Drama untuk Skenario Kehidupan Episode 12


Take 12

Pembacaan naskah pada adegan kedua berlangsung heboh seisi ruangan klub film, dari hening karena tidak bisa berkata seenaknya pada Michelle takut akan kena teguran lagi hingga membuat gelak tawa bereaksi akan kehebohan pembacaan dialog dari tokoh pembantu, terutama yang berperan sebagai teman sekelas Celia, sang tokoh utama.
Aura negativitas seakan terduduki oleh aura positivitas entah kenapa, terlalu cepat beradaptasi dengan keberadaan Michelle yang sebenarnya dinilai tidak pantas sebagai pemeran utama karena tidak melalui proses casting. Mereka dapat menilai potensial dari kemampuan Michelle dalam berakting dan membacakan dialog dalam naskah.
Memasuki adegan ketiga, saat semakin banyak yang memberi pendapat berupa kritik dan saran sebagai catatan perbaikan bagi setiap pemeran, Ivan akhirnya meginjakkan kaki pada lantai ruangan klub film, ternganga akan kehebohan latihan dengan pembacaan naskah, tidak menyangka tanpa dia suruh seluruh pemeran sudah mulai berlatih berbicara menggunakan dialog.
“Eh, Ivan!” sahut Bayu sontak menghentikan proses latihan mereka.
“Whoa, enggak apa-apa, kok. Justru gue suka sama attitude lo, tanpa gue suruh, ternyata lo udah pada mulai latihan,” balas Ivan tetap ternganga.
“Ini Ryan yang ngajak kok buat latihan,” sahut Wulan.
“Ya, daripada gabut sih, mending latihan aja sambil nunggu,” Ryan membela.
“Oke, oke, enggak apa-apa gue ganggu bentar latihannya. Nanti diterusin lagi. Soalnya, ada yang pengen gue ngomongin bentar aja,” Ivan meminta, “nah, yang belum kebagian kerjaan, apalagi jadi pemeran atau enggak jadi kameraman, bisa bantu-bantu juga di pascaproduksi.”
Ivan mengambil spidol dan mulai menulis di whiteboard, terutama mengenai pembagian kru pascaproduksi. Editor, produser, dan penata musik menjadi pokok utama dalam pascaproduksi dalam pembuatan film. Editing dalam film juga menjadi pengaruh apakah sebuah film akan terlihat indah dalam pandangan penonton, apalagi jika diselipi musik latar.
“Yang paling gue pengen ngomongin musik latar. Kita juga pengen kan project ini di-upload ke YouTube, kalau pengen film kita stay di sana, mau enggak mau kita enggak boleh sembarang milih background song-nya, takut kena copyright. Gue pengen film kita ada original composition, termasuk original song-nya pas nanti credits di akhir. So, ada yang pengen bikin musik buat filmnya?”
Rendy, pemuda berambut gondrong belah dua, mengangkat tangan di barisan duduk belakang. “Gue udah mulai bikin lagu, kayaknya bisa dibikin ending theme-nya. Gue juga pengen aransemen lagu background-nya, kayaknya kepikiran bakal kayak gimana.”
“Oke, Rendy yang bakal jadi penata musiknya. Kita bakal tunggu aransemen kamu buat ini film.” Ivan menuliskan nama Rendy di bawah tulisan penata musik. “Yang lainnya, bisa jadi produser atau enggak editor, kan? Buat ngedit filmnya pas udah jadi. Kalau produser, bakal aktif juga selama seluruh proses pembuatan film, kayak gue, sutradaranya. Yang jadi produser, gue pengen lo bantu kasih masukan pas latihan, pas syuting, sama pas editing.”
Ivan sekali lagi menuliskan nama anggota yang belum kebagian peran apapun, baik di depan atau di belakang kamera, membagi tugas sebagai produser atau editor. Seluruh anggota menatap setiap nama yang tertulis pada papan tulis, terutama yang belum kebagian peran apapun, memastikan diri mereka menjadi produser atau editor.
