Drama untuk Skenario Kehidupan Episode 4


Take 04

“Michelle!” Lagi-lagi Bayu membuat Michelle dan Yuna tertegun hanya dengan menemui mereka mendadak begitu keluar dari salah satu ruangan kelas. “Pada nanyain nih, darimana aja Enggak pernah datang lagi ke klub film nih.”
Michelle menggelengkan kepala begitu menatap wajah Bayu. Alih-alih menjawab dengan melampiaskan kekesalannya, dia mempercepat langkah meninggalkan kelas begitu saja. Langkah kakinya sampai bersuara saking terpendamnya sebuah kekesalan yang menyebalkan.
“Eh! Michelle, tungguin woi!” Yuna mengikuti langkah Michelle.
Bayu menyeringai ketika mendengar reaksi Michelle yang mengabaikan pertanyaannya begitu saja. Mungkin pertanyaan yang telah dia lontarkan juga tidak sesuai kenyataan di klub film. Dia punya nyali hanya untuk mengajak Michelle kembali ke klub film atas perintah Ivan, demi menggaet gadis itu menjadi aktris utama proyek film pendek selanjutnya.
“Michelle, lo kenapa sih?” tanya Yuna saat dirinya dan Michelle keluar dari gedung fakultas. “Dia teman satu klub kamu lho! Masa kamu sombongin dia aja gitu?”
“Yuna,” Michelle angkat bicara sambil menghentikan langkah, “dia kayak maksa gue buat balik ke klub film lah! Terus … kita udah semester tujuh lah, harusnya kita udah fokus buat ngerjain skripsi, terus lulus, bukannya keganggu sama kegiatan himpunan atau klub atau apa kek! Kalau gue ditanya gitu lagi, gue udah terlalu sibuk sama skripsi. Gue bakal lulus cepat!”
“Gue ngerti sih … tapi … gue enggak ngerti kenapa lo—”
“Ah, udah, gue ke kosan lagi aja. Mau nerusin buat presentasi lah.” Michelle sampai tidak memberi kesempatan Yuna menyelesaikan sebuah pertanyaan, mengetahui apa yang akan dia dengar.
“Chelle, lo kenapa sih ngehindar melulu!” Yuna mengikuti langkah Michelle meninggalkan halaman depan kampus.
Begitu Michelle dan Yuna meninggalkan halaman kampus, Ivan yang tengah melangkah dari tempat parkir motor terdiam menatap mereka. Sang ketua klub film itu membuang napas ketika menyadari gerak-gerik cepat Michelle agar segera menghindari dirinya, tidak ingin berurusan dengan klub film lagi.
Ivan sampai menatap ke bawah, memikirkan apa yang salah pada Michelle terhadap klub film. Dia tidak menyangka Michelle akan terus membangkang memperbesar api kemarahannya. Apalagi, Michelle juga tidak memandangnya secara langsung.
“Eh, Van!” sahut Bayu sontak memotong lamunan Ivan dari depan.
“Whoa! Bay, lo!” Ivan memukul pelan bahu Bayu.
Sorry, Van. Tadi gue udah coba lagi nanya, terus dia enggak jawab. Ya emang sih, mahasiswa tahun akhir udah sibuk banget sama skripsi.” Bayu melipat meletakkan kedua telapak tangan pada punggung kepala.
“Emang … lo ngasih pertanyaan apa?”
“Uh … ya … langsung ngajak lagi sih, bilang juga kita-kita masih welcome dia di klub film. Jujur aja … gue … juga enggak kepikiran gimana ngajaknya biar enggak langsung.”
Ivan menepuk jidatnya begitu mendengar jawaban Bayu. “Ah … Bayu, Bayu. Udah deh, lo coba lagi, kalau emang susah dikasih jawabannya, gue turun tangan aja. Oh ya, ntar sore jangan lupa casting! Gue ada kelas sekarang.”
***
“Celia, gue peduli sama lo! Itu karena gue punya perasaan sama lo! Lo juga tahu kan? Lo tuh udah denial banget sama perasaan lo sendiri! Gue suka sama lo, Celia!” pemuda berambut gondrong panjang menjerit-jerit di hadapan kamera.
Cut! Rendy, segitu aja dulu yang kita butuh. Thank you,” ucap Ivan sambil menonaktifkan record pada kamera yang terpasang pada tripod.
