Drama untuk Skenario Kehidupan Episode 11


Take 11

Selesai berpakaian setelah keluar dari kamar mandi, terutama pada pagi buta, saat kelas pertama pada hari itu akan dimulai pukul 07:30, Ivan seperti sedang berseluncur di lantai ketika menyiapkan segala hal demi kuliah, terutama memasukkan buku catatan dan peralatan tulis pada tasnya.
Begitu tengah mengangkat tas sebelum meninggalkan kamar kostannya, saku celananya bergetar seraya menghentikan fokus Ivan. Dia mengambil ponsel yang bergetar dari saku celana, layar terlebih dahulu menunjukkan identitas penelepon, Mom.
Ivan mengangkat telepon itu sambil berbalik memandang kamar tidur bersprei begitu kusut belum sempat dia rapikan. “Halo, Bu,”
“Ivan, sayang.”
“Mama kenapa telepon, Ivan udah mau kuliah, Bu,” sapa Ivan berbalik menyaksikan meja tanpa kursi menghadap tempat tidur, penuh tumpukan kertas dan buku.
“Van, Ibu cuma pengen nanya sama kamu. Ivan jangan marah dulu ya.”
“Kenapa? Ibu bakal nyuruh Ivan bicara sama Ayah?” Ivan memasangkan strap ransel yang dia angkat di dekat meja bersiap untuk berangkat. “Bu, Ivan tahu kenapa Ibu telepon kayak gini, cuma nyuruh bicara sama Ayah, kan? Percuma aja Ivan bicara sama Ayah. Ayah juga enggak pernah setuju sama jurusan kuliah, apalagi cita-cita Ivan sendiri.”
“Van, jangan bilang begitu, selalu saja kamu bilang begitu.”
“Itu kenyataannya, Bu!” sahut Ivan ketika sudah berdiri di hadapan pintu kamar kostan. “Tiap kali Ivan bicara sama Ayah, selalu aja bilang ganti jurusan aja, drop out aja, ya Ivan juga pengennya kuliah, pengen mandiri, pengen bikin film. Tapi … Ayah bilang melulu, masa depan anak sastra lebih parah sama bakal suram, lebih parah daripada anak perfilman. Ayah selalu pengen Ivan masuk ke jurusan hukum atau enggak manajemen, seenggaknya yang berguna buat masyarakat! Ya, apa boleh buat lah, Ivan keterimanya di sastra, bukan perfilman, apalagi manajemen atau hukum yang Ivan enggak pengen.”
“Ivan, kamu enggak boleh gitu, kamu enggak boleh bilang benci sama Ayah, kamu. Ngomong baik-baik dulu.”
“Ya, udah percuma aja, Bu. Ayah udah benci Ivan udah ngambil jurusan sastra. Emang Ayah bisa ngatur hidup Ivan seenaknya? Ivan ya Ivan, Ayah ya Ayah. Mau sastra kek, mau manajemen kek, ya pasti ada masa depannya. Peluangnya juga sama,” Ivan mengomel sampai meluapkan nadanya. Membuat ibunya terdiam sejenak, dia langsung pamit, “udah dulu, Bu. Ivan mau kuliah.”
“I-iya, belajar yang baik, ya, Van,” pamit Ibunya.
Tepat setelah telepon terputus, ponselnya dia kembali masukkan ke dalam saku celana. Ivan mendorong keras gagang pintu seraya membuka dan keluar dari kamar kostan. Diambilnya kunci dan dibantingnya perlahan pintu kostan, meluapkan perasaan repetitif sehabis suruhan agar ingin berbicara pada sang ayah.
***
Mengingat kembali pernyataannya pada Ivan, apalagi saat melarikan diri setelah dia menjadi olok-olokan hampir seluruh anggota klub film, terutama Tiara dan Priscil, yang membuat dirinya ingin keluar sekali lagi, ditambah konfrontasi dari Margin pada hari sebelumnya, kegundahan mengalir pada benak Michelle yang tengah berdiri di halaman belakang gedung fakultas, terutama menghadap area ruangan himpunan.
