Drama untuk Skenario Kehidupan Episode 10


Take 10



“I-Ivan?” sahut Margin mengenali pemuda yang mencengkeram tangannya.
Margin tidak dapat melepaskan cengkeraman yang mengikat tangan kanannya bahkan dengan mengayunkan sedikit pun. Terlihat otot lengan Ivan yang tidak tertutupi bagian lengan pendek pada kaos abu-abu begitu berisi, menghasilkan kekuatan cengkeraman keras seperti capit.
“Lo mau dikeluarin?” Ivan menatap tajam tepat pada wajah Margin.
Margin menghindari pertanyaan Ivan dengan menutup mulut rapat-rapat, wajahnya menatap pada lantai, menggerutu dalam hati memendam kembali seluruh amarahnya pada Michelle. Lagi-lagi, seseorang harus turun tangan untuk melerai sebelum menjadi pertengkaran.
“Lo lihat sendiri tuh!” Ivan menggoyangkan kepala seraya menunjuk selasar.
Begitu tatapan Margin kembali fokus ke depan, tepat mengarah belakang Michelle, dari kejauhan, satu per satu mahasiswa yang tengah singgah di sekitar selasar menunggu dosen untuk datang dan sekadar bercengkrama mengalihkan pandangan padanya. Pantas, terpicu dengan suara bentakannya dari depan pintu kamar mandi wanita, fokus mereka teralihkan pada pertengkarannya dengan Michelle.
“Untung aja enggak ada dosen lewat, kalau enggak lo bakal abis, kena masalah sama lo sendiri, apalagi dikeluarin dari kampus kalau ada dekan. Tahu enggak lo!”
“Lo!” jerit Margin mengayunkan tangan kanannya melepas cengkeraman tangan Ivan yang melemas. “Lo jangan ikut campur ya! Ini urusan gue sama Michelle!”
“Lo enggak kapok juga ya? Habis kita semua ngeluarin lo dari klub film. Lo tahu kan di mana letak kesalahan lo sendiri. Lo udah mukul Michelle pakai tripod, tahu enggak, itu gara-gara lo sendiri enggak sabaran tahu. Pantas kita udah capek sama bad attitude lo, lo enggak bisa shake off negativity lo sendiri.”
“Minggir!” Margin langsung melesat menuju tangga, meninggalkan Michelle dan Ivan di depan pintu kamar mandi.
Lo enggak bakal becus jadi peran apapun kalau kerjaannya gini!
Terpicu kembali! Akibat pertemuan kembali dengan Margin, sebuah kenangan yang menyakitkan otak dan membuat seluruh tubuh bergetar, terutama ketika insiden pemecahan kamera, memicu timbunan air mata mendidih. Seperti perintah Ivan pada Margin, dia tidak mampu menyapu negativitas dari dalam kenangan itu.
“Michelle.” Ivan menatap wajah Michelle yang termenung. “Lo enggak apa-apa?”
“Eh? Apa?” Michelle sedikit terbuyarkan dari putaran kenangan dalam otaknya.
“Lo …. Ah, harusnya gue tahu lo paling enggak pengen ketemu Margin, untung aja dia udah dikeluarin. Dia emang biang kerok semua masalah di klub film.”
Michelle angkat bicara kembali, “Ta-tapi … yang sampai mecahin kamera kan—”
“Udah, gue tahu Margin yang nyebabin lo gini. Gue percaya lo enggak salah apa-apa, lo cuma jadi pelampiasan Margin. Kalau dia emang masih ada di klub film, gue enggak mungkin ngajak lo balik, gue enggak mungkin ngajak lo jadi pemeran utama, terus … lo enggak bakal mau gabung ke klub film lagi.” Ivan menghela napas sambil menjelaskan.
“Gu-gue … ada kelas.” Pandangan Michelle teralihkan pada kedatangan dua orang dosen pengampu seminar sastra di lantai dua. “Ma-maaf.”
Meninggalkan hadapan pintu kamar mandi di dekat tangga, Michelle mempercepat langkah menyusul kedua dosen pengampu seminar sastra. Saking beratnya massa negativitas kenangan di dalam kepalanya, dia alihkan pada kecepatan jalan. Kepalan tangannya juga dia eratkan seperti ingin memukul seorang musuh seperti Margin.
