Finding Childhood Love Episode 10
Siapa yang
Harus Kupilih?
Aku tengah menyantap
semangkuk sereal cokelat, perlahan kumasukkan sesuap ke dalam mulutku. Manis
rasanya, rasanya benar-benar enak. Seandainya hidup ini benar-benar enak dan
manis seperti yang dulu kujalani, homeschooling,
keliling dunia, dan bertamasya meskipun agak jarang karena urusan bisnis orangtua.
Kini, aku berada di
Jakarta, tidak sedang berkeliling dunia, tetap di satu negara, Indonesia. Aku
menjalani kehidupan seperti remaja normal, pergi ke sekolah dan bertemu dengan
teman-teman. Sekarang aku tidak merasa kesepian lagi, aku sudah memiliki teman-teman
sebaya.
Tapi, di samping
itu, aku juga memiliki kedekatan bukan hanya satu teman perempuan, Febby,
tetapi juga lima teman laki-laki, Aditya, Brian, Ikbal, Rayn, dan Setiawan. Aku
tahu, mereka masing-masing memiliki karakter, sifat, dan ciri yang berbeda, aku
telah belajar memahami teman-temanku.
“Indah!” Aditya
memanggil dari pintu depan.
“Whoa! Dit! Kok
pagi banget udah ke sini?” Kupandangi Aditya masih memakai helmnya.
Aditya tertawa, “Ya
iyalah, Dah. Lagi macet total nih.”
Aku menghabiskan
semangkuk sereal yang kumakan, “Ya. Kenapa ya macet gini?”
“Kamu tahu, kan?
Tadi malam hujan gede. Jadi banjir gini. Ayo, Dah.”
“Bentar, aku
siap-siap dulu.” Aku segera meninggalkan meja makan, mengambil sepatu dari rak
dan memakainya, kupakai tas punggungku sebelum mengucapkan salam pada ibuku,
“Ma, Indah pergi dulu.”
“Ayo, Dah.” Aditya
segera berjalan keluar dari rumah. Aku segera mengikutinya.
Kami segera duduk
di atas jok sepeda motor, Aditya pun menyalakan mesin motornya sambil
menyerahkan helm putih padaku untuk kupakai seperti biasa. Aditya segera
mengebut meninggalkan rumah dan komplek.
Mengapa terasa
berbeda, tidak seperti yang kurasakan saat dibonceng Aditya? Apakah ini karena
yang lainnya dekat denganku? Pikiranku terasa seperti spons yang kelebihan air.
Aku tak tahu mengapa aku menjadi murung seperti ini, seperti yang dialami Rayn.
“Indah, kamu
kenapa?” Aditya rupanya memperhatikan wajahku.
“Enggak … enggak
kenapa-kenapa kok.”
“Soalnya enggak
biasanya kamu kayak gini. Apa ada masalah?”
“Enggak, Dit.” Aku
pura-pura tersenyum.
***
Aku tengah melamun
daripada memperhatikan guru sedang menjelaskan materi yang telah ditulis pada
papan tulis di kelas. Aku memegang dagu dengan tangan kanan, melamun, apakah
ini rasanya galau yang sebenarnya? Otakku terasa terlalu banyak beban berupa
pikiran.
Aku jadi ingat
Brian mendadak memelukku setelah rahasianya terbongkar, begitu juga saat Ikbal
memberikanku sebuah kado dan aku membalasnya kembali. Aditya yang sering
mengantarku ke sekolah dan pulang juga terus kuingat. Setiawan, murid terpintar
di kelas, kemarin mengungkapkan rasa sukanya padaku. Rayn sempat mengatakan
sesuatu padaku, apa mungkin dia ….
“Melamun aja, Dah!”
Febby memanggilku. “Kamu kenapa sih, Indah? Kamu melamun melulu?”
“Aku enggak tahu,
Feb.”
Kutatap ke
belakang, aku tak melihat Rayn di bangkunya, dia tidak masuk lagi. Kupikir ada
apa dengan dia.
“Indah,” panggil
Aditya. “Kata Brian, sepulang sekolah, kita ke rumah Rayn bareng-bareng.”
“Eh? Kenapa?”
“Pengen tahu kenapa
Rayn jadi enggak masuk lagi. Semester lalu dia udah kebanyakan bolos. Ada
baiknya, kata Brian, kita ke sana untuk jenguk dia. Wali kelas kita udah
khawatir kalau dia bakal kagak naik kelas.”
