Alpinloch: Another World Episode 28
Going to the
Mysterious Island III
Kapal
bajak laut milik Red Crimson harus terombang-ambing di atas desiran ombak yang
begitu deras dan cukup banyak, lebih buruk lagi, petir semakin banyak
menggelegar di balik langit hitam berawan kelabu tersembunyi. Angin pun memperpanjang
embusan keras mengikuti arah ombak.
Tidak
peduli sedang berada di bagian luar kapal tanpa perlindungan, Red Crimson dan
Warren tetap mengendalikan kapal di tengah-tengah angin kencang yang berembus
melewati mereka. Warren tengah menahan roda kemudi kapal begitu kencang
mengendalikan arah menuju tujuan, sementara Red Crimson hanya bertahan
menggenggam kompas memastikan arah mereka sudah benar.
“YIHAAA!!
Ini sudah biasa kuhadapi!” suara Red Crimson seperti menantang badai.
“Ini
lebih buruk daripada yang kubayangkan! Kita juga akan ke pulau misterius itu,
bukan? Kita mungkin takkan selamat!” seru Warren.
“Jangan
begitu! Mau kena badai atau tidak, kita pasti tiba di tujuan dan kembali dengan
selamat!” tolak Red Crimson meninggikan optimisme. “Pokoknya kita hadapi saja
tantangan menuju pulau itu!”
“Jangan
bodoh! Kita sebaiknya turunkan jangkar saja!”
“Diamlah!
Ketegangan dalam melaut baru saja dimulai!”
Di
bagian dalam kapal tentu tidak kalah buruk, akibat bagian luar kapal
terombang-ambing oleh ombak, seluruh ruangan di bagian dalam tentu seperti
mendapat getaran gempa bumi dahsyat. Seluruhnya, mulai dari dinding hingga
kendi kayu,, bergerak seperti berputar.
Seluruh
kru bajak laut di bagian dalam kapal menjerit panik tidak mampu menahan guncangan
yang mengakibatkan tubuh terombang-ambing, seperti tidak memegang sebuah
penyangga untuk menyeimbangkan diri.
Berusaha
untuk berpegangan pada dinding kayu, Mark terus kesulitan menyeimbangkan diri
agar tetap berdiri. Langkah kakinya juga seperti ingin terpeleset lantai licin
akibat ombang-ambing. Kepanikan juga menghantuinya ketika pertama kali
mengalami perjalanan di tengah-tengah badai laut.
“AAAH!”
jerit Justice terjatuh ke lantai dekat kendi kayu, hampir mengenai kepalanya.
“Ini
benar-benar sungguh tidak bagus!” jerit Yael berpegangan pada salah satu gagang
kayu dekat sebuah pintu berjendela lingkaran.
“Ini
… gila.” Cooper juga ikut kesulitan melangkah demi menyeimbangkan diri.
“Whoa!”
Anna juga ikut terjatuh tidak mampu menyeimbangkan diri untuk terus berdiri.
“Pegangan!”
sahut Jason tetap berpegang pada salah satu kendi kayu.
Gelombang
ombak yang kapal itu hadapi semakin membesar seperti akan menelan mangsa
hidup-hidup menuju dasar lautan, bahkan ujung ombak kira-kira seperti mencapai
langit. Kecepatan angin dan petir juga semakin menggelegar.
“Kapten!
Apa kamu gila!” jerit Warren mulai merasakan guncangan pada kedua tangan yang
berpegang pada roda kendali.
“Minggir!”
Red Crimson mengambil alih kemudi kapal. “Biar kutunjukkan kapal ini bisa melewati
ombak besar seperti ini! Kekuatan penuh!”
Selagi
kapal itu menaiki ombak besar, Red Crimson mengerahkan seluruh tenaga demi
memutar penuh roda kendali kapal. Hanya dengan modal nekad, kapten bajak laut
itu tidak ingin membiarkan kapal melambat, mengandalkan angin kencang yang
telah ditampung layar putih.
“KAPTEN!!”
jerit Warren panik.
“Kita
terbang!” jerit Red Crimson ketika kapal mulai melompati ombak menuju udara.
“AAAAH!!”
jerit kru bajak laut ketika merasakan dampak kapal melompat.