Sekitar jam empat sore, saat kegiatan kuliah di kampus telah selesai semua pada hari itu. Pilihan masih Michelle pertimbangkan, apakah dia akan menyia-nyiakan latihan dialog bersama Bayu, hanya berfokus mengerjakan proposal skripsi sebagai persiapan UP, dan sengaja bolos berkumpul di ruang klub film; atau dia hadapi konsekuensi karena telah minggat sehabis mendapat olok-olokan saat latihan perdana dan hampir seluruh anggota klub film membencinya karena dua kesalahan, membanting kamera Margin hingga pecah saat syuting terakhir semester lalu dan menjadi aktris utama tanpa casting sama sekali.
Setiap kali Michelle mengangkat kaki, keraguan kembali menghantuinya, membuat kaki yang telah dia angkat kembali ke tempat semula, tepat di mana dia berdiri tegak memperhatikan setiap ruang himpunan mulai sibuk. Dia memang pasti akan mendapat olokan dari setiap anggota klub film sebagai anggota paling tidak berbakat menjadi pemain film, apalagi menjadi tokoh utama. Meski telah berlatih bersama Bayu, kepercayaan diri Michelle kembali melambung jauh dari hatinya, kalah sebelum peperangan dimulai.
“Kok enggak masuk?” sahut suara seorang pria tidak asing, benar-benar asing.
“Eh?” Michelle berbalik sontak kaget.
Bayu mengangkat tangan kanan sambil menyeringai menunjukkan gerigi putih bersih, senyuman dia hanyutkan dalam kegembiraan dapat melihat Michelle kembali, di depan ruang klub film. Meski Michelle mengerutkan wajah sambil melipat tangan pada dada, pria berparas tionghoa itu semakin mengangkat senyumannya.
“Ah, ternyata lo,” sapa Michelle.
“Masuk aja, kan mau latihan lagi. Sekarang pakai naskah kok,” bujuk Bayu.
Michelle memalingkan wajah dari pandangan Bayu, beralasan, “Siapa juga yang mau masuk? Kalau gue masuk, nanti gue jadi bahan tawaan lagi. Gue emang enggak pantas jadi pemeran utama, tanpa casting lagi. Lo sama Ivan yang minta gue gabung lagi cuma buat jadi pemeran utama, terus gue jadi bahan tawaan. Gue juga sibuk ngerjain proposal skripsi, belum lagi tugas yang makin numpuk. Awal bulan udah UP lagi, gue udah harus daftar sebelum deadline, biar gue cepat lulus sama cari kerja.”
“Michelle, udah deh. Kamu enggak perlu mikirin terus performa kamu, ya biar jadi penilaian mereka aja. Kamu tinggal ambil yang mana yang bakal bermanfaat buat kamu sendiri.” Bayu menepuk pundak kiri Michelle.
“Heh, jangan sentuh pundak gue.” Michelle menyapu tangan Bayu dari pundaknya. “Paling sama aja. Gue bakal dibilang jelek—"
“Bukan gitu, Michelle!” potong Bayu. “Kamu enggak perlu meladeni komentar-komentar jelek mereka, enggak perlu sampai impress segala buat maksa berubah pikiran. Kamu itu kamu sendiri, bukan mereka. Apalagi kamu bukan Milea, kamu bukan Chelsea Islan. Apapun yang terjadi, mau jelek komentar mereka, ya kamu belajar terus, sebagai diri sendiri, bukan sebagai seorang aktris yang mau numpang famous lah.”
Michelle terdiam, seperti tertembak tepat sasaran hanya menggunakan kata, frasa, dan kalimat. Tatapannya tertuju pada Bayu yang kembali mengangkat bibir hingga hanyut pada wajah.
Bayu memberi pesan, “Sekarang, kamu masuk ke ruang klub film, terus … kita latihan, kamu kerahkan seluruh kemampuanmu dalam berakting, at least … sepenuh hati dengan sincerity!”
Sincerity?” ulang Michelle terasa hampa ketika mendengar kata itu.