“Ya, Dit,” jawabku
singkat. “Siapa aja yang ….”
“Biasa, teman
sekelompok belajar kita lah, sama Ikbal katanya mau ikut.”
“Oh ….” Aku kembali
terpikir hal yang kupikirkan tadi.
“Indah, kamu
kenapa?”
“Enggak, aku enggak
kenapa-kenapa.”
“Indah …,” panggil
Aditya singkat sebelum dia kembali menatap guru yang sedang menjelaskan materi.
Kutatap Setiawan
yang masih fokus memperhatikan guru sambil menulis di buku catatannya,
sepertinya dia seakan-akan sudah melupakan apa yang dia katakan kemarin di
tempat ice skating.
Bel tanda pulang
sekolah pun berbunyi, semua siswa turut senang bahwa pelajaran sekolah telah
berakhir, semuanya segera berjalan keluar membawa tas masing-masing setelah
guru yang mengajar kami telah pergi.
“Indah, ayo.”
Aditya membawa tasnya dan menemuiku.
“Eh? Mau kemana
sih?” tanya Febby.
“Mau ke rumah Rayn.
Lo juga ikutan.”
“Lho! Kok enggak
bilang-bilang sih! Katanya kan hari ini biasa belajar bareng!”
“Makanya kita ke
rumah Rayn bareng.” Brian datang menghampiri kami membawa tasnya. “Kita pengen
tahu nih kenapa si Rayn jadi sering enggak masuk kayak semester lalu, selain
kita semua enggak suka sama dia lah. Gue jadi khawatir habis dibilangin sama
wali kelas kita.”
“Eh …. Kalau enggak
suka mah mending biarin aja, dia mah gitu orangnya.” Febby tidak setuju.
“Gue tahu lo enggak
suka sama Rayn, Feb. Tapi dia tetap teman kita, teman sekelas kita! Wali kelas
kita udah memberi amanah ke kita buat kunjungin dia sama usahain buat dia ke
sekolah lagi.”
“Enggak enak kan
kalau kita biarin aja si Rayn enggak masuk sekolah melulu, kita juga jadi enggak
enak sama wali kelas kita,” Aditya menambah.
Febby tetap protes,
“Udah ah, ngapain juga pura-pura. Terus terang aja lah! Enggak usah datang ke
rumah Rayn. Dia juga pengaruh buruk kelas kita, kan? Dia emang udah punya
masalah, masalah yang serius dan ngehancurin image-nya sendiri, lah. Mau masuk kek, mau bolos kek, mau keluar
dari sekolah kek, gue mah enggak
peduli.”
Aku berbicara pada
Febby. “Kamu enggak boleh gitu dong, Feb. Masalahnya Rayn yang enggak masuk
sekolah juga masalah kita juga dong. Wali kelas kita butuh kerjasama kita biar
Rayn mau ke sekolah lagi.”
“Udah deh, gue
pulang aja lah!” Febby segera mengambil tasnya dan pulang begitu saja.
“Dasar,” ucap Brian
kasar.
“Kita pergi
sekarang nih? Ikbal udah nungguin di lobi.” ucap Aditya setelah mengecek
ponselnya “Hayu.” Dia menatap Setiawan yang sedang memasukkan setiap buku ke
dalam tasnya. “Setiawan, ayo.”
“Eh, tunggu,
bentar,” balas Setiawan.
***
“Jadi pada mau naik
motor nih?” Ikbal sudah memegang kunci mobilnya saat kami telah tiba di lobi. “Padahal
naik mobil gue aja.”
“Macet, man!” Aditya dan Brian menjawab
bersamaan.
“Fine lah. Gue naik mobil sendiri nih, lo
empatan pada naik motor aja. Woles lah, gue nanti nyusul.”
“Jadi yang dibonceng
siapa aja?” tanya Setiawan.
“Aku ngebonceng
Indah.” Aditya menjawab.
“Eh?!” Aku kaget.
“Biasa lah, Dah. Kan
kamu sering dibonceng aku.”
“I … iya juga.”
“Kalau gitu, gue
dibonceng Setiawan nih?” tanya Brian.
