While We Ran Away Episode 1 (Sneak Peek)
Prologue
“Yoshi!
Halo?”
“Halo,
Yah?”
“Yoshi,
ibumu … ibumu … ibumu meninggal … dalam … kecelakaan ….”
Hari
itu … hari itu menjadi hari yang paling menyedihkan dalam hidupku. Aku menerima
telepon dari ayah ketika jam istirahat di sekolah berlangsung. Aku hanya sedang
duduk di bangku sambil bermain ponsel sebagai melepas penat sehabis pelajaran
pertama.
Begitu
aku mendengar kata meninggal, aku …
terdiam, tidak ingin menerima hal ini terjadi. Kenapa … kenapa ibuku harus
meninggalkan kehidupanku? Kenapa harus tiba-tiba seperti ini? Aku tidak ingin
menghadapi kenyataan kalau jadi begini!
Kukeluarkan
air mata sambil menaruh ponsel di atas meja. Napasku terasa begitu sesak ketika
menghadapi sebuah kenyataan pahit. Aku malah bertingkah bodoh, bukannya
menerima kenyataan, tetapi aku menolaknya. Semakin kuat kutolak kenyataan itu,
semakin sesak hatiku.
Otakku
juga ikut seperti dipenuhi badai, pusing. Aku menggeleng sekali lagi sambil
menolak kenyataan bahwa ibuku telah meninggal dunia akibat kecelakaan.
“Yoshi,
lo kenapa?” tanya teman bangku sebelahku.
Aku
tidak ingin menjawab, aku hanya ingin menangis, menangis sekeras-kerasnya. Aku
tidak ingin ibuku pergi untuk selamanya tanpa mengucapkan selamat tinggal.
Tapi,
kehidupan nyata tidak bisa kuatur sama sekali, sebuah hal yang tidak terduga
pasti akan terjadi, entah itu keajaiban, kedatangan, atau kehilangan. Begitu
menyakitkan kalau hal tidak terduga adalah kehilangan orang yang paling
kusayangi, ibuku. Padahal, waktu itu … aku masih kelas 3 SMP.
Tidak Ada Yang Sama Lagi
Entah
kenapa, waktu memang terasa begitu cepat berlalu, setiap peristiwa terjadi
begitu saja tanpa ekspektasi apapun, seperti saat ayah mengurus diriku dan
adikku seorang diri. Begitu sulit mengurus anak-anak apalagi sudah ditinggal
ibu, memang terasa kurang di rumah.
Sejak
aku menginjak masa SMA, yang ayah percaya kalau aku sudah bisa bertanggung
jawab, kami berdua membagi tugas yang seharusnya seorang ibu kerjakan. Kadang,
aku hanya bisa lebih fokus mengerjakannya saat akhir pekan, seperti biasa,
mencuci, membersihkan, hingga membereskan rumah.
Tetap
saja, meski kami berdua mengerjakan segalanya di rumah, kami kekurangan sosok
sang ibu. Aku yakin adik perempuanku tetap membutuhkan figur sang ibu sebagai role model dan orang yang bisa diajak
bicara, aku tahu perempuan punya urusan rahasia yang harus mereka sembunyikan
dari laki-laki.
Aku
tahu, akhir-akhir ini ayah memang sibuk dengan pekerjaannya sebagai pejabat
politik, politik, ya, aku tidak peduli dengan politik sama sekali, entah
kenapa. Sering sekali ayahku pulang larut karena padatnya kemacetan di ibu kota
ketika perjalanan menuju rumah. Kadang juga, ayah pulang larut karena ada rapat
membahas urusan politik, tentu saja, politik, demi masa depan negara.
Karena
itu, sejak aku menginjak bangku SMA, ayahku membelikan motor bukan hanya
sebagai transportasi untukku, tetapi juga memasangkan sebuah tanggung jawab
sebagai grown-up, kugunakan
sebagaimana mestinya secara bertanggung jawab, jangan main kebut, jangan naik
motor tengah malam.
Karena
ayah sering sekali pulang malam, aku juga harus menjemput adikku sepulang
sekolah. Ya, karena tidak ada pembantu di rumah sama sekali, jadi beginilah
kehidupan keluargaku. Aku juga rela bolos sekolah kalau adikku jatuh sakit dan
tidak bisa pergi ke sekolah. Ya, sebenarnya tetangga juga sering merawat adikku
yang jatuh sakit agar aku bisa pergi ke sekolah seperti biasa, tapi tetap saja,
aku tetap khawatir pada kondisinya.
Kerepotan
itu … di rumah … akhirnya harus teratasi ketika ayahku membawa seorang wanita
ke rumah. Ayahku tidak pernah bercerita tentang wanita itu padaku sebelumnya,
apalagi adikku, sama sekali. Ayahku bilang kalau dia bertemu ketika acara rapat
politik. Ayahku ingin menikah sekali lagi dan menjadikan wanita itu sebagai ibu
pengganti kami.