“Kalau kamu yang jadi Milea, biarkan saya yang jadi Dilan. Kalau kamu jadi Salma, saya jadi Nathan. At least kita main jadi tokoh utama, bukan cuma dalam proses syuting film, tapi … dalam kehidupan ini. Hidup ini basically sebuah skenario. Setiap cerita dalam karya sastra, mau itu novel atau film, merupakan rekaan dalam penggalan skenario kehidupan.”
“Lo lebay deh,” tanggap Michelle.
Bayu dengan cepat mengenggam tangan kiri Michelle. “Ayo! Kita latihan, kita kan tokoh utamanya.”
“Whoa! Tu-tunggu! Gue bisa ke sana sendiri!” ucap Michelle ketika dirinya ditarik Bayu menuju ruang klub film.
Michelle dan Bayu menjadi pusat perhatian ketika mereka saling bergandengan tangan berjalan cepat menuju kampus. Seluruh mahasiswa, apalagi anggota himpunan lain, yang tengah berada di halaman depan masing-masing ruangan sampai melongo, mengira mereka sebagai sepasang kekasih heboh.
***
Beberapa anggota klub film telah berkumpul di dalam ruangan, masing-masing memiliki kesibukan. Kalau bukan sekadar membaca naskah apalagi menghapal bagi masing-masing pemeran pendukung dalam proyek film, obrolan santai turut membuat keadaan kelas menjadi ramai, atau kalau bukan keduanya, sibuk memainkan game atau social media dalam ponsel.
Terkecuali bagi Jenni yang duduk di sudut ruangan menjentikkan jari pada keyboard laptop merevisi naskah adaptasi novel Wattpad-nya sendiri. Seperti biasa, laptop tidak pernah lepas dari kehidupan kuliah gadis bertubuh gempal itu di kampus.
Keramaian di ruangan klub film menjadi hening. Fokus mereka teralihkan menuju pintu ruangan. Apalagi ketika melihat salah satu dari mereka. Ya, Michelle dan Bayu.
Aura menyenangkan kini berubah menjadi sedikit suram karena kedatangan Michelle. Tentu mereka teringat akan pesan dari Ivan pada akhir latihan perdana, menghormati Michelle sebagai pemeran utama. Tetapi, mereka juga tidak bisa menerima fakta bahwa Michelle terpilih menjadi pemeran utama tanpa melalui proses casting.
“Lho? Kenapa pada diam semua sih?” tanya Jenni.
“Oh, pada diam pas Michelle datang? Dia masih anggota lho,” tambah Bayu.
Seluruh anggota klub film yang telah berkumpul tidak tahu harus bereaksi seperti apa, apalagi berkomentar seperti apa. Teguran Ivan masih terbayang pada masing-masing, harus saling menghormati dan tidak mencari masalah. Satu anggota yang berniat mencari masalah akan menyebabkan latihan tersendat lagi, lebih buruknya dikeluarkan, apalagi kalau sampai pihak BEM tahu, dibubarkan.
“Si Ivan mana?” tanya Bayu.
“Katanya masih ada urusan sih di jurusan,” jawab Jenni.
“Ya udah,” Ryan memberikan usul sambil bangkit menggenggam beberapa lembar naskah, menghadap seluruh anggota, “daripada gabut nungguin Ivan, kayak enggak ada kerjaan gitu, mending kita latihan aja dulu. Yang jadi kru bisa perhatiin sama kasih masukan.”
“Ayo, merapat-merapat!” seru Bayu mengajak seluruh anggota klub film mendekat ketika dirinya dan Michelle mulai duduk.
Michelle meletakkan tas di hadapan dirinya, membuka risleting dan mengambil naskah. Digenggamnya naskah film yang masih menjadi prototipe, napas dia embuskan seraya mengangkat beban dan tekanan dari hatinya.
“Oke, dari adegan pertama banget ya. Kita mulai,” sahut Ryan.
