Jakarta Arts Season 2 Episode 26


Jakarta Arts Season 2 is classified PG, it contains sexual references and coarse language, for general reading, but may be unsuitable for young children.

“Pak Henderson,” Riley came to the principal’s office to address her concern to the principal, Mr. Henderson “Saya merasa bahwa hampir semua siswa Jakarta Arts menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa percakapan sehari-hari, karena hal itu, maka saya mengusulkan…”
Mr. Henderson cut “Tunggu, memang kebanyakan siswa Jakarta Arts menggunakan bahasa Inggris, itu pun sudah menjadi tradisi setiap tahun bahwa mereka wajib menggunakan bahasa Inggris, setidaknya mereka juga belajar bahasa Indonesia.”
Riley continued “Saya belum selesai, Pak. Saya mengusulkan mereka semua harus menggunakan bahasa Indonesia untuk percakapan mereka sepanjang akhir pekan ini, Pak. Agar semua siswa Jakarta Arts sadar bahwa bahasa Indonesia juga penting bagi kehidupan mereka, apalagi Jakarta Arts adalah salah satu boarding school terpopuler di Indonesia, bukan hanya secara nasional, tetapi juga internasional. Kurasa saatnya mereka menggunakan bahasa Indonesia, Pak.”
Mr. Henderson replied “Ya, kurasa ini pertama kalinya ada guru yang mengusulkan event spesial ini, ini sudah kuduga, Riley.”
Riley asked “Maaf?”
Mr. Henderson answered “Tidak, tidak, tidak, saya hanya bercanda. Kalau begitu kita umumkan bahwa Sabtu, besok, kita tidak akan menggunakan bahasa Inggris, melainkan bahasa Indonesia.” He then took his microphone and put it on his table to announce “Perhatian bagi seluruh siswa Jakarta Arts, ya kalian pasti bertanya-tanya mengapa saya memulai pengumuman ini dalam bahasa Indonesia. Karena besok dan besoknya lagi kalian wajib menggunakan bahasa Indonesia selama akhir pekan ini, saya ulangi, besok kalian diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan kalian, tanpa kecuali.” Then Mr. Henderson asked “Hanya itu?”
Riley replied “Tidak hanya itu, saya punya daftar siapa yang wajib mengikuti pelajaran bahasa Indonesia tambahan karena nilai yang tidak begitu memuaskan semester lalu.”
***
The next day, all students were required to use Indonesian language in every single conversation all weekend long, some students, especially from abroad, found it awkward and immediately struggled with the conversation, as their accent using the language making it really hard to hear for Indonesian students.
In Jakarta Arts Square, Ally and Oliver walk by most students who gathered there speaking Indonesian language, most of them were in front of the stage which was decorated for the school council presidential election results.
Oliver said to Ally “Sepertinya semua siswa Jakarta Arts yang sering menggunakan bahasa Inggris, termasuk kita, menemukan ini sangat canggung, benar-benar canggung.”
Ally agreed “Ya, aku setuju dengan hal itu, Oliver. Kita juga merasakan hal yang sama, ‘kan?”
“Kadang-kadang aku menggunakan bahasa Indonesia juga, meskipun begitu, ini benar-benar canggung sejak Pak Henderson mengumumkan bahwa kita diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia selama akhir pekan ini. Apalagi hasil pemilihan ketua OSIS akan diumumkan sore ini, akan ada surprise guest juga.”
Ally added “Dan pertandingan pertama tim sepak bola Jakarta Arts akan tanding di pertandingan pertama mereka, kejuaraan daerah, kuharap mereka menang dan masuk final, apalagi ekspektasiku tinggi pada tim sepak bola, karena ada Ed, Andrew, dan Chris yang memperkuat skuad.”
Oliver was surprised as he stopped his walk on the edge of the square “Whoa, aku tidak menyangka kau penggemar bola, Ally,”
“Ya, ibuku juga begitu,” Ally walked again before leaving Oliver “Aku temui kamu lagi di acara pengumuman ya,” She kissed Oliver’s lips before leaving to the teachers’ office
“Ayolah ini ‘kan masih jam delapan!” Oliver said.