“Tiara sama Priscil enggak ada ya?” tanya Jenni pada seorang anggota laki-laki di dekatnya.
Ivan meminta, “Gue sama Jenni sama para produser di sini bakal usahain nih, lo juga, lo semua, kita bakal mulai syuting awal Oktober, di kampus. Karena Sabtu dipakai buat ospek jurusan, kita hari Minggu aja syutingnya. Usahain, akhir November kita udah kelar syuting, terus editing kelar sebelum UAS. Kayaknya proses syutingnya bakal kepotong UTS, jadi kita bakal syuting kemungkinan sampai sore atau enggak malam.
“Gue pengen kerjasama dari lo, gue pengen lihat attitude baik lo, gue enggak bakal baik-baik banget, gue bakalan tegas sama lo. Kita enggak pengen film kita enggak jadi lagi cuma gara-gara cari masalah apapun.”
Michelle mengangguk saat mengingat sidang UP, yakni acara menunjukkan proposal skripsi, akan diadakan pada pekan yang sama dengan syuting perdana. Dengan begitu, dia dapat mempersiapkan untuk sidang terlebih dahulu demi menenangkan diri saat syuting perdana.
“Minggu depan, kita coba lagi latihan kayak syuting beneran ya, gue enggak mau ada yang telat satu detik pun. Usahain jangan pada telat, termasuk gue sendiri,” pinta Ivan, “ada yang mau disampaiin sebelum latihan lagi?”
Bayu mengangkat tangan. “Oh ya, kita bisa terusin latihan pada lag imager di kostan, kalau enggak lagi ngerjain tugas.”
“Nah! Itu yang lagi gue usahain!” jawab Ryan. “Sekalian hapalin biar enggak repot-repot pas syuting.”
“Oke, kalau gitu aja, kita terusin aja latihannya. Sampai scene ketiga, kan?” seru Ivan. “Oke, kita mulai!”
***
“Oke, kita cukupi aja latihan hari ini, jangan lupa hapalin dialog kalian,” sapa Ivan ketika langit terlihat mulai menghitam dari arah jendela.
Seluruh anggota klub film yang berkumpul dan duduk bangkit dari karpet atau matras bersiap untuk mengangkat kaki dari ruangan, masing-masing membawa tas untuk meninggalkan daerah kampus dan pulang. Sikap mereka sungguh berubah jika dibandingkan saat latihan perdana, wajah berseri-seri memenuhi suasana latihan yang begitu mengundang gelak tawa dan pendapat.
“Ivan.” Michelle mendekati Ivan yang mulai menghapus setiap tulisan di papan tulis.
“Ya.” Ivan berbalik menatap Michelle.
“Uh … pas kemarin … ma-makasih,” Michelle mengucapkan dengan terbata-bata.
“Ya, enggak apa-apa. Gue juga agak muak sama perlakuan Margin ke lo waktu itu sampai lo mecahin kamera, apalagi kemarin, dorong lo di depan semua orang. Ketua sudah seharusnya bertanggung jawab dengan anggotanya, sama aja kayak sutradara dengan pemain dan krunya. Gue ngelihat lo punya potensi, lo punya bakat jadi pemeran utama. Lo udah berkembang dari pas latihan perdana, tinggal confidence-nya aja.”
Menatap senyuman Ivan, entah kenapa … Michelle terdiam, tepat setelah pemuda di hadapannya itu berkata-kata. Tidak disangka, sang sutradara rela melindungi Michelle dari provokasi Margin.
“Uh … gue duluan, ya,” pamit Michelle canggung menundukkan kepala.
“Oh ya, jangan lupa latihan naskahnya di kostan!” sahut Ivan begitu Michelle telah mengangkat kaki dari ruang klub film.
Sambil menatap Michelle meninggalkan halaman belakang gedung kampus dari kejauhan, Ivan mengambil kembali ponsel dari saku celana. Begitu membuka kunci pada layar, notifikasi pesan masuk langsung muncul.
Sesuai dugaan, pesan itu berasal dari ibunya. Isi pesannya tentu sudah bisa Ivan tebak dalam hati sampai menggelengkan kepala. Alih-alih membalas, dia langsung menghapus pesan yang repetitif itu.

Comments

Popular Posts