Drama untuk Skenario Kehidupan Episode 8
Take 08
Butuh persiapan yang cukup matang
sebelum memulai proses syuting proyek film pendek klub film. Naskah yang
diadaptasi dari novel Wattpad milik Jenni itu belum sepenuhnya selesai, masih
membutuhkan polesan pada bagian kasar untuk menjadikan lebih bercahaya.
Meskipun begitu, naskah yang belum final digunakan
untuk table read dan latihan perdana.
Ditambah, Ivan, sebagai seorang
ketua, juga menyiapkan proposal yang dia berikan pada dekan untuk memakai
gedung fakultas sebagai tempat syuting film. Dia kerjakan sekuat tenaga saat
sela-sela mengerjakan tugas kuliah pada malam hari di kostan setelah pengumuman
casting, setiap detail, keformalan,
dan kebakuan berbahasa dalam mengetik dia teliti secara jeli, memastikan
semuanya sudah tertulis dengan benar.
Ketika seluruh kegiatan akademik di
kampus telah berakhir pada keesokan harinya, seluruh anggota klub film akhirnya
berkumpul duduk membentuk lingkaran di dalam ruangan klub untuk mengadakan table read, yakni sesi baca naskah
sebelum syuting benar-benar dimulai. Seluruh pemeran, termasuk Michelle dan
Bayu sebagai pemeran utama, telah memegang beberapa lembar naskah yang cukup
padat, karena rencananya proyek film pendek ini akan berdurasi selama kurang
lebih dua puluh menit.
Seluruh pemeran membacakan dialog
masing-masing dari dalam naskah dalam acara table
read, sebuah kesempatan untuk mempelajari dan mendalami masing-masing
karakter melalui tulisan. Selain itu, beberapa pemeran dan kru dapat mengajukan
pendapat demi memperbaiki naskah.
Dalam sesi tanya jawab dan
pemberian pendapat, begitu seluruh pemeran selesai membacakan naskah, beberapa
anggota berbisik-bisik mengomentari performa setiap pemeran, terutama Michelle yang
baru saja kembali dan langsung mendapat peran wanita utama tanpa harus
menjalani casting. Performa Michelle
memang menjadi sorotan dalam hal buruk bagi hampir seluruh anggota wanita yang
sama sekali tidak mendapat peran, terutama Tiara dan Priscil.
Acara table read berlangsung dari sore hingga malam hari, saat lingkungan
kampus menjadi kehilangan keramaian dengan kegiatan himpunan. Michelle menghela
napas menyaksikan latihan perdananya sebelum syuting film telah berakhir untuk
sekarang.
“Baiklah, makasih buat yang udah
ngasih masukan ke naskahnya, nanti kira-kira bakal selesai dibetulin satu atau
dua minggu depan, tergantung Jenni juga. Buat pemeran, jangan lupa hapalin
dialog adegan awal sebelum latihan Minggu ini, terutama buat Michelle sama
Bayu. Kalau gitu, kita udahin aja table
read-nya.”
Tiara mulai berpendapat pada Priscil
secara perlahan saat satu per satu anggota mulai bangkit untuk meninggalkan
ruang klub film, “Tuh kan, udah dibilangin. Michelle enggak tahu malu banget,
udah ngancurin kamera, malah balik, terus dapat peran utama lagi!”
“Emang enggak adil banget, langsung
dapat peran utama enggak pakai casting,
pantas dia dibilang enggak punya bakat sama Margin. Penghayatannya nol banget.
Kalau kita yang dapat, pasti bakal lebih bagus daripada dia,” tanggap Priscil
setuju saat keluar dari ruang klub film.
“Itu Ivan udah kasihan banget sama
itu cewek? Habis dia enggak diberi kesempatan buat nongol di depan kamera gitu.
Payah banget sih yang jadi sutradara sama ketuanya, pakai nasihatin kita-kita segala
lagi! Kalau Margin masih ada, semua ini enggak bakal terjadi.”
“Udah deh, nanti semuanya bakal
tahu itu cewek sama sekali enggak pantas buat jadi pemeran utama. Emang dia
enggak punya bakat.” Priscil mengangguk sambil berbelok memandangi Michelle tengah
melangkah dan berbicara pada Ivan dan Jenni di hadapan mereka.
