While We Ran Away Episode 4
Menerima Kenyataan
“Semester
ini project kita bisa dibilang
sukses, nge-dub sinetron ke bahasa
Inggris. Terus ada yang ngomong kalau project
kita semester berikutnya mesti bikin parodi sinetron berbahasa Inggris nih!
Kayaknya seru nih!” ucap ketua English
Club berjilbab putih yang berdiri membelakangi papan tulis menghadap setiap
anggotanya, termasuk aku.
“Wow!
Parodi sinetron nih! Gimana kalau kita bikin lucu-lucuan, seru tuh kayaknya!”
seru salah satu anggota lelaki.
“Rame
dong kalau kita main sinetron sendiri!” seru gadis berambut pendek berbando.
Sebenarnya,
alasan aku mengikuti English Club adalah
atas permintaan Ayah. Ayah selalu bilang masa depan seseorang pada zaman
sekarang akan lebih cerah jika menguasai bahasa Inggris. Memang, zaman sekarang
globalisasi benar-benar berpengaruh pada masa depan, terutama favorit remaja
saat ini, mulai dari game, drama
Korea, anime, hingga musik. Pengaruh globalisasi terhadap dunia kerja dan dunia
pendidikan tentu juga berlaku.
Kegiatan
English Club di sekolah diadakan di
salah satu ruang kelas, seperti ekskul lainnya, kecuali klub olahraga seperti
sepak bola, futsal, hingga basket. Pada siang hari, umumnya ruangan kelas
digunakan oleh ekskul tertentu, karena tidak ada ruangan khusus. Setidaknya,
ekstrakurikuler bisa jadi menambah atau mengurangi beban pada otak sehabis
kegiatan belajar mengajar di sekolah. Lumayan buat mengisi kegiatan sehabis
menyerap setiap pelajaran berupa teori berat yang menjadi beban berat di otak.
Sisi
positif lainnya, berkat mengikuti English
Club, nilai pelajaran bahasa Inggris-ku benar-benar tinggi, bisa dibilang,
nilaiku bersaing dengan beberapa murid ranking
atas yang biasanya memiliki nilai tinggi di setiap pelajaran. Sebenarnya,
aku aktif jika guru memberi seisi kelas pertanyaan atau setidaknya salah satu
dari kami memanfaatkan kesempatan untuk bertanya.
Tapi,
rapat English Club kali ini … aku
sangat tidak fokus. Aku masih terpikir bagaimana keadaan Sena, setelah melihat
kejanggalan yang terbukti pada warna sebagian kulitnya. Aku juga masih
membingungkan apakah Sena berkata jujur jika menjawab pertanyaanku. Apakah Sena
benar-benar memendam sesuatu yang tidak ingin dia ucapkan?
Apakah
Sena memang baik-baik saja? Mungkinkah … Sena adalah gadis yang menjerit
meminta ampun tadi malam?
Ah!
Kenapa aku jadi kepikiran begini? Tidak mungkin! Tidak mungkin Sena terluka
gara-gara itu! Tapi … kalau dipikir-pikir juga, luka gores pada Sena, terus …
semacam warna ungu atau abu-abu pada kulitnya, terutama bagian lengan dan
leher. Terlebih, Sena juga pingsan saat ujian tadi mau selesai.
“Tapi
kan … gimana kalau kita nge-dub sinetron
lagi? Ya, bisa dibilang ngebikin parodi sinetron sendiri, butuh biaya juga buat
properti,” ucap salah satu anggota perempuan mengangkat tangan.
Salah
satu anggota lelaki mengangguk setuju. “Benar juga. Iya, kan, Yoshi!” Dia
membuyarkan lamunanku.
“Eh?
Apa? Jadi … kita mau ngapain nih?” Benar-benar canggung, aku malah tersesat di
dalam lamunanku.
“Yoshi,
Yoshi, dasar. Lo kerjaannya melamun aja!” ucap ketua English Club. “Ya udah, kita mau antara nge-dub sinetron lagi atau enggak bikin parodi sinetron buat project semester depan. Jadi gimana
pendapat lo?”
