Drama untuk Skenario Kehidupan Episode 3
Take 03
“Van, serius lo? Kenapa enggak casting pemeran wanitanya aja sekalian?”
Salah satu anggota wanita klub film keberatan ketika mendengar sebuah
pernyataan dari sang ketua. “Michelle udah keluar, kan? Terus … dia juga yang
bikin film kita enggak jadi semester lalu!”
Seluruh anggota klub film kini
berkumpul begitu seluruh kegiatan kuliah berakhir di ruang klub. Ivan hanya
berdiri di samping papan tulis dekat pintu menghadap seluruh anggota lainnya
yang hanya duduk di karpet abu-abu dan matras hitam, tengah mendiskusikan
proyek film pada semester ini.
Sudah biasa kalau ruang klub atau
biasanya dikatakan sebagai himpunan di kampus kurang lebih sederhana daripada
ruangan kelas di gedung fakultas. Ruangan klub film bukan berarti pengecualian,
dinding cat berwarna merah, biru, kuning, dan hitam pada setiap sudut ruangan,
kabinet kecil berisi hanya satu piala dan properti berkaitan dengan film di
dekat papan tulis, dan beberapa poster film lokal terpampang pada dinding
sebagai inspirasi.
Kegiatan klub atau himpunan di
kampus bisa dikatakan sebagai ekstrakurikuler dalam tingkatan perguruan tinggi,
terutama sarjana. Tujuannya agar mahasiswa dapat mengembangkan potensi, pola
pikir, dan kepribadian agar siap terjun ke masyarakat, terutama dunia kerja.
Dalam klub film juga demikian, demi mengembangkan diri untuk mendekatkan impian
menjadi sutradara, aktor atau aktris, dan penulis naskah.
Ivan mengungkapkan alasannya pada
seluruh anggota klub film, “Tahun lalu, kita enggak pernah dengar Michelle
dapat bagian di depan kamera, gue mikir itu enggak adil, apalagi pas Margin
ngambil alih jadi ketua. Kita tahu setiap anggotanya harus ganti-gantian setiap
proyek, di belakang atau di depan kamera, sesuai dengan visi-misi klub film.
Enggak adil kan kalau Margin dulu—”
“Itu kan masa lalu! Masa lalu ya
biarin aja! Apalagi Michelle udah nyebabin masalah sama kita-kita tahun lalu,
udah film kita enggak jadi gara-gara dia, terus dia juga udah keluar, dia juga
udah nyebabin Margin—” Anggota wanita yang sama membalas pernyataan Ivan lagi.
Salah satu anggota wanita bertubuh
gempal yang duduk di dekat Bayu mengangkat tangan, “Margin lah yang udah
nyebabin ini semua. Kalau aja dia enggak cari masalah sama Michelle, kita
enggak bakal dapat masalah dari BEM lah! Terus dua-duanya bakal stay terus. Habisnya sih dia
nyalahgunain jabatan ketua.”
“Oke, udah! Kita enggak bakal bahas
masalah masa lalu lagi, kita bahas aja gimana masa depan klub kita. Kita juga
enggak mau kena masalah lagi, kan? Apalagi sampai klub ini bubar cuma gara-gara
masalah kayak sebelumnya,” ujar Ivan, “kita bakal pakai novel Wattpad-nya Jenni
yang temanya bad boy good girl lah,
masih tren juga, kan?”
Jenni, anggota wanita bertubuh
gempal mengangkat tangan, “Iya dong, romance
bad boy kan selalu tren. Gue juga lagi nyelesaiin bab terakhir. Tapi sayang
banget … enggak banyak yang baca, capai seribu kali baca juga susah.”
“Jenni, lo lanjutin aja dulu
adaptasi novel lo ke naskah, kalau ada kesulitan buat milih adegan penting,
nanti gue bantuin. Oke, buat besok, kita casting
masing-masing pemain, pemeran utama pria, dan setiap pemeran pembantunya.
