Ordering Disorder Episode 7
Ordering Disorder is classified 15+, it contains some violence, some language, some sexual references, and drug use, it is unsuitable for people under 15
Sebelumnya di Ordering
Disorder:
“Jangan takut, ini adalah proses, kau masih dalam tahap
awal, dokter kasih kamu obat lagi, ya.” Dokter Gina menulis resep obat dan
memberikannya pada Sam “Jadi minggu depan kita ketemu lagi, oke? Lalu habis ini
rencananya mau ke mana? Apa kau siap kembali ke sekolah?”
Sam menggeleng “Besok aku akan kembali ke sekolah, aku akan
pergi ke support group.”
Dokter Gina tersenyum “Itu lebih baik, Sam! Kau akan bertemu
dengan teman-teman yang sebaya denganmu, nanti kau curahkan bagaimana kamu
rasakan sekarang pada mereka. Kau butuh teman selain Dave. Sam, hidup setiap
manusia sangat berharga, setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari,
sangat berharga, jangan sia-siakan hidupmu hanya untuk merenungi bahwa kau akan
bunuh diri karena ayahmu selingkuh. Setidaknya kau punya tujuan hidup.”
Chris memasuki kamar tersebut dan memberitahu Dave “Jangan
letakkan laptopmu di tempat tidur, Dave. Laptopmu akan cepat panas jika kau
meletakkannya di tempat tidur.” Ia bertanya “Apa yang kau lakukan?”
“Aku sedang merencanakan novelku, aku sedang menulis plot,
karakter, dan latar tempat. Kau tahu, menulis novel merupakan salah satu dari
‘100 Mimpi yang Ingin Dilakukan sebelum Mati’, ini benar-benar menyenangkan.”
“Coba kau ceritakan apa saja 100 mimpimu?”
“Tetapi hanya beberapa saja, soalnya banyak sekali yang aku
harus bilang. Yang paling ingin kulakukan adalah mengadakan pesta
besar-besaran, menjadi pembawa acara Saturday
Night Live, membuat video klip musik, pergi ke luar angkasa, dan impianku
yang kuinginkan, menikah di Las Vegas.”
Sam mulai bercerita “Namaku Sam Evans dan aku menderita
gangguan bipolar.” Semuanya mulai menatapnya, Sam terlihat sangat gugup
bercerita, meskipun begitu, ia melanjutkan “Semuanya berawal saat aku melihat
ayahku selingkuh dengan wanita lain, ia membuatku ibuku bunu diri. Aku sempat
mencoba heroin dan alkohol, aku sampai kecanduan dua zat itu. Aku pernah
mencoba untuk bunuh diri, tapi aku selamat. Aku mengetahui bahwa aku memiliki
bipolar, aku benar-benar tidak menyangka hal itu terjadi padaku. Aku terus
terpikir tentang kematian, tapi aku tahu aku harus tetap kuat, aku ini
laki-laki. Aku sering tiba-tiba depresi dan menangis tanpa sebab.”
“Aku mengerti apa yang kau rasakan sekarang, Sam. Setelah
kudengar hal itu dari Chris, aku ingin membantumu, tetapi semuanya tergantung
dirimu, oke?” Jason mengeluarkan selembar flyer
“Ini, aku rekomendasikan kamu mengikuti kelas public speaking, aku juga mengajar di sana, terserah padamu kalau
kau ingin ikut atau tidak, tapi kau harus pertimbangkan dulu.”
“Ya, tentu, akan kupikirkan.”
“Sam, ada hal yang harus kamu ingat, kamu adalah orang yang
beruntung, kamu beruntung telah dilahirkan di dunia ini, kamu sebenarnya sedang
diberi ujian hidup, berarti kamu beruntung. Anggap saja ini adalah proses
pembelajaran bagimu dengan kondisi seperti ini. Kau adalah anak yang spesial,
Sam. Aku paham apa yang kau rasakan, aku punya teman yang punya bipolar juga,
dia sama sepertimu.”
