Drama untuk Skenario Kehidupan Episode 5
Take 05
Tidak ada jadwal kelas bukan
menjadi alasan bagi Michelle untuk bolos ke
kampus pada hari itu. Lantas, alih-alih malas gerak di kostannya atau
berjalan-jalan bebas di tempat hangout lain,
dia memanfaatkan waktu libur dengan meneruskan presentasi proposal skripsi
sebagai tugas mata kuliah seminar sastra di kampus.
Tempat duduk di dekat tempat parkir
menjadi pilihan untuk mengerjakan skripsi. Atap berbentuk bujursangkar
melindungi dari teriknya panas dari matahari. Meja keramik outdoor berbentuk persegi panjang berkaki cat krem menjadi alas
pada laptopnya, kursi berwajah keramik juga menjadi tempat duduk bersih dan
nyaman. Pohon tinggi juga membantu udara agar berembus pada tempat duduk.
Tempat duduk yang berada di dekat
tempat parkir itu terletak di sebelah timur gedung fakultas. Tepat di hadapan
tempat parkir, terdapat lapangan basket dan tangga menuju lantai dua gedung
sekaligus tempat duduk dalam satu paket. Keramaian di lapangan basket juga
riang sembari menunggu jadwal kuliah bagi para pemakainya.
Gerakan jari pada keyboard laptop dan tetikus menjadi
kontrol permainan dalam merangkai kata-kata pada file presentasi proposal skripsinya. Sebaik mungkin, setiap detail
dalam peringkasan pada setiap slide presentasi
dia pastikan mengenai inti dari setiap subbab dalam proposal skripsi.
Pelajaran penting telah dia
terapkan semenjak presentasi pada mata kuliah Kapitaselekta Sastra pada
semester lalu. Dalam presentasi, teks dalam setiap slide tidak perlu dia baca, melainkan memperluas penjelasan dan
memperkaitkan dengan kata-kata yang telah tertulis. Oleh karena itu, dia
menyimpan penjelasan perluasan inti yang telah dia ketikkan dalam file presentasi di dalam otaknya.
Michelle menghela napas melihat
setiap slide sekali lagi dengan mata
tajam, memastikan tidak ada lagi salah ketik, kalimat bermakna ganda, penulisan
kutipan dari segala sumber pustaka, dan kebakuan kata. Pasti setiap kesalahan
akan mengangkat tajam alis dosen, terutama di jurusan sastra Indonesia.
Semuanya harus sempurna, itulah prinsipnya dalam mengerjakan setiap tugas
kuliah dari dosen.
Begitu selesai memeriksa dan
memastikan tidak ada lagi kejanggalan di dalam setiap slide presentasinya, dia buka folder tugas demi mengerjakan tugas
dari mata kuliah lain, sempat-sempatnya dia mulai mengerjakan pada sela-sela
waktu meneruskan tugas presentasinya. Dia juga semakin rajin mengerjakan setiap
tugas dengan cepat semenjak keluar dari klub film, alhasil, tidak ada lagi
beban tambahan dari tugas himpunan untuk kehidupan kuliahnya.
Ketika merasakan ada sosok di
sebelah kirinya, Michelle tercengang ketika melirik seseorang tidak asing
tengah duduk di sebelahnya. Terlebih, sama sekali tanpa meminta izin sebagai
orang asing untuk menumpang duduk di sebelahnya, memang akan terlalu canggung,
apalagi terasa menyinggung jika secara sembarangan.
Menatap wajah dari orang itu,
Michelle mengetahui bahwa orang itu adalah Bayu, anggota klub film yang terus
“memaksa” dirinya bergabung kembali ke klub film, meski sudah menyatakan keluar
setelah insiden pemecahan kamera. Setiap kali menatap senyuman pria berwajah
oriental itu, semakin memanas pikirannya.
Demi mengalihkan fokus menuju
laptopnya, kembali mengerjakan tugas-tugas lain, Michelle membuang muka sambil
menjulurkan bibir. Kakinya juga secara tidak sadar menginjak lantai begitu
keras, saking bosan menghadapi lelaki menyebalkan itu.
Bayu berdehem sebelum membuka
suara, “Pantas lagi ngerjain banyak tugas, mahasiswa tahun akhir sih. Ya …
ngerti sih sok sibuk gitu, ngerjain skripsi lah, nyiapin proposal, terus …
mikirin bakal kerja di mana. Saya memang belum mengalami gimana rasanya jadi
mahasiswa tahun akhir, apalagi mahasiswa abadi, tapi saya tahu … pasti bakal
mengalami jenuh, apalagi yang enggak gabung sama himpunan atau klub.”
Mendengar kata saya terlontar dari mulut Bayu alih-alih gue, Michelle cukup tertegun, apalagi kalimat sedikit formal
layaknya sedang berbicara pada atasan atau dosen. Tetapi, itu tidak mengubah
fakta bahwa Michelle tetap menjulurkan bibir ke bawah.
“Saya tahu, kamu emang serius
banget jadi mahasiswa tingkat akhir. Ya … nanti gampang stres lho, mending
gabung aja lagi sama klub film. Kan ada saya juga.”
“Kurang ajar!” Michelle akhirnya
tidak dapat menahan untuk melampiaskan segala gangguan. “Lo apaan sih ngomong
sembarang kayak gitu!”
“Heh! Saya enggak ngomong
sembarangan, saya cuma pengen ngajak kamu balik ke klub film.”
Michelle membanting tutup
laptopnya. “Enggak usah sok formal deh!” Dia bangkit menghadap Bayu sambil
meledak-ledak, tidak peduli beberapa orang di sekitar memandangnya. “Lo enggak
dengar pas terakhir kali gue syuting? Gue emang udah keluar dari klub! Ngapain
lo ngajak gue lagi sih?”
