Drama untuk Skenario Kehidupan Episode 9
Take 09
Tiga kali ketukan pintu sontak
seolah mengganggu sebuah fantasi hingga kembali ke dunia nyata, kenyataan,
apalagi saat sedang menikmati mager (malas
gerak) di atas kasur, ditambah pengurang hawa dingin oleh selimut dan empuknya
penyangga kepala bernama bantal.
Sebuah suara manusia tidak mengikuti tiga kali ketukan pintu sangat tidak
membantu, apalagi seperti mendadak mendapat kunjungan bagi pendengar di balik
pintu pada pagi buta.
Hal ini berlaku bagi Michelle.
Gadis itu mengurung dirinya di balik selimut, tetap berbaring dan tidak ingin
membangkitkan tenaga hanya demi menempatkan kaki ke lantai meninggalkan tempat
tidur. Begitu lelah sehabis hari sebelumnya, dia sudah dipermalukan oleh Tiara
dan Priscil, apalagi membuat hampir seluruh anggota klub film tertawa
terbahak-bahak karena terus melupakan dialog pada naskah saat latihan perdana,
menyebabkannya sekali lagi keluar. Dia telah mencoba mengalihkan trauma itu
menuju pengerjaan proposal skripsi demi sidang usulan penelitian.
Acuh tak acuh, ketukan pintu sontak
tidak mengenal kata lelah, terus mengganggu proses malas gerak Michelle di tempat tidur, tempat dia
tengah lambatnya mengumpulkan kembali nyawa melayang. Ujung selimut dia genggam
erat dengan kedua tangan, tidak ingin terganggu oleh hawa dingin, apalagi
ketukan pintu berkali-kali. Dia seakan-akan memang seperti sang putri yang
tidurnya tidak ingin terganggu oleh apapun.
Waktu pun berselang, ketukan itu
tetap beraktivitas di balik pintu, frekuensi ketukan juga menambah seiring jeda
waktu semakin menipis. Tidak tahan dengan gangguan mencengangkan itu, Michelle
akhirnya mendorong selimutnya seraya bangkit.
“Ah! Iya! Iya! Gue bangun!” gerutu
Michelle perlahan begitu menempatkan kaki pada lantai.
Perlahan, dia melangkah sedikit
demi sedikit, saking malasnya hanya untuk membukakan pintu, berpikir entah itu
orang iseng atau teman satu kosan yang mungkin menjahilinya atau bahkan berubah
pikiran. Kunci pintu dia putar berujung bunyi keras, setara ledakan gangguan
pada benaknya. Gagang pintu dia dorong dan tarik setengah hati.
Seorang pemuda tidak asing bagi
Michelle telah tampak di hadapan pintu, sang pelaku pengetuk pintu
berkali-kali. Wajah oriental babyface
di balik topeng ketidakbersalahannya tentu membuat gadis itu jengkel. Memang …
siapa lagi kalau bukan Bayu yang rela sampai ke kamar kosannya.
Hal yang membuat Bayu berbeda
karena hawa menggigil pagi hari, jaket hitam berlengan panjang warna hijau,
tipikal atribut pengemudi ojek online,
dipakainya tanpa terlihat garis-garis kusut. Melihatnya seperti itu, Michelle
bahkan rela cancel booking jika dapat
sebagai penumpangnya.
“Lo!” bentak Michelle. “Lo ngapain
sih ke sini pagi-pagi!”
Bayu menyeringai menempatkan kaki
telanjangnya pada lantai kamar Michelle. “Michelle, Michelle, kamu masih tetap
aja kayak gini.”
“Heh!” Michelle mengacungkan
telunjuk tepat pada wajah Bayu. “Siapa suruh lo masuk? Udah gue bilang ya,
jangan datang ke kosan gue. Jangan ngomong sama gue di luar syuting sama
latihan.”
“Tapi kan enggak bilang kalau saya
enggak boleh menjemput kamu ke kampus, kan?” Bayu mengingatkan.