Aku
memang berharap agar kehidupan keluargaku bisa lebih baik sejak kedatangan
wanita itu sebagai ibu pengganti kami. Tapi … mungkin tidak sama seperti dulu,
memang berbeda rasanya. Seperti kata pepatah, nothing can change the original one.
***
“Yoshi!
Makan malam yuk!”
“Iya,
Yah!”
Sudah
sekitar tiga bulan setelah pernikahan kedua ayah, beruntung, ayahku
kadang-kadang bisa pulang lebih cepat daripada sebelumnya. Entah karena dia
ingin bertemu ibu baruku, memang terlihat jelas. Dia begitu menikmati
menghabiskan waktu luangnya bersama ibu baruku, ya, sering terlihat saat makan
malam.
Hal
yang akan kulihat akan menjadi salah satu contoh begitu mesranya ayah dengan
ibu baruku. Memang biasa bagi pemuda zaman sekarang, tapi orang dewasa? Aku
bahkan tidak tahu kalau orang dewasa zaman sekarang juga bersikap seperti itu,
layaknya memuaskan rasa kangen seperti ketemuan date dan pacaran.
Sebelum
ayah memanggilku, aku hanya melihat diriku menggunakan ponsel kamera depan. Aku
memang tidak suka selfie seperti
kebanyakan pemuda zaman sekarang, tapi hanya kali ini aku menggunakan kamera
depan untuk bercermin sambil berbaring di tempat tidur.
Kulihat
diriku memakai kaos oblong putih, rambutku sedikit berantakan mungkin karena
aku malas gerak sepulang sekolah. Ya, rambutku pendek, kebanyakan orang bilang
rambutku agak spiky, mungkin orang
juga bilang warna rambutku hitam kecoklatan. Entah kenapa, aku tidak mendapat
komplain dari guru gara-gara warna rambutku. Aku juga ingat bola mata coklat
yang kumiliki berasal dari ibuku.
Aku
bangkit dari tempat tidur begitu ayah memanggil dari luar. Pandanganku tertuju
pada meja belajar penuh buku terlebih dahulu sebelum menatap pintu di
sebelahnya. Meski ayahku seorang politikus, aku hanya minta kamarku sesederhana
mungkin, tidak banyak perabot yang kumiliki di kamar, selain meja belajar,
lemari pakaian juga berdiri di sebelah tempat tidur. Aku tidak suka
berlebih-lebihan dalam segala sesuatu.
Aku
melangkah mendekati pintu dan membukanya. Kulihat seluruh keluargaku, ayah, ibu
dan adik, telah duduk mennghadap meja makan, menungguku. Biasanya, tidak ada
yang boleh makan sebelum seluruh keluarga berkumpul menghadap meja makan, meski
hidangan sudah terletak di meja makan, mau itu masakan sendiri, take away dari restoran, atau delivery.
Kali
ini, lagi-lagi delivery, entah karena
orangtuaku malas untuk masak atau tidak, aku tidak tahu. Kulihat sudah tersedia
sebungkus ayam goreng kremesan coklat keemasan ditambah sambal lalap, tentu
nasi putih ibuku yang membuatnya sendiri dari nol.
Begitu
aku duduk, ayahku mempersilakan setiap anggota keluarga agar mengambil sepiring
nasi dan ayam kremesan itu. Kedua orangtuaku yang duluan mengambil demikian,
aku hanya memperhatikan setiap detil bagaimana keluargaku mengambil makan
malamnya.
Pertama,
mereka mengambil nasi secukupnya sesuai dengan selera makan. Kedua, mereka
mengambil sepotong ayam sekaligus kremesnya menuju piring. Setelah itu, aku
juga melakukan hal yang sama.
Ketika
aku mengambil makan malam, kutatap sekilas adik perempuanku, Sena. Aku menatap
dia hanya menatap ke bawah. Apakah adikku memang sedang menyembunyikan sesuatu?
Apakah adikku yang berambut panjang itu sedang menyembunyikan sesuatu di dalam
hatinya?
Ayahku
yang berkacamata itu membujuk Sena, “Ayo makan, Sena.”
Sena
menggeleng sambil menundukkan kepala. “Enggak. Sena enggak lapar.”
“Sena,
ya harus makan dong. Ayo makan. Kalau enggak makan, entar enggak bisa tidur
lho. Lapar lho pas malam,” ayahku menggunakan sugesti agar Sena mau makan. “Ayo
ambil sendiri ya makannya.”
Sena
tetap bersikukuh tidak ingin makan, piringnya juga masih kosong melompong. Aku
jadi tidak enak juga begitu menatap adikku bersikukuh tidak lapar.