***
Laptop dan naskah berlembar-lembar
menjadi hal utama di atas meja belajar kostan Michelle. Namun, fokus Michelle
masihlah layar laptop, saat dia berfokus mengerjakan proposal skripsi alih-alih
menghapal setiap dialog dalam naskah.
Proposal skripsi yang tengah dia
buat memang lebih penting ketimbang menghapal dialog naskah film pendek,
apalagi sebagai mahasiswa tingkat akhir. Tatapannya tidak sedikit pun
teralihkan pada padatnya lembar naskah film pendek.
Alasan klise menjadi mindset bagi Michelle pada malam itu,
tugas-tugas kuliah dan proposal skripsi jauh lebih penting daripada naskah
film. Dia bisa menghapal dialog kapan saja, bahkan jika harus mendadak,
mendekati waktu latihan perdana pada Minggu mendatang.
Ponselnya berdering menunjukkan
notifikasi pesan LINE telah masuk di sebelah kiri laptop. Layar ponsel secara
otomatis menunjukkan pesan yang baru masuk. Teralihkan sejenak, Michelle
mencibir bibirnya begitu mengetahui pengirim pesan itu.
Jangan
lupa hapalin ya! Saya juga lagi hapalin!
***
Minggu, hari yang telah
ditunggu-tunggu. Tidak banyak orang yang rela pergi ke kampus, apalagi ke
gedung fakultas masing-masing, kecuali hanya demi pertemuan himpunan
masing-masing, baik mendadak atau telah dijadwalkan. Lingkungan kampus memang
begitu sunyi, hampir tidak ada lalu lalang kendaraan bermotor di jalan aspal
dalam universitas.
Hampir seluruh anggota klub film
telah berkumpul di halaman depan lingkungan fakultas sastra universitas, kampus
mereka, tepatnya mendekati tiang portal hitam putih penanda gerbang kampus,
bersiap untuk melakukan latihan perdana mereka sebelum memasuki proses syuting.
Tanpa ada kamera, tanpa ada peralatan syuting apapun.
Setiap anggota yang mendapat peran
dalam proyek film pendek itu memegang naskah, kembali membaca, menghapal, dan
mencoba mempraktikkannya, menguji diri agar lebih siap saat giliran berdialog
dalam adegan. Latihan perdana tidak akan memakai bantuan naskah sama sekali,
seakan-akan sudah mulai dalam proses syuting.
Ketika jam telah menunjukkan pukul
10:19, dua anggota terakhir telah tiba, benar-benar terlambat. Ivan sampai
melipat tangan di dada menyaksikan kedatangan kedua anggota itu, seperti yang
dia duga, Tiara adalah salah satu dari mereka.
“Lo telat. Udah kelewat dua puluh menit,” sambut Ivan.
Michelle hanya duduk menjauhi
beberapa anggota lainnya, lebih tepatnya tidak ada yang mau duduk atau berdiri
di dekat Michelle, kecuali Bayu yang dia suruh menjauh ketika ingin
mendekatinya. Naskah tetap berada di genggaman, memutarbalikkan setiap halaman,
terutama pada beberapa adegan pertama. Setiap kata, kalimat, dan frasa dalam
dialog bagiannya dia rekam dari kertas menuju benaknya, jika perlu, mengulang
kalimat sambil menutup mata, memastikan sudah mulai hapal.
Jenni tengah menjentikkan jari pada
keyboard laptop di dekat setiap
anggota, memperbaiki naskah adaptasi novel Wattpad-nya sendiri. Setiap masukan
dari sesama anggota dia pertimbangkan dengan teliti asalkan dapat mendekatkan
konflik dan setiap adegan cerita dengan realita. Sudah biasa jika Jenni kerap
menghadap layar laptop hanya demi mengetik cerita, apalagi sambil menunggu
dosen datang saat kelas.
“Oke, semuanya, bisa minta
perhatian dulu enggak?” pinta Ivan menghadap seluruh anggota klub film yang
tengah sibuk menghapal, mengobrol, atau memberi pendapat.