“Huh! Gue nanti siang kelasnya.
Ngapain pagi-pagi lo ke sini sih?”
“Lagian, kamu kemarin ketinggalan
sih.” Bayu mengangkat tasnya, menngambil sesuatu dari dalam setelah membuka
risleting bagian belakang. “Naskah kamu nih. Udah saya ambil dari Jenni
kemarin, Ya, Jenni nge-LINE tadi malam, terus saya ambil dari dia.”
“Ngapain repot-repot ngantar ke
gue?” Michelle mendekati meja belajar, apalagi laptopnya yang dia mulai
nyalakan begitu duduk di hadapannya. “Udah dibilangin gue keluar, gue enggak
mau berurusan sama orang-orang yang udah malu-maluin gue sendiri.”
“Enggak, enggak.” Bayu mendekati
Michelle. “Mereka ketawa karena kamu punya potensi, potensi jadi pemeran utama.
Mereka boleh ketawa sesuai dengan skenario kehidupan, tapi mereka enggak punya
apa yang sebenarnya kamu punya.”
Michelle tetap membuang muka,
mempertahankan fokus pandangan pada layar laptopnya. Dibukanya file proposal skripsi melalui Microsoft Word, dia mulai mengendalikan
jari pada mouse demi memeriksa setiap
detail, termasuk kemungkinan salah ketik.
“Eh, daripada kamu repot-repot
mikirin skripsi terus, bikin stress, kan?” Bayu menepuk naskah film milik
Michelle pada tumpukan novel di sebelah laptop. “Mending kamu santai aja deh,
pagi-pagi gini mending kamu latihan aja bareng saya. Saya pengen lihat potensi
kamu sebagai aktris cantik. Ya, kamu juga bilang jangan ngomong di luar
latihan, kan? Emang, saya ke sini buat ngajak kamu latihan dialog dari naskah.”
Mengabaikan senyuman tidak bersalah
Bayu, Michelle menggelengkan kepala, mengabaikan sebuah ocehan dan mengacuhkan
pada lembaran proposal skripsi pada layar laptop. Dia menghela napas sambil
berpikir sebuah proposal jika ingin disampaikan pada setiap dosen pennguji
harus sempurna tanpa ada kesalahan mendasar.
“Tuh kan!” tunjuk Bayu. “Kelihatan
nih! Stres ngerjain skripsi, kan? Santai aja.”
“Lo cuma bisa bilang. Lo emang
semester berapa? Lo jurusan apa?” sindir Michelle.
Bayu menyeringai menggelengkan
kepala. “Kamu enggak ngeh? Saya sasing
(sastra Inggris) semester tiga, ngerjain skripsi juga masih lama. Yang penting,
saya enjoy aja momen-momen masa
kuliah selagi bisa,”
“Heh, lo ngeremehin gimana repotnya
gue ngerjain skripsi kayak gini!”
“Itu soalnya kamu enggak enjoy masa-masa kuliah sih, aku tahu kamu
banyak kenangan buruk gara-gara Margin.” Bayu menutup layar laptop Michelle dengan
pelan. “Udah deh, daripada mendam terus, apalagi yang negatif, mending kamu
buat yang baru deh, kenangan yang bisa kamu at
least ceritain ke keluarga, apalagi ke anak-anakmu nanti. Mending latihan
aja daripada sok sibuk ngerjain skripsi sama tugas pagi-pagi gini.”
Michelle meludah embusan udara
menyadari begitu susah Bayu untuk diberitahu betapa sibuknya dia tengah
meninggalkan masa kuliah secepat mungkin menuju dunia kerja. Tangannya dia
kencangkan ketika menggenggam naskah yang berada di atas dua buah novel
masing-masing bertema bad boy dan dirty CEO sebagai objek penelitian
skripsi.
