I Can't Believe My Love is A Gamer Episode 26
Poison AND OR Affection
Tidakkah Abi dan Oktavian tahu kalau
menguping itu sebenarnya tidak sopan? Apalagi menguping percakapan di ruang
guru. Jangan bilang mereka ikut penasaran apa urusan keluarga yang harus Nabila
hadapi.
Terpaksa
aku harus ikut mendengar percakapan itu, sekadar ikut-ikutan kedua sahabatku
yang bodoh ini. Inikah termasuk sebuah stereotip? Apakah menguping percakapan
merupakan stereotip yang seharusnya tidak dilakukan di dunia nyata? Apakah
mereka memang terinspirasi dari sebuah drama televisi?
Penasaran
dengan apa yang terjadi pada Nabila? Kenapa tidak begini saja? Alih-alih
menguping, mending bertemu dengannya langsung, lalu bicarakan baik-baik. Tidak
perlu sampai menguping segala, sudah melampaui batas kesopanan.
“Lho?”
bisik Oktavian. “Katanya dia mau pindah sekolah.”
“Pindah
sekolah? Kenapa? Dia enggak nyaman di sekolah ini?” ungkap Abi.
Sebenarnya
aku sudah bisa menebaknya, dia sudah tidak nyaman karena diriku, diriku yang
mempermalukannya. Aku lega aku tidak perlu melihat gadis brengsek itu lagi. Dia
tidak dapat menggangguku saat bermain lagi, sama sekali. Tidak perlu ada
panggilan tukang RCT padaku.
“Bukan,”
ucap Oktavian. “Keluarganya emang mau pindah ke luar negeri.”
“Ke
luar negeri? Maksud lo?”
“Iya,
katanya sih mereka mau pindah ke pulau Jeju di Korea lho.”
“Hah?”
ucapku.
Oke,
aku tidak percaya. Kelegaanku mendadak berubah menjadi sebuah rasa yang lain.
Aku tidak bisa membicarakannya, aku tidak bisa mendeskripsikannya seperti apa.
Yang jelas, aku sama sekali tidak menginginkan rasa ini.
Aku
menolak rasa ini, aku … memang tidak mau berurusan lagi dengan gadis brengsek
itu. Aku sudah senang mendengar kalau Nabila akan menyingkir dari kehidupanku,
tapi kenapa hal ini tidak dapat kutolak? Perasaan macam apa ini? Kenapa aku
malah tidak ingin dia pindah ke luar negeri? Aku bingung! Benar-benar bingung!
***
“Hah?
Lo bakal pindah?” ujar Fatin dan Vera bereaksi ketika Nabila memberitahu saat
istirahat di kantin, terpaksa aku harus ikut, gara-gara Oktavian dan Abi.
“Iya,
gue manggil lo semua biar pada tahu. Habisnya sih, Fatin bilang cowok pada
nanyain, kan?”
“Terus
lo mau pindah kemana sih?” tanya Vera.
“Ke
Jeju.”
“Jeju
Island!” sahut Fatin. “Lo bakalan ke
Korea! Ih! Kok jahat banget sih lu!”
“Kok
ngedadak banget ngasih tahunya? Habisnya lo ngedadak sih!” ujar Vera.
“Ih!
Lo enak bakal bisa ketemu sama Siwon! Terus BTS, terus Lee Minho, terus Lee
Jong Suk!” Fatin sampai-sampai mention beberapa
idol K-Pop atau aktor asal Korea.
“Jadi
gini, bokap gue dimutasi ke sana, katanya sih gajinya lebih gede daripada yang
di sini. Mau enggak mau, gue sekeluarga harus pindah, bukan cuma biar tetap
tinggal bareng, tapi demi masa depan gue juga. Gue juga masih pelajar.”
“Ooh…,”
ucap Oktavian.
Aku
sama sekali tidak berkata apapun, tidak sama sekali, hanya menyaksikan apa yang
harus terucap oleh teman-temanku, terutama Nabila si gadis brengsek. Entah
mengapa, lagi-lagi perasaan yang sama persis seperti kemarin muncul ketika
kudengar alasan mengapa Nabila harus pindah ke Jeju Island di Korea Selatan.
Fatin
mulai menangis bombay. “Ih! Lo kenapa
sih! Lo pasti bakal enak hidup di sana! Gue iri sama lo! Lo bisa ke Seoul buat
nonton acara K-Pop lah!” Tentu alasannya cukup salah.
“Udah,
Fatin,” Vera mengusap punggung Fatin. “Ini semua udah keputusan keluarganya kok.
Nabila juga enggak keberatan sama keputusan orangtuanya. Dia rela ninggalin
kita di sini buat ke Seoul.”
“Jeju,
Neng,” koreksi Abi.
“Oh,
Jeju,” Vera tersipu malu.
“Terus,
lo ngapain ke sekoklah kalau mau pindah?” tanya Abi.
“Gue
enggak ikut kelas kok, gue cuma ngurusin surat keterangan pindah sekolah kok.”
“Terus
urusan paspor lo gimana?” tanya Abi.
“Lo
pergi kapan?” tanya Oktavian.
“Udah
diurusin kok, gue juga pernah ke Jepang, urusan bisnis bokap sekalian liburan.
Sabtu ini gue berangkat,” Nabila dengan cepat menjawab pertanyaan kedua
sahabatku.
“Hah!
Kok cepat kali?” ucap Fatin heran.
“Katanya
sih awal Desember biar siap-siap dulu terus mulai.”
“Eh,
udah bel tuh!” Vera menunjukkan begitu bunyi bel pertanda istirahat telah
berakhir dibunyikan. “Balik ke kelas lah! Daripada guru pada nyariin.”
“Lo
gimana, Nabila?” tanya Fatin.
“Gue
kayaknya ke ruang guru buat nyelesaiin urusan, kemungkinan bakal langsung
pulang.” Nabila bangkit. “Gue duluan ya.”
***
Begitu
malas, guru dua pelajaran sebelum pulang malah tidak masuk. Memang seharusnya
aku begitu senang karena tidak perlu berurusan untuk pelajaran saat ini.
Tetapi, entah kenapa rasa itu kembali, rasa yang kudapat dari kemarin ketika
mencuri dengar percakapan orangtua Nabila dan para guru.
Aku
tidak ingin terkepung oleh perasaan ini! Aku tidak mungkin merasakan hal ini!
Sudah jelas kuanggap kalau Nabila jelas-jelas gadis brengsek penuduh RCT. Hal
yang paling kuingat ketika dia mengganggu hidupku, setiap aku ke game center, setiap aku bertemu
dengannya, hingga akhirnya dia malah berpura-pura pacaran demi menghancurkan
ketenanganku.
Kenapa
aku tidak bisa menghentikan atau menghapus perasaan ini. Tidak mungkin! Tidak
mungkin!
Kuputuskan
untuk mengalihkan perhatianku sambil mendengarkan musik lewat aplikasi music player. Lagi-lagi ku-shuffle semua lagu di hpku agar random. Lagu pertama yang kudengarkan
adalah Poison AND OR Affection karya
LeaF.
Ya,
BPM-nya berubah-ubah secara konsisten selama lagu berlangsung, itu seperti yang
terlihat ketika gameplay Lunatic Rave 2 memainkan
lagu itu. Meski begitu, lagu itu tetap enak ketika meluncur ke telinga.
“Melamun
aja lo!” Oktavian sontak mengagetkanku. “Lo diam aja pas Nabila bilang bakal
pindah. Lo kenapa?”
Aku
membantah, “Enggak kok. Gue enggak apa-apa.”
“Lo
jujur aja deh, Arfian. Lo emang awalnya enggak suka sama si Nabila, kan? Kenapa
lo enggak senang sekarang? Nabila, kan—”
“Udah,
lo keterlaluan ngomongnya!” bantahku lagi.
“Arfian,
lo enggak boleh gitu dong. Meski lo putus sama hubungan pura-pura dia karena
benci, lo enggak boleh nyimpan dendam sama benci gitu dong. Kan enggak enak
kalau kependam terus lah. Ya, mending jadiin benci jadi cinta, ya enggak cinta
benaran sih, tapi cintanya sebagai teman aja.”
“Lo
ngomongnya gitu, emang lo udah move on dari
Vera?” Abi mengganggu ucapan Oktavian.
“Dia
emang udah punya pacar kok!” bantah Oktavian.
“Seenggaknya
belum kawin kan?”
“Emang,
gue bisa ngerebut dia selama belum nikah? No
way! No way! Lama-lama dia dapat
gebetan baru, ya bukan gue. Soalnya sih gue ditolak sama dia. Gue juga enggak
laku-laku sama cewek.”
“Ya
elah, lo kan sering ngegoda mereka lah! Dasar playboy lo! Pantas aja lo enggak laku-laku!”
“Iya
deh, diam!” seru Oktavian. “Oh ya, Arfian, mau ke game center enggak pas pulang sekolah.”
“Whoa!
Tumben enggak ngajak ke rental PS lo.”
Aku
menjawab, “Iya, boleh.”
“Nah,
gitu dong!” seru Oktavian seraya menepuk bahuku. “Biar semangat lagi lo!”
Aku
benci mengakuinya, tapi Oktavian mungkin ingin menghiburku setelah mendengar
kabar kalau Nabila akan pergi ke Jeju, Korea Selatan. Setidaknya aku ada teman
untuk bermain bareng di game center,
bukan game PS, bukan futsal, tapi game arcade. Mungkinkah dia ketagihan
main Danz Base atau Just Dance?
