Jakarta Arts Season 2 Episode 26
Jakarta Arts Season 2 is classified PG, it contains sexual references and coarse language, for general reading, but may be unsuitable for young children.
“Pak
Henderson,” Riley came to the principal’s office to address her concern to the
principal, Mr. Henderson “Saya merasa bahwa hampir semua siswa Jakarta Arts
menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa percakapan sehari-hari, karena hal
itu, maka saya mengusulkan…”
Mr. Henderson
cut “Tunggu, memang kebanyakan siswa Jakarta Arts menggunakan bahasa Inggris,
itu pun sudah menjadi tradisi setiap tahun bahwa mereka wajib menggunakan
bahasa Inggris, setidaknya mereka juga belajar bahasa Indonesia.”
Riley continued
“Saya belum selesai, Pak. Saya mengusulkan mereka semua harus menggunakan
bahasa Indonesia untuk percakapan mereka sepanjang akhir pekan ini, Pak. Agar
semua siswa Jakarta Arts sadar bahwa bahasa Indonesia juga penting bagi
kehidupan mereka, apalagi Jakarta Arts adalah salah satu boarding school terpopuler di Indonesia, bukan hanya secara
nasional, tetapi juga internasional. Kurasa saatnya mereka menggunakan bahasa
Indonesia, Pak.”
Mr. Henderson
replied “Ya, kurasa ini pertama kalinya ada guru yang mengusulkan event spesial ini, ini sudah kuduga,
Riley.”
Riley asked
“Maaf?”
Mr. Henderson
answered “Tidak, tidak, tidak, saya hanya bercanda. Kalau begitu kita umumkan
bahwa Sabtu, besok, kita tidak akan menggunakan bahasa Inggris, melainkan
bahasa Indonesia.” He then took his microphone and put it on his table to
announce “Perhatian bagi seluruh siswa Jakarta Arts, ya kalian pasti
bertanya-tanya mengapa saya memulai pengumuman ini dalam bahasa Indonesia.
Karena besok dan besoknya lagi kalian wajib menggunakan bahasa Indonesia selama
akhir pekan ini, saya ulangi, besok kalian diwajibkan menggunakan bahasa
Indonesia dalam percakapan kalian, tanpa kecuali.” Then Mr. Henderson asked
“Hanya itu?”
Riley replied
“Tidak hanya itu, saya punya daftar siapa yang wajib mengikuti pelajaran bahasa
Indonesia tambahan karena nilai yang tidak begitu memuaskan semester lalu.”
***
The next day,
all students were required to use Indonesian language in every single
conversation all weekend long, some students, especially from abroad, found it
awkward and immediately struggled with the conversation, as their accent using
the language making it really hard to hear for Indonesian students.
In Jakarta
Arts Square, Ally and Oliver walk by most students who gathered there speaking
Indonesian language, most of them were in front of the stage which was
decorated for the school council presidential election results.
Oliver said to
Ally “Sepertinya semua siswa Jakarta Arts yang sering menggunakan bahasa
Inggris, termasuk kita, menemukan ini sangat canggung, benar-benar canggung.”
Ally agreed
“Ya, aku setuju dengan hal itu, Oliver. Kita juga merasakan hal yang sama,
‘kan?”
“Kadang-kadang
aku menggunakan bahasa Indonesia juga, meskipun begitu, ini benar-benar
canggung sejak Pak Henderson mengumumkan bahwa kita diwajibkan menggunakan
bahasa Indonesia selama akhir pekan ini. Apalagi hasil pemilihan ketua OSIS
akan diumumkan sore ini, akan ada surprise
guest juga.”
Ally added
“Dan pertandingan pertama tim sepak bola Jakarta Arts akan tanding di pertandingan
pertama mereka, kejuaraan daerah, kuharap mereka menang dan masuk final,
apalagi ekspektasiku tinggi pada tim sepak bola, karena ada Ed, Andrew, dan
Chris yang memperkuat skuad.”
Oliver was
surprised as he stopped his walk on the edge of the square “Whoa, aku tidak
menyangka kau penggemar bola, Ally,”
“Ya, ibuku
juga begitu,” Ally walked again before leaving Oliver “Aku temui kamu lagi di
acara pengumuman ya,” She kissed Oliver’s lips before leaving to the teachers’
office
“Ayolah ini
‘kan masih jam delapan!” Oliver said.