“Udah, kita
berangkat sekarang aja, ini serius.” Ikbal sepertinya tidak ingin kami
berleha-leha lagi untuk segera berjalan menuju tempat parkir.
Kami pun mulai
menaiki kendaraan masing-masing, aku dibonceng Aditya, dan Brian di bonceng
Setiawan. Ikbal mengendarai mobil seorang diri. Aditya dan Setiawan
masing-masing menyalakan mesin motor mereka sebelum meninggalkan sekolah dan
mengebut rumah Rayn.
***
Kami pun telah tiba
di depan rumah Rayn, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil, tidak terlalu
mewah dan tidak terlalu bobrok. Kupandangi rumahnya yang minimalis itu.
Aditya segera
memasuki halaman rumah Rayn, begitu juga dengan Setiawan dan Brian. Ikbal belum
datang karena dia masih terjebak macet akibat mengendarai mobil sendirian. Aku
pun mengikuti ketiga cowok itu saat Aditya mengetuk pintu.
“Rayn?” panggil
Aditya. “Ini gue, Aditya. Gue sama teman-teman khawatir sama lo.” Dia mengetuk
pintu sekali lagi.
Meskipun Aditya
telah mengetuk pintu dan memanggil berkali-kali, tidak ada respon sama sekali
dari Rayn. Apakah Rayn sudah tidak tinggal di sini lagi? Tidak, tidak, Rayn
pasti masih tinggal di sini, pasti, aku tak tahu mengapa.
“Rayn?” Aditya
mengetuk pintu rumah sekali lagi. “Ini gue, Aditya.”
“Enggak ada kali
ya?” tanya Setiawan.
“Enggak tahu, man. Coba gue buka.” Aditya menekan
gagang pintu.
Pintu pun akhirnya
terbuka, berarti selama ini pintunya tidak dikunci sama sekali. Tapi… mana
mungkin kita bisa langsung masuk begitu saja? Aku takut kalau Rayn akan marah
kalau kita langsung masuk rumahnya tanpa izinnya.
Ternyata benar apa
yang dikatakan Brian. “Kita masuk aja nih, mending lah biar cepat.”
“Kita enggak boleh masuk
rumah orang gitu aja lah,” bantah Setiawan.
“Woi, Rayn tuh
teman sekelas kita lah, lagian kita mending langsung aja.”
“Jangan lah!” ucap
Aditya.
Aku pun
mengungkapkan pendapatku, “Pintunya juga enggak dikunci, kurasa enggak apa-apa
kalau kita masuk rumahnya aja buat ngecek kalau dia ada atau enggak. Kita juga
pengen tahu kenapa Rayn enggak pengen masuk lagi ke sekolah.”
“Ya udah lah,”
Aditya setuju. “Kita masuk aja.”
Bahkan tanpa
meminta izin, kita masuk ke rumah Rayn begitu saja. Kami pun memanggil Rayn
sambil melihat-lihat rumahnya berantakan, cukup berantakan bagiku, beberapa
barang terlihat diletakkan sembarangan seperti kapal pecah.
“Rayn?” panggil
Brian.
Aditya menemukan
sesuatu di dalam kolong sebuah meja, “Man
….” Dia mengambil sebuah bekas kertas bakar, ia menghirup baunya “Oh, enggak
enak banget!”
Setiawan
menyimpulkan setelah melihat kertas bekas bakar itu, “Man… Ganja?”
“Maksud lo apa?”
tanya Brian.
Setiawan menjawab,
“Intinya Rayn udah relaps lagi, dia udah kecanduan ganja, man. Kita udah tahu kalau Rayn suka ngerokok, terus kecanduan ganja
lah.”
Aku sangat khawatir
pada keadaan Rayn, dia relaps kecanduan ganja, apakah ini penyebab dia tidak
masuk sekolah akhir-akhir ini?
Aku menatap ke
belakang, kupandangi Rayn tiba menyapa kami semua. Tetapi keadaannya tidak
baik, apalagi dia sudah merokok ganja. Kupandangi kantung mata yang sudah
menyerupai mata panda, hitam dan tampak seperti mengantuk, mata sipit.
“Rayn, lo kenapa?”
tanya Aditya menemui Rayn. “Kenapa lo jadi gini lagi? Lo jadi kecanduan ganja
lagi.”