Sam segera sadar dan kaget “Dave?”
“Pintu kamar mandi terbuka lebar, kau sudah di sana selama
tiga puluh menit, Sam.” ucap Dave “Pakai bajumu, makan malam sudah siap.”
“Setidaknya ketuk dulu sebelum kau masuk.” Sam mematikan shower tersebut sebelum memakai
pakaiannya.
“Habisnya kau lama sekali mandinya.” kata Dave sebelum pergi
meninggalkan kamar Sam “Omong-omong, makan malam sudah siap.”
“Bilang Claire kalau sebentar lagi aku ke bawah.” Sam
melangkah keluar dari kamar mandi sebelum mengambil ponselnya, ia mendapat SMS
dari Nicola.
Apa kau tidak apa-apa?
Sam membalas, Ya, aku
baik-baik saja.
***
“Oke, sekarang coba ceritakan bagaimana perasaan kalian
sejak kalian datang ke support group ini
untuk pertama kalinya?” tanya Jason pada support
group “Dimulai dari Shay dulu.”
Shay berkata “Ketakutanku terhadap kanker sudah berkurang,
Jason.”
Sav menjawab “Aku menyadari bahwa semuanya bisa mati,
meskipun aku masih punya pikiran seperti itu.”
“Bagaimana denganmu, Nicola?” tanya Jason.
Nicola menjawab “Aku sudah semakin membaik, aku semakin bisa
fokus, sejak aku menyukai seseorang. Seseorang itu telah menyadarkanku, aku
punya perasaan padanya.”
“Wow! Itu bagus sekali, Nicola!” Jason menjawab “Sam,
bagaimana denganmu? Apa kau merasa lebih baik?”
Sam menjawab “Ya, penyakit bipolarku semakin membaik, Jason.
Tadi aku kembali ke sekolah, meskipun aku dibully
lagi, tapi sahabatku, Dave, membelaku agar aku lebih baik. Aku semakin
membaik.”
“Bagaimana denganmu, Cameron?”
Cameron menjawab “Aku sekarang bisa menerima diriku sebagai
seorang gay, aku bangga, aku bangga
aku berbeda dari yang lain. Aku juga sempat chat
dengan seorang lelaki dan dia berkata bahwa dia menyukaiku dan aku harus
bangga dengan jati diriku.”
“Oke, sekarang, aku minta kalian tuliskan bagaimana kegiatan
kalian hari ini, waktu kalian satu jam.” Jason membagikan kertas pada anggota support group tersebut dengan semangat
“Coba ekspresikan apa yang kalian rasakan hari ini, apa yang kalian lakukan
hari ini, dan apapun yang positif. Silakan tulis apa yang kalian rasakan.”
Sam mengambil kertas tersebut dari Jason, ia melihat
masing-masing anggota support group
mulai menulis.
Jason menemui Sam “Sam, kau tak apa-apa?”
“Ya,”
“Coba kau tuliskan apa saja yang kau lakukan hari ini di
sekolahmu, coba ekspresikan saja, tulis apapun yang kau alami.”
Sam tersenyum “Ya, Jason, akan kucoba.” Saat ia mulai
menulis, ia teringat mulai dari pagi sebelumnya…
***
“Kalian bertiga, bangun! Bangun! Cepat bangun! Sudah jam
tujuh pagi!!” seru Claire membangunkan Sam, Chris, dan Dave.
Ketiga pemuda tersebut tidur di tempat tidur kamar Sam,
memang mereka sudah terbiasa tidur malam. Claire juga melihat layar TV masih
menyala menunjukkan game Halo 4.
Claire berkata lagi “Ayo bangun, kalian bertiga! Sam, Dave,
kalian harus ke sekolah! Dan kau, Chris, kau kuliah pagi, ‘kan?!”