“Sini,
Ibu ambilin ya,” ibuku mengambil piring Sena agar dia bisa mengambilkan seporsi
nasi dan ayam kremes untuknya. “Ya, enggak boleh gitu dong. Kok enggak mau
makan sih? Kan Sena juga butuh makan, kalau enggak makan entar sakit lho. Kalau
sakit, ya enggak enak, kan?”
“Tuh,
Sena,” ucap ayahku. “Benar kata Ibu lho.”
“Ini,
Sena.” Ibuku menyerahkan sepiring nasi dan ayam kremes pada Sena. “Ayo makan,
ya.”
“I-iya,
Bu,” ucap Sena. “Cu-cuma … Sena kangen ibu ….”
“Nah,
ayah juga mau bilang … kita udah lengkap lagi sekeluarga, meski enggak ada yang
bisa menggantikan ibu kalian, Yoshi, Sena. Ya, ibu baru kalian itu lagi
berusaha buat merawat kalian sebaik mungkin, setidaknya mendekati perilaku ibu
kalian.”
Aku
mengangguk. “Iya, Yah. Yoshi … juga kangen sama ibu. Sama kayak Sena sih.
Kadang … Yoshi juga kepikiran pas di sekolah.”
“Udah
deh, masa lalu biarlah berlalu aja. Enggak baik kita kejebak di masa lalu, yang
harus kita hadapi itu sekarang. Sena, Ayah jamin kalau Ibu pasti bakal ngerawat
kamu pas Ayah enggak ada di rumah,” ayahku mulai menasihati. “Masih ada Kak
Yoshi kok, Sena. Kak Yoshi juga sayang sama kamu.”
Aku
mengangguk setuju. “Iya, Sena. Kalau ada apa-apa, mending bilang sama Kakak
aja, kalau Kakak udah balik ke rumah. Nah, makan ya, biar bobonya nyenyak.”
Sena
hanya mengangguk tanpa berkata-kata sebelum dia mulai memasukkan sesuap makan
malamnya. Tetapi, dia tetap saja tidak berubah. Adikku perlahan memasukkan
setiap suap makan malamnya sambil termenung.
Aku
mengangguk menatap ibuku, Wilhelmina, yang berambut ikal dan berwajah mulus
bebas kerutan, seraya menghormatinya sebagai ibu pengganti. Wilhelmina juga
membalas senyumku.
“Oh,
maaf,” ucap ayahku yang bernama Gunawan bangkit dari hadapan meja makan begitu
mengambil ponselnya.
“Makan
aja,” ucap Wilhelmina berusaha mengalihkan perhatianku dari Ayah yang berdiri
menghadap meja dan sofa ruang depan.
“Iya,
Bu,” aku mengangguk.
Kudengar
ayahku berbicara pada seseorang melalui telepon sambil menikmati setiap suap
makan malam. Akhir-akhir sering menjadi begini, semenjak ayah menikahi
Wilhelmina, ayah jadi sering pergi pada malam hari dan bahkan rela menginap di
kantor. Mungkin karena ayah naik jabatan sebagai pejabat, gajinya tentu begitu
banyak.
Aku
masih saja heran, entah kenapa, ayah tidak ingin menghambur-hamburkan uang
hanya demi kemewahan, tidak seperti kebanyakan pejabat, terutama politikus.
Ayah hanya ingin mengajarkan kesederhanaan dalam menjalani hidup pada Sena dan
diriku.
Wilhelmina
bertanya begitu ayahku selesai berbicara melalui telepon, “Ada apa? Ada rapat
lagi?”
“Iya.
Rapatnya mendadak. Biasa, membahas masalah lagi,” jawab ayahku.
Sena
mulai menggeleng sambil meneteskan air mata. “Yah, Sena mau sama Ayah! Sena mau
ditemani sama Ayah!”
Ayahku
menarik napas sambil menemui Sena. “Sena sayang, kan ada Kak Yoshi, kan ada Ibu
juga.”
“Enggak
mau! Sena maunya sama Ayah! Ayah jangan pergi!” Tangisan Sena mulai mengeras.
Aku
menepuk bahu Sena sambil berusaha menenangkan, “Sena, Ayah kan harus kerja.
Rapat kan bagian dari pekerjaan Ayah. Mau enggak mau Ayah harus balik ke
kantor. Kalau Ayah enggak hadir, bisa aja Ayah enggak punya pekerjaan lagi.
Ayah kan kerja buat cari duit.”
Wilhelmina
melanjutkan, “Kak Yoshi betul, Sena. Kalau Ayah enggak kerja, duitnya kan buat
Kak Yoshi sama Sena sekolah, terus buat kasih makan juga.”
“Tuh,
masih ada Ibu sama Kak Yoshi,” ucap Ayah.
