Drama untuk Skenario Kehidupan Episode 7
Take 07
Terkejut? Memang seharusnya begitu.
Terutama bagi hampir seluruh anggota klub film, kedatangan kembali Michelle
sangat tidak terduga. Emosi mereka begitu terpendam di dalam hati siap untuk
meledak dalam kata-kata.
Michelle telah menghabiskan dua hari
untuk mempertimbangkan tawaran dari Ivan dan Bayu, saat terakhir kali dia
meledak di hadapan semua orang setelah mata kuliah seminar sastra berakhir. Dia
mengerti beberapa dari anggota klub film tidak akan menyukai kedatangannya
kembali, bisa terlihat dari raut muka setiap orang.
Ivan mengumumkan, “Kayak yang gue
udah bilang kemarin-kemarin, Michelle bakal jadi pemeran utama wanitanya.”
Gadis berambut cokelat sebahu
mengangkat tangan menunjukkan keberatannya, “Van! Kenapa sih harus Michelle?
Dia kan udah keluar! Terus … dia juga udah ngancurin proyek film kita! Dia udah
ngancurin itu kamera, kan?”
“Tiara, udah, itu masa lalu. Lo
enggak usah pada mikirin masa lalu, udah enggak perlu dibahas lagi—” ucap Ivan.
“Ya dia udah bikin masalah duluan
dong!” jerit Tiara menunjuk-nunjuk Michelle. “Dia biang keroknya! Udah
ngancurin kamera, nyebabin film kita gagal total, terus … dia berani-beraninya
datang ke sini. Dia udah nyebabin klub film kena masalah sama BEM lho, Van!”
“Tiara. Lo ingat, Michelle enggak
salah, gue tahu, dia cuma pengen kasih tahu ke Margin kalau emang memori
kameranya penuh,” Ivan mencoba mengingatkan, “semuanya, lo pada tahu kan,
Margin duluan yang nyerang Michelle. Ingat kan, pas Michelle dipukul pakai
tripod.”
“Terus … itu kamera rusak bukan salah
Michelle?” tantang seorang wanita berambut ikal panjang.
Jenni mengingatkan, “Harusnya kita
enggak cari masalah sekarang lah. Michelle emang udah pilihannya Ivan, dia
emang enggak dapat kesempatan buat at
least usaha lah jadi di depan kamera. Margin malah enggak.”
Tiara membentak lagi, “Michelle
emang enggak pantas di depan kamera! Udah dia melambat, sering lupa naskah
lagi. Terus, dia lolos gitu aja enggak pakai casting, udah berani datang ke sini lagi lah!”
Ryan mengangkat tangan, “Sebenarnya
gue juga setuju sih sama Tiara, kerasa enggak adil kalau Michelle langsung
kepilih jadi aktris utama project film
ini. Kalau casting pemeran pria utama
ya jadi, kenapa enggak cewek aja sekalian?”
Bayu membela, “Gue percaya,
Michelle emang punya potensi.”
“Oh! Potensi buat ngancurin film
gitu? Buat semua project kita ancur
aja sekalian!” tambah Tiara menyindir.
“Udah cukup deh ngeluhnya,” Ivan
menghentikan segala keluhan dari setiap anggota, terutama Tiara, “Tiara, lo
selama ini enggak mikir lagi, kalau emang Margin nyebabin semua masalah sebagai
ketua. Kita juga sampai ditegur BEM lho. Enggak heran sih, lo ngacung tangan
pengen ngebiarin Margin stay.
“Semuanya, Margin emang enggak
pernah ngasih kesempatan buat Michelle jadi pemeran, gue emang tahu, Michelle
udah bagus dalam casting, tapi dia
malah jadi kru di belakang kamera, hampir selalu, selama Margin masih ada waktu
itu, gue mikir itu enggak adil, not fair.
Lo juga pada mikir itu not fair, kan?
“Apa lo pikir salah satu dari kita
cari masalah tentang ini, kita enggak bakal ketahuan pihak BEM? Lo pikir kita
enggak akan ketahuan dekan sama pihak dosen lainnya, ngeluh, terus pengen cari
masalah. Kalau ketahuan, kita bubar aja, klub film ini dibubarin gitu aja,
gara-gara kita sendiri?”
Kebanyakan anggota yang tengah duduk
di karpet atau di matras menundukkan kepala, terdiam merenungi setiap perkataan
sang ketua. Tiara yang tetap bersikukuh justru tidak mengindahkan di dalam
benaknya, menolak segala nasihat Ivan dengan perisai otaknya.