“Whoa!
Whoa!” jerit Mark sekali lagi kehilangan keseimbangan hingga terjatuh ke
lantai.
“Uh
… uh ….” Cooper menutup mulut ingin menahan sesuatu yang meningkat dari perut
hingga tenggorokannya.
Begitu
guncangan sekali lagi terjadi, seluruh orang di bagian dalam kapal ikut tercengang
sambil menahan keseimbangan. Namun, yang juga terjadi ketika Cooper tidak dapat
menahan lagi tingkatan dari tenggorokan ke mulut ketika mendekati Justice.
Cooper
akhirnya meledakkan mabuk lautnya sekali lagi, lebih buruk, Justice harus
menjadi korban ketika pipinya terkena sebuah cairan menjijikan itu. Reaksinya
meningkat hingga mendidih secara instan dengan meledakkan jeritannya.
“AAAAAAAAAH!”
jerit Justice hingga nyaring menuju telinga semua orang.
***
Pintu
seperti terbanting hingga lebar ketika Red Crimson mendorongnya untuk memeriksa
ruangan dalam kapal, apalagi bagian dalam, untuk memastikan adanya sebuah
kerusakan atau tidak setelah membuat keputusan nekad untuk melewati ombak
besar. Langkahnya pada lantai kayu langsung terdengar menuju telinga.
Angin
pun berembus lebih lambat daripada badai sebelumnya, tetapi masih tergolong
cepat, ditambah lagi petir sedikit demi sedikit masih menggelegar mendampingi
perjalanan laut memasuki pertengahan malam. Samudera pun melompat-lompat lebih
sedikit menopang kecepatan kapal.
Pada
pandangan Red Crimson begitu memasuki ruangan dalam kapal, kru bajak laut pun
tumbang sehabis menghadapi badai. Tatapan masam mereka menunjukkan jelas mereka
tidak kuat menghadapi badai besar.
Red
Crimson meludah sejenak sebelum berkomentar, “Dasar, menghadapi badai sebesar
ini mereka tidak bisa. Bukankah badainya sama saja dengan yang kita hadapi
sebelumnya.”
Pandangan
Red Crimson beralih pada Jason yang tengah terlelap bersandar pada dinding,
begitu tenang tanpa memikirkan kepanikan di tengah-tengah badai. Wajar dalam
pandangannya semenjak pria itu meminta untuk mencari seorang sahabat bernama
Shada.
“Pakaianku
kotor sekali gara-gara kamu muntah!” jerit Justice merengek pada Cooper.
“Aku
tidak bisa mengendalikannya, aku juga sudah meminta maaf,” balas Cooper.
“Kamu
yang bertanggung jawab pada pakaianku!!” Tangisan Justice meledak.
“Su-sudah,
tenanglah, jangan bertengkar,” Anna berusaha mengengahi pertengkaran mulut itu.
“Kata
siapa aku benar-benar takut!” ucap Yael pada Mark. “Tidak usah menenangkanku
saja aku sudah tenang.”
Red
Crimson sekali lagi berkomentar, “Mereka benar-benar unik juga. Kurasa
perjalanan ini akan lebih menarik daripada sebelumnya.”
***
Setelah
melewati malam berbadai yang cukup panjang, hari pun berganti menjadi munculnya
gelombang panas dari matahari yang memanas-manasi samudera. Hawa panas pun
menyengat pada sekitar kapal bajak laut dan dasar lautan di sekeliling.
Kapal
bajak laut pun masih belum menemukan sebuah daratan, melainkan hanya melewati
samudera sesuai arah tenggara untuk menemukan pulau misterius. Meski angin laut
tetap berembus, hawa panas masih saja bertahan lebih kuat menemani perjalanan
pada siang hari.
Hawa
panas pun juga membuat hampir seluruh penumpang merasa lemas dan haus pun telah
menanti. Terutama bagi kru bajak laut Red Crimson, mereka bahkan sampai
berbaring seperti cacing kepanasan, peluh pun mengalir begitu banyak pada kulit
hingga membasahi baju.
Red
Crimson dan Warren tetap berada di bagian kemudi sambil menahan panas yang
tidak mereka sangka-sangka. Selama ini, mereka tidak pernah menghadapi hawa
panas sedahsyat itu saat melaut.
