoklatan atau
ungu keabu-abuan. Aku menyadari ada yang salah.
Aku
bertanya, “Sena, Kakak mau tanya. Ini kenapa ya?” Aku menunjuk warna itu pada bagian
belakang leher Sena.
“Yang
mana, Kak?”
“Yang
ini,” Aku menekan bagian warna berbeda pada bagian belakang leher Sena. “Sakit
enggak?”
“Oh.
Um … waktu itu … Sena kepeleset, Kak. Ibu … lagi ngepel. Sena-nya enggak hati-hati.”
“Gitu.
Kalau Ibu lagi ngepel, lain kali jangan lari-lari ya,” aku menasihati sambil
mengambil helm biru dari bagian bawah setir motor.
“Iya,
Kak,” ucap Sena ketika aku memakaikan helmnya.
“Gitu
dong!”
Aku
kembali duduk di depan setir motor dan memutar kunci seraya menyalakan mesin.
Kudengar suara seperti bebek menandakan mesin telah menyala. Kusuruh juga Sena
agar memegangku erat.
“Oh
ya, mau makan dulu enggak sebelum pulang?” tawarku.
“Um
… terserah.”
“Iya
deh. Kita makan dulu ya! Kakak yang bayar!” Aku mulai menginjak pedal gas untuk
meluncur dari halaman sekolah Sena meninggalkan trotoar menuju jalan aspal.
***
“Permisi,
Kak, pesanannya,” seorang pelayan wanita berseragam kaos hijau bercelemek hijau
membawakan pesanan berupa sekeranjang tujuh potong chicken wings, dan dua keranjang berisi nasi putih, serta setoples plastik
saus keju cheedar. “Silakan.”
Kami
sedang berada di salah satu restoran chicken
wings ternama, motif hijau menjadi bagian atas dari dinding depan yang
terbuat dari kaca. Dinding di dalamnya terbuat dari batu bata. Warna abu-abu menjadi
dominan pada dinding dekat kasir.
Aku
dan Sena duduk di meja dekat wastafel cuci tangan yang dibatasi oleh dinding batu
bata coklat. Kami duduk di bench berwarna
krem layaknya sebuah kayu dengan bantalan empuk warna abu-abu. Pesanan kami
mendarat di meja kayu kuning kecoklatan.
Kulihat masing-masing dari chicken wings yang kami pesan telah
terselimuti oleh bumbu barbeque berwarna
coklat, terlihat begitu krispi dan menggugah selera, apalagi bagi Sena yang
sudah tidak sabar ingin mencicipi chicken
wings itu.
Kubagi
chicken wings menuju masing-masing sekerajang
nasi. Kuberi Sena empat chicken wings,
dan untukku tiga chicken wings.
Kugunakan sendok dan garpu plastik untuk memindahkan setiap chicken wings menuju masing-masing keranjang
nasi.
“Sena,
makan dulu,” kubujuk Sena yang sedang bermain game di ponselku.
“Iya,
Kak,” ucap Sena.
Aku
mulai memotong satu chicken wings berbumbu
barbeque. Potongan kecil chicken wings itu kucocol pada saus keju
cheddar berwarna kuning. Begitu
potongan chicken wings barbeque bercampur
keju itu masuk ke dalam mulut, suara crunchy
bisa kudengar ketika mulai menggigitnya. Rasa asin manis dari bumbu barbeque pada chicken wings pun mendarat dan meresap pada lidah, tidak lupa
dengan rasa manis saus keju cheddar.
Kulihat
Sena begitu menikmati sesuap potongan besar chicken
wings yang telah dia cocol pada saus keju. Sampai-sampai dia menggigit
kulit crunchy chicken wings-nya
begitu keras.
“Enak
… banget, Kak!” ucap Sena.
“Iya,
emang enak banget chicken wings sini,”
ucapku blak-blakan.
“Emang
Kakak sering ke sini?”
“Sebenarnya
sekali sih, pas Kakak diajak ke sini sama teman. Ya, udah lama kita enggak
makan-makan di luar bareng Ayah sama Ibu nih. Jadi Kakak ngajak kamu ke sini
buat ngerasain chicken wings enak
ginian.”