“Uh, iya deh. Gue latihan aja! Tapi
… lo ingat ya, gue udah keluar—”
Bayu memotong lagi, “Kamu masih
jadi anggota klub film kok. Kamu masih jadi pemeran utamanya.”
“Iya deh, terserah!” Michelle memutarbalikkan
halaman pertama naskah itu. “Terus, latihan dari awal aja?”
“Ya iyalah! Baca deh dari awal yang
bagian kamu.” Bayu kembali mendekati tas untuk mengenggam naskahnya. “Oke, dari
adegan pertama nih.”
Michelle membaca dialog pertamanya
sebagai Celia, “Ah! Mampus gue!”
Bayu sekali lagi mengulum senyuman
menatap ekspresi Michelle membaca bagian dialog tokoh Celia. Ekspresi kerut di
balik ketidakbersalahan gadis itu tetap dia rasakan dan pandangi. Benar, gadis
yang berada di hadapannya memiliki potensi besar.
***
Kedua tangan tengah saling
bergesekkan di bawah pancuran air keran seraya membersihkan. Dinginnya air
keran seraya membuat perasaan Michelle sedikit terobati setelah beberapa gangguan
selama latihan perdana hari sebelumnya.
Menunggu hingga dosen datang ke
kelas untuk memulai mata kuliah seminar sastra, kesempatan terbaik Michelle
manfaatkan dengan pergi ke toilet, menenangkan diri dan membuang sedikit demi
sedikit kenangan-kenangan terburuk selama di klub film, ibarat kotoran tersapu
bersih oleh pancuran air keran dan gesekan jari.
Begitu memutar keran untuk mematikan
air, Michelle menghela napas sejenak, melepaskan sedikit demi sedikit uap hasil
dari beberapa kenangan terburuk yang telah terpicu kembali dari benak akibat insiden memalukan pada latihan perdana.
Kedua tangannya dia kebaskan seraya membantu mengedepankan fokus lebih penting,
meninggalkan dunia kuliah secepat mungkin menuju dunia kerja.
Fokus Michelle terhenti ketika
menatap pancaran cermin, beralih dari wastafel. Alih-alih terus menyapu
kenangan buruk, justru pandangan pada pancaran cermin memicu kembali munculnya
beberapa ingatan yang tidak ingin dia ingat.
Seorang gadis berambut panjang
lurus tidak asing bagi Michelle menjadi pelaku terpicunya kembali kenangan
buruknya, apalagi ketika dia tampak pada pancaran cermin. Gadis berbaju dan bersyal
bulu hitam itu mendekati Michelle yang tengah menggunakan wastafel.
Melihat wajah lebih dekat, Michelle
menghela napas ketika dia lagi-lagi harus berurusan dengan sang gadis pembuat
dirinya menderita saat di klub film. Benar, Margin, gadis yang dia anggap telah
menghancurkan masa kuliah telah kembali di dekatnya.
“Lo bisa enggak pakai toilet lain
aja?” sindir Margin menatap cermin, tatapannya tepat mengarah pada Michelle.
Acuh tak acuh, Michelle sama sekali
tidak bersuara apalagi menggerakkan bibir. Tidak ada waktu untuk dia kembali
berurusan dengan sang gadis yang telah menghancurkan masa kuliahnya.
Satu-satunya solusi hanyalah menjauh, meninggalkan kamar mandi itu dan kembali
ke kelas.
“Gue ngomong sama lo, tolol!”
Bentakan Margin entah mengapa menghentikan
langkah kaki Michelle begitu saja hingga berbalik. Entah karena refleks sebagai
respon bentakan, dia akhirnya berbalik menghadapi Margin.
Margin mendekatinya seraya memulai
konfrontasi. “Lo emang enggak bisa cuekin gue gitu aja pas gue manggil lo.
Emang … siapa lagi kalau bukan lo yang ada di sini sekarang?”
“Margin,” gumam Michelle perlahan.