***
“Apa ini
benar-benar serius, Riley?” Jake was sitting on one of the chairs in Indonesian
language class with the other students whose Indonesian language grade were
unsatisfying, including Harley, Tahan, and Ryan “Aku juga harus ikut kelas ini
meskipun aku guru bahasa Inggris?”
Tahan asked
with her Australian accent “Permisi, Bu, apa ini benar-benar perlu? Kita semua
nilai bahasa Indonesianya jelek-jelek, itu karena kebanyakan dari siswa
internasional Jakarta Arts menggunakan bahasa Inggris dan lebih fasih…”
Riley cut
“Alasan mengapa kalian di sini adalah kalian terlalu banyak menggunakan bahasa
Inggris, makanya kebanyakan nilai bahasa Indonesia kalian kurang begitu
memuaskan semester lalu.”
Harley raised
his hand “Tapi ini semester pertamaku di Jakarta Arts, Bu Hewitt,”
Jake added
“Aku ‘kan guru bahasa Inggris, Riley,”
Riley
explained more “Ya, tapi bagi yang baru semester pertama, saya, selaku guru
bahasa Indonesia, memeriksa tugas-tugas bahasa Indonesia kalian, maka saya rasa
kalian membutuhkan kelas tambahan bahasa Indonesia.” She then approached Jake,
who sat in the left front “Dan Jake, kau telah mempengaruhi hampir seluruh
siswa untuk berbicara bahasa Inggris, pantas saja kau adalah salah satu guru
terpopuler di Jakarta Arts.”
Jake then
noticed “Ya, setidaknya single-mu
yang kau rekam di reality show The Real
Teachers of Jakarta Arts berbahasa Inggris, ‘kan?”
“Tapi single keduaku berbahasa Indonesia,
Jake,”
Harley mocked
“Ya, aku sudah mendengar single Anda,
Bu Hewitt, sejujurnya Anda terlalu seksi untuk bernyanyi.”
Ryan added
with his Irish accent “Aku setuju,”
Riley then
walked to Harley, who sat next to Ryan in the middle row, she touched his nose
“Sebaiknya kau pikir lagi, Harley, aku adalah penyanyi yang hebat, mari kita
mulai pelajaran dengan lagu untuk membuktikan kalau aku pantas menjadi penyanyi
juga.” She walked to the front of the whiteboard before turning around toward
the students “Musik!” Then the music was on, it was Mulan Jameela’s Makhluk Tuhan Paling Sexy.
“Oh tidak, aku
benci lagu ini…” Jake said.
Riley danced
like erotically toward the students, then she started singing “Otakmu sexy, itu
terbukti dari caramu memikirkan aku. Matamu sexy, itu terbukti dari caramu
menatap aku. Ku seperti ada di dalam penjara cintamu… Hidungmu sexy, itu
terbukti dari caramu, cium pipiku.
Bibirmu sexy, itu terbukti dari caramu, sebut namaku Ku seperti ada di dalam
penjara cintamu…”
Jake protested
“Ini benar-benar tidak pantas untuk siswa seperti…”
But Riley
didn’t care and sang the first chorus “Kamulah makhluk Tuhan yang tercipta, yang paling sexy, cuma kamu
yang bisa membuatku terus menjerit. Auw, auw, auw... ah, ah, ah. Auw, auw,
auw... ih, ih, ih.”
Then Jake cut
“Bisakah kita mulai saja pelajarannya?!”
***
Jordan said to
Jamie in the counseling room regarding his confusion “Aku baru saja bertem/u
dengan seorang wanita berjilbab yang mengaku tahu segalanya tentang orangtuaku,
Pak Jamie, tapi aku bingung apakah aku harus percaya pada wanita itu, Pak.
Terlebih aku tahu kalau ayahku bunuh diri di pusat rehabilitasi narkoba, aku
juga tidak pernah bertemu ibuku lagi. Sekarang, aku juga masih punya hutang
yang harus kubayar setelah ditinggal ayahku, meskipun semester lalu kalian
membantuku, tapi aku, aku sangat bingung, Pak.”