“Lo tahu kan? Alasan tiap kampus ngadain
himpunan kayak klub film ini? Lo udah masuk sebuah himpunan biar lo bisa
ngembangin potensi lo di luar akademik, biar lo at least dapat pengalaman dalam menggapai cita-cita lo. Jawab
pertanyaan ini di dalam hati lo masing-masing, lo kenapa pada pengen masuk klub
film? Bukan sekadar pengen numpang famous,
kan? Bukan buat pamer ke anak-anak yang enggak bisa masuk himpunan, kan?
“Ingat ya, masuk himpunan kayak
klub film, berarti lo dapat kerjaan ekstra lah, bukan cuma sibuk tugas-tugas
kuliah dari dosen gitu aja. Gue juga dapat kerjaan lebih keras daripada lo
semua, gue ketuanya, gue juga sutradara ini project,
gue juga harus tanggung jawab sama ini klub. Kalau anggotanya udah cari
masalah, ya otomatis ketuanya juga disalahin. Kalau lo emang mau cari masalah,
mending keluar aja.”
Perkataan Ivan membuat Michelle
tertegun dan tersentuh pada dalam hatinya. Pada dasarnya, dia tidak menyangka
Ivan akan begitu keras pada anggotanya yang memang berniat mencari maslaah di
dalam klub film, apalagi sudah mendapat peringatan dari pihak BEM. Satu lagi
masalah besar, klub film akan dibubarkan paksa oleh pihak BEM.
Michelle juga terpikir ulang ketika
Margin tidak ingin menempatkannya sebagai pemeran dalam setiap proyek film,
hanya berada di dalam posisi kru di belakang kamera. Sikap emosinya telah dia
pendam sekian lama ketika Margin terus-menerus menyerangnya sebagai tidak
berbakat. Emosinya sudah tidak dapat lagi terbendung ketika Margin menyalahkan
Michelle ingin memperlambat proses syuting terakhir sebagai kameraman.
“Lo pada ngerti, kan? Gue udah
kasih kesempatan sama Michelle jadi aktris utama film ini. Gue juga udah ambil
kesempatan buat ngambil risiko jadi ketua sekaligus sutradara, tanggung jawab
gue lebih keras daripada lo semua. Gabung ke himpunan bukan buat main-main,
apalagi cari masalah. Ngerti, kan?” Ivan mengakhiri nasihatnya pada seluruh
anggota.
“Ngerti,” jawab sebagian besar
anggota klub.
Ivan menghela napas ketika berbalik
menghadap papan tulis. “Michelle, lo mending duduk aja.”
Michelle hanya mengangguk dan
menempati posisi duduk di dekat Bayu. Alasannya, hanya Bayu yang memang paling
dia percaya semenjak mayoritas dari anggota klub film tidak menginginkannya
kembali semenjak insiden pemecahan kamera saat syuting terakhir.
Ivan mengambil ponsel dari saku
celananya. “Oke, gue bakal ngumumin hasil casting-nya.
Buat semuanya, makasih buat yang udah mau ikut casting, apalagi buat posisi pemeran utama cowoknya.”
Ivan akhirnya membacakan hasil casting yang telah dia tulis di dokumen
ponselnya, seraya mengundang kegembiraan kembali pada setiap anggota. Nama
anggota dan nama peran dia umumkan satu per satu, sekali lagi mengundang
kegembiraan dan kehebohan setiap anggota, terutama bagi seseorang yang duduk di
dekat anggota terpilih.
Bagi Tiara, dia sama sekali tidak
puas, apalagi tidak mendengar namanya dipanggil sebagai anggota terpilih untuk
memainkan peran dalam proyek film kali ini. Bibirnya menjulur ke bawah semenjak
mendengarkan setiap nasihat dari Ivan, terlebih kepahitan di dalam hatinya
terpicu karena kedatangan kembali Michelle.
“Pemeran utama prianya—" Bayu
menuliskan sebuah nama di bawah tulisan nama tokoh utama pria.
Michelle akhirnya tercengang ketika
nama itu telah selesai tertulis di papan tulis, dia menjulurkan bibir ke bawah,
emosinya seperti sedang masak, menunggu hingga mendidih. Bayu, melihat wajah
Michelle sekaligus tulisan nama itu, menyeringai.
“—Bayu,” lanjut Ivan.
Seluruh anggota bertepuk tangan
sambil bersorak begitu semua pemeran sudah ditentukan, kecuali Tiara dan gadis
berambut ikal di dekatnya yang tidak ingin menerima Michelle sebagai tokoh
utama dalam proyek film. Ryan hanya menepuk kedua tangan pelan tanpa mengikuti
sorakan sama sekali, membisu sebagai reaksi kedatangan kembali Michelle.