Menatap naskah bagian adegan pertama, halaman pertama, setiap dialog yang tertulis Michelle resapi dalam hati, menentukan bagaimana mengeluarkan lontaran kata sambil mengeluarkan seluruh perasaan sesuai naskah.
“Michelle?” Ryan memanggil.
“Eh?” Fokus Michelle terbuyarkan.
“Ayo, kamu kan yang dapat dialog pertama banget,” bujuk Ryan menggangguk.
“I-iya.” Michelle mulai membaca dialog dalam naskah. “Ah! Mampus gue!”
“Telat?” ujar Bayu membacakan dialog pertama sebagai Aldo.
“Iya. Kamu telat juga?”
“Emang kayak gini enggak dibilang telat? Dosen killer?”
“Iya nih. Kalau telat masuk dikit aja, enggak boleh masuk.”
“Mau dibantuin? Masih lima menit lagi sampai kelasnya mulai kok, tenang aja. Mau saya antarin?”
“Terus kamu juga telat, kan? Dosen kamu enggak killer juga, kan?”
“Eh, dosen kelas saya juga killer pagi ini. Enggak mau sampai enggak boleh masuk kelas, kan?” Bayu sampai menyeringai kembali sambil menatap wajah Michelle. “Udah, saya antar kamu aja sekalian deh. Jalan kaki lebih lama lho.”
Pembacaan adegan pertama naskah oleh Michelle dan Bayu membuat hampir semua orang memperhatikan dengan teliti, mulai dari pelafalan, ekspresi wajah, hingga penghayatan dalam berdialog seperti saat kejadian nyata. Beberapa lagi hanya sibuk memainkan ponsel, tidak memedulikan proses latihan mereka.
Michelle mempersampingkan perasaan jengkel pada Bayu yang memang menjadi lawan main utamanya. Demi profesionalisme dalam berlatih, apalagi di hadapan seluruh anggota klub film, dia gantikan dengan berekspresi dalam berdialog sebagai tokoh utama, Celia.
“Oke, kita interupsi dulu bentar sebelum masuk ke adegan kedua,” pinta Ryan, “Michelle, gue pengen kasih saran ke lo, tapi jangan diambil emosi ya, pokoknya ambil aja yang positif. Kita kasih saran buat ngebantu lo, biar lo berkembang, biar semuanya jadi bagus. Oke?”
“Ya.” Michelle mengangguk.
“Michelle ada perkembangan dari latihan perdana pas Minggu kemarin, udah mulai ada penghayatannya. Tapi pengucapannya masih agak kaku, kayak lagi baca berita nih. Lo relax aja pas katain dialog, seakan-akan lagi ngomong beneran, di dunia nyata, biar kerasa natural, meyakinkan penonton,” Ryan memberi saran.
“Gue boleh nambah enggak?” gadis berjilbab hitam di dekat Ryan meminta.
“Ya iyalah! Tadi dibilangin bisa kasih masukan. Kalau mau kasih masukan, bilang aja langsung!” jawab Ryan.
“Kayaknya sih … Michelle masih malu-malu pas baca dialog. Mungkin karena pas latihan. Gue setuju sama Ivan dan Bayu, lo punya potensi, lo tinggal bangun confidence aja.”
“Eaaa, ngikutin aja, Wulan!” ledek Bayu pada gadis berjilbab hitam itu.
“Ih! Kan gue yang jadi sohibnya Celia, kan? Jadi gue juga harus kasih advice sama Michelle lah!” tegur Wulan. “Terus … Ryan kan juga jadi saingannya Aldo, saingan lo buat rebutin Celia.”
“Udah, udah,” bujuk Ryan, “ada yang mau kasih masukan lagi?”
Keheningan terasa seperti menjawab pertanyaan Ryan agar memberi masukan pada latihan adegan pertama, tidak ada yang ingin memberi sekadar kritik pada Michelle, apalagi membuatnya marah, ada pula yang pura-pura tidak memperhatikan, dan ada juga yang tidak peduli.
“Kalau enggak ada, kita latihan adegan kedua aja,” ucap Ryan.      

Comments

Popular Posts