Jamie gave his
advice “Tenanglah, Jordan, mungkin kau sedang bingung, tapi coba kau hubungi
lagi wanita itu. Wanita itu memberikanmu kartu namanya, ‘kan? Lalu aku akan
cari tahu tentang ibumu di internet, nanti kupanggil jika saya menemukan data-datanya,
kau harus memastikan apakah orang itu adalah ibumu.” He asked “Omong-omong,
siapa nama ibumu?”
“Jenny Ray,”
“Jenny Ray?
Orangnya seperti apa?”
“Aku tidak
ingat, Pak, aku tidak begitu ingat, tapi dia berambut pirang panjang, itu saja
yang kuingat.”
“Kau boleh
pergi, Jordan,”
“Ya, Pak.”
Jordan walked away from the counseling room, as he walked away from teachers’
office, he stopped and started singing “Harus ku akui, semuanya telah berbeda,
lelah menjalani semua serba salah. Apalagi salahku, apalagi salahmu, ku tak
mengerti, apalagi salahku, apalagi salahmu, apalagi. Sudah, lupakan segala
cerita antara kita, ku tak ingin, ku tak ingin, ku tak ingin, kau terluka
karena cinta. Lelah manjalani semua serba salah. Apalagi salahku, apalagi
salahmu, ku tak mengerti, apalagi salahku, apalagi salahmu, apalagi. Sudah,
lupakan segala cerita, antara kita, ku tak ingin, ku tak ingin, ku tak ingin,
kau terluka karena cinta…”
Then Oliver
came interrupting Jordan singing “Jordan, ada apa?”
Jordan
answered “Aku masih bingung, tapi aku tidak bisa bilang, maaf.” Jordan left.
“Jordan,”
Oliver called.
***
“Oke, Pelatih,
kami bisa mengasuh bayi sambil menunggu pertandingan dimulai,” said Ed, who had
just entered Travis’ house with Andrew.
“Ya, kami
pasti bisa, kami ‘kan ingin cari pengalaman,” Andrew said.
Travis
reminded “Ya, bisa dibilang kalian adalah anak-anak yang terbaik yang pernah
saya temui, kalian bukan hanya rajin di bidang olahraga, tapi kalian juga
cerdas. Tapi ingat, kalian harus memakai bahasa Indonesia selama saya pergi
untuk pertemuan pelatih kejuaraan daerah, jangan biasakan gunakan bahasa
Inggris melulu.”
“Tapi bahasa
Inggris ‘kan juga penting, Pak.” Ed argued.
“Tadi itu kata
Bu Hewitt, dia melakukan ini karena kebanyakan nilai bahasa Indonesia kalian
jelek. Makanya inipun terjadi, gunakan bahasa Indonesia sepanjang akhir pekan
ini.”
Andrew said
“Ya, Pak, setidaknya dalam pertandingan, bahasa Indonesia juga akan dipakai
untuk menyusun strategi, setidaknya kami berdua bukan kaptennya.”
Travis then
told “Ya, saya pergi duluan, perlengkapan bayi sudah ada di dalam, susu bubuk
ada di lemari dapur, popok ada di dalam lemari bayi. Kalian jaga bayinya, ya,
hati-hati,” He then left.
“Ya, Pak,” Ed
said before they entered the house.
“Ya, masih
kontrakan namanya,” Andrew commented, he saw the green paint on the wall in the
front room, as well as the cheap sofa in front of the cheap TV, as well as the
bed in one room, then, they also saw the kitchen in the back with dining
tables, they were also two rooms, one was bathroom, one was the baby’s room
with the bookshelves. They immediately walked to the baby’s room.
“Wow, ini
perpustakaan atau ruang bayi ya?” Ed asked as he saw the crib in front of one
of the bookshelves as well as the toybox.
“Bisa dianggap
keduanya,”
“Ya, kita
ngapain sekarang?”
Andrew replied
“Mungkin nonton,”
***
“Ayolah,
Katie, jangan tiduran melulu.” Fearne said in their room near Katie, who kept
oversleeping, in British accent.
“Aku tidak mau
melakukan apa-apa sekarang, Fearne dan Amber, aku takut capek, aku merasa tidak
berdaya,”
Amber then
said “Ayolah, Katie, jangan begitu, sebaiknya kau keluar, bersenang-senang dan
kau…” She walked out from their room by opening the door, later she saw “Ariel
Noah” walking by bringing his guitar, she screamed “KYAAAAAAAAAA!!! Ariel!!