***
“Apa ini benar-benar serius, Riley?” Jake was sitting on one of the chairs in Indonesian language class with the other students whose Indonesian language grade were unsatisfying, including Harley, Tahan, and Ryan “Aku juga harus ikut kelas ini meskipun aku guru bahasa Inggris?”
Tahan asked with her Australian accent “Permisi, Bu, apa ini benar-benar perlu? Kita semua nilai bahasa Indonesianya jelek-jelek, itu karena kebanyakan dari siswa internasional Jakarta Arts menggunakan bahasa Inggris dan lebih fasih…”
Riley cut “Alasan mengapa kalian di sini adalah kalian terlalu banyak menggunakan bahasa Inggris, makanya kebanyakan nilai bahasa Indonesia kalian kurang begitu memuaskan semester lalu.”
Harley raised his hand “Tapi ini semester pertamaku di Jakarta Arts, Bu Hewitt,”
Jake added “Aku ‘kan guru bahasa Inggris, Riley,”
Riley explained more “Ya, tapi bagi yang baru semester pertama, saya, selaku guru bahasa Indonesia, memeriksa tugas-tugas bahasa Indonesia kalian, maka saya rasa kalian membutuhkan kelas tambahan bahasa Indonesia.” She then approached Jake, who sat in the left front “Dan Jake, kau telah mempengaruhi hampir seluruh siswa untuk berbicara bahasa Inggris, pantas saja kau adalah salah satu guru terpopuler di Jakarta Arts.”
Jake then noticed “Ya, setidaknya single-mu yang kau rekam di reality show The Real Teachers of Jakarta Arts berbahasa Inggris, ‘kan?”
“Tapi single keduaku berbahasa Indonesia, Jake,”
Harley mocked “Ya, aku sudah mendengar single Anda, Bu Hewitt, sejujurnya Anda terlalu seksi untuk bernyanyi.”
Ryan added with his Irish accent “Aku setuju,”
Riley then walked to Harley, who sat next to Ryan in the middle row, she touched his nose “Sebaiknya kau pikir lagi, Harley, aku adalah penyanyi yang hebat, mari kita mulai pelajaran dengan lagu untuk membuktikan kalau aku pantas menjadi penyanyi juga.” She walked to the front of the whiteboard before turning around toward the students “Musik!” Then the music was on, it was Mulan Jameela’s Makhluk Tuhan Paling Sexy.
“Oh tidak, aku benci lagu ini…” Jake said.
Riley danced like erotically toward the students, then she started singing “Otakmu sexy, itu terbukti dari caramu memikirkan aku. Matamu sexy, itu terbukti dari caramu menatap aku. Ku seperti ada di dalam penjara cintamu… Hidungmu sexy, itu terbukti  dari caramu, cium pipiku. Bibirmu sexy, itu terbukti dari caramu, sebut namaku Ku seperti ada di dalam penjara cintamu…”
Jake protested “Ini benar-benar tidak pantas untuk siswa seperti…”
But Riley didn’t care and sang the first chorus “Kamulah makhluk Tuhan  yang tercipta, yang paling sexy, cuma kamu yang bisa membuatku terus menjerit. Auw, auw, auw... ah, ah, ah. Auw, auw, auw... ih, ih, ih.”
Then Jake cut “Bisakah kita mulai saja pelajarannya?!”
***
Jordan said to Jamie in the counseling room regarding his confusion “Aku baru saja bertem/u dengan seorang wanita berjilbab yang mengaku tahu segalanya tentang orangtuaku, Pak Jamie, tapi aku bingung apakah aku harus percaya pada wanita itu, Pak. Terlebih aku tahu kalau ayahku bunuh diri di pusat rehabilitasi narkoba, aku juga tidak pernah bertemu ibuku lagi. Sekarang, aku juga masih punya hutang yang harus kubayar setelah ditinggal ayahku, meskipun semester lalu kalian membantuku, tapi aku, aku sangat bingung, Pak.”
Jamie gave his advice “Tenanglah, Jordan, mungkin kau sedang bingung, tapi coba kau hubungi lagi wanita itu. Wanita itu memberikanmu kartu namanya, ‘kan? Lalu aku akan cari tahu tentang ibumu di internet, nanti kupanggil jika saya menemukan data-datanya, kau harus memastikan apakah orang itu adalah ibumu.” He asked “Omong-omong, siapa nama ibumu?”