Seluruh anggota mengalihkan
perhatian pada sang ketua yang telah berdiri di hadapan mereka, terutama
setelah Tiara duduk di trotoar dekat Priscil dan Ryan. Michelle juga tercengang
ketika Ivan menyuruh semuanya untuk memperhatikan, naskahnya dia tempatkan pada
lutut.
“Lo usahain jangan pada telat ya,
apalagi pas mau syuting nanti. Waktu buat latihan kita udah kebuang dua puluh
menitan. Gue pengen lo pada datang tepat waktu, biar semuanya lancar sama cepat
dimulai, enggak perlu ngaret,” pesan Ivan.
“Iya, iya,” gumam Priscil
memalingkan wajah.
“Ya udah, mending kita langsung aja
daripada buang-buang waktu lagi. Michelle.”
“I-Iya?” Michelle bangkit memegang
selembaran naskah.
“Kita coba adegan pertama banget,
pas Celia telat, terus ketemu Aldo yang diperanin Bayu. Siap?”
“I-Iya, gue siap.”
Setelah menaruh naskahnya di tepi
trotoar, Michelle mengambil langkah menuju hadapan portal untuk melakukan
adegan pertama. Dia pastikan beberapa dialog pertama, terutama saat bertemu
tokoh Aldo yang diperankan oleh Bayu sebagai Celia, semuanya berada di dalam
kepala. Dia menarik napas dalam-dalam demi mengurangi ketegangan dalam
berakting sebagai peran utama.
Sudah lama Michelle tidak berakting
di depan kamera semenjak Margin ikut campur dan tidak membiarkannya mengambil
peran. Kali ini, dia mengambil sebuah kesempatan berakting sebagai tokoh utama
demi membuat kenangan baru sebelum meninggalkan dunia kuliah.
“Oke, first scene, pas Celia tiba telat, take one, and ACTION!”
seru Ivan.
Michelle mulai berlari melewati
portal gerbang masuk halaman depan kampus sebagian bagian dari akting. Tetapi …
pikirannya kosong, tidak tahu apa kata-kata yang harus dia katakan dalam dialog
di naskah. Dia terhenti sambil menggelengkan kepala.
“Cut!” seru Ivan menyadari Michelle berlari tanpa berkata apapun.
“So-sorry, gue … enggak
kepikiran—”
“Enggak apa-apa,” bujuk Ivan
menemuinya, “kita pelan-pelan aja, ini baru latihan. Mau lihat naskah lagi?”
“Enggak, enggak apa-apa,” jawab
Michelle mengulum senyuman.
Beberapa anggota klub film yang
duduk di ujung trotoar memandang Michelle dan Ivan justru berbisik-bisik sambil
menunjuk-nunjuk, terutama tentang Michelle. Cekikikan melalui bisikan dan
desahan sedikit terdengar jelas bagi masing-masing anggota yang saling
berdekatan.
“Palsu,” bisik Priscil, “udah
kelihatan dia emang enggak hapal.”
“Dia juga sering lupa naskah waktu
itu kan? Pas dia dapat peran pas syuting, ha ha,” Tiara tidak dapat menahan
cekikikannya.
“Oke, kita mulai lagi!” seru Ivan.
“First scene, take two, and … ACTION!”
“AAAH! Mampus gue!” Michelle
mengatakan dialog pertama sambil berlari mendekati portal, kebalikan dari saat
dia lakukan selama take pertama.
“Bayu!” panggil Ivan.
Bayu dengan cepat mendekati Michelle
begitu mendekati portal. “Telat?”
“I-iya.” Michelle tidak dapat
menghilangkan ekspresi kecut ketika menatap Bayu berada di dekatnya, apalagi
saat latihan adegan pertama. Dia membuang muka sejenak, kembali memanaskan
emosi mempertanyakan mengapa Bayu harus menjadi lawan mainnya. “Ka-kamu … uh
….” Michelle menggelengkan kepala sekali lagi kosong, semua ketegangan dan
kemarahan menghilangkan hapalannya.
“Cut!” Ivan sekali mendekati Michelle. “Bay, lo innocent-nya pas ketemu Michelle udah kelihatan, lo udah bagus
ekspresinya. Michelle kurang penghayatannya nih pas ketemu Bayu, kagetnya
kurang kerasa.”