Dari gue gitu aja dulu, ada yang mau ditanyain atau nambah?”
Ryan mengangkat tangan untuk
bertanya, “Sebenernya ada benernya juga sih tadi, kenapa enggak casting pemeran wanitanya aja sekalian?
Kan Michelle udah keluar, apalagi belum tentu dia juga mau balik, kan?”
Bayu angkat bicara, “Gue yakin
Michelle pasti mau kok. Cuma … dia belum jawab apa-apa.”
“Kalau Michelle-nya enggak mau,
berarti harus casting pemeran utama
wanitanya juga dong,” jawab salah satu anggota pria.
“Oke, gue paham. Tapi … gue ngerasa
Michelle bakal cocok jadi pemeran utama film ini,” Ivan sekali lagi
mengutarakan pendapatnya, “oke, begitu pemainnya udah pada kepilih semua,
seminggu dua minggu, kita langsung syuting aja. Kamera gue juga udah siapin di
kosan nanti. Paling gitu aja ya. Kita kumpul lagi besok sore di sini buat casting.”
Seluruh anggota bangkit dari duduk
dan mulai menggenggam tas untuk bersiap pulang. Begitu menatap Bayu, Ivan
dengan cepat mendekatikan sambil menepuk pundak.
“Bay, gimana si Michelle?” bujuk
Ivan.
Bayu menggeleng, “Belum dapat
jawaban. Udah ditanya malah dicuekin tadi. Terus … lo enggak nge-LINE dia?”
“Udah coba lagi, dibaca enggak,
apalagi dijawab. Dari masalah yang waktu itu, Michelle emang selalu enggak
jawab LINE dari kita-kita. Ya udah, Bay, besok lo coba lagi tanya Michelle,
kalau masih susah juga, gue bantu. Lo bisa gue andalin, sekalian lo juga bakal casting besok.”
“Iya, mumpung enggak ada kelas juga
besok, haha. Siap, Bro,” ucap Bayu, “gue
duluan deh, harus sekalian kerja.”
“Sip deh, hati-hati, Bay!”
Begitu Bayu meninggalkan ruangan
klub film, Ivan kini seorang diri di dalam klub film. Perkataan dari salah satu
anggota bahkan mengingatkan dirinya kembali pada salah satu kejadian yang mengubah
total klub film di fakultas. Dia seperti terhenti, hanya berdiri, memainkan
kembali ingatan itu menatap papan tulis di dekat pintu.
***
Sehari setelah insiden pemecahan
kamera oleh Michelle yang mengakibatkan syuting terakhir gagal, seluruh anggota
klub film akhirnya berkumpul kembali di dalam ruang klub film. Namun, alih-alih
menjalani kegiatan klub seperti biasa, mereka kini mendapat sebuah masalah
akibat insiden itu.
Benar, mereka dipanggil untuk
berkumpul ketika jadwal kuliah telah berakhir oleh ketua BEM untuk membahas masalah
insiden itu. Seluruh anggota klub film telah duduk di atas karpet atau matras
menghadap sang ketua BEM yang berdiri membelakangi papan tulis, termenung,
penuh beban merenungi setiap kejadian yang berujung pada insiden pemecahan
kamera dan keluarnya Michelle dari klub.
Pemuda berambut hitam tipis dan
berkacamata itu akhirnya membuka suara pada seluruh anggota klub film, “Kenapa lo
pada dikumpulin di sini? Lo sendiri pada tahu kenapa, kan? Hah?”
Nada tingkat tinggi dari ketua BEM
itu membuat seluruh anggota klub film tidak dapat menjawab apapun. Sama sekali
tidak ada yang menyangka bahwa masalah itu telah sampai di telinga ketua BEM
sekalipun, entah karena Michelle melaporkan segalanya atau tidak, yang jelas …
BEM harus turun tangan menghadapi sebuah masalah dari klub film.