“Uh—”
Sebenarnya
aku bukan penggemar sinetron sama sekali, nonton televisi juga jarang. Sering
sekali aku melihat keluhan mengapa sinetron negeri ini begitu buruk jika
dibandingkan dengan drama Korea atau Barat di media sosial maupun dalam
percakapan di sekolah.
“—mending
kita nge-dub lagi aja, benar tuh,
kalau bikin parodi, syutingnya bikin repot, terus propertinya juga harus
seakan-akan seperti sinetron benaran.”
“Oke,
ada yang ikutan setuju?” seru ketua English
Club.
Ya,
kulihat mayoritas dari anggota English
Club mengangkat tangan, menyetujui usul agar kami menge-dub sinetron ke dalam bahasa Inggris,
sama seperti semester ini. Berbicara tentang sinetron, entah kenapa, aku
kepikiran tentang perebutan harta, ibu mertua, hingga ibu tiri. Ibu mertua dan
ibu tiri lazimnya menjadi antagonis dalam sinetron, atau kalau lebih mendekati,
cerita dongeng sekali pun. Mungkin saja, penikmat cerita, terutama anak kecil,
terpikir tentang stereotip bahwa ibu tiri benar-benar jahat.
Tentu
saja di dunia nyata hal itu tidak mungkin terjadi, tidak seperti stereotip yang
sering digunakan dalam cerita, ibu tiri sebenarnya tidak jahat, melainkan ingin
mencoba agar bisa menyayangi anak tirinya sebaik mungkin. Aku juga pernah
cerita pada Sena ketika Ayah menikahi Wilhelmina. Aku memastikan kalau
Wilhelmina tidak akan menjadi ibu tiri yang jahat seperti di cerita. Aku juga
pernah berkata kalau hal itu hanyalah sebuah cerita rekaan.
Tapi
… mengingat akhir-akhir ini, kejadian pada Sena … aku … malah terpikir yang
tidak-tidak soal Wilhelmina, ibu tiriku. Apakah mungkin kejadian semalam ….
Tidak! Ini dunia nyata, tidak mungkin ibu tiriku akan melakukan sesuatu yang
tidak-tidak pada Sena.
Aku
bisa memastikan kalau ibu tiriku berusaha sebaik mungkin untuk menjadi ibu
kami, setidaknya level kasih
sayangnya sedikit mendekati. Aku juga bisa memastikan kalau ibu tiriku memang
berusaha sebaik mungkin agar menyayangi Sena dan diriku layaknya seperti
mendiang ibuku.
Kalau
Ibu masih ada, apakah keadaan akan menjadi berbeda? Aku hanya berharap yang
terbaik bagiku dan Sena, begitu juga dengan Ayah.
“Ngelamunin
apa, Yoshi?” sahut salah satu anggota lelaki English Club.
“Eh?
Apaan?” ucapku sambil meninggikan nada.
“Ciyeee!!”
seru mayoritas dari anggota English Club.
“Jangan-jangan punya kecengan ya?”
“Siapa
yang punya kecengan coba?” bantahku.
“Udah
deh, fokus!” seru ketua English Club yang
tidak ingin lama menunggu keputusan. “Semester lalu kan kita pilih episode dari
BMBP-nya Prilly, kan? Jadinya mau
pilih yang mana? Mau BMBP lagi? Atau
yang lain?”
“Siapa Takut Jatuh Cinta aja! Kan lagi booming!” seru cewek yang rambutnya
diikat seperti ekor poni.
“Eh?
Lo sering nonton ya?” ledek salah satu cowok.
“Iya
lah! Masalah buat lo!”
Ya,
perdebatan memilih sinetron yang akan kami dub
berujung saling sindir, kenyataannya, beberapa dari anggota English Club rutin menonton sinetron
harian kejar tayang, padahal, banyak juga yang bilang kalau sinetron seperti
itu kualitasnya … jangan tanya.