Tiara sekali lagi menunjuk
Michelle. “Tuh kan, dia enggak punya penghayatan. Kayaknya bakal repot kalau
dia jadi pemeran utama.”
“Kita mending ulang lagi dari awal
deh.” Ivan menghela napas memikirkan Michelle telah melakukan kesalahan dua
kali selama latihan adegan pertama.
“Enggak usah pakai lari, mending langsung bilang, terus Bayu bakal ketemu lo.”
“Van, kayaknya butuh naskah nh,
atau semacam cue card,” usul Jenni
bangkit
“Enggak, enggak apa-apa.” Michelle
memaksakan senyuman pada semua orang di sekitar gerbang.
“Oke, kita coba lagi, take three! ACTION!” Ivan kembali berseru sebagai sang sutradara.
Michelle berlari pelan menjauhi
portal, mendalami karakternya. “AAAH! Mampus gue!”
Bayu telah berdiri di hadapannya
menunggu untuk menemui Michelle. Dia mengambil satu langkah agar dapat
mendekatinya demi mendalami peran sedikit. Senyuman dan cekikikan sedikit dia
angkat begitu Michelle telah di hadapan dirinya.
“I-iya,” Michelle mengangguk.
“Ka-kamu … uh ….” Sekali lagi, pikirannya kosong ketika mengingat kembali
kalimat dalam dialog. Kepalanya seperti berputar-putar dan tersesat mencari
kepingan puzzle yang telah hilang
hingga berantakan.
“Cut!” seru Ivan.
Menonton beberapa kali take yang gagal dalam latihan menjadi
sebuah penyiksaan bagi mayoritas dari anggota klub film, waktu pun tertelan
oleh kesalahan Michelle berkali-kali. Padahal, baru saja berlatih adegan
pertama dan belum berpindah menuju adegan-adegan berikutnya, Michelle tetap
lupa dialognya ketika menemui Bayu dalam adegan terlambat tiba di kampus.
Hampir seluruh anggota telah muak
dengan kesalahan yang telah Michelle perbuat berkali-kali, melupakan dialog.
Mereka bahkan membuat diskusi sendiri-sendiri tanpa perlu memperhatikan setiap take latihan adegan pertama, terlalu
cepat menyimpulkan dan membahas setiap kesalahan.
Meskipun begitu, belum ada kata menyerah bagi Michelle, bahkan rela
tidak melihat naskah atau memakai cue
card sebagai bantuan. Meski sudah diberi semacam petunjuk dialog oleh Ivan,
sang aktris utama tetap terpotong karena lupa inti dari dialog yang seharusnya
diucapkan.
Ivan mengucapkan sebelum memulai
kembali take adegan pertama. “Oke,
enggak apa-apa, udah take ke duabelas
nih.”
“HA! Lihat sendiri kan lo!” jerit
Tiara memotong ucapan Ivan. “Udah dibilangin dia enggak punya bakat!”
“Butuh take seratus aja sekalian! Sampai malam!” ejek Priscil.
“Emang enggak cocok dia jadi
aktris, jadi pohon aja sekalian!”
Beberapa anggota akhirnya tidak
tahan menahan cekikikan mengikuti ejekan Priscil dan Tiara seraya setuju.
Ledekan dan bisikan yang terdengar dan terlihat memicu kembali sebuah ingatan
buruk pada Michelle, semangatnya benar-benar robek di dalam pikirannya, tidak
dapat menampung lagi hujan ledekan dan ejekan terhadapnya, apalagi badai
kenangan buruk mulai melanda.
Terpikir kembali bahwa dia tidak
punya bakat apapun untuk di depan kamera, ditambah ejekan dan gelak tawa dari
setiap anggota, Michelle akhirnya tidak dapat menahan karakternya lagi. Dia
berbalik dan mulai bergegas mempercepat larinya, meninggalkan halaman depan
gedung kampus dengan air mata tidak dapat terbendung lagi hingga mengalir pada
dinding pipi.
“EAA! Mau ke mana lo!” Tiara
melanjutkan ledekannya.
