Drama untuk Skenario Kehidupan Episode 6
Take 06
“Oke, terima kasih buat Nita yang
udah presentasiin. Yang terakhir, Michelle, silakan.”
Mencuri start dari perkataan salah satu dosen pengampu mata kuliah seminar
sastra, Michelle langsung bangkit menggenggam flash drive-nya mendekati laptop salah satu teman sekelas. Seluruh
teman sekelas memberinya tepuk tangan sebagai penyemangat atau penghormatan.
Begitu menghadap seluruh teman
sekelas dan para dosen yang telah menunggunya untuk memulai presentasi,
Michelle memasukkan flash drive pada
laptop dan membuka file presentasinya
dengan cepat.
Michelle memberi salam untuk
membuka sesi presentasinya, “Selamat pagi, semuanya. Hari ini saya akan
mempresentasikan mengenai proposal skripsi saya yang berjudul Hubungan Pasif
Agresif dalam Dua Contoh Novel Wattpad: Sebuah Kajian Psikoanalisis.”
Memasuki mode slide show, tampilan presentasi juga terpampang pada layar
proyeksi yang terpancar pada papan tulis. Setelah slide pengenalan, Michelle memindah menuju slide latar belakang masalah.
“Jadi … saya memilih novel yang
awalnya ditulis di Wattpad, tentunya bertema bad boy dan dirty CEO,
karena … saya sendiri juga heran. Kenapa kebanyakan novel dari Wattpad yang
sudah diterbitkan kebanyakan bertema begitu. Pada saat yang sama, saya juga
heran kenapa banyak pembaca yang lebih berminat novel-novel bertema bad boy dan dirty CEO, baik yang di Wattpad maupun pembeli buku. Faktanya,
novel-novel bertema seperti itu kerap menjadi best seller dan favorit penikmat novel.
“Dari kacamata saya sendiri,
sebenarnya saya agak geli dengan novel-novel bertema bad boy dan dirty CEO.
Saya juga heran, kenapa gadis yang jadi tokoh utama mau menerima lelaki tampan
tapi nakal, bisa dikatakan sebagai bad
boy atau dirty CEO, padahal bisa
saja gadis itu memilih lelaki yang lebih baik, lebih dermawan.
“Nah, novel yang akan saya jadi
objek penelitian tentu sudah menjadi pionir dalam tren novel jebolan Wattpad,
bisa dikatakan kedua novel ini juga memulai tren tema yang telah saya sebutkan
tadi, Dear Nathan dan The Bad Boy in Suit. Bad boy dan dirty CEO temanya.”
Beralih ke slide selanjutnya, tertulis masing-masing dua identifikasi masalah
dan tujuan penelitian. Michelle tahu, jika lebih dari dua, akan menjadi sangat
lama dan rumit dalam mengerjakan skripsi nanti.
“Nah, saya juga menggunakan
psikologi sastra untuk penelitian, bisa dikatakan saya menggunakan pendekatan
psikoanalisis dalam penelitian ini. Saya ingin memperkaitkan psikologi sang
tokoh utama mengapa bisa lebih ingin menerima bad boy atau dirty CEO atau
bisa dikatakan lelaki nakal. Juga … saya sendiri juga bertanya-tanya apakah hal
ini lazim terjadi di dunia nyata, atau hanya terjadi di dunia rekaan dalam
cerita seperti ini.”
Michelle menjelaskan setiap materi
dalam slide presentasi tanpa
terbata-bata, apalagi jeda canggung, seperti seseorang yang telah mengikuti
kelas public speaking. Dia
menjelaskan materi yang telah dia simpan di dalam benak sebagai pelengkap dari
setiap tulisan pada slide presentasi.
Memasuki sesi tanya jawab setelah
mencapai slide terakhir, beberapa
teman sekelasnya mengacungkan tangan ingin mengajukkan pertanyaan atau hanya
sekadar kritik dan saran. Michelle sampai tertegun tidak menyangka presentasi
proposal skripsinya akan cukup menarik perhatian.
***
“Lo enak presentasi pertama ah! Bulan
depan lo bisa UP nih,” sahut Yuna pada Michelle saat keluar dari kelas menuju
tangga.
“Lo mending fokus dulu sebelum
dapat giliran presentasi nih. Syukur-syukur bisa jadi kita lulus bareng,” ucap
Michelle.
Mendekati tangga, Michelle terentak
saat melihat dua orang tidak asing baru saja tiba di lantai dua gedung fakultas
mendekatinya, apalagi dari klub film. Dia kembali membuang muka begitu menatap
salah satu dari mereka adalah Bayu, orang yang pernah menganggunya pada suatu
malam, apalagi karena sudah stalking.