Casting untuk pemeran utama pria tengah berlangsung pada sore hari di dalam ruang klub film setelah seluruh kegiatan kuliah berakhir. Satu per satu anggota lelaki menunjukkan kebolehannya dalam memperagakan sebuah adegan dalam naskah proyek film yang akan mereka kerjakan.
Ivan dan Jenni bertugas untuk menilai setiap penampilan setiap peserta casting sambil duduk di atas karpet. Kamera juga mereka pasang pada tripod menghadap papan tulis untuk merekam setiap penampilan.
Jenni melihat-lihat kembali naskah salah satu adegan, setiap kertas dia putar balikkan satu per satu untuk mengingat kembali dan menetapkan ekspektasi. Sebagai penulis novel Wattpad yang akan diadaptasi sebagai film pendek, tentu dia memiliki standar tinggi, baik penampilan maupun performa akting untuk pemeran utama pria.
Next, Ryan!” seru Ivan begitu Rendy telah keluar ruangan.
Ryan menginjakkan kaki pada lantai ruangan, menyapa, “Van, Jen, langsung aja nih?”
“Bentar, pas kita bilang action, lo langsung aja. Oke, Ryan, coba lo peragain adegan pas cemburu ke Celia terus berantem ya!” pinta Ivan bersiap menekan tombol record. “Siap?”
“Siap.” Ryan mengangguk.
“Oke …. Action!” Ivan menekan tombol record pada kamera.
Ryan langsung memperagakan adegan sambil mengubah raut wajahnya, cemburu, masam, dan berapi-api. “Lo ngapain sih dekat-dekat sama itu cowok! Hah! Ya masalah lah lo diantar pulang sama dia!” Dia sampai menunjuk-nunjuk ke arah kamera saking menambah kesebalannya. “Hah? Emang! Itu karena gue peduli sama lo, Celia! Lo nyadar kan! Nyadar, enggak? Hah! Lo udah suka sama dia? Ngaku aja!
“Gue gini ke lo … gue peduli sama lo, Celia! Gue peduli sama lo!” Ryan memukul dadanya perlahan menghayati setiap dialog. “Lo tahu, kan? Lo udah denial banget! Lo suka kan tiap kali lo dekat-dekat sama gue? Lo tahu, kan? Gue suka sama lo, Celia! Gue suka sama lo!”
Cut!” Ivan menekan tombol record lagi. “Oke, Ryan, sekarang lo coba deh peragain adegan pas ngajak Celia pulang bareng.”
“Oke.” Ryan mengangguk.
And action!” Ivan sekali lagi menekan tombol record.
“Ayo, naik.” Ryan menganggukkan kepala seakan-akan sedang mengajak seorang gadis untuk pulang bareng. “Cewek kalau sendirian aja rawan copet lho, apalagi kalau naik bus atau enggak angkot. Jah, gimana sih? Udah, aku antar aja nih, lebih cepat sama lebih aman!”
Jenni mengangguk-angguk menatap senyuman Ryan yang tengah memperagakan dialog adegan mengajak Celia pulang bareng. Senyuman dia angkat lebar ketika menyadari pemuda itu telah melebihi ekspektasinya.
Cut! Oke, segitu dulu aja, Ryan.” Ivan mengakhiri sesi casting Ryan.
“Eh? Segitu doang?” Ryan melongo.
Iya.” Ivan mengangguk.
“KYAAAAA! Udah nyampe seribu!” jerit Jenni mengecek layar ponselnya. “Emang bad boy masih tren banget di Wattpad!”
“Seribu itu masih dikit lho, Jen. Jangan senang dulu, apalagi pas cerita lo gue adaptasi, gue udah baik-baik nanya lo,” sanggah Ivan menyeringai.
Jenni memukul lengan kiri Ivan. “Ih! Jahat banget sih lo!”
Selagi Jenni memukul lengan kiri Ivan perlahan berkali-kali atas sebuah candaan, matanya berpapasan dengan Bayu yang telah berdiri di hadapan mereka tepat setelah Ryan keluar dari ruangan. Menyadari tatapan mereka bertemu, Ryan langsung cekikikan.
“Ciyeee …. Akrab nih!” komentar Bayu.
“Ih! Lo kan belum dipanggil ih!” jerit Jenni.
“Oke, Bay, langsung aja deh. Coba lo peragain pas ngajak Celia pulang dari sekolah,” pinta Ivan.
“Ivan, ah!” Jenni menampar bahu Ivan.