Akhirnya,
rapat kami selesai, meski saling sindir menjadi main event-nya, beginilah jika berurusan dengan sinetron negeri
ini, ada yang pro, ada yang juga kontra. Berjalan begitu lama.
“Baiklah,
sudah cukup untuk hari ini! Kita bakal nge-dub
salah satu episode Siapa Takut Jatuh
Cinta ke bahasa Inggris ya! Nanti bakal di dub-nya kemungkinan pas liburan ya! Terima kasih sudah datang!”
Syukurlah,
sudah selesai. Kuambil ponsel dari saku celana. Terlihat beberapa notifikasi
LINE, baik itu dari grup maupun dari teman bangku sebelahku. Seperti biasa, dia
tidak pernah bosan untuk mengajakku ikut futsal, semua murid di kelasku akan ke
tempat futsal.
Ya
sudah, mungkin … aku akan mencoba menikmatinya, mumpung habis ujian salah satu
pelajaran tersulit di sekolah. Aku juga ingin membebaskan diri dari pikiran
negatif yang kudapat setelah memikirkan luka pada lengan Sena. Sebenarnya aku
juga dapat pesan WhatsApp kalau Ayah akan pulang lebih awal untuk menjaga Sena.
Sena mungkin butuh Ayah untuk saat ini.
Aku
membalas pesan LINE dari teman bangku sebelah kalau aku akan ikut futsal,
setidaknya, sekali-kali aku ikut kegiatan bareng teman-teman, suka atau tidak.
Aku akan coba menikmatinya, demi mengalihkan perhatian.
***
Tidak
kusangka, futsal bareng teman bakal begitu lama, mungkin karena banyak kelas
yang mengikuti futsal sehabis ujian berakhir. Wajar saja, salah satu teman
sekelasku menyewa lapangan futsal dalam waktu lama. Setiap kelas bergantian
bermain futsal sekaligus menonton dan menyoraki. Kebanyakan, termasuk diriku,
telah mengganti baju agar tidak terjebak dalam penatnya seragam sekolah. Aku
mengenakan kaos oranye dan celana training
panjang putih agar lebih leluasa bermain futsal.
Kudengar
suara tendangan begitu keras hingga aku harus memalingkan wajah, mengira kalau
bola akan keluar lapangan dan mengenai tepat pada wajah. Beruntung, setiap
lapangan futsal terlindungi oleh dinding ikatan tali. Biasanya, kalau main
sepak bola atau futsal, aku paling takut kalau bola mengenai tepat pada wajah.
Waktu
demi waktu, jam demi jam telah berlalu hingga jam lima sore, entahlah, aku
merasa tidak enak kalau pulang lebih awal, meninggalkan tempat futsal lebih
dulu, apalagi tanpa pamit sama sekali.
Aku
memang masih terpikir pada kejanggalan antara kenyataan pada Sena dan
ucapannya. Bahkan, ketika aku ikut main futsal hingga tidak berkonsentrasi.
Pikiran itu terus mendominasiku entah kenapa.
Entahlah,
aku merasa ada sesuatu yang akan terjadi di rumah. Itulah pikiran yang selalu
menusukku akhir-akhir ini, terutama setelah semalam saat aku mendengar bentakan
ibu-ibu dan jeritan anak kecil meminta ampun. Tusukan pikiranku sampai harus
membakar seluruh perasaan senangku ketika teringat pada sesuatu yang terlihat
pada tubuh Sena.
Aku
bangkit dari tempat duduk, tanpa sengaja kuhentakkan langkah seraya mengalihkan
perhatian yang lain. Aku menatap mereka sambil pamit, “So-sorry. Gue … ada urusan
di rumah.”
“Eh?”
Teman bangku sebelahku melangkah mendekati. “Bentar lagi kan main lagi.”
“Ya,
sebenarnya gue pengen main lagi, ya mau gimana lagi, gue lupa ada urusan di
rumah. Gue duluan!”