Baginya, lebih buruk, pemuda “tidak bersalah” itu telah mengajak Ivan, salah
satu anggota klub film.
“Michelle,” sapa Ivan.
Michelle tertegun ketika mendengar
panggilan Ivan padanya, apalagi Bayu juga berada di hadapannya. Entah mengapa,
dia terasa tidak bisa melewati mereka begitu saja menuju tangga agar tidak
terpicu kembali setiap kenangan buruk di klub film. Apalagi, beberapa mahasiswa
satu per satu terlihat berlalu lalang keluar masuk kelas.
“Lo!” Michelle menunjuk Bayu.
“Udah, kamu tenang dulu,” bujuk
Bayu mengangkat tangan kirinya, “Ivan mau ngomong sama kamu nih.”
Ivan mengangguk sambil mencuri
kesempatan untuk berbicara. “Michelle, gue paham lo udah trauma pas keluar dari
klub film, gue ngerti gimana perasaan lo. Gue ngerti lo pengen move on dari semuanya.”
“Trauma?” ulang Yuna melongo.
Michelle menggeleng. “Enggak, udah
kelihatan intinya, lo pada mau gue balik ke klub film, kan?”
“Michelle, gue tahu Bayu udah
berusaha ngajak lo balik. Selain itu, lo punya potensi, lo bisa jadi pemeran
utama dalam film yang kita bakal siapin. Lo enggak usah khawatir lagi sama
Margin deh.”
“Margin? Dia yang udah bikin gue
sengsara selama di klub film!” bentak Michelle seraya menarik perhatian
beberapa mahasiswa di sekitar. “Gue udah bilang pas syuting terakhir, gue emang
udah keluar, gue muak banget sama perlakuan dia sama gue! Kalau gue gabung,
bakal sama aja!”
“Michelle—” Ivan mencoba memotong
untuk menenangkannya.
“Lo—” jerit Michelle
menunjuk-nunjuk Ivan dan Michelle, “—kelewatan maksa! Lo kelewatan! Gue udah
keluar! GUE UDAH KELUAR!”
“Michelle.” Yuna menarik tangan
Michelle.
“Lepasin!” jerit Michelle menampar
tangan Yuna.
Michelle mengencangkan lari
melampiaskan segalanya, terpicu kembali setiap kenangan buruk di dalam
benaknya. Dia berlari melewati tangga, setiap anak tangga dia injak keras,
semakin cepat kecepatan larinya ketika keluar dari gedung kampus.
Seluruh mahasiswa yang berada di
sekitar tangga menuju lantai dasar itu tertegun dan melongo, seperti menonton
sebuah adegan dramatis sebuah reality
show. Begitupun juga salah satu teman Yuna yang menemui mereka.
“Yun, itu si Michelle kenapa?”
tanya gadis berjilbab hijau itu.
“Uh … sorry, kita udah semacam make
a scene—” Ivan mencoba untuk meminta maaf.
Yuna memotong, “Enggak apa-apa,”
“Oh ya, lo pada dari klub film,
kan? Michelle pernah di sana sama lo, kan?” tanya gadis berjilbab hijau. “Kalau
boleh tahu, kenapa ya si Michelle sampai keluar apalagi marah-marah kayak
gitu?”
***
“Michelle? Michelle?”
Michelle terasa seperti kembali ke
dunia nyata, setelah lama menangisi terpicu kembali setiap kenangan buruk hingga
terasa meninggalkannya, saat mendengar ketukan pintu dan panggilan. Dia telah
menghabiskan waktu berusaha kembali menyapu bersih setiap kenangan buruk sambil
berbaring di tempat tidur.
Wajahnya seperti berat saat seluruh
air mata di pipi mengering menjadi bekas garis hitam. Dia perlahan bangkit
tetapi seperti kalah sebelum bertanding, kehilangan semangat menuju bencana.
Michelle sebenarnya tidak ingin
membukakan pintu dan terus berbaring dalam gemerlap ketidaksadaran, agar
mempermudah dirinya untuk menyapu semua kenangan buruk. Kenyataan memang
menyakitkan, menyapu kenangan buruk memang sulit bagi Michelle, apalagi jika
terpicu oleh pertemuannya dengan setiap anggota klub film.
Michelle akhirnya membuka kunci
pintu dan menarik gagang, menyaksikan kedua teman dekat telah berdiri di
hadapannya. “Yuna? Keisha?”
Keisha, gadis berjilbab hijau,
terlebih dahulu menginjakkan kaki pada lantai kamar kostan Michelle. “Michelle,
enggak apa-apa kan kita ke sini?”