“Kita butuh—”
“Ah!” Michelle memasukkan laptop ke
dalam tasnya dan menutup risleting dengan cepat dan keras. “Gue jadi enggak mood di sini gara-gara lo, tahu enggak!
Gue leave!”
Michelle mengangkat kaki dari
sekitar meja dan menginjakkannya pada jalan bebatuan dekat tempat parkir,
menuju halaman depan gedung fakultas. Emosinya telah mendidih karena mencapai
puncak ketidaksabarannya.
Bayu hanya menunduk khusyuk pada
beberapa orang di sekitar meja dengan canggung, telah membuat mereka ikut
terganggu oleh aksinya demi mengajak Michelle. Dia meminta maaf tanpa
berkata-kata, hanya menganggukkan kepala, seakan-akan memasang wajah “tidak
berdosa”.
***
Segala tugas yang masih belum
terselesaikan tetap menjadi fokus Michelle ketika dirinya telah mencapai
kostan. Letakkan laptop di meja belajar, duduk menghadapnya, dan mulai kembali
mengerjakannya demi mengusir kekhawatiran akan mengejar deadline secara terburu-buru.
Sekali lagi, Michelle menghela
napas, memang saatnya untuk mengakhiri kepenatan dalam mengerjakan tugas pada
hari itu, menjentikkan jari pada keyboard,
mencari referensi di internet, dan membaca kembali setiap catatan pada mata
kuliah, termasuk dari semester-semester sebelumnya.
Sebuah ketukan membuyarkan fokusnya
terhadap laptop. Pandangannya beralih pada pintu yang telah terkunci rapat
tengah mendapat ketukan kepalan tangan dari luar.
Michelle bangkit dari hadapan meja
dan membuka pintu. Mengira ada tetangga sebelah satu kosan yang ingin sekadar
meminta bantuan atau meminjam sebuah barang, tetapi … hal yang tidak terduga.
Sesosok pria sama persis ketika dia berada di bangku dekat tempat parkir gedung
fakultas siang tadi.
Ditatapnya wajah “tidak berdosa”
pria oriental itu, semakin memanas otak Michelle. Padahal, dia sama sekali
tidak memberitahu alamat atau letak kostannya pada pria itu.
“Lo!” jerit Michelle. “Lo tahu
darimana tempat ini! Tahu darimana gue di sini?”
Bayu menyeringai, “Ya … kamu sih
susah banget diajaknya.”
Michelle akhirnya menyimpulkan berdasarkan
perkataan Bayu, dia ayunkan telunjuk kanan. “Lo! Lo nge-stalk gue? Yang bener aja lo!”
“Lo sih, enggak jawab LINE kita-kita,
kita butuh lo buat syuting nanti soalnya.”
Michelle tetap bersikukuh, “Gue
enggak bisa, gue sibuk sama skripsi, gue enggak ada waktu. Gue enggak mau kalau
masih ada Margin di situ, dia yang nyebabin gue kayak gini!”
“Lo enggak usah sok sibuk gitu lah.
Udah, tenang, lo alihin pikiran lo baik-baik—"
“Lo yang enggak usah sok maksa gue!
Gue udah keluar dari klub film, titik!” jerit Michelle beralih mendekati meja
dan mengenggam gelas peralatan tulis di dekat laptop.
Tanpa terduga, Michelle melempar pulpen
satu per satu dari gelas peralatan tulisnya, tentu Bayu dia jadikan target. “Pergi!”
“Woi!” jerit Bayu bergeser menghindari
hingga bersandar pada pintu. “Enggak usah gitu juga! Enggak malu sama teman
sekostan?”
“Pergi!” Michelle tetap melempar
segala hal dari gelas peralatan tulisnya, terutama pulpen.
Bayu menangkis lemparan pulpen
menggunakan tangan kiri dan menamparnya ke lantai. “Woi! Bahaya lempar pulpen
kayak gitu! Lebih bahaya daripada pisau malah!”
“Pergi lo!” jerit Michelle
menghampiri Bayu menggenggam erat gelasnya, ingin melemparnya tepat pada
kepala.
“Oke, saya pergi aja.” Bayu
berpaling dari pintu kamar Michelle. “Lo pikir lagi deh, Michelle, perbuatan lo—"
“Pergi!” Michelle memelankan suara
jeritannya, mengusir Bayu sekali lagi.
Michelle akhirnya menutup pintu dan
menguncinya, melampiaskan segala ledakan emosi, tidak peduli akan beberapa
teman satu kostan yang mendengar aksinya. Dia melempar gelas tempat alat tulis
menuju tembok tempat tidur.
Beruntung, gelas itu terbuat dari
plastik, bukan dari kaca yang mudah pecah menjadi beling berkeping-keping. Sama
seperti setiap kenangan buruk akan perlakuan Margin padanya, tetap menjadi
padat di otak, tidak dapat tersapu begitu saja menjadi sebuah kepingan atau
cairan.
Lo
enggak berhak akting di depan kamera, lo
amatiran banget sih, lo cuma bisa ganggu kelancaran syuting tahu!
Sekali lagi, dia genggam salah satu
pulpen dari lantai dan melemparnya dengan keras. Menyaksikan pulpen itu
terbaring ke lantai, dia bersandar pada punggung seiring air matanya kembali
bercucuran.
Kepalanya dia tempel pada lutut,
tidak mampu menahan segala amarah dan tangisan dari terpicunya kembali setiap
kenangan buruk di dalam benaknya. Emosinya meledak sekali lagi setiap kenangan
buruk terputar kembali dan tidak bisa terusir begitu saja.
Comments
Post a Comment