“Oh
ya, Kak, kapan-kapan kalau ke sini lagi, bareng Ayah ya! Oh ya, Ibu juga!”
bujuk Sena.
“Iya,
kalau Ayah enggak sibuk ya. Terus … harus janji lho, Sena bakal belajar giat
malam ini, kalau nilai Sena bagus, mungkin Kakak bakal bilang sama Ayah buat
makan bareng di sini sekeluarga kapan-kapan. Janji ya?”
“Iya,
Sena janji,” ucap Sena sambil menikmati satu
chicken wing lagi sampai mulutnya mulai terselimuti bumbu barbeque.
Meskipun
aku menatap Sena menikmati setiap potong chicken
wing berbumbu barbeque, aku masih
saja memikirkan warna berbeda pada leher bagian belakang Sena. Mungkin Sena
memberitahuku kalau dia hanya terpeleset saat lantai sedang dibersihkan, tetapi
entah kenapa … aku merasa ada sesuatu yang lain di balik itu. Entahlah apakah
hanya perasaanku.
“Kakak
kenapa?” Sena membuyarkan lamunanku, mungkin karena aku berhenti makan sejenak.
“Oh,
enggak apa-apa, Sena. Makan aja. Habis ini, kita langsung balik ya! Kakak mau
langsung belajar buat besok.”
***
Begitu
lelah ketika aku harus berlama-lama menatap catatan pelajaran yang akan muncul
di ujian akhir besok. Mataku entah kenapa mulai menutup bersamaan dengan tubuhku
yang lemas. Mungkin aku mengantuk pada awal malam ini.
Kusudahi
belajar untuk ujian besok, tidak baik kalau harus terus memaksa otak untuk
menyerap semuanya saat sudah waktunya istirahat, mungkin kebanyakan dari
temanku akan menunggu hingga tengah malam tidak peduli lelah atau tidak hanya
untuk mengebut belajar semalaman.
Kututup
buku catatan salah satu pelajaran yang akan diujiankan besok, dua ujian terakhir
sebelum semester berakhir. Aku bangkit dari meja belajar dan melangkah menuju
tempat tidur. Entah kenapa, aku hanya ingin tidur meski aku harus belajar lebih
banyak lagi agar ujian besok dapat berjalan lancar.
Apa
boleh buat, tubuhku tidak dapat menahan kelelahan yang entah kenapa tiba-tiba
datang saat aku sedang belajar. Mungkin ujian tadi di sekolah benar-benar
menguras fisik dan mental, rumus-rumus yang begitu sulit untuk diterapkan
mungkin jadi pemicu energiku habis.
Aku
berbaring di tempat tidur, entah kenapa mataku langsung tertutup. Mungkin
karena terpicu kelelahan. Aku tidak begitu ingat lagi apa saja yang kulakukan
sebelum terlelap, aku tiba-tiba seperti kehilangan kesadaran begitu saja.
Aku
mendadak terbangun ketika mendengar suara keras, suara jeritan diiringi oleh
isak tangis pun meluncur menuju telingaku, entah ini seperti alarm pembangun tidur
atau bukan, perasaanku mulai merinding.
Hal
yang lebih parah ketika kudengar seorang ibu-ibu menjerit begitu keras, meluapkan
seluruh ledakan emosi terpendam. Kerasnya volume jeritan sang ibu bahkan
mencapai rumahku, kamarku sendiri.
“NGAKU
KAMU! NGAKU! KAMU YANG NYURI UANG, KAN!” jerit ibu-ibu itu
Kudengar
juga suara seperti cambukan, mungkin tebasan sapu lidi atau semacamnya yang
bisa dijadikan senjata hukuman. Jeritan korban, anak kecil, tidak berdaya
menghadapi hukuman ibu itu, tangisannya juga ikut meledak senada dengan jeritan
kemarahan ibu itu.
“SAKIT,
BU! SAKIT! AMPUN!”
“NGAKU!
NGAKU!”
Comments
Post a Comment