“Jenny Ray,”
“Jenny Ray? Orangnya seperti apa?”
“Aku tidak ingat, Pak, aku tidak begitu ingat, tapi dia berambut pirang panjang, itu saja yang kuingat.”
“Kau boleh pergi, Jordan,”
“Ya, Pak.” Jordan walked away from the counseling room, as he walked away from teachers’ office, he stopped and started singing “Harus ku akui, semuanya telah berbeda, lelah menjalani semua serba salah. Apalagi salahku, apalagi salahmu, ku tak mengerti, apalagi salahku, apalagi salahmu, apalagi. Sudah, lupakan segala cerita antara kita, ku tak ingin, ku tak ingin, ku tak ingin, kau terluka karena cinta. Lelah manjalani semua serba salah. Apalagi salahku, apalagi salahmu, ku tak mengerti, apalagi salahku, apalagi salahmu, apalagi. Sudah, lupakan segala cerita, antara kita, ku tak ingin, ku tak ingin, ku tak ingin, kau terluka  karena cinta…”
Then Oliver came interrupting Jordan singing “Jordan, ada apa?”
Jordan answered “Aku masih bingung, tapi aku tidak bisa bilang, maaf.” Jordan left.
“Jordan,” Oliver called.
***
“Oke, Pelatih, kami bisa mengasuh bayi sambil menunggu pertandingan dimulai,” said Ed, who had just entered Travis’ house with Andrew.
“Ya, kami pasti bisa, kami ‘kan ingin cari pengalaman,” Andrew said.
Travis reminded “Ya, bisa dibilang kalian adalah anak-anak yang terbaik yang pernah saya temui, kalian bukan hanya rajin di bidang olahraga, tapi kalian juga cerdas. Tapi ingat, kalian harus memakai bahasa Indonesia selama saya pergi untuk pertemuan pelatih kejuaraan daerah, jangan biasakan gunakan bahasa Inggris melulu.”
“Tapi bahasa Inggris ‘kan juga penting, Pak.” Ed argued.
“Tadi itu kata Bu Hewitt, dia melakukan ini karena kebanyakan nilai bahasa Indonesia kalian jelek. Makanya inipun terjadi, gunakan bahasa Indonesia sepanjang akhir pekan ini.”
Andrew said “Ya, Pak, setidaknya dalam pertandingan, bahasa Indonesia juga akan dipakai untuk menyusun strategi, setidaknya kami berdua bukan kaptennya.”
Travis then told “Ya, saya pergi duluan, perlengkapan bayi sudah ada di dalam, susu bubuk ada di lemari dapur, popok ada di dalam lemari bayi. Kalian jaga bayinya, ya, hati-hati,” He then left.
“Ya, Pak,” Ed said before they entered the house.
“Ya, masih kontrakan namanya,” Andrew commented, he saw the green paint on the wall in the front room, as well as the cheap sofa in front of the cheap TV, as well as the bed in one room, then, they also saw the kitchen in the back with dining tables, they were also two rooms, one was bathroom, one was the baby’s room with the bookshelves. They immediately walked to the baby’s room.
“Wow, ini perpustakaan atau ruang bayi ya?” Ed asked as he saw the crib in front of one of the bookshelves as well as the toybox.
“Bisa dianggap keduanya,”
“Ya, kita ngapain sekarang?”
Andrew replied “Mungkin nonton,”
***
“Ayolah, Katie, jangan tiduran melulu.” Fearne said in their room near Katie, who kept oversleeping, in British accent.
“Aku tidak mau melakukan apa-apa sekarang, Fearne dan Amber, aku takut capek, aku merasa tidak berdaya,”
Amber then said “Ayolah, Katie, jangan begitu, sebaiknya kau keluar, bersenang-senang dan kau…” She walked out from their room by opening the door, later she saw “Ariel Noah” walking by bringing his guitar, she screamed “KYAAAAAAAAAA!!! Ariel!! Ariel!!!” She immediately took “Ariel Noah”, who was confused by her antics, to her room “Fearne, Katie, ada Ariel!!”