Ariel!!!” She immediately took “Ariel Noah”, who was confused by her antics, to
her room “Fearne, Katie, ada Ariel!!”
Fearne then
screamed as she saw “Ariel Noah” “KYAAAAAAAAAA!!! Ariel!!”
“Woi, gue…”
“Ariel Noah” said.
“Nyanyi dong!
Nyanyi dong!! Mungkin Nanti!”
“Gue…”
“Nyanyi dong!
Cepat!!” Amber screamed.
Then “Ariel
Noah” started singing and playing his guitar “Saatnya ku berkata, mungkin yang
terakhir kalinya. Sudahlah lepaskan semua, ku yakin inilah waktunya. Mungkin
saja kau bukan yang dulu lagi, mungkin saja rasa itu telah pergi. Dan mungkin
bila nanti, kita kan bertemu lagi. Satu pintaku jangan kau coba tanyakan
kembali, rasa yang ku tinggal mati. Seperti hari kemarin, saat semua di sini.”
“KYAAAAAA!!”
Amber and Fearne screamed “Ariel ada di kamar kita, Katie!! Ayolah,
senanglah!!”
“Aku tidak
bisa tenang…” Katie screamed.
“Ariel Noah”
continued singing “Dan bila hatimu termenung, bangun dari mimpi-mimpimu.
Membuka hatimu yang dulu, cerita saat masa lalu. Mungkin saja kau bukan yang
dulu lagi, mungkin saja rasa itu telah pergi. Dan mungkin bila nanti, kita kan
bertemu lagi. Satu pintaku jangan kau coba tanyakan kembali, rasa yang ku
tinggal mati. Seperti hari kemarin, saat semua di sini. Tak usah kau tanyakan
lagi, simpan untukmu sendiri. Semua sesal yang kau cari, semua rasa yang kau
beri.”
“KYAAAAAAAAAAA!!!”
Amber and Fearne screamed as “Ariel” finished singing.
“Ariel ada di
kamar kita! Kita harus panggil Ally sekarang!! Ariel ada di kamar kita!!” Amber
screamed.
“KYAAAAAAAAA!!!”
shouted Fearne “Ariel, I love you!!”
She hugged “Ariel”.
“Lho, Mba, tunggu,
tunggu,” “Ariel” tried to explain.
“Ya, kau ‘kan
Ariel Peterpan atau Ariel Noah, kau pasti ganteng banget!” Amber touched his
left cheek.
“Mba, saya
bukan Ariel, saya bukan Ariel, saya cuma temannya,” The statement made Amber
and Fearne shocked.
“Jadi siapa
kamu??” Fearne asked.
“Oke, oke,
sudah, keluar, keluar, keluar,” Amber immediately kicked the man out from their
room “Anda ternyata penipu! Penipu besar yang menyamar sebagai Ariel! Keluar!
Selamat siang!”
***
“Bagaimana?”
Will asked Oliver in front of the stage in Jakarta Arts Square.
“Ya, dia bisa,
surprise guest kita bisa menghibur
sambil menunggu hasilnya, omong-omong, acaranya mulai jam tiga, ‘kan?”
Will was
shocked “Itu bentrok dengan pertandingan pertama tim sepakbola Jakarta Arts
dong!”
“Prestasi
dalam bidang olahraga bisa dibilang tidak penting bagi semua siswa, meskipun
Remy sudah mencetak prestasi dalam kejuaraan renang nasional semester lalu. Aku
juga heran mengapa siswa Jakarta Arts sama sekali tidak peduli dengan bidang
olahraga.”
“’Kan Jakarta
Arts fokus ke bidang talent dalam
seni, Oliver, namanya juga The Place Where You Can be Famous.”
Oliver said
“Ya, ini bukan salah kita berarti, tapi pembina OSIS,”
“Ini bukan
salah siapa-siapa, setidaknya kita bisa mengumumkan siapa yang akan jadi ketua
dan wakil ketua OSIS, antara Josh dan Sophia, Chloe dan Kelly, serta Bianca dan
Shanelle, ini persaingannya ketat, sangat ketat.”
“Ya, aku
setuju, ayo, sebaiknya kita bersiap-siap.”
***
In Travis’
house, as Ed and Andrew were watching TV which is ironically a cable TV
provided by First Media, they watched AniPlus HD, the new anime channel in Asia
in high definition quality.