Sialan,
kenapa dari tadi aku tidak bisa menghindari perasaan ini? Aku sudah puas
melihat Nabila ingin menghilang dari hidupku. Aku juga sudah senang Nabila akan
pergi jauh-jauh dari kota ini. Aku tidak percaya aku tidak bisa menghilangkan
perasaan yang terpendam ini!
“Lo
dengarin apa sih?” Oktavian lagi-lagi kepo dengan lagu yang sedang kudengarkan.
“Ah!
Kepo lu!” bantahku.
Poison AND OR Affection lagi-lagi
kuputar, demi mengalihkan seluruh perasaan ini ke tempat sampah alias recycle bin di otakku. Perasaan ini
terus mengganjal sejak melihat Nabila lagi.
Kuharap
dengan ke game center sepulang sekolah
aku tidak perlu memikirkan hal ini lagi. Aku sudah puas dengan hidupku tanpa
perlu terganggu oleh gadis brengsek penuduh tukang
RCT itu.
***
“Ah!
F!” seru Oktavian ketika dia dan Abi mendapat grade F di stage pertama Pump It Up.
Mereka
mungkin sudah terlalu sombong, menganggap kalau level satu sampai lima itu buat bayi atau anak kecil. Pada stage pertama, mereka sudah memilih Up & Down-nya EXID level sembilan single.
Aku
menggeleng dengan khusyuk dan meninggalkan Pump
It Up menuju mesin Sound Voltex.
Aku ingin menghindar dari kelakuan bodoh kedua sahabatku itu. Lebih baik aku
bermain Sound Voltex yang masih
memiliki lebih banyak lagu anti-mainstream.
Begitu
aku tiba di pintu game center, dimana
mesin Sound Voltex berada, ah,
lagi-lagi Nabila. Bukannya dia sedang mempersiapkan diri untuk pindah? Dia
malah main Sound Voltex di sini!
Kulihat
dia bermain lagu Independent Sky GRAVITY
level 17, lagu yang waktu itu dia track
crash ketika berhadapan denganku. Ya, kulihat dia sudah berkembang lebih
jauh memainkan lagu itu. Bahkan, effective
rate dia mulai mendekati 70 persen.
No
one can deprive of your shining future, mind
If
we lose the fight, darkly world will wait for us
Only,
you will harbor a hopeless at the world
Get
up and grab the victory just now
Save
the world genwaku no yami ni shihai sarenu you ni
"shout" kowareru
kurai omoi no kagiri
Over
sky daitan ni ibara wo kugurinuketa nara
Atarashii
jidai wo hiraku tobira ni deausa Be One
Mayowazu
Be Brave, fire up your heart
<I will
complete the mission,
I
wanna take back human rights>
TRACK
COMPLETE
Setidaknya
dia berhasil clear lagu itu dengan rank AA, sebuah perkembangan besar untuk
dia. Tidak seperti waktu itu, ketika dia gagal clear lagu itu.
Ketika
dia selesai bermain, dia memandangku. Apakah dia akan memanggilku sebagai Tukang RCT atau Sayang?
“Arfian.”
Tak
kusangka, dia memanggil namaku, untuk pertama kalinya. Aku benar-benar tidak
berharap hal ini.
“Ini
terakhir gue main di sini. Jadi gue pengen sekadar bikin kenang-kenangan di
sini. Di Jeju juga ada game center kayak
gini, gua enggak tahu. Bisa aja enggak ada Sound
Voltex atau enggak game-game dari Jepang.”
“Oh,”
aku menganggapi.
“Ya,
gue bakal ngerinduin semuanya, semua hal yang ada di sini. Sekolah, game center, rumah, sama gimana semuanya
yang ada di sini. Lo … seenggaknya udah mau berusaha buat ngejauh dari gue. Gue
tahu lo keganggu sama kelakuan gue, kan?
“Jadi,
gue mau minta maaf kalau selama ini gue ngeganggu lo. Gue sampai nuduh lo tukang RCT, terus pura-pura jadi pacar
lo biar ngeganggu hidup lo. Gue tahu gue sendiri salah sama lo. Gue mau minta
maaf, benaran. Enggak ada lagi tension di
antara kita.”
Aku
terdiam ketika mendengar permintaan maaf Nabila. Aku tidak menyangka dia akan
meminta maaf padaku, meskipun aku benar-benar membencinya, sungguh membencinya.
“Ya
udah, gue duluan ya. Gue balik ke rumah, mau siap-siap.”
“Iya,
hati-hati,” aku tidak bisa berkata apapun lagi untuk berpamitan.
Ketika
kulihat Nabila berbalik dan berlalu dariku, perasaan itu kembali datang.
Kenapa? Kenapa?
Tidak
mungkin aku punya perasaan khusus untuk Nabila meski aku membencinya, setelah
apa yang kulakukan padanya. Tidak mungkin! Aku tidak percaya kalau aku punya
perasaan padanya!
Is this Poison AND OR Affection?
Comments
Post a Comment