Fearne then screamed as she saw “Ariel Noah” “KYAAAAAAAAAA!!! Ariel!!”
“Woi, gue…” “Ariel Noah” said.
“Nyanyi dong! Nyanyi dong!! Mungkin Nanti!”
“Gue…”
“Nyanyi dong! Cepat!!” Amber screamed.
Then “Ariel Noah” started singing and playing his guitar “Saatnya ku berkata, mungkin yang terakhir kalinya. Sudahlah lepaskan semua, ku yakin inilah waktunya. Mungkin saja kau bukan yang dulu lagi, mungkin saja rasa itu telah pergi. Dan mungkin bila nanti, kita kan bertemu lagi. Satu pintaku jangan kau coba tanyakan kembali, rasa yang ku tinggal mati. Seperti hari kemarin, saat semua di sini.”
“KYAAAAAA!!” Amber and Fearne screamed “Ariel ada di kamar kita, Katie!! Ayolah, senanglah!!”
“Aku tidak bisa tenang…” Katie screamed.
“Ariel Noah” continued singing “Dan bila hatimu termenung, bangun dari mimpi-mimpimu. Membuka hatimu yang dulu, cerita saat masa lalu. Mungkin saja kau bukan yang dulu lagi, mungkin saja rasa itu telah pergi. Dan mungkin bila nanti, kita kan bertemu lagi. Satu pintaku jangan kau coba tanyakan kembali, rasa yang ku tinggal mati. Seperti hari kemarin, saat semua di sini. Tak usah kau tanyakan lagi, simpan untukmu sendiri. Semua sesal yang kau cari, semua rasa yang kau beri.”
“KYAAAAAAAAAAA!!!” Amber and Fearne screamed as “Ariel” finished singing.
“Ariel ada di kamar kita! Kita harus panggil Ally sekarang!! Ariel ada di kamar kita!!” Amber screamed.
“KYAAAAAAAAA!!!” shouted Fearne “Ariel, I love you!!” She hugged “Ariel”.
“Lho, Mba, tunggu, tunggu,” “Ariel” tried to explain.
“Ya, kau ‘kan Ariel Peterpan atau Ariel Noah, kau pasti ganteng banget!” Amber touched his left cheek.
“Mba, saya bukan Ariel, saya bukan Ariel, saya cuma temannya,” The statement made Amber and Fearne shocked.
“Jadi siapa kamu??” Fearne asked.
“Oke, oke, sudah, keluar, keluar, keluar,” Amber immediately kicked the man out from their room “Anda ternyata penipu! Penipu besar yang menyamar sebagai Ariel! Keluar! Selamat siang!”
***
“Bagaimana?” Will asked Oliver in front of the stage in Jakarta Arts Square.
“Ya, dia bisa, surprise guest kita bisa menghibur sambil menunggu hasilnya, omong-omong, acaranya mulai jam tiga, ‘kan?”
Will was shocked “Itu bentrok dengan pertandingan pertama tim sepakbola Jakarta Arts dong!”
“Prestasi dalam bidang olahraga bisa dibilang tidak penting bagi semua siswa, meskipun Remy sudah mencetak prestasi dalam kejuaraan renang nasional semester lalu. Aku juga heran mengapa siswa Jakarta Arts sama sekali tidak peduli dengan bidang olahraga.”
“’Kan Jakarta Arts fokus ke bidang talent dalam seni, Oliver, namanya juga The Place Where You Can be Famous.”
Oliver said “Ya, ini bukan salah kita berarti, tapi pembina OSIS,”
“Ini bukan salah siapa-siapa, setidaknya kita bisa mengumumkan siapa yang akan jadi ketua dan wakil ketua OSIS, antara Josh dan Sophia, Chloe dan Kelly, serta Bianca dan Shanelle, ini persaingannya ketat, sangat ketat.”
“Ya, aku setuju, ayo, sebaiknya kita bersiap-siap.”
***
In Travis’ house, as Ed and Andrew were watching TV which is ironically a cable TV provided by First Media, they watched AniPlus HD, the new anime channel in Asia in high definition quality.