Dave bangun duluan “Ya.”
“Sudah jam tujuh pagi, cepatlah! Bangun!”
Ketiga pemuda tersebut bangun dari tempat tidur dan
mempersiapkan diri untuk melakukan kegiatan masing-masing.
Claire bertanya pada Sam “Sam, kau tidak apa-apa kemarin?”
“Tidak, aku baik-baik saja.” jawab Sam.
“Cepat siap-siap, kita akan berangkat.”
***
Sam dan Dave akhirnya memasuki sekolah, di mana beberapa
siswa-siswi yang berjalan-jalan kesana kemari terkejut melihat mereka berdua,
terutama pada Sam. Mereka tidak menyangka bahwa Sam masih hidup, mereka bahkan
memasang muka sinis padanya.
Dave berkata “Kurasa kita disambut dengan muka yang ramah.”
“Ya, ini hari pertamaku kembali ke sekolah setelah aku ke
psikiater.” ucap Sam.
Dave melihat semua siswa-siswi yang menatap Sam dengan
sinis, ia bertanya “Apa yang kalian lihat-lihat?! Bukannya kalian juga harus
memikirkan diri sendiri?! Kalian tahu apa yang diderita Sam?! Seharusnya kalian
malu bahwa kalian lebih baik daripadanya!”
“Sudah, Dave, tidak apa-apa.” Sam berkata sebelum bel masuk
berbunyi, ia dan Dave berjalan menuju loker mereka. Sam membuka lokernya “Yang
penting aku sudah kembali ke sekolah.”
“Sam, mereka bukannya kasihan padamu, mereka sudah
membencimu karena perlakuanmu.”
“Aku tidak peduli dengan semua itu, aku hanya peduli pada
diriku sendiri.” Sam menaruh tas ke dalam lokernya hanya untuk mengambil buku
catatannya “Dave, setidaknya ajari aku apa yang aku ketinggalan pelajarannya.”
“Setidaknya kau masih hidup, tidak akan apa-apa. Coba kau
tidur sendiri, tidak akan ada apa-apa.”
***
Sam terus menulis apa yang ia rasakan, ia tuangkan satu demi
kata pada kertas tersebut menggunakan bolpoin, ia menuliskan bahwa ia sangat
senang pada hari itu sebelum kembali ke support
group.
“Waktu habis.” seru Jason “Kumpulkan!” Semua anggota support group tersebut mengumpulkan kertas
tulisan masing-masing.
Nicola memanggil “Sam,”
“Nicola,”
“Bisakah kita bicara sebentar?”
“Ya, tentu,”
“Maafkan aku kemarin, seharusnya aku tidak berbicara seperti
itu, aku sangat menyesal saat kau kabur.”
“Tidak, tidak apa-apa, itu sudah tidak penting lagi,
meskipun aku masih memiliki kecemasan, gangguan pikiran negatifku semakin
berkurang lagipula.”
“Sama denganku, Sam.”
Jason berkata lagi “Ya, nanti tulisan kalian saya baca,
sampai jumpa di sesi berikutnya.”
Sam berbicara pada Nicola lagi “Nicola, kau sudah kembali ke
sekolah?”
“Belum, aku hanya ingin membuatku lebih baik dulu, aku masih
terlalu cemas untuk kembali ke sekolah.”
“Setidaknya tadi aku kembali ke sekolah,” ucap Sam “Aku
baik-baik saja setelah pergi ke sekolah, sahabatku, Dave…”
Jason memotong “Oke, semua, maafkan saya, jangan pulang
dulu, ada baiknya kita bersenang-senang malam ini, bagaimana kalau kita ke
tempat karaoke?”
“Ya!”
***
“Aku pulang,” ucap Jenna memasuki rumah saat Claire sedang
membersihkan lantai menggunakan vacuum
cleaner.
Claire memanggil “Jenna, apa ini?” Ia menunjukkan kertas
ujian kimia Jenna “Apa ini? F?!”