Satu per satu mahasiswa yang bercengkerama atau menatapnya sebagai saksi mulai masuk menuju ruang kelas masing-masing ketika dosen pengampu mereka telah tiba melewati tangga bersiap untuk mengajar. Keramaian akhirnya beralih menjadi ketenangan ketika jam istirahat pada pukul 12:30 telah berakhir.
“Michelle,” sambut Yuna ketika Michelle kembali memasuki kelas.
Michelle hanya duduk di sebelah Yuna di barisan terdepan, tidak merespon panggilannya. Dia menarik napas sejenak menghindarkan sesak dari segala pikiran, apalagi ketika dirinya bertemu sekali lagi dengan Margin saat di kamar mandi.
“Lo enggak apa-apa, kan?” tanya Yuna sekali lagi.
“Eh, Michelle, kenapa lagi nih?” tanya Keisha yang duduk di samping kiri Yuna.
“Baik, yang presentasi, silakan, langsung aja,” sahut salah satu dosen yang telah tiba di kelas.
Alih-alih memperhatikan presentasi teman sekelas, apalagi mengajukan pertanyaan atau saran, Michelle tidak bisa memfokuskan setiap ucapan dan slide presentasi. Segala pikiran negatif, terutama saat konfrontasi di kamar mandi oleh Margin, seperti memukul dan mengepung seluruh otaknya. Kaki kanannya juga tidak dapat berhenti berjingkrak di tempat pada lantai berkarpet abu-abu seperti menggigil.
Michelle memang seorang korban dari penyiksaan mental saat di klub film, menyebabkan seluruh masa kuliah menjadi sebuah kesuraman tidak terlupakan, masa-masa terburuk selama dia menjadi dewasa secara angka. Ingin sekali melanjutkan hidup menuju dunia kerja secepat mungkin demi merobek masa-masa kuliah dari hidupnya, apalagi berhenti terpicu setiap pikiran sebagai siksaan pada sekujup tubuhnya, terutama bagian benak.
Tak terasa, tersesat di dalam pikiran menghabiskan waktu selama kuliah seminar sastra berlangsung. Tiga teman sekelas sudah menyelesaikan presentasi proposal skripsi masing-masing sambil menganggapi beberapa pertanyaan dan saran.
Sebelum meninggalkan kelas, salah satu dosen pengampu seminar sastra menyampaikan suatu hal penting, “Oh ya, kalau udah diperbaiki proposal skripsinya, minggu depan bisa daftar UP di jurusan. Kalau bisa, sebelum daftar UP, kami ingin melihat proposal kalian dulu, memastikan apa kalian siap atau belum.”
Sebagai salah satu mahasiswa yang sudah mempresentasikan proposal selama mata kuliah seminar sastra, pendaftaran sidang UP minggu depan menjadi sebuah kesempatan bagi Michelle. Sidang UP akan menjadi sebuah awal dari meninggalkan masa-masa suram saat kuliahnya, terlebih, langkah pertama menuju dunia kerja sudah dekat.
“Baik, kita cukup sampai di sini, yang presentasi minggu depan, jangan lupa siapkan sebaik mungkin,” sapa salah satu dosen mengundurkan diri sebelum mengikuti ketiga dosen pengampu lainnya meninggalkan kelas.
Michelle langsung bangkit tanpa mengacuhkan Yuna dan Keisha, teman terdekatnya. Langsung angkat kaki dari kelas, ambil langkah melalui selasar dengan pikiran yang telah terisi penuh negativitas, tidak peduli bagaimana keramaian selasar berlangsung.
Diam-diam, air mata mulai berlinang menuju pipi, kembali merasakan kehampaan positivitas dalam memendam seluruh kenangan terburuk dari yang terburuk dan konfrontasi dari Margin sebelum mulai mata kuliah seminar sastra. Beberapa mahasiswa di selasar juga tertuju pada penampakkan wajah Michelle.
Kamar mandi, satu-satunya tempat untuk menghindari kelemahan selama di tempat umum seperti di kampus, menjadi lokasi selanjutnya bagi Michelle begitu selesai mengikuti kuliah seminar sastra. Pintu kamar mandi wanita di dekat tangga menuju lantai dasar dia masuki begitu saja tanpa peringatan apapun.