“Gue dapat keluhan tadi pagi … lo
pada ribut-ribut terus cari masalah di depan kampus kemarin, pas dosen enggak
ada. Kalau kemarin bukan hari libur, lo pasti bakal dapat masalah lebih gede
daripada ginian.
“Gue pengen tahu. Ceritain tiap
kejadiannya dan kenapa masalah gitu aja bisa terjadi. Jawab dengan jujur.”
Margin, sebagai ketua klub film, mematahkan
kebungkamannya, “Ya … waktu itu kita lagi syuting terakhir sih. Gue juga enggak
nyangka kalau kita bakal dapat masalah pas akhir-akhir gini—”
“Gue nanya sekali lagi, kenapa bisa
terjadi kayak gitu?” Ketua BEM tidak sabar ingin mendengar inti dari
permasalahan.
“Iya, gue jawab. Michelle, dia yang
ngacauin syuting akhir kita. Dia yang bikin masalahnya, dia jadi inti
masalahnya. Dia komplain tentang kamera, terus gue negur dia, tapi dia malah marah-marah,
terus keluar. Gitu aja.”
Ivan mengangkat tangan. “Yang
terjadi sebenarnya lebih dari itu. Gue udah bilang ke Michelle kalau memori
kameranya udah penuh, terus … Margin, ketua, malah nuduh kita komplain.”
Margin menggelengkan kepala seraya
membantah, “Enggak, enggak kayak gitu, Michelle pengen perlambat kita, buktinya
dia komplain terus pas tiap kali kita mau syuting—”
“Margin, buktinya lo malah
manfaatin jabatan lo sebagai ketua biar enggak beri kesempatan sama Michelle,
kan? Buat enggak di depan kamera?”
“Udah, udah,” ucap Jenni melerai
adu mulut, “Ivan ada benarnya juga sih, lo malah maksa buat syuting, terus lo
marah tanpa alasan ke Michelle. Lagian, lo enggak pernah nempatin Michelle
sebagai pemeran sama sekali.”
“Ya, gue tahu dia belum siap buat jadi
pemeran gitu, Jenni. Tapi dia malah ngeluh, ngeluh, dan ngeluh, udah ditempatin
posisi terbaik di belakang kamera,” balas Margin.
“Margin, ini bukan soal siap atau
enggak, Michelle udah pengen tapi lo ngehalangin,” balas salah satu anggota
wanita.
“Gue enggak halangin dia kok. Dia
yang belum siap,” Margin menggeleng lagi.
“Udah deh, Margin. Lo tahu? Lo
malah nyalahgunain posisi lo sendiri sebagai ketua. Lo emang bener-bener
keterlaluan jadi—”
Margin mengayunkan kepalan tangan
pada karpet dengan keras, mengagetkan seluruh anggota klub film ketika
meledakkan jeritan penuh amarah, “Lo pikir gue nyalahgunain posisi gue! Gue
enggak gitu! Lo pada tahu gue berbakat! Lo pikir gue bodoh banget jadi ketua!”
Ivan mengingatkan, “Itu kenyataan,
Margin. Buktinya kemarin.”
“Udah! Gue berbakat! Gue yang bikin
filmnya! Gara-gara Michelle, film kita enggak bisa jadi, terus … kita dapat masalah
kayak gini!” jerit Margin lagi.
Ketua BEM akhirnya memukul dinding
pintu dengan keras, mengagetkan seluruh anggota klub film. “Ini masalahnya!
Margin, lo baru aja ngebuktiin lo emang nyalahgunain posisi lo sebagai ketua. Jujur
aja, gue udah muak ngedengar lo makin ngelebarin masalah kayak gini.”
“Maksud lo apa?”
“Gue udah ambil keputusan gitu udah
dengar inti masalahnya.” Ketua BEM itu membuang napas sejenak sebelum
mengungkapkan, “Lo pada nentuin gimana nasib Margin di klub film, pertimbangin
keputusan lo pas gue nanya …. Lo pada mau kan pertahanin Margin di sini?