“Dia juga ngincar pemeran utamanya, woi!” seru Ivan mengingatkan. “Oke deh, langsung aja. Siap, kan? Action!”
Ivan mulai melebarkan senyuman lebar ketika memulai memperagakan salah satu adegan di hadapan kamera. “Lho? Belum pulang? Bareng aja, hayu! Udah, naik aja. Kan cewek kalau sendirian rawan lho, apalagi naik bus atau angkot. Aku antarin ya!”
Cut!” seru Ivan setelah menatap Jenni terpesona dengan pembawaan Bayu.
***
“Hasil casting-nya bakal diumumin minggu depan. Gue sama Jenni harus diskusiin dulu yang mana yang bakal jadi pemeran utama prianya. Pokoknya, makasih banget yang udah mau casting, apalagi sampai datang buat nyemangatin. Nanti kita kumpul lagi pas pengumumannya ya.”
Seluruh anggota klub film yang telah duduk di atas karpet atau matras di dalam ruangan bangkit begitu Ivan telah menutup pertemuan. Mereka mengangkat kaki dari ruangan untuk segera pulang dan meninggalkan halaman kampus ketika langit telah mulai menjadi oranye.
“Jen, kayaknya ini naskah butuh diubah nih,” komentar Ivan ketika seluruh anggota klub film yang lain telah meninggalkan ruangan.
Ketika Bayu mendekati tempat parkir motor depan gedung kampus, pandangannya tertuju pada Michelle yang telah berlalu melewatinya, mengabaikan begitu saja. Alih-alih melewati pagar tempat parkir, dia menjaga jarak pada Michelle sambil mengikutinya perlahan, melakukan hal berisiko, stalking.
Jalan setapak mereka lewati, setiap gedung fakultas lain juga terlihat mengelilingi, beberapa mahasiswa yang baru saja selesai melakukan kegiatan di kampus, terutama kegiatan himpunan, juga mulai ramai mengelilingi setiap gedung fakultas.
Dalam benak Michelle, saking sibuk dia harus menyelesaikan presentasi dan proposal skripsi. Apalagi dia baru saja mencari beberapa referensi psikologi sastra di perpustakaan kampus, begitu lelah ketika dia harus memilah setiap materi dan teori yang akan dia gunakan dalam mengerjakan skripsi nanti.
Keramaian di depan gerbang universitas juga tidak dapat memberi distraksi bagi Michelle. Aktivitas warung makan, jajanan, dam kios-kios itu semakin memuncak saat waktu kuliah telah berakhir, memasuki sore hari. Jual beli, makan sore, dan setiap percakapan tidak dapat mengubah fokus Michelle dalam memikirkan bagaimana presentasi proposal skripsinya.
Memasuki trotoar di jalan raya, Bayu justru tidak berhenti mengikuti Michelle secara diam-diam, melainkan rela meneruskan langkah demi langkah. Suara kendaraan bermotor lalu-lalang pun mengiringi langkah mereka, begitu pula keramaian trotoar penuh dengan lapak pedagang kaki lima yang mulai beraktivitas.
Michelle sama sekali tidak memandang ke belakang, sama sekali tidak tahu ada seseorang yang mengikutinya. Fokusnya pada ke depan jalan juga teralihkan secara bergantian dengan segala pikiran, skripsi, sidang, dan dunia kerja. Dia hanya bisa menatap masa depan setelah melewati kesuraman dalam masa kehidupan kampus.
Michelle akhirnya berbelok menuju jalan kecil dekat sebuah minimarket. Jalan berlubang, pagar pembatas saluran air, dan beberapa gedung kostan menyambut begitu memasuki. Dia percepat langkah, tidak sabar ingin meneruskan presentasi proposal skripsinya di kosan.
Bayu juga tetap menjaga jarak begitu jauh, mengikuti Michelle bahkan sampai ke jalan kosannya. Langkahnya terhenti ketika Michelle memasuki gedung kosan yang menyerupai sebuah apartemen, gedung bercat merah dia simpulkan sebagai tempat kost yang tengah Michelle tempati.
“Eh, Michelle, udah balik,” sapa seorang ibu-ibu berjilbab pink.
“Iya, Bu,” balas Michelle menundukkan kepala untuk hormat.
Usaha stalking Michelle telah sukses besar tanpa ketahuan sama sekali. Senyuman Bayu kian melebar melihat sebuah keadaan yang menguntungkan.

Comments

Popular Posts