“Nangis! Nangis! Emang cuma bisa
ganggu aja lo di sini!” lanjut Priscil dengan gelak tawa.
Tertegun dengan reaksi Michelle
akan ledekan dan gelak tawa oleh mayoritas dari anggota klub film, Ivan dengan
cepat berbalik dan mengejar Michelle menuju trotoar dekat jalan aspal kampus.
Bayu dan Jenni bahkan tidak bisa bereaksi apapun ketika sebuah reaksi berantai
terjadi begitu saja di tengah-tengah latihan perdana sebelum proses syuting
dimulai.
“Michelle! Tunggu!” seru Ivan
menemuinya setelah Michelle dapat terkejar di depan sebuah halte. “Lo udah
bagus, lo udah usaha keras sampai rela enggak pakai naskah atau cue card—”
“Ivan, gue udah duga ginian kalau
gabung lagi sama klub film!” Michelle mengungkapkan saat mengentakkan kaki
kanan dan berbalik menghadapi Ivan. “Gue emang enggak cocok jadi pemeran utama!
Gue bakal ngancurin project film lo!
Gue—”
“Hei, enggak apa-apa, mending
jangan dengarin apalagi dipikirin.”
“Terus? Gue ingat pas Margin bilang
gue enggak bakat gitu! Priscil sama Tiara juga sama aja! Pantas mereka juga
paling dekat sama Margin, kan!”
“Chelle, mereka ngejek karena iri
sama kamu.” Bayu juga ikut mendekati mereka. “Kamu emang cocok jadi pemeran
utama, Michelle. Prosesnya emang lama sih, saya ngelihat ada permata di balik
pikiranmu. Permata yang belum terasah.”
“Lo enggak usah pada sok hibur
gue!” bentak Michelle. “Gue emang udah enggak tahan lagi sama mereka, cuma
gara-gara gue enggak berbakat jadi pemeran utama. Gue enggak mau gabung lagi
sama klub film.”
Michelle lebih memilih meninggalkan
Ivan dan Bayu tanpa perlu membiarkan mereka berbicara kembali sambil
menggendong seluruh kenangan buruk. Dadanya terlalu sesak untuk berada di klub
film, apalagi menghadapi seluruh anggota yang tidak menginginkannya kembali
dari dulu.
Saat Michelle menghilang dari
pandangan, Ivan berbicara pada Bayu, “Bay, kita udahin aja latihan perdananya.”
***
Menyaksikan Michelle pergi begitu
saja, semakin banyak omongan dan bisikan di antara setiap anggota klub film
mengenai dirinya. Mereka bahkan tidak membiarkan diri untuk bangkit atau
berjalan mengikuti Ivan dan Bayu demi membantu meyakinkan.
Seolah-olah, mereka tidak peduli.
Mereka hanya menyelipkan gelak tawa di balik perbincangan seperti sedang
menyebarkan gosip palsu demi mendiskreditkan sebuah usaha keras.
“Tuh kan, emang playing victim sih, pantas attitude-nya sama pas dia ngancurin
kamera waktu itu,” Priscil menyindir di dekat tiga anggota perempuan, termasuk
Tiara, “dia emang cengeng itu cewek, udah fake
lagi.”
Tiara bahkan sampai meniru omongan
Michelle sambil menyipitkan mata. “Ah … gue muak ah dibilang kayak enggak
berbakat. Gue keluar aja ah.”
“HA HA HA!” Priscil dan kedua teman
itu memaksakan gelak tawa demi mengolok-olok Michelle.
“Lo udah pada keterlaluan! Lo semua
bisa DIAM ENGGAK!” Ivan tiba kembali membentak seluruh anggota klub film yang
tengah duduk di trotoar lingkungan gedung fakultas.
Bentakan Ivan sontak menghentikan
seluruh kegiatan anggota klub film, terutama bagi yang tengah bergosip dan
berbisik-bisik demi mengolok-olok Michelle. Semuanya tertegun mengalihkan
perhatian pada Ivan yang baru saja kembali di hadapan mereka.
“Lo enggak respect banget sih!” Ivan benar-benar meledakkan kesabarannya
hingga berkeping-keping. “Lo pada ngomong apa sih! Lo pada ngapain!”