Ed said “Whoa,
lebih bagus daripada Animax, dude, ini Knights of Sidonia, ‘kan?”
“Yup,” Andrew
replied “Anime favoritku Attack on Titan,”
“Oeeee….” The
baby’s cry was heard.
“Eh, itu bayi
nangis, tuh.” Ed said.
“Ke sana lah!”
“Kenapa aku?!”
Ed stood up.
“Ya, kau yang babysit dia lah!”
“Ga, ga, ga,
Andrew, kita disuruh Travis untuk babysit”
As Ed said that, the baby’s cry got louder, he held Andrew’s right hand as they
walked to the baby’s room “Ayo!”
“Woi, jangan
pegang tanganku juga dong!” Andrew shouted as they entered the baby’ room “Oke,
oke,” He approached the crib seeing the baby crying “Oke, oke, oke, kamu
kenapa?”
Ed replied
“Mungkin tangisan bayi ini menandakan kalau dia itu lapar! Dia lapar, Andrew,”
Andrew argued
“Ya ga lah! Popoknya perlu diganti,”
Ed took the
baby “Ga, Andrew, dia lapar! Dia benar-benar lapar! Dia butuh susu! Dia lapar,
dia nangis begitu menandakan kalau dia lapar, Bro.”
“Ga, Ed! Dia
butuh ganti popok!”
“Kamu ambilin
susu dan dotnya dong! Dia lapar!”
“Ed, ga, Ed!”
“Cepetan!!” Ed
attempted to cheer the baby up “Jangan nangis dong, cilukba!” He also attempted
to snuggle the baby, in which the baby denied.
“Oke, oke, aku
buatin susunya!” Andrew immediately ran to the kitchen to make baby milk.
***
Jordan phoned
the woman who claimed that she knew everything about his parents in his dorm
room, but the connection was dead, Jordan sent his voice mail “Permisi, maaf,
aku telah mengganggu Anda, tapi aku ingin tahu lebih banyak lagi tentang
orangtuaku, katanya kau tahu segalanya, aku juga masih ragu-ragu, pokoknya jika
Anda ingin bertemu denganku lagi, datanglah ke Jakarta Arts, beri tahu aku yang
sebenarnya, terima kasih.” Jordan then received a phone call from Jamie “Halo?”
Jamie, who was
still in counseling room, browsed everything about Jenny Ray in most social
media website “Jordan, saya menemukan banyak nama Jenny Ray di Facebook,
sebaiknya kau kembali untuk menidentifikasi ibumu.”
“Ya, Pak,”
***
“Ayo,
cepetan!” Ed shouted holding the baby near the crib.
Andrew ran
from the kitchen “Ya, ya, ini susunya!!” He gave a bottle of baby milk to Ed.
“Ya, kau
lapar, ‘kan?” Ed attempted to give the bottle of baby milk to the baby, but the
baby rejected and threw the bottle “Andrew, bayinya ga mau minum!”
“Ya iyalah,
dia tidak lapar! Popoknya basah!”
“Popoknya
tidak basah, Andrew!’
“Ya, Ed!”
“Ga!”
“Ya!”
“Ga!” Ed put
the baby into the crib “Aduh ini gimana sih?! Dia ga lapar! Popoknya ga basah!
Kita harus ngapain sih?!”
Andrew then
had an idea as he saw a teddy bear on the floor, he took it and play it around
to the baby “Halo, selamat siang,”
“Andrew, kamu
ngapain?”
“Aku sedang
main teddy bear dengan si bayi.”
Ed protested
“Teddy bear?! Ngapain laki-laki main boneka?!”
Andrew noticed
that the baby stopped crying and started laughing at the teddy bear “Oh, kau
suka ini? Ya, aku teddy bear,”
“Oh Andrew!”
Then Ed couldn’t hold it anymore, so he started laughing at Andrew.
“Kenapa?”
“Kamu lucu,
Andrew! Teddy bear!!” Then Ed asked the baby “Kau mau minum?” He gave the
bottle of milk to the baby who finally drank the milk. He then asked “Andrew,
mau makan?”
“Ya, aku lapar
banget,”
***
Back to the
counseling room, Jordan came back seeing Jamie, who showed the images of “Jenny
Ray” on selected social media websites, Jordan saw and identified every single
face, he knew that his mom had blonde long hair so far.