“Memang ada apa dengan itu?”
“Jangan anggap ini enteng, Jenna, F itu keterlaluan! Apalagi
ujian kimia seperti ini!” Claire menegur.
“Claire, aku ini sudah bukan anak kecil lagi, aku orang
dewasa! Kau tidak berhak berkata seperti itu!” Jenna mengambil ponselnya “Oh,
apalagi ada teman yang mengajakku keluar, aku pergi saja!”
Claire berteriak “Tidak, kau tidak akan pergi ke mana-mana,
Jenna!” Namun Jenna sudah terlanjur pergi “Jenna!” Ia kembali membersihkan
lantai, ia berjalan menuju kamar Sam, ia mulai membersihkan lantai, ia
melangkah menuju pintu kamar mandi yang terbuka. Claire mematikan vacuum cleaner-nya saat ia melihat
cermin kamar mandi Sam yang terbuka.
Claire memasuki kamar mandi tersebut sambil memandangi pintu
cermin yang terbuka, ia melihat beberapa botol obat di laci tersebut, ia
mengambil salah satu botol tersebut, ia pun menyadari “Sam, dia…”
***
“Aku duluan, sampai jumpa besok!” seru Chris pada teman-temannya
keluar dari kampus tersebut, lalu ia mendapat telepon dari ayahnya, ia
mengangkat telepon tersebut “Halo?”
“Chris, jangan dekat-dekat dengan anak tiri ibumu!”
“Apa yang Ayah bicarakan?”
“Jangan dekati mereka! Kau harus jaga jarak dengan mereka!
Ayah tidak mau kau semakin akrab dengan mereka! Patuhi kata-kata ayah!”
“Tapi…”
“Tidak ada tapi, patuhi saja!”
Chris memutuskan percakapan tersebut, ia bergumam pada
dirinya sendiri “Sam adalah adikku dan aku harus terus menjaganya.” Lalu ia
menerima telepon dari Dave “Dave, ada apa?”
Dave sedang berada di Starbucks meminum kopi dan menikmati
sandwich sambil mengetik membuat novel, ia berbicara “Chris, sehabis pulang,
kau mau tidak baca novelku?”
“Ya, tapi aku sibuk dengan kuliah, banyak tugas masuk, lain
kali saja. Coba tanya Sam,”
“Aku hanya ingin meminta seseorang untuk membaca novelku
sebelum dikirim ke penerbit, dan aku ingin kau jadi orang pertama yang
membacanya karena… kau bukan hanya kakak Sam, kau juga kakakku secara tidak
langsung.”
Chris menjawab “Ya, sepulang dari kampus, aku baca novelmu.”
“Ya, tunggu saja, aku sedang ada di Starbucks.”
***
Chris membaca bab pertama novel yang telah dibuat Dave di
kamar Sam, meskipun masih tanpa judul, ia membaca novel tersebut secara
saksama.
Dave bertanya “Bagaimana?”
Chris mengungkapkan “Konfliknya terlalu langsung di bab
pertama, seharusnya kau gunakan bab pertama untuk pengenalan terlebih dulu,
jangan langsung konflik, lalu beberapa adegan terasa terlalu melompat, selain
itu ceritamu sudah keren.”
Dave merespon kritik Chris “Ya, aku memang ingin konfliknya
langsung, langsung ke intinya.”
“Tapi bukan seperti ini juga, Dave, kau harus gunakan bab
pertama sebagai pengenalan karakter dalam ceritamu.” kata Chris.
“Aku mengerti, tetapi aku merasa susah mengeditnya.”
“Memang, Dave, tapi setidaknya kau harus memperbaiki bab
pertamanya.”