Ed said “Whoa, lebih bagus daripada Animax, dude, ini Knights of Sidonia, ‘kan?”
“Yup,” Andrew replied “Anime favoritku Attack on Titan,”
“Oeeee….” The baby’s cry was heard.
“Eh, itu bayi nangis, tuh.” Ed said.
“Ke sana lah!”
“Kenapa aku?!” Ed stood up.
“Ya, kau yang babysit dia lah!”
“Ga, ga, ga, Andrew, kita disuruh Travis untuk babysit” As Ed said that, the baby’s cry got louder, he held Andrew’s right hand as they walked to the baby’s room “Ayo!”
“Woi, jangan pegang tanganku juga dong!” Andrew shouted as they entered the baby’ room “Oke, oke,” He approached the crib seeing the baby crying “Oke, oke, oke, kamu kenapa?”
Ed replied “Mungkin tangisan bayi ini menandakan kalau dia itu lapar! Dia lapar, Andrew,”
Andrew argued “Ya ga lah! Popoknya perlu diganti,”
Ed took the baby “Ga, Andrew, dia lapar! Dia benar-benar lapar! Dia butuh susu! Dia lapar, dia nangis begitu menandakan kalau dia lapar, Bro.”
“Ga, Ed! Dia butuh ganti popok!”
“Kamu ambilin susu dan dotnya dong! Dia lapar!”
“Ed, ga, Ed!”
“Cepetan!!” Ed attempted to cheer the baby up “Jangan nangis dong, cilukba!” He also attempted to snuggle the baby, in which the baby denied.
“Oke, oke, aku buatin susunya!” Andrew immediately ran to the kitchen to make baby milk.
***
Jordan phoned the woman who claimed that she knew everything about his parents in his dorm room, but the connection was dead, Jordan sent his voice mail “Permisi, maaf, aku telah mengganggu Anda, tapi aku ingin tahu lebih banyak lagi tentang orangtuaku, katanya kau tahu segalanya, aku juga masih ragu-ragu, pokoknya jika Anda ingin bertemu denganku lagi, datanglah ke Jakarta Arts, beri tahu aku yang sebenarnya, terima kasih.” Jordan then received a phone call from Jamie “Halo?”
Jamie, who was still in counseling room, browsed everything about Jenny Ray in most social media website “Jordan, saya menemukan banyak nama Jenny Ray di Facebook, sebaiknya kau kembali untuk menidentifikasi ibumu.”
“Ya, Pak,”
***
“Ayo, cepetan!” Ed shouted holding the baby near the crib.
Andrew ran from the kitchen “Ya, ya, ini susunya!!” He gave a bottle of baby milk to Ed.
“Ya, kau lapar, ‘kan?” Ed attempted to give the bottle of baby milk to the baby, but the baby rejected and threw the bottle “Andrew, bayinya ga mau minum!”
“Ya iyalah, dia tidak lapar! Popoknya basah!”
“Popoknya tidak basah, Andrew!’
“Ya, Ed!”
“Ga!”
“Ya!”
“Ga!” Ed put the baby into the crib “Aduh ini gimana sih?! Dia ga lapar! Popoknya ga basah! Kita harus ngapain sih?!”
Andrew then had an idea as he saw a teddy bear on the floor, he took it and play it around to the baby “Halo, selamat siang,”
“Andrew, kamu ngapain?”
“Aku sedang main teddy bear dengan si bayi.”
Ed protested “Teddy bear?! Ngapain laki-laki main boneka?!”
Andrew noticed that the baby stopped crying and started laughing at the teddy bear “Oh, kau suka ini? Ya, aku teddy bear,”
“Oh Andrew!” Then Ed couldn’t hold it anymore, so he started laughing at Andrew.
“Kenapa?”
“Kamu lucu, Andrew! Teddy bear!!” Then Ed asked the baby “Kau mau minum?” He gave the bottle of milk to the baby who finally drank the milk. He then asked “Andrew, mau makan?”
“Ya, aku lapar banget,”
***
Back to the counseling room, Jordan came back seeing Jamie, who showed the images of “Jenny Ray” on selected social media websites, Jordan saw and identified every single face, he knew that his mom had blonde long hair so far.
Jordan saw the woman whose face was full of wrinkles with the blonde long hair, he knew it “Itu ibuku,”
Jamie then clicked on the woman’s face, which led to her profile “Oh, Jordan, Jenny Ray, dia sedang bekerja sebagai buruh, ternyata dia bukan kerja di sini, tapi di Cina,”
Jordan was devastated “Ibu, ternyata ibu pergi ke Cina meninggalkan ayah dan aku dalam kebangkrutan perusahaan ayah,”
“Jordan…”
“Aku tidak apa-apa, Pak.” Jordan then left the room.
***
Travis arrived at his rented house to pick up Ed, Andrew, and his baby, to the stadium for Jakarta Arts’ Football Team first match in the sectionals, Travis first knocked the door, which was opened by Ed.
“Bagaimana, Ed?” Travis asked.
“Ya, menyenangkan sekali mengasuh bayi,” Ed replied “Jadi kita berangkat sekarang?”
“Ya, sudah hampir jam setengah tiga, sebaiknya kau panggil Andrew,”
Andrew then came holding the baby “Ya, kita siap bertanding, Pelatih!” He asked the baby “Kau siap untuk melihat Ed dan Andrew bertanding?” The baby laughed as he walked out from the house, so did Ed.
Ed asked as Travis locked the door “Omong-omong, pelatih sudah bercerai?”
“Tidak, aku belum menikah, makanya aku ingin coba punya anak adopsi,”
Andrew was shocked as they walked out from the house to the car “Jadi ini anak adopsi?”
“Ya, anak adopsi. Aku dengar kalau Fearne hamil semester lalu, aku pikir aku harus mengadopsi bayi ini kalau dia tidak mau merawatnya, lagipula menjadi teen mom memang berat, dari sekolah, apalagi mengasuh bayi, tanggung jawab mereka besar.” Travis sat down in the driver’s seat, while Ed and Andrew, who held the baby, sat on the backseat.
“Fearne hamil? Aku benar-benar tidak menyangka ini, bung.” Ed said as Travis started his car engine before leaving to the stadium.
***
In Jakarta Arts Square, most of the students gathered round for a special guest performance on stage, the special guest was, the cute short haired guy who charmed most of the ladies.
The ladies screamed “KYAAAAAAAAA!!!”
The guy was Petra Sihombing, one of the hottest heartthrob in Indonesian music industry, he sang the Indonesian version of Mine in front of the students who saw his performance in front of the stage, he greeted “Jakarta Arts, saya Petra Sihombing, tepuk tangan untuk kalian semua,” He then started singing “Wajahmu hatimu telah lama ku dambakan, kamu yang sejak dulu aku nantikan, ketika kau di sampingku berdebar rasa di hatiku, diriku tersipu malu karena dirimu, ku ingin kau milikku. Oh baby i’ll take it to the sky, forever you and I, you and I. Dan kita kan selalu bersama, cintaku selamanya jika kamu milikku, milikku. Senyummu, candamu, selalu dapat ku bayangkan, kamu yang sejak dulu aku nantikan, ku ingin kau milikku. Oh baby i’ll take it to the sky, forever you and I, you and I. Dan kita kan selalu bersama, cintaku selamanya jika kamu milikku, milikku. And I want you to be mine, and I want you to be mine. Oh baby i’ll take it to the sky, forever you and I, you and I, dan kita kan selalu bersama, cintaku selamanya jika kamu milikku, kau milikku.”
“KYAAAAAAAA!!!” most of the students screamed and clapped their hands.
“Petra Sihombing, semuanya! Terima kasih banyak untuk Petra Sihombing yang mau datang ke sini, terima kasih!” Oliver came with Will.
Will then announced “Dan ini adalah saatnya! Hasil pemilu ketua OSIS Jakarta Arts, kedua kandidat teratas memiliki selisih yang sangat tipis! Sangat tipis! Antara Josh dan Sophia, Chloe dan Kelly, serta Bianca dan Shanelle.”

Oliver took the envelope from his pocket “Di dalam amplop ini sudah ada nama pemenangnya!” He opened it “Dan pemenang pemilu ketua OSIS Jakarta Arts periode 2014-2015 adalah…”

Comments

Popular Posts