Tidak ada yang menyangka sang ketua
sekaligus sutradara dapat melewati batas toleransi kesabaran. Semuanya tidak
bisa bereaksi terhadap bentakan kemarahan Ivan yang sampai menunjuk-nunjuk
menggunakan tangan.
“Lo semua anggota klub film! Lo
semua ke sini buat latihan perdana! Apalagi buat yang telat, kita sampai
buang-buang waktu cuma buat nunggu sampai semuanya datang! Terus … lo malah
ngejek sama ngehina Michelle! Lo pada bisik-bisik sama ngetawain! Lo semuanya
ngapain!”
Tiara langsung memotong, “Emang
benar Michelle udah ngelambatin kita semua, Van! Benar kata gua! Michelle cuma
bisa ngacauin! Lo ingat kan dia ngancurin kamera—”
“Enggak! Jangan ngomong gitu!”
tolak Ivan mengacungkan telunjuk pada Tiara.
“—jadi project yang waktu itu enggak jadi! Dia juga udah nyebabin—”
“Diam, Tiara! Diam lo!” jerit Ivan
mengentakkan kaki kanan, melampiaskan seluruh ledakan emosi yang tidak bisa dia
hindarkan dari pikirannya.
Tiara melongo menghentikan
ucapannya, kaget akan entakkan kaki Ivan tidak kalah meledak dengan emosinya.
Semuanya juga tertegun dengan kejatuhan kesabaran ketua mereka sendiri,
merenungi akan sebuah kesalahan penyebab hal itu.
“Gue selama kuliah sampai semester lima
enggak pernah marah kayak gini!” Ivan melanjutkan bentakannya, “Kalau emang mau
cari masalah, terus buat kita semua dibubarin paksa sama BEM gitu aja, mending
keluar aja!”
Ivan menarik napas dalam-dalam demi
meredakan amarahnya, lelah telah membentak seluruh anggotanya sendiri sebagai
sang ketua. Dia mengambil langkah kecil meratapi seluruh anggota yang masih
duduk atau berdiri di atas trotoar.
Ivan akhirnya melanjutkan
tegurannya, “Serius, ini klub film. Lo tahu kan apa ketua BEM bilang waktu itu?
Satu lagi masalah besar, terus ketahuan BEM atau dosen, atau bahkan dekan
sekalipun, udah, kita bubar, that’s it.
Lo tahu kan, mahasiswa, lo ini mahasiswa, bukan lagi anak SMA, apalagi anak
SMP, apalagi anak SD, apalagi TK. Tapi lo kali ini kekanak-kanakan, udah
kelewatan, lo malah ngejek sama ketawain Michelle. Lo enggak respect sama usaha Michelle. Lo bilang
Michelle sama sekali enggak punya bakat.
“Gue ngomong kayak gini, gue marah
kayak gini soalnya lo udah kelewatan, kelewatan banget. Satu kesalahan dari
tiap anggota, ketuanya juga harus tanggung jawab. Lo mau cari masalah, ya udah,
gue enggak mau tahu kalau klub film sampai dibubarin beneran sama BEM, cuma
gara-gara satu kesalahan gede dari lo sendiri.
“Lo pikir … gue jadi ketua atau
sutradara cuma bisa ngatur doang? Ngatur casting
semau gue sendiri? Terus ngatur pas syuting semau gue sendiri? Enggak lah.
Jadi sutradara itu lebih keras daripada yang lo bayangin. Udah harus sesuaiin
sama skenario, terus bimbing lo semua, pemeran sama kru, sama realisasiin
kreativitas dari skenarionya. Lo cuma bisa komplain soal ini-itu, hal yang
itu-itu lagi.
“Kita ini satu himpunan, satu tim,
klub film. Gue yakin tiap himpunan harus nunjukin kerja sama buat at least nambah prestasi buat kampus,
fakultas sama universitas. Ini klub film, salah satu himpunan di fakultas
sastra, di universitas ini! Ini bukan soal pengen eksis atau enggak, ini soal
gimana lo ngembangin potensi lo di luar akademik! Kalau lo nyebabin satu
masalah gede sampai klub film bubar sama pihak BEM, ya udah, the end.”