Ponsel Dave berbunyi, ia berkata pada Chris “Ibuku. Aku
tidak pernah menjawab telepon ibu sejak aku pindah ke sini. Lagipula, aku ingin
pindah, tapi ibuku selalu melarang, ibuku memang jago melarang, ia bahkan
melarangku untuk membuat 100 hal yang ingin kulakukan sebelum mati. Begitu juga
dengan ayahku.”
Chris juga sadar bahwa Dave juga memiliki orangtua yang
selalu melarang “Ayahku juga selalu melarang apapun yang kuinginkan, aku selalu
menganggap ayahku menyebalkan.”
“Sama denganku, ibuku juga memang menyebalkan.” Dave tanpa
sengaja menjawab panggilan ibunya “Oh, sial!”
“Dave, kamu di mana? Kamu kenapa tidak pulang-pulang?!”
Chris berkata “Jangan bilang kamu pindah ke sini tanpa izin
ibumu.”
“Aku selalu bilang aku ingin pindah ke rumah Sam, tapi ibuku
melarang terus.” Dave mengambil ponselnya.
Ibunya masih berkata sambil “Kalau begitu pulang saja!
Jangan bilang kau menginap di rumah Sam! Kau harusnya bertanya apakah Sam dan
keluarganya terganggu atau tidak! Ayahmu akan menjemputmu segera, Dave! Kau
harus pulang!”
Dave berteriak menolak “Kenapa ibu tidak mengerti diriku?!
Aku tidak mau pulang!” ia segera menutup percakapan, ia bertanya pada Chris
“Apa aku terlalu kasar?”
“Setidaknya kau masih lebih baik, aku berteriak lebih buruk
pada ayahku.”
Claire memasuki kamar Sam, namun ia hanya menemukan Dave dan
Chris, ia bertanya “Mana Sam? Aku coba telepon, tapi tidak diangkat.”
Dave menjawab “Dia mungkin masih di support group.”
“Sudah jam delapan, seharusnya dia sudah pulang, aku hanya
ingin bicara.” Claire pun menyadari “Dave, apa kau dan Sam menyembunyikan
sesuatu?”
“Menyembunyikan apa?”
“Jangan pura-pura tidak tahu kalau kau tahu ini!” Claire
menunjukkan botol obat resep dokter milik Sam.
Chris membela Dave “Itu obat resep dokter, Claire, dia
membutuhkannya!”
Claire bertanya lagi “Dari mana ia mendapatkan obat ini?
Apakah dia beli secara ilegal? Sudah kubilang padanya jangan minum obat kalau
dia merasa lebih baik, tapi dia pasti kecanduan obat, dia sudah ketergantungan,
seperti dulu, dia ketergantungan heroin dan alkohol! Kalian pasti tahu ini,
‘kan? Jangan…”
Dave memotong “Oke, oke! Claire, maafkan aku, tapi Sam pergi
ke psikiater, dia sangat membutuhkan nasihat, dia tahu kalau dia tidak
baik-baik saja!”
Claire berkata “Padahal sudah kubilang dia cukup ke psikolog
saja, tapi kenapa, Dave? Kenapa? Aku butuh alasan lebih dari itu! Padahal Sam
sudah baikan, dia sebenarnya bisa menghadapi ini sendiri.”
Dave membalas “Tidak secepat itu, Claire, kau bilang
semuanya ada prosesnya,”
“Dia bahkan tidak bisa tanpa obat, Dave,”
Chris menghentikan “Cukup! Cukup!”
Marlena datang “Ada apa malam-malam begini ribut?”
Chris bertanya pada Claire “Apa dia sudah tahu?”
Marlena menjawab “Tahu apa?”
Chris menyadari bahwa Marlena tidak mengetahui kondisi Sam,
ia memutuskan untuk memberitahunya “Nek, sebenarnya Sam terkena gangguan
bipolar.” Sebenarnya Chris dan Claire sudah menduga bahwa Marlena akan kaget
mendengar kondisi Sam, namun Marlena biasa saja.