Rayn secara murung
menjawab, “Bokap, nyokap udah ninggalin gue. Mereka bilang gue udah enggak bisa
ditolong lagi. Gue sering dimarahin, gue sering disalahin lah. Gue udah
ngebentak gua udah enggak butuh mereka lagi, jadi mereka ninggalin ….”
Kasihan sekali
Rayn, ia sudah seperti anak yatim yang tidak ada satupun mau memungutnya karena
suatu masalah besar. Bukan, dia lebih bisa dikatakan sebagai anak yang sudah
dibuang orangtuanya begitu saja tanpa alasan yang jelas, dia sudah jelas
diterlantarkan. Aku merasa khawatir pada kondisi Rayn sekarang, dia sudah punya
masalah yang lebih besar, ditinggal orangtuanya.
“Indah,” Rayn
memanggilku. “Syukurlah lo datang.”
“Rayn,” panggilku
singkat.
Rayn juga memanggil
yang lain, “Yang lainnya juga.” Dia berdiri menatap kami semua “Semuanya …,
maaf, maafin gue. Gue udah nyebabin semuanya, semuanya. Gue udah ngebuat lo
semua udah ….”
Brian menghentikan
Rayn, “Stop, Rayn, gue ngerti. Lo enggak usah minta maaf.” Dia berdiri
menghadap Rayn. “Kami yang harusnya minta maaf, kami udah enggak tahu harus
gimana sama lo, Rayn. Kami udah ngejudge dari
pengalaman buruk lo sama juga cangkang lo.”
Aditya heran.
“Cangkang?”
“Cover-nya, Dit.” Brian melanjutkan
permintaan maafnya, “Rayn, gue ngewakilin teman-teman sekelas lu mau minta maaf
intinya.”
Aku berkata,
“Brian, kok kamu wakilin mereka? Mereka belum tentu mau minta maaf.”
“Ya pasti lah!”
Brian protes, “Nanti kita bareng-bareng minta maaf sama yang lainnya di sekolah
nanti.”
Aditya pun berkata,
“Rayn, sorry banget gue udah salah
nilai lo, lo ternyata bukan orang buruk rupa, gue sebenarnya udah tahu kalau lo
sebenarnya ada sisi baik, tapi kebanyakan dari teman sekelas enggak ngelihat.
Gue udah mulai ngelihatnya.”
Aku menambah “Sama,
Rayn. Aku …, aku minta maaf udah ngebiarin ini semua, harusnya ….” Aku
terhenti, tiba-tiba mataku mulai bagaikan bendungan yang telah hancur oleh air
yang menumpuk. “Apa?”
“Indah?” Brian
memanggilku.
“Kamu kenapa, Dah?”
tanya Aditya.
Apa ini? Apa yang
sedang kupikirkan? Kenapa? Kenapa jadi begini? Apakah … aku sedang…
Aku tak peduli, aku
melanjutkan kata-kataku, “Harusnya aku lebih dekat sama kamu, Rayn.”
Perkataanku membuat semuanya kaget, aku tidak menyangka hal yang kukatakan
secara spontan akan berujung seperti ini.
“Maksud lo …, lo
suka gue?” tanya Rayn heran. “Meski hal yang udah gue hadapin selama ini?”
Aku …, aku tidak
tahu bagaimana mengatakannya, apalagi di depan tiga orang lelaki yang juga
dekat denganku. Apalagi aku ingat kata-kata Setiawan bahwa dia suka padaku, aku
belum sempat membalasnya. Dia pasti sangat terkejut, benar-benar.
Aku mengakhiri
perkataanku sebelum berbalik menuju pintu, “Aku …, aku memaafkanmu.”
“Indah,” Aditya
mengikutiku, begitu juga dengan Brian.
Brian bertanya
kebingungan, “Tadi maksud lo apa? Lo kagak jawab pertanyaan Rayn.”
“Brian!” tegur
Aditya, dia menatapku lagi. “Indah, kamu kenapa?”
“Aku …, aku
mendadak enggak enak badan, Dit.”
“Ya udah, aku antar
kamu pulang aja.” usul Aditya.
Brian bertanya
dengan nada khawatir, “Indah, lo … enggak apa-apa, kan?”
Aku menjawab agar
Brian tidak khawatir, “Cuma pusing aja, Brian.” Sekali lagi, aku tidak begitu
ahli menyembunyikan perasaanku yang sesungguhnya.