Sebagai ketua lo? Bagi yang ingin pertahanin, angkat tangan lo.”
Margin memutar kepalanya memandang
semuanya terdiam begitu ketua BEM mengajukan sebuah pertanyaan, matanya kembali
sayu menunjukan belas kasihan agar dia dipertahankan sebagai anggota klub sekaligus
ketua. Naas, dua orang anggota wanita yang berada di belakangnya mengangkat
tangan, mengetahui mereka adalah teman terdekatnya di klub.
“Cuma dua orang?”
Seluruh anggota yang lain terdiam,
tidak perlu mengatakan sepatah kata pun atau mengangkat tangan sama sekali. Ivan
hanya mengangkat bahu, tidak perlu untuk berkomentar apapun untuk menganggapi.
“Sorry, Margin, lo lihat sendiri, lo udah dikeluarin dari klub.” Perkataan
ketua BEM telah memecahkan ekspektasi Margin.
“Serius? Cuma dua doang?” Margin
menggeleng. “Ryan?”
Lawan mainnya, Ryan, bahkan membuang
muka pada Margin, setuju pada mayoritas dari sebuah keputusan. Baginya,
keputusan terbaik adalah untuk mengikuti mayoritas yang tidak mengangkat
tangan.
Margin menyeringai, “Gue ketuanya! Lo
pada tahu gue berbakat, kan?”
“Sebaiknya lo keluar aja, Margin,”
suruh ketua BEM.
Margin bangkit meratapi seluruh
anggota klub film yang tidak mengangkat. “Lo pada tolol semua ya.”
Begitu Margin telah mengangkat kaki,
ketua BEM akhirnya membuka suara lagi, “Oke, dengar ya. Gue enggak mau dengar ada
masalah lagi dari lo. Kalau sekali lagi gue dengar lo pada bikin masalah lagi
di sekitar kampus, gue enggak punya pilihan lagi selain ngebubarin klub ini. Ngerti
enggak?”
Ancaman dari ketua BEM terdengar
seperti mengiris hati perlahan bagi seluruh anggota klub film yang tersisa.
Mereka seperti mendapat strike dalam
permainan baseball, bedanya langsung
mendapat dua sekaligus. Jika mendapat strike
lagi, hilang sudah impian untuk membuat film, apalagi mempertahankan klub.
“Gue harap lo benar-benar serius
tentang ginian, gue enggak mau lo ada masalah lagi, entah sepele atau kagak.
Udah, bubar.”
Ketua BEM akhirnya berbalik
mengangkat kaki dari ruangan klub. Sementara … seluruh anggota klub … masih
terpukul akan ancamannya, merenungi seluruh kesalahan dan setiap detil insiden
pada hari sebelumnya, tidak ada yang menyangka akan menjadi begini.
***
Kilasan balik itu telah berakhir
ketika Ivan mengunci pintu ruang klub film rapat. Tidak ada lagi kesalahan mulai
sekarang, apalagi jika berujung pada sebuah masalah besar lagi. Sebagai seorang
ketua baru, tanggung jawabnya menjadi bertambah berat demi mengurus klub,
apalagi menjalankan proyek film pendek baru sebagai sutradara.
Ivan menarik strap ranselnya begitu angkat kaki dari lingkungan gedung himpunan
di halaman belakang gedung fakultas. Dia akan memulai kegiatan klub kembali
dengan a fresh start, demi
menghindari ancaman pembubaran dari BEM fakultas. Dia tidak akan melakukan
kesalahan yang sama seperti Margin, yakni menyalahgunakan jabatan sebagai
ketua.
Menjadi ketua merupakan tingkatan
menengah dari growing up bagi semua
orang, terutama mahasiswa. Setidaknya, Ivan bertekad untuk belajar untuk
bertanggung jawab, apalagi untuk diri sendiri.
Comments
Post a Comment