Mark
dan teman-temannya tengah berada di bagian depan kapal, mendekati bagian kepala
menatapi samudera kebiruan yang memancarkan pantulan langit dan matahari,
menimbulkan cahaya yang cukup menyilaukan jika menatap ke arahnya. Panas juga
begitu menyengat tubuh mereka hingga meneteskan peluh pada kulit.
“Panas
…,” keluh Justice berbaring tidak dapat menahan peluh pada sekujur tubuhnya.
“Apa
ini benar-benar perlu untuk menghemat air?” keluh Yael.
“Masalahnya
… air kita sudah semakin menipis, saking panasnya,” jawab Red Crimson yang
dapat mendengar percakapan Yael.
“Hah?
Jadi kita harus tiba di sana sambil kehausan?” ucap Yael meninggikan nada.
Jason
yang sampai bertelanjang dada akibat keringat memenuhi tubuhnya juga menambah,
“Lebih baik kita hemat air dulu, begitu kita sampai di sana, kita akan
menemukan air setidaknya.”
“Ah!”
Mark bangkit ketika sebuah suara mulai meluncur ke telinganya. Tanpa
memedulikan pakaiannya yang basah akibat keringat, dia tetap berdiri menutup
mata memfokuskan pada suara.
Sebuah
suara nyanyian wanita dengan bahasa gibberish
menyatu dalam harmoni hingga terasa merdu untuk didengar, melebihi penyanyi
wanita di dunia nyata. Suara soprano yang meninggi pada nyanyian itu seperti
sedang mendengarkan sebuah pertunjukan opera.
“Kalian
dengar itu?” tanya Mark.
“Ah!”
Anna ikut tercengang ketika suara nyanyian itu tiba di telinganya.
“Nyanyian
yang … begitu indah,” ucap Jason.
“Ah!”
ucap Yael menunjuk sebelah kiri mereka. “Se-sejak kapan?”
“Ti-tidak
mungkin!” tambah Red Crimson tercengang melihat sumber dari suara nyanyian yang
indah itu.
Sebuah
batu karam mengapung telah berada pada pandangan kiri kapal, entah sebelumnya
terlihat dari kejauhan atau tidak, seluruh penumpang tidak menyangka akan
keberadaannya. Apalagi … terlihat beberapa duyung bersirip warna-warni yang
merupakan sumber suara nyanyian itu.
Salah
satu duyung tengah memainkan harpa seraya mengiringi nyanyian ber-soprano
mereka. Kemerduan dan keharmonisan nada mereka kini menyatu menjadi melodi bernada
minor, entah perasaan melankolis atau pengharapan semenjak bahasa mereka
tergolong gibberish.
Hampir
seluruh penumpang bajak laut terdistraksi oleh nyanyian merdu para duyung.
Pandangan mereka mengarah menuju kecantikan tiada tara mereka, kulit putih
mulus tanpa goresan, sirip menyilaukan seperti berlian, dan kesempurnaan gerak
bibir dalam bernyanyi.
“Su-suara
indah sekali, “ucap Warren, “mungkin kita harus berhenti sejenak untuk
mendengarkan mereka bernyanyi.”
“I-itu
… ide bagus, kita juga harus beristirahat.” Red Crimson ikut terpesona. “Kita
nikmati dulu nyanyian ini demi menenangkan diri.”
Begitu
Red Crimson dan Warren menghentikan mengendalikan kemudi kapal, kapal pun
seperti terhenti akibat terdistraksi oleh nyanyian duyung itu, meski ombak
samudra tetap menyapu mengikuti arah angin. Irama dan melodi duyung itu bahkan
membuat mereka seperti terhipnotis ingin menatap langsung seperti menonton pertunjukan
musik.
Namun
… yang mereka belum ketahui …. Sebuah gelombang ombak bermunculan dari kejauhan
pada sisi kanan kapal. Sebuah makhluk pun terlihat hanya dari pantulan sinar
matahari di dasar samudera kebiruan. Semakin keras dan indah nyanyian duyung
itu, semakin cepat pula monster itu menyelam mendekati arah kapal.
Comments
Post a Comment