“Oke, harap tenang!” sahut Ivan. “Script-nya nanti malam bakal dikirimin
lewat LINE. Besok kita kumpul lagi di sini, kita coba table read, terus Minggu nanti kita latihan di halaman depan
kampus. Pastiin sebelum latihan udah pada mulai hapal dialog buat pemerannya.
Oh ya, kalau emang ada masukan ke script-nya,
nanti bilang aja, sebelum kita bener-bener syuting.
“Oke, kalau enggak ada pertanyaan
lagi, kita cukupin dulu aja sampai sini. Makasih banyak buat yang udah ngumpul
di sini. Kita bakal table read besok.”
Michelle langsung bangkit begitu
Ivan telah menutup pertemuan di klub film. Dia melangkah sambil menggerutu di
dalam hati melewati pintu, memendam sebuah amarah mengapa dia harus dipasangkan
dengan Bayu dalam satu proyek film sebagai pemeran utama.
Bayu sontak bangkit dan mengikuti
Michelle, tanpa perlu disuruh lagi. Reaksi seluruh anggota terdiam ketika Bayu
dan Michelle pergi duluan tanpa pamit sama sekali.
“Apaan lah! Dia langsung keluar
enggak pakai pamit segala kek!” sindir Tiara.
Gadis berambut ikal panjang di
sebelah Tiara menambah, “Udah beruntung langsung jadi pemeran utama, malah
cuekin kita-kita.”
“Tiara, Priscil, udah cukup,” ucap
Ivan.
Priscil, gadis berambut ikal
panjang, malah mengeluh, “Lho! Emang dia udah cuekin lah kita-kita.”
“Lagian, kebanyakan dari kita
enggak mau Michelle balik ke sini!” Tiara mengingatkan.
***
“Michelle!” Bayu menyentuh tangan
kanan Michelle ketika tiba di halaman depan.
“Ih!” jerit Michelle menampar
tangan Bayu. “Apaan sih lo! Kenapa lo yang malah jadi pemeran cowok utamanya sih!
Kenapa orang kayak lo mesti jadi pasangan gue di film!”
“Emang udah skenarionya,” jawab
Bayu.
Michelle menghela napas,
mengeluarkan uap kemarahan sedikit demi sedikit dari dalam benaknya. Memandang
Bayu, pemuda berwajah oriental babyface
itu, dia sudah muak, apalagi ketika dirinya harus dipasangkan dan berbagi peran
utama.
Michelle melipat tangannya di dada,
sedikit menggesekkan napas dari dalam mulutnya. Saking kesalnya menyaksikan
Bayu ada di dekat dirinya, dia membuang muka dan menginjakkan kaki begitu keras
dalam melangkah.
Michelle mengajukkan syarat ketika
Bayu mengikutinya dari belakang, mulai meninggalkan halaman depan gedung
fakultas, telunjuknya dia acungkan seakan-akan tengah berbicara sendiri,
“Dengar ya, jangan sok formal, jangan nge-stalk
gue, jangan datang ke kosan gue, dan jangan ngomong sama gue di luar
syuting sama latihan.”
Bayu bereaksi sambil menggelengkan
kepala. “Tapi kan—”
“Diam!” Michelle mengentakkan kaki
kanan pada trotoar batu bata dekat pagar tempat parkir. “Lo tuli ya! Udah gue
bilang jangan ngomong sama gue! Di luar syuting sama latihan! Kita emang
pasangan di film nanti, di real life,
enak aja, gue enggak sudi ngomong sama lo!”
“Michelle ….”
“Enggak! Jangan ngomong sama gue!”
Michelle memperingatkan. “Jangan!”
Tidak ingin meladeni omongan Bayu,
Michelle menindas trotoar menempaskan uap kemarahan yang telah dia dapat selama
berada di klub film. Baru saja kembali sebagai anggota, dia sudah mendapat
tindakan menyebalkan, apalagi dipasangkan dengan Bayu dalam proyek film.
Sebuah kenangan baru yang tengah Michelle
kembangkan sebagai mahasiswa tingkat akhir mungkin akan berujung kesuraman, Dia
hanya ingin semuanya, terutama proses syuting film pendek bersama klub film,
cepat-cepat berakhir dan segera lulus serta melaju ke dunia kerja. Bukan hanya
skripsinya mungkin akan terganggu, tetapi juga perlakuan tidak menyenangkan
mungkin akan kembali terjadi, terutama dari Tiara dan Priscil.
Comments
Post a Comment