 Pintu abu-abu dari salah satu toilet umum dia tutup rapat-rapat begitu memasuki. Kunci slide dia gesekkan hingga berbunyi keras agar tidak ada siapapun yang dapat membuka pintu, pertanda toilet sedang dipakai. Bokongnya dia tempatkan pada toilet untuk duduk.
Kedua tangannya sekali lagi menutup wajah yang kembali penuh tetesan air mata. Begitu terpicunya kembali segala kenangan buruk dan kejadian konfrontasi Margin, tangannya mulai mati rasa seperti sulit untuk digerakkan.
Tangisannya meledak melalui suara pelan dan ikut menetesnya cairan dari hidung. Tidak bisa dia percaya bahwa Margin selama ini masih bebas berkeliaran di sekitar kampus meski sudah dikeluarkan dari klub film, dengan begitu, peluang untuk bertemu Margin masih ada. Margin adalah orang yang dia jadikan salah satu musuh daftar hitam yang tidak ingin dia temui sama sekali, seperti menaruhnya dalam recycle bin dalam komputer.
***
Sendu dan lesu, setelah mengeluarkan segala tenaga dan emosi menangisi sebagai korban provokasi Margin di kamar mandi. Dia berjalan pelan keluar dari gedung fakultas menuju trotoar, membiarkan beberapa mahasiswa lain menyusul langkahnya, entah menuju tempat parkir atau mendekati portal di halaman depan kampus menunggu odong-odong untuk datang menjemput.
Hampir mencapai portal, sebuah klakson motor sontak meluncur menuju kedua telinga Michelle. Gadis itu menatap sebelah kanan saking terkejut akibat bunyi klakson mengarah padanya, begitu pula dengan beberapa mahasiswa di sekitarnya.
Michelle menghela napas menatap seorang supir berjaket hitam hijau khas ojek online yang kini melepas helm hijau mengungkapkan wajah tidak asing bagi pikirannya. Menatap pemuda itu menyeringai puas sekali lagi membuatnya jengkel dan membuang muka.
“Uh … ternyata lo,” gumam Michelle, “gue enggak pesan ojek online.”
“Emang saya yang order buat jemput kamu lho,” Bayu beralasan.
“Emang bisa ya? Kalau driver minta order ke penumpangnya sendiri?” Michelle menolak alasan Bayu.
“Eh, udah naik aja. Biar saya yang ngantar kamu balik ke kosan. Saya juga tahu di mana kosan kamu.”
Michelle menolak seraya melipat kedua tangan di dada, masih membuang muka, “Enggak usah. Gue bisa balik ke kosan sendiri.”
“Eh, kalau cewek sendirian kayak kamu tuh … pulang-pulang bisa aja kejadian enggak-enggak.”
“Kata siapa? Udah ketinggalan zaman tuh alasan gituan.”
Menatap sekitar mereka, beberapa mahasiswa justru berjalan sambil melihat dan menganggap percakapan sebagai sebuah gombalan, membuat wajah Michelle memerah seakan seperti menjadi pusat perhatian. Dia menarik napas sambil menggeleng dalam hati merutuk hanya sebuah kesalahpahaman bagi pandangan sesama mahasiswa di sekitarnya.
“Ah!” Michelle langsung menempatkan diri pada tempat duduk motor tepat di belakang Bayu, tidak ada pilihan lain demi mengabulkan pandangan sesama mahasiswa di trotoar.
“Nah, gitu dong.” Bayu kembali mengenakan helm hijaunya.
“Emang lo enggak ada order sekarang?”
“Belum diaktifin lah! Kan saya udah order buat jemput kamu. Oke, pegangan.”
“I-iya,” jawab Michelle ketika Bayu mulai mengendalikan motor meninggalkan halaman kampus.
“Eh, besok kita latihan lagi, kamu harus datang ya. Tunjukin aja sama yang lain lo punya bakat terpendam. Kamu enggak boleh keluar sebelum filmnya benar-benar jadi.”
“E-emang … gue udah bilang keluar kemarin lah!” Michelle mengingatkan.
“Kamu kan udah latihan tadi pagi, tunjukkin aja ke yang lain besok, kamu bisa,” sahut Bayu optimis saat berbelok menuju gerbang keluar universitas.

Comments

Popular Posts