Jordan saw the
woman whose face was full of wrinkles with the blonde long hair, he knew it “Itu
ibuku,”
Jamie then
clicked on the woman’s face, which led to her profile “Oh, Jordan, Jenny Ray,
dia sedang bekerja sebagai buruh, ternyata dia bukan kerja di sini, tapi di
Cina,”
Jordan was
devastated “Ibu, ternyata ibu pergi ke Cina meninggalkan ayah dan aku dalam
kebangkrutan perusahaan ayah,”
“Jordan…”
“Aku tidak
apa-apa, Pak.” Jordan then left the room.
***
Travis arrived
at his rented house to pick up Ed, Andrew, and his baby, to the stadium for
Jakarta Arts’ Football Team first match in the sectionals, Travis first knocked
the door, which was opened by Ed.
“Bagaimana,
Ed?” Travis asked.
“Ya,
menyenangkan sekali mengasuh bayi,” Ed replied “Jadi kita berangkat sekarang?”
“Ya, sudah
hampir jam setengah tiga, sebaiknya kau panggil Andrew,”
Andrew then
came holding the baby “Ya, kita siap bertanding, Pelatih!” He asked the baby “Kau
siap untuk melihat Ed dan Andrew bertanding?” The baby laughed as he walked out
from the house, so did Ed.
Ed asked as
Travis locked the door “Omong-omong, pelatih sudah bercerai?”
“Tidak, aku
belum menikah, makanya aku ingin coba punya anak adopsi,”
Andrew was
shocked as they walked out from the house to the car “Jadi ini anak adopsi?”
“Ya, anak
adopsi. Aku dengar kalau Fearne hamil semester lalu, aku pikir aku harus
mengadopsi bayi ini kalau dia tidak mau merawatnya, lagipula menjadi teen mom memang berat, dari sekolah,
apalagi mengasuh bayi, tanggung jawab mereka besar.” Travis sat down in the
driver’s seat, while Ed and Andrew, who held the baby, sat on the backseat.
“Fearne hamil?
Aku benar-benar tidak menyangka ini, bung.” Ed said as Travis started his car
engine before leaving to the stadium.
***
In Jakarta
Arts Square, most of the students gathered round for a special guest
performance on stage, the special guest was, the cute short haired guy who
charmed most of the ladies.
The ladies
screamed “KYAAAAAAAAA!!!”
The guy was
Petra Sihombing, one of the hottest heartthrob in Indonesian music industry, he
sang the Indonesian version of Mine in
front of the students who saw his performance in front of the stage, he greeted
“Jakarta Arts, saya Petra Sihombing, tepuk tangan untuk kalian semua,” He then
started singing “Wajahmu hatimu telah lama ku dambakan, kamu yang sejak dulu
aku nantikan, ketika kau di sampingku berdebar rasa di hatiku, diriku tersipu
malu karena dirimu, ku ingin kau milikku. Oh baby i’ll take it to the sky,
forever you and I, you and I. Dan kita kan selalu bersama, cintaku selamanya
jika kamu milikku, milikku. Senyummu, candamu, selalu dapat ku bayangkan, kamu
yang sejak dulu aku nantikan, ku ingin kau milikku. Oh baby i’ll take it to the
sky, forever you and I, you and I. Dan kita kan selalu bersama, cintaku selamanya
jika kamu milikku, milikku. And I want you to be mine, and I want you to be
mine. Oh baby i’ll take it to the sky, forever you and I, you and I, dan kita
kan selalu bersama, cintaku selamanya jika kamu milikku, kau milikku.”
“KYAAAAAAAA!!!”
most of the students screamed and clapped their hands.
“Petra
Sihombing, semuanya! Terima kasih banyak untuk Petra Sihombing yang mau datang
ke sini, terima kasih!” Oliver came with Will.
Will then
announced “Dan ini adalah saatnya! Hasil pemilu ketua OSIS Jakarta Arts, kedua
kandidat teratas memiliki selisih yang sangat tipis! Sangat tipis! Antara Josh
dan Sophia, Chloe dan Kelly, serta Bianca dan Shanelle.”
Oliver took
the envelope from his pocket “Di dalam amplop ini sudah ada nama pemenangnya!”
He opened it “Dan pemenang pemilu ketua OSIS Jakarta Arts periode 2014-2015 adalah…”
Comments
Post a Comment