“Kita mau ngomong baik-baik sama
kamu. Duduk aja,” bujuk Yuna.
Michelle bahkan tidak ingin
menghadapi kedua sahabatnya sendiri, memang terlalu berat baginya jika sedang
terpuruk oleh kenangan-kenangan buruk di dalam otaknya, apalagi perlakuan
Margin terhadapnya. Mereka akhirnya duduk di atas tempat tidur demi memulai
sebuah percakapan.
“Michelle, kita udah dengar
semuanya dari Ivan sama Bayu tadi,” ucap Yuna.
“Masalahnya, kamu enggak pernah
kasih tahu kenapa lo sampai keluar dari klub film. Sebagai teman lo, enggak
apa-apa kalau lo bilang jujur, kita pasti bakal bantu lo.” Keisha mengusap-usap
punggung Michelle.
“Lo enggak bakal ngerti, enggak
bakal.” Michelle kembali menutupi wajah menggunakan kedua telapak tangan. Air
matanya kembali meledak, tidak dapat membendung lagi setiap kenangan buruk.
“Enggak apa-apa, Michelle. Mending
lo ceritain aja, dari perspektif lo sendiri. Ceritain pelan aja, step by step. Kita pasti bakal dengar
sama ngerti kenapa lo sampai keluar dari klub film. Kita udah dengar dari
perspektifnya Ivan sama Bayu,” bujuk Yuna.
“Coba ceritain aja, Chelle. Coba
dulu,” tambah Keisha.
Michelle membuka wajahnya dan
mendekatkannya pada bahu Yuna, semakin meledakkan segala tangisannya. Tidak
ingin menjadikan beban berat akibat terpicunya kembali kenangan buruk, apalagi
perkataan Margin, sampai mengorbankan kebahagiaan dalam masa kuliah.
“Udah, udah. Kamu enggak sendiri,
kok, Chelle.” Yuna mendekatkan lengan pada leher Michelle secara lembut. “Kamu
ceritain aja, dipendam sendiri jadi enggak enak, kan.”
“Gue … udah salah banget … pas
keluar dari klub film.” Michelle menggesekkan telunjuk pada mata seraya
menghapus air mata. “Gue udah salah. Gue udah kacauin filmnya semester lalu ….
Gue mecahin kameranya. Gue enggak mau balik lagi ke klub film. Gue cuma …
pengen lulus sama cepat-cepat kerja, itu aja. Gue pengen banget ning-ninggalin
… ma-masa ku-kuliah. Su-suram banget gue di sini.”
Napas Michelle mulai terengah-engah
saat berbicara. Tangisannya kembali meledak ketika mencoba menyatukan
kenangan-kenangan buruk di dalam benaknya menjadi sebuah kalimat dari mulutnya.
“Chelle, Bayu sama Ivan udah kasih
tahu kita semuanya. Kita udah tahu apa yang terjadi sama lo sebenernya,” ucap Yuna.
“Michelle, Bayu sama Ivan serius
lho, mau ngajak lo balik ke klub film. Lo bisa jadi pemeran utama filmnya lho.
Serius. Mereka udah capek-capek pengen ngajak lo balik,” Keisha memberi
nasihat, “pada akhirnya, yang udah terjadi ya udah, biarin aja. Lo enggak bisa
terus terpuruk cuma gara-gara masa lalu, Gue tahu lo kuat, lo bisa hadapi
semuanya. Mereka lihat lo punya potensi, Michelle.”
“Nah, kita pengen lo mikir
baik-baik, pertimbangin. Lo bisa bikin kenangan baru, lo bisa ganti kenangan
buruk itu, pasti bisa. Lo enggak boleh mendamin terus masa lalu, lo cuma bisa
hadapin sekarang sama masa depan. Lo mending bikin kenangan baru, biar masa
kuliah lo enggak lo anggap sengsara sama suram.”
Michelle mengangguk. “Gue enggak
tahu harus gimana lagi. Gue juga sibuk ngerjain skripsi.”
“Itu dia, Michelle. Kita pengen lo relax, kita enggak pengen lo stress
terus mikrin skripsi sama masa lalu yang itu. Sekarang lo bikin keputusan, lo
mau gabung klub film lagi atau enggak. Semua terserah lo, asal lo enggak bakal
nyesal nanti,” ucap Yuna.
Michelle menundukkan kepala,
merenungi akan sebuah keputusan yang akan dia ambil. Jari-jemarinya masih
menyapu bersih air mata pada wajah agar tidak terlalu membekas kembali. Dalam
pikirannya, dua buah keputusan sudah mulai berperang demi memenangkan sebuah
hasil pertimbangan.