“Sena
enggak mau—” ucap Sena masih menangis.
“Ah,
masa udah gede nangis nih?” ucap Wilhelmina sambil membelai rambut Sena.
“Sayang, habisin makan dulu. Bareng anak-anak, kan kasihan Sena.”
“Iya.
Nanti habis makan, Ayah berangkat, ya. Yoshi, jaga Ibu sama Sena ya.”
Aku
mengangguk. “Iya, Yah.”
Memang,
kehadiran Wilhelmina sebagai ibu pengganti tidak dapat menggantikan ibuku yang
sesungguhnya. Ayah benar, Wilhelmina telah berusaha sebaik mungkin agar bisa
mendekati tingkat kasih sayang sebaik ibuku. Kehidupan keluarga ini memang
tidak lagi sama, apalagi ayah sering harus ikut rapat pada malam hari
akhir-akhir ini.
Kalau
saja ibuku masih ada, apakah Sena akan berkelakuan begini? Dia tidak ingin
ayahnya pergi rapat? Aku tidak tahu pasti. Ibuku selalu mengisi kekosongan
ketika ayah tidak bisa bersama kami di rumah waktu dulu.
***
“Kak
Yoshi,” panggil Sena ketika aku sedang mengerjakan PR di kamar.
Aku
berbalik menatap Sena telah berdiri menghadap pintu kamar setelah melepas earphone. “Kenapa, Sena?”
“Kak
… apa Kakak kangen Ayah juga?” ucap Sena begitu dia memasuki kamarku.
“Iya,
Kakak juga sebenarnya enggak mau Ayah pergi cuma buat rapat. Ya, apa boleh
buat, kita enggak bisa kontrol semau kita sendiri.”
Aku
akhirnya berpindah tempat duduk dari kursi menghadap meja belajar menuju kasur.
Kutepuk bagian kasur sebelah kiri seraya mempersilakan Sena duduk di samping.
Kulihat Sena perlahan menghampiriku dan akhirnya duduk di samping.
“Sena.”
Aku membelai rambut panjang Sena. “Kakak juga kangen Ibu kok, sama kayak Sena.
Kakak juga kepikiran sama Ibu, berat sih nerima ibu baru.”
Sejujurnya,
aku tidak tahu apa lagi yang harus kukatakan Sena. Aku tidak sepandai Ayah dan
Ibu yang sering memberi nasihat atau saran pada anak-anaknya, termasuk diriku.
Kata-kata Ayah dan Ibu kadang lebih mengena perasaan anaknya, mau itu menerima
atau tidak. Mau itu nada menegur, marah, atau senang, nasihat tetaplah nasihat
bagiku. Memang berat kalau yang memberi nasihat itu sambil meninggikan nada,
seakan-akan kamu ingin tampar dengan bentakan.
Aku
pun melanjutkan berbicara, “Oh ya, Sena masih ujian besok enggak?”
Aku
berusaha agar pikiran Sena teralihkan dari kangen Ayah selama semalam menuju hal
yang terpenting selama akhir semester, ujian akhir. Aku yakin, dengan begini,
Sena akan teralihkan fokus sedikit demi sedikit, apalagi dari kerinduan ibu
kami yang tak pernah bisa tergantikan, terutama Wilhelmina sekali pun.
“M-masih,
Kak,” jawab Sena.
“Mau
Kakak bantuin enggak? Mungkin Kakak bisa bantu nih.”
Sena
menggeleng. “E-enggak usah, Kak. Sena … mau belajar sendiri.”
“Sena,
kalau misalnya susah ngertinya, mending Kakak bantu deh.”
“Enggak
apa-apa,” jawab Sena polos. “Kakak juga besok masih ada ujian, jadi Kakak juga
harus belajar.”
“Iya
juga.” Aku menggesekkan rambut bagian kepalaku.
“Udah
ya, Kak. Sena mau ke kamar dulu ya.” Sena bangkit dari tempat tidurku.
“Iya,
kalau ngantuk, tidur aja ya. Jangan dipaksa buat belajar!” Itulah pesanku untuk
Sena sebelum dia meninggalkan kamar.
Aku
tercengang ketika menyadari ada sesuatu yang berbeda pada Sena. Bukan
perasaannya, tetapi … aku melihat ada sebuah warna yang berbeda di bagian
belakang lehernya. Aku tidak begitu memperhatikan bagaimana ukurannya.
Entah
kenapa, aku jadi merinding ketika mengingat kembali. Apa yang sebenarnya
terjadi pada Sena? Nanti akan kutanyakan, tidak enak kalau aku memasuki
kamarnya dan menganggunya belajar untuk ujian. Aku juga masih ada ujian besok..
Kuharap,
tidak akan terjadi apa-apa pada Sena, apalagi yang tidak-tidak.
Comments
Post a Comment