Aku
begitu cepat mengambil tas dan berlari menuju pintu keluar, kuhentakkan langkah
kaki keras, karena terburu-buru. Firasatku membuatku sangat impulsif. Aku
bodoh! Bodoh! Kenapa aku tidak langsung pulang sehabis rapat English Club? Kenapa aku menghabiskan
waktu lebih lama untuk bermain futsal?
Aku
mendekati motor dan buru-buru memutar kunci untuk menyalakan mesin. Kupasang
helm sebelum menaiki motor dan mulai mengendarai. Aku berangkat dari tempat
futsal dengan kecepatan tinggi, karena kekhawatiranku terhadap Sena. Kuharap
Sena baik-baik saja.
***
Tidak
ada mobil terparkir di garasi rumah, berarti Ayah belum pulang, meski langit
telah menunjukkan warna oranye, pertanda warna hitam akan segera tiba menguasai
seluruh langit untuk sementara. Lampu teras rumah juga belum menyala ketika aku
sampai, seperti kegelapan tengah menguasai halaman depan rumah.
Kuparkirkan
motor di depan halaman rumah, kulepas helm begitu cepat hingga harus terbanting
karena terburu-buru. Aku membuka kunci pintu seperti sedang memaksa mendobrak
pintu. Kubanting pintu ketika aku membukanya dan memasuki rumah.
Lampu
sama sekali belum menyala pada setiap ruangan rumah, termasuk ruangan depan. Jendela
juga masih belum tertutup oleh gorden, meski keadaan rumah sudah mulai gelap. Kulihat
juga setiap pintu kamar tertutup rapat.
“Bu?
Sena?” panggilku sambil meletakkan tas di sofa menghadap jendela depan. “Sena?”
Kamar
Sena berada di sebelah kamarku, yakni di samping kanan ruang makan. Tidak perlu
mengunjungi kamarku lebih dulu, aku mendobrak pintu kamar Sena agar memastikan
dia baik-baik saja, aku merinding ketika bertanya-tanya dalam hati apakah Sena
sedang pergi atau hanya sedang berada di kamar.
Ketika
kubuka lebar pintu kamar Sena, aku … tidak bisa berkata-kata. Aku sempat menghentakkan
kaki keras memundurkan langkah. Aku menggelengkan kepala tidak percaya apa yang
kupikirkan telah menjadi kenyataan.
Selama
ini … luka pada Sena yang kulihat dari kemarin, mungkin saja … berkaitan dengan
kejadian kemarin malam. Kulihat Sena tengah tergeletak tidak berdaya di dekat
tempat tidur. Beberapa barang di kamarnya berserakan di lantai.
“Sena!”
Kepanikan sudah menggerogoti tubuhku ketika menatap Sena sudah seperti ini. Kutepuk
tangannya pelan untuk membangunkannya. “Sena? Sena?”
“K-kakak,”
jawab Sena sambil meneteskan air matanya, napasnya juga terengah-engah menahan
rasa sakit dan ledakan kesedihan. Aku bisa menatap Sena sedang menangis sambil
berbaring tidak berdaya.
“Sena,
kenapa? Siapa yang ngelakuin gini?”
“I-I-Ibu
… A-A—” Belum sempat Sena menyelesaikan jawabannya, mendadak, dia menutup mata.
Tubuhnya mendadak kehilangan kendali dan kesadaran.
“Sena!”
jeritku sambil kembali menggoyangkan tubuh Sena. “Sena, bangun! Sena!”
Berapa
kali kugoyangkan tubuh Sena, dia sama sekali tidak merespon. Dia benar-benar
pingsan. Jantungku penuh dengan adrenalin dalam arti buruk. Ini benar-benar
serius. Kenapa pikiranku malah jadi kenyataan?
Kuambil
ponsel dari saku celana dan cepat-cepat menekan gambar gagang telepon pada
layar. Kutelepon 118 demi bantuan. Napasku terengah-engah ketika menunggu respon
dari operator 118 yang mengangkat telepon.
“118, ada yang bisa saya bantu?”
Aku
panik berkata, “Halo! Aku butuh ambulans! Adikku, adikku—"
Comments
Post a Comment