Rayn bertanya, “Anu
…, apa ini salah gua?”
Setiawan menjawab,
“Enggak lah, Rayn, ini bukan salah lo.”
Aku segera pamit
menatap Rayn, Brian, dan Setiawan, “Maafin aku, semuanya. Aku udah ngebuat
kalian jadi gini. Sama salam ke Ikbal kalau dia jadi datang ke sini.” Aku
segera buru-buru berjalan keluar rumah Rayn bersama Aditya.
***
“Kamu yakin enggak
apa-apa masuk sendiri?” Aditya bertanya saat aku turun dari motornya setelah
tiba di depan halaman rumahku.
“Enggak apa-apa,
Dit.” Aku memalsukan senyumku lagi.
“Kalau gitu, aku
duluan. Cepat sembuh ya.”
“Ya, Dit.”
Aditya segera
mengebut meninggalkan halaman rumahku menuju rumahnya. Aku segera berbalik dan
berjalan memasuki halaman rumah.
“Indah?” kudengar
suara yang tak asing lagi, aku berbalik menatap Febby yang memanggilku, “Lo
kenapa, Indah? Lo udah pulang lagi?”
Aku menjawab saat
Febby berjalan menemuiku, “Aku … tiba-tiba enggak enak badan. Mau masuk enggak?”
“Boleh.”
Aku dan Febby
segera berjalan mendekati pintu depan, kuambil kunci dari saku rokku. Kubuka
kunci pintu tersebut hingga terbuka. Aku dan Febby memasuki ruang tamu sebelum
kami duduk di sofa saling berhadapan.
Entah mengapa aku
terus memikirkan kata-kata yang secara spontan kulontarkan pada Rayn dan
membuat yang lainnya tersinggung, setetes air mulai mengalir dari kedua mataku.
Entah mengapa, apakah kantung mataku bocor? Ataukah otakku kelebihan beban
berat?
Febby mulai
khawatir, “Indah, lo kenapa? Kalau lo ada masalah, lo bilang aja ke gue.”
Aku menggeleng.
“Enggak, aku enggak apa-apa.” Aku mulai mengungkapkan semua yang ada dalam
pikiranku saat ini, “Aku …, aku senang banget ketemu sama Aditya, Brian, Ikbal,
Rayn, dan Setiawan, serta kamu, Febby.” Entah mengapa semakin banyak air yang
menetes dari mataku, aku mulai gemetar. “Aku … ingat saat Aditya pertama kali
mengantarku ke sekolah sehari setelah berkenalan. Brian juga, dia … juga sudah
berusaha sebagai ketua kelas yang sebenarnya baik dan menyembunyikan keadaan
keluarganya. Ikbal, dia kakak kelas yang baik, kapten sepak bola, cowok
terpopuler yang tetap baik. Rayn, siswa bermasalah, entah mengapa aku selalu
baik kepadanya. Dan Setiawan, siswa terpintar di kelas…” Aku mulai menarik
napas seperti sesak, “Dia …, dia …, dia ngaku kalau dia suka aku, dan aku belum
sempat menjawab…”
“Indah,” Febby
berdiri menemuiku.
“Aku …, aku …, aku enggak
tahu ini perasaan apa. Tapi … aku enggak tahu kenapa kupikir kelima cowok yang
selama ini dekat sama aku… Sebenarnya, aku … enggak mau melukai perasaan mereka
berlima. Aku …, aku egois banget, Febby. Aku tak bisa terus bersama dengan lima
cowok sekaligus.” Kata-kataku mulai sulit dimengerti sepertinya.
“Indah, udah. Lo
mending nangis aja.” Febby duduk di sampingku “Menangislah ….”
“Enggak,” aku
menggeleng, semakin banyak air mataku yang keluar hingga membasahi rokku “Aku enggak
mau gini, aku enggak mau nunjukin kalau ….” Aku mulai histeris, “Aku enggak mau
melukai perasaan mereka! Aku bingung harus apa!” Aku menutup wajahku dengan kedua
tangan sambil berteriak dan menangis.
Febby segera
memelukku. “Sepertinya lo sulit memilih diantara mereka berlima, Indah. Pantes
lo bingung. Gue bakal ngebantuin lo, Indah.”