Marlena mengungkapkan “Nenek sebenarnya sudah menduga bahwa
Sam terkena kondisi itu, gangguan bipolar, seperti yang diderita ibumu, Claire.
Kalian jangan terlalu mengkhawatirkan Sam, Sam baik-baik saja meskipun meminum
obat dari psikiater, setidaknya dia bukan orang gila, kok. Nenek pikir pasti
Sam bersenang-senang dengan teman-teman barunya.”
Dave menjawab “Jadi Nenek sudah tahu?”
“Nenek hanya menduga saja, Nenek tahu kalau Sam butuh teman
baru selain kamu, Dave. Dia hanya butuh kegiatan saja. Dia terkadang gila, dia
terkadang sedih dan depresi, Nenek tahu kalau itu gangguan bipolar. Nenek ingin
bilang, tapi takut salah. Jangan khawatir, dia pasti bersenang-senang, dia akan
pulang sebentar lagi.”
Claire berkata pada Dave “Kau punya nomor telepon psikiater
yang kalian kunjungi?”
“Sam yang punya,” jawab Dave.
Claire mengambil ponselnya untuk menghubungi Sam “Aku harus
mengunjungi psikiater itu.”
***
“Say something, I'm
giving up on you. Say something...” Shay dan Sav bernyanyi mengakhiri lagu Say Something.
“Wow! Kalian bagus sekali!” seru Jason sambil bertepuk
tangan bersama anggota support group yang
lainnya “Oke, siapa selanjutnya?”
Nicola bertanya pada Sam “Sam, kita selanjutnya, yuk!”
Sam menjawab “Tidak, aku tidak bisa bernyanyi bagus,”
“Kalau begitu, ayo!” seru Nicola menggandeng tangan Sam
menuju panggung “Percaya diri saja, Sam, kau harus percaya kalau mereka tidak
akan mengejekmu.”
Sam mengungkapkan “Aku pernah diejek kalau suaraku jelek
saat bernyanyi di kelas.”
“Kau harus menghadapi itu, Sam.” Nicola memilih lagu pada
layar mesin karaoke tersebut “Aku pilih ya! Mungkin lagu yang positif. Oh, lagu
favoritku, Keep Your Head Up, Andy
Grammer! Aku telah mendengarkan lagi ini sebelum ke sini.”
“Aku tidak pernah mendengar lagu itu.” ucap Sam sambil
mengambil ponselnya, ia menerima telepon dari Claire.
“Lagunya sudah mulai, ayo!” seru Nicola bersemangat.
“Sejak kapan kau bersemangat begini?” tanya Sam sambil
menolak telepon dari Claire.
“Tidak tahu,” Nicola lalu mulai bernyanyi “I've been waiting on the sunset, bills on my
mindset, I can get deny theyre getting high, higher than my income, my income's
breadcrumbs, I've been trying to survive.” Sam merasa heran mengapa Nicola
bersemangat menyanyikan lagu tersebut, meskipun begitu, Nicola meneruskan
bernyanyi dengan nada yang tidak begitu pas “The glow that the sun gives, right around sunset, helps me realize,
this is just a journey, drop your worries, you are gonna turn out fine. Oh,
you'll turn out fine. Fine, oh, you'll turn out fine. Ayo, Sam, giliranmu!”
Sam menyanyi dengan nada sumbang “But you gotta keep your head up, oh, and you can let your hair down,
eh. You gotta keep your head up, oh, and you can let your hair down, eh.”
***
“Tidak diangkat,” ucap Claire meletakkan ponselnya di
sakunya.
“Mungkin dia sedang bersenang-senang,” ucap Marlena.
Claire mengambil ponselnya lagi untuk menerima penelepon
yang tidak dikenal “Halo, ini siapa? Apa? Ya, saya akan segera ke sana, terima
kasih.”
“Ada apa?” tanya Dave.
“Jenna dalam masalah,”
Comments
Post a Comment