Teguran Ivan seakan-akan seperti
sebuah pidato bagi seluruh anggota klub film. Hampir semuanya bahkan
merenungkan segala perbuatan mereka terhadap Michelle dengan menundukkan
kepala, tidak ada yang berani memotong ucapannya sama sekali, tidak ada.
“Ingat ya. Attitude mahasiswa harus beda, beda pas lo jadi anak SMA. Apalagi
pas berhadapan sama dosen, apalagi dekan, apalagi pas udah kerja. Attitude lo harus baik-baik. Satu attitude buruk, ya udah, apalagi pas lo
udah masuk dunia kerja. Attitude emang enggak bisa bohong, enggak peduli
sesulit lo nyembunyiin. Attitude itu
segalanya, apalagi pas lo benaran jadi sutradara atau pemeran film besar
sekalipun. Attitude lo buruk, ya
udah, lo udah dijamin fail.
“Kita klub film, salah satu
himpunan di fakultas sastra, salah satu himpunan universitas ini. Kita anak
universitas ini. Otomatis tiap attitude
kita bakal mengharumkan atau mencemarkan nama baik klub film, apalagi fakultas
sastra, apalagi universitas ini.”
Ryan mengangkat tangan menyetujui.
“Kita ngerti, attitude is important, more
than anything.”
“Gue pengen lo renungin apa yang
gue bilang. Latihan perdana kita udahin buat hari ini. Pas pertemuan
selanjutnya di ruang klub film, gue pengen lo pada grow up. Gue pengen lihat attitude
lo pada baik, apalagi pas masuk proses syuting. Ngerti, kan?” Ivan akhirnya
pamit sebelum meninggalkan halaman gedung fakultas, melangkah mendekati tempat
parkir motor.
“Ba-baik,” ucap mayoritas dari
seluruh anggota klub film.
Masih tercengang terhadap teguran
emosi dari Ivan, sang ketua, beberapa anggota klub film satu per satu bangkit
dari trotoar dan mulai mengangkat kaki dari halaman depan kampus. Mereka tidak
pernah menyangka Ivan akan begitu marah hanya karena semuanya mengacaukan salah
satu kesempatan, memperlakukan segalanya, termasuk menerima Michelle sebagai
anggota kembali, sebagai lelucon.
Jenni menutup laptop setelah
mematikannya begitu bangkit dari trotoar, memikirkan Ivan pantas untuk
meledakkan emosinya sebagai sang sutradara, apalagi dirinya bukan salah satu
dari mayoritas anggota yang mengejek Michelle melalui kata-kata atau gelak tawa.
Langkahnya begitu lambat sambil menundukkan kepala, merenungi nasib klub film
jika ada masalah lebih besar yang sampai di telinga pihak BEM.
“Apaan lah si Ivan,” gerutu Tiara
begitu bangkit, “emang si Michelle udah bikin kacau semuanya. Dia udah bikin kacau
pas semester lalu, dia mecahin itu kamera. Dia bikin Margin dikeluarin.”
Priscil menambah, “Michelle emang
pengen kita kelihatan jahat. Pantas kita semua enggak mau dia balik buat bikin
masalah.”
“Dia pakai playing victim segala lagi.”
Mungkin saja mayoritas dari anggota
klub film, terutama Tiara dan Priscil, jelas, tidak menginginkan Michelle
kembali, apalagi merebut peran utama dalam sebuah proyek film semester itu,
tanpa perlu melalui casting.
Mungkinkah mereka iri dengan potensi bakat Michelle yang cocok menjadi peran
utama? Mungkinkah pengaruh insiden pemecahan kamera itu juga menetapkan pikiran
mereka?
Dalam perjalanan pulang, hampir seluruh anggota
klub film yang telah mengolok-olok Michelle, baik dalam bentuk omongan,
bisikan, dan gelak tawa, merenungi akan sikap kekanak-kanakan mereka. Mereka
mengerti satu kesalahan dalam bersikap saja akan menyebabkan klub film
dibubarkan paksa oleh pihak BEM. Mereka harus berubah.
Comments
Post a Comment