***
Aku sudah mulai
lebih tenang sekarang. kupandangi kalender, hari ini adalah Sabtu, beruntung
hari ini libur. Aku duduk di atas sofa sambil menekan tombol pada remote untuk memindahkan channel TV.
Membosankan, setiap channel TV acaranya tidak bervariasi, acaranya klise. Tidak
ada yang seru untuk ditonton.
Tapi hal itu tidak
membuatku untuk melupakan rasa tegang. Aku harus memilih, memilih salah satu
dari kelima cowok yang telah menjadi teman dekatku itu. Kurasa mereka tidak
hanya menganggapku sebagai sekadar teman, tetapi lebih dari itu.
Kupandangi ayah yang
melewatiku sambil mendekatkan ponselnya pada telinga kanannya, ia sedang
bercakap-cakap lewat telepon. Tak lama, ayah mengakhiri percakapan dan menemui
ibu yang sedang duduk di depan meja makan.
Ayahku berbicara
dengan ibu saat duduk disampingnya, aku bisa mendengar percakapan mereka,
tetapi perasaanku … seperti sebuah mesin yang tidak bisa dimatikan, aku
sebenarnya tidak ingin mendengarnya, tetapi akhirnya terdengar.
“Indah,” Ayahku
memanggil. “Kemari, duduklah.”
Aku meletakkan remote TV di atas sofa sebelum berdiri
berjalan menemui kedua orangtuaku, aku duduk di hadapan mereka. Semoga saja…
“Ma, Indah, tadi
teman Papa nelpon. Gini, dia nawarin promosi lagi sama Papa, nawarin jabatan
intinya.”
“Terus gimana dong,
Pa?” tanya ibuku.
Ayahku menarik
napas sejenak “Ternyata pekerjaannya harus di luar negeri lagi, kalau Papa
nerima jabatan itu, mau enggak mau kita harus ke luar negeri lagi.”
Inilah yang
kutakutkan, kalau benar ayah menerima promosi itu, aku terpaksa harus pindah
sekolah karena harus ke luar negeri lagi, aku jadi merasa tidak enak. Muncul
bayangan kesedihan dari otakku. Aku tidak ingin hal ini terjadi, pergi ke luar
negeri lagi.
“Terus?” Ibuku
menjawab singkat.
“Papa tolak promosi
itu.”
“Kenapa, Pa?”
“Lagian Papa tahu
Indah sama Mama pengen tetap di sini setelah sekian lama kita ke luar negeri.
Kasihan Indah, Ma. Dia butuh teman. Dia udah punya teman-teman seumurannya.”
Sebuah ketukan
pintu terdengar membuat ibuku meminta, “Indah, tolong bukakan pintunya.”
“Ya, Ma.”
Aku berdiri dan
berjalan mendekati pintu rumah, kubukakan pintu. Aku menatap ada Febby di
depanku.
“Indah, gimana?”
tanya Febby.
“Siapa, Dah?” Ibuku
bertanya.
“Febby, Ma.”
“Halo, Tante,” sapa
Febby. Dia bertanya lagi, “Gimana?”
“Aku mau SMS dia,
aku mau ketemu dia di suatu tempat,” jawabku sambil mengeluarkan ponsel dari
saku celana untuk mengirim SMS. “Aku sudah memilih.”
“Lo mau ditemanin
atau enggak, Indah?”
“Kamu mending
nganterin aja, mending aku sendiri yang bilang sama dia.”
Ibuku berdiri.
“Indah, mau kemana?”
“Mau jalan-jalan,
Ma.” Aku tersenyum.
“Hati-hati, Indah.”
Ibuku mendekatiku untuk memberi salam, begitu juga dengan ayahku.
“Indah, jangan
langsung percaya sama orang yang enggak dikenal ya, bahaya,” ucap ayahku.
“Jangan khawatir,
Pa.” Aku segera berbalik menghadap pintu rumah. “Ayo, Feb.”
“Ya.”
“Indah pergi dulu,
Ma, Pa.”
***
“Kamu yakin,
Indah?” tanya Febby saat kami tiba di tempat yang kumaksud.
“Ya,” jawabku.
“Oke, gue tinggal,
Dah. Kalau butuh apa-apa, LINE aja. Oh, itu udah datang! Gue duluan.” Febby
segera berlari meninggalkanku.
Kupandangi seorang
cowok di depanku yang sedang memegang ponselnya, itu pasti cowok yang sudah
kuajak ke sini. Aku segera berjalan menemuinya, meski aku ragu-ragu. Kudekati
lebih dekat lagi cowok itu. Dan ….
“Indah,” dia
tersenyum padaku.
“Setiawan,”
panggilku.
“Wow, kebetulan, lo
ngajak gue ke sini. Tempat ini begitu banyak kenangan. Dulu sering main di
sini.” Setiawan menatap sekitar tempat yang sedang kami kunjungi. “Gue jadi
ingat sama gadis kecil yang nangis, waktu itu gue masih kecil. Gue kasih dia
cokelat, gue temanin dia. Lo ingat enggak?
Mungkin gadis kecil itu lo beberapa tahun yang lalu. Gue benar atau salah?”
Apa? Jadi selama
ini, Setiawan adalah cowok yang pernah memberiku cokelat di tempat ini sebelum
aku pergi keliling dunia bersama orangtuaku. Aku tertawa geli sambil mengingat
kejadian itu.
***
“Jangan nangis
dong, ayo kita cari sama-sama. Pasti Mama kamu ketemu, tenang aja.” Laki-laki
itu memasukkan tangan kanannya ke dalam saku celananya untuk mengambil sesuatu.
Ia mengambil sebatang cokelat dan memberikannya kepadaku “Ini, ambil saja, kamu
pasti lapar.”
Aku menatapi
laki-laki itu sebelum mengambil cokelat itu dengan halus “Ter ..., Terima kasih
....” Aku seakan-akan sudah bergetar bagaikan ponsel yang berbunyi menandakan
ada telepon atau SMS.
“Ayo kita cari
ibumu bersama-sama.”
“Tapi,” aku menghela
sambil masih menangis “Kamu kan sendiri juga, kau tidak takut sendirian.”
Laki-laki itu
menjawab lagi sambil tersenyum menutupi kepalaku dengan payung kecilnya “Aku
sudah biasa tanpa Mamaku.” Dia lalu memegang tangan kiriku. “Ayo, kita cari
Mamamu bersama-sama.”
Aku ingat bagaimana
hangatnya pegangan tangan laki-laki itu. Hangat, terasa hangat. Dia sudah
berani menemaniku saat kecil hingga ibuku menemukan kami, dari situ lah aku
sudah mulai jatuh cinta, meski hanya cinta monyet.
***
“Ya, aku ingat.
Ternyata kamu laki-laki yang rela dan berani menemaniku pas kecil.” Aku
tertawa.
Setiawan tersenyum.
“Indah. Gue selalu ingat cewek yang tersesat itu, dan ternyata lo, Indah.” Ia
berlutut di hadapanku.
“Lho, Setiawan?
Kenapa berlutut?” Aku heran.
“Gue … udah bilang
kalau gue suka lo waktu kita ice skating bareng.
Lo enggak sempat jawab. Gue sekarang butuh jawaban. Apakah lo bakal nerima
gue?”
Mataku mulai
berbinar-binar. “Setiawan …. Makasih banyak ya. Aku nerima perasaan kamu. Ini
jawabanku.” Aku memegang tangan kanannya, ingin merasakan hangatnya seperti
dulu lagi, “Aku juga suka kamu, aku memang tidak ingat bagaimana wajah anak
laki-laki yang menemaniku dulu, tapi aku tidak menyangka, sangat tidak
menyangka kalau itu kamu.”
Setiawan malah
membalasnya dengan tertawa kecil, apakah?
“Kok tertawa? Aku
aneh ya?”
“Enggak, Indah.
Kita jadian aja.”
“Eh?” Aku terdiam
sejenak.
“Indah?”
Aku tersenyum
setelah memikirkannya begitu lama. “Ya.”
“Oh ya, mau kan nemenin
aku latihan olimpiade sains nanti. Lo juga nanti sekalian belajar banyak lho.”
“Ya,” Aku dan
Setiawan segera berjalan meninggalkan tempat yang penuh kenangan itu, “Pasti
bakal menarik.”
Apakah ini hanya
kebetulan? Apakah ini sebuah keajaiban? Aku telah menemukan seseorang yang kucari
selama ini, aku benar-benar tidak menyangka. Jantungku terasa copot. Inikah
rasanya jatuh cinta?
Comments
Post a Comment