Sebuah keputusan akan menjadi
pertimbangan berat bagi Michelle, dia bisa bergabung kembali dengan klub film,
tetapi dengan berbagai konsekuensi, beberapa anggota klub film yang lain
mungkin akan tidak suka kedatangannya kembali dan fokus mengerjakan skripsi
mungkin akan berkurang. Dia bisa menolak demi fokus mengerjakan skripsi,
membiarkan masa kuliahnya tetap menjadi suram untuk selamanya.
***
Jenni mengempaskan langkah kaki
memasuki ruang klub film, wajahnya dia kerutkan, cemberut, apalagi ketika
membanting tas dan menempati tempat duduk di karpet, bersandar pada dinding.
Hampir seluruh anggota klub film
yang telah tiba memperhatikan rengekan gadis bertubuh gempal itu. Sebagian
kecil, termasuk Ryan dan Bayu, bergeser mendekatinya, mencoba bertanya begitu
menatap Jenni semakin meledakkan rengekannya.
Jenni mencuri start, “Cerita gue
dinyinyirin! Gue dapet kritik yang bikin hancur! Cerita gue dibilang kayak soal
bahasa Indo! Enggak punya imajinasi gimana bad
boy lagi!”
Jenni menggoyangkan badan
melanjutkan rengekannya seperti anak kecil. Kepalan tangan dia pukulkan pelan
pada karpet, tidak dapat membuang pikiran kritikan yang menghancurkan mental
sebagai penulis novel.
“Jahat banget sih itu orang!
Kritiknya bikin gue hancur tahu enggak!” jerit Jenni lagi. “UHH!”
Jenni melampiaskan energi ledakan
rengekannya melalui pukulan menuju lengan kanan Ryan. Ryan pun tercengang akan
aksi Jenni yang kekanak-kanakkan.
“Jen, udah. Sabar,” Ryan menepuk
pundak Jenni. “Dia itu emang hater sih,
ya biarin aja, emang gitu pandangan sama sifat dia.”
“HUH!!” jerit Jenni memukul Ryan
lagi. “Lo enggak ngebantu ah! Cerita gue enggak dihormatin lah! Kayak soal
bahasa Indonesia! Enggak! Enggak!”
“Jen.” Gadis berjilbab hitam dan
berkaos putih menghentikan pukulan Jenni. “Udah. Lo enggak usah ladenin
kritikannya dia, apalagi nerima, emang kritikan itu enggak cocok sama yang lo
butuhin kok. Lagian … emang sering banget di Wattpad kritikannya kayak gitu ke
tiap cer—”
“HUUUH!” Jenni menggesekkan kedua
tangan pada gadis berjilbab hitam. “Lo sama aja, Silvia!! Semangat nulis gue
jadi ancur gara-gara itu kritik! Jahat banget sih!”
“Udah, udah, mending hapus aja
kalau emang masih kepikiran,” usul Bayu.
Ivan akhirnya menapakkan kaki pada
ruang klub film, menatap seluruh anggota yang telah berkumpul, duduk di atas
karpet atau matras. “Semuanya udah pada di sini, kan?”
“Iya, ini semuanya emang udah,”
jawab seorang wanita berambut cokelat sebahu menatap seluruh anggota.
“Oke, ini dia, sebelum ngumumin
hasil casting-nya, gue pengen lo welcome sama salah satu anggota baru
kita.”
“Eh? Emang udah oprec lagi? Kita belum, kan?” tanya
salah satu anggota lelaki.
“Silakan masuk.” Ivan menghadap
pintu mempersilakan anggota baru untuk masuk.
Anggota baru itu menampakkan diri
melewati pintu dan menginjakkan kaki pada lantai putih, membuat seluruh anggota
klub film melongo dan tertegun. Anggota wanita berambut cokelat sebahu itu
justru melotot heran pada kedatangan anggota baru itu.
Tidak seperti yang lain, Bayu
menyeringai ketika identitas anggota baru itu terungkap di hadapan seluruh
anggota klub film. Kerja kerasnya memang sudah terbayar, apalagi saat Ivan
membantunya.
“Welcome back, Michelle,” sapa Ivan.
Michelle berdiri di samping Ivan
dan di hadapan seluruh anggota klub film. Sudah dia duga akan reaksi mereka
terhadap kedatangan kembali dirinya di ruangan itu, memang … ketegangan
tertanam semenjak dia memutuskan untuk kembali ke klub film, demi membuat
kenangan baru sebagai mahasiswa tingkat akhir.
Comments
Post a Comment