“Lo … kita punya urusan yang belum
selesai. Apalagi habis apa yang lo perbuat sebelum lo keluar dari klub film. Jujur
aja, seseorang yang bikin kesalahan yang nyebabin filmnya enggak jadi, banting
kamera sampai hancur sama pecah ada di dekat gue sekarang, terus … belum ada
ganjarannya yang dia terima sebagai balasannya. Terus … gue harus nerima
ganjarannya pas gue enggak salah apa-apa.”
Penjelasan Margin akan sebuah
kesalahan fatal sebelum keluar dari klub film membuat setiap kenangan buruk
kembali terpicu di benak Michelle. Satu per satu ingatannya saat dia mendapat
bentakan Margin kembali mengepung otaknya, membuat tangannya bergetar, ingin
meledakkan sebuah amarah yang cepat mendidih.
“Emangnya … orang yang udah ketahuan
banget salah, enggak dihukum? Enggak dapat ganjaran kayak gue? Bisa bebas-bebasnya
enjoy masa-masa kuliah, meski enggak
ikut himpunan apapun lagi, baik gabungan atau fakultas.”
Michelle akhirnya merespon, “Lo
jadi kayak gini … lo dapat hukuman … gara-gara lo sendiri. Sorry, gue ada kelas sekarang, penting banget meladeni dosen killer daripada lo.”
Mengabaikan Margin begitu saja,
apalagi sudah penuh pikiran yang membuat dirinya bergetar menolak segala
kenangan buruk kembali memasuki benaknya. Air matanya kembali keluar dan
menetes menuju pipi, saking berat menghadapi beberapa kenangan buruk.
“Heh!” jerit Margin mengikuti
Michelle meninggalkan kamar mandi, meraih tangan kiri Michelle dan menggenggamnya
keras. “Berhenti!”
Tidak memedulikan berapa banyak air
mata Michelle keluar dan beberapa mahasiswa mengalihkan perhatian akibat
bentakannya, Margin menarik paksa menggunakan segenap tenaga agar Michelle
menghentikan langkah kaki menuju ruangan kelas. Belum selesai dia berbicara,
dia akhirnya meluapkan hal-hal terpendamnya melalui sebuah pendapat dan
sindiran, melepaskan cengkraman tangan Michelle.
“Heh, lo enggak usah playing victim deh.” Bibir Margin bergerak
meluapkan suara tepat pada telinga Michelle dari belakang. “Lo sendiri tahu lo
yang nyebabin film gue gagal total, gara-gara lo mecahin kameranya. Lo mau tahu
sesuatu? Kamera itu milik gue, lo tahu kan harganya? Enggak setara sama
perbuatan lo sendiri. Lo udah bikin kamera gue hancur tahu enggak!”
Michelle berbalik menghadapi Margin
sekali lagi. “Udah gue bilang, gue ada kelas, cuma tinggal berapa langkah aja—”
“Heh!” jerit Margin mendorong bahu
Michelle dengan keras berkali-kali hingga membuatnya mundur. “Gara-gara lo, gue
dikeluarin dari klub film!”
Michelle akhirnya bersandar pada
dinding balkon tangga di hadapan pintu kamar mandi, tidak mampu menghindari
Margin yang tengah mendorongnya. Cengkraman tangan pada bahunya sontak menghalanginya
untuk kembali ke kelas, melarikan diri.
“Gara-gara lo, gue jadi menderita
kayak gini, tahu enggak lo!” Margin mengempaskan tenaga mengayunkan tangan
kanan menuju tepat pada pipi Michelle, ingin memberikan sebuah ganjaran.
Namun, ayunan tangan kanan Margin
sontak tercengkeram oleh tangan salah satu pemuda dari samping, menghentikan
tamparan itu sebelum tiba tepat di pipi Michelle. Memutar kepalanya menuju
samping kanan, gadis berambut panjang itu sampai kehilangan napas begitu
menatap sang pemuda yang menghentikannya tidak kalah familier baginya, apalagi
setelah melihat tepat pada wajah.
Comments
Post a Comment