Finding Childhood Love Episode 9
Ungkapan
“Selamat pagi,”
Brian menyapaku dan Aditya setelah ia turun dari taksi putih yang dikendarai
ayahnya. Waktu itu aku baru saja turun dari motor Aditya dan melepas helm putih
seperti biasa di tempat parkir sekolah.
“Pagi,” balasku.
Kupandangi raut
wajah Brian bersemangat kembali ke sekolah, seakan-akan ia tidak peduli apa
yang terjadi pada keluarganya, namun ia tetap berjalan secara tegas sebagai
ketua kelas.
Aditya menyapa
Brian setelah ia meletakkan helm hitamnya di motornya, “Tumben banget lo
semangat banget.”
“Enggak apa-apa,
Dit,” jawab Brian.
Aku tersenyum saat
kami mulai berjalan menuju lobi sekolah. Aku juga kebetulan melihat Rayn sedang
berjalan dengan lambat. Aku segera menemuinya. “Selamat pagi, Rayn,”
Rayn menjawab
dengan nada murung, “Pagi,”
“Ayo dong, Rayn,
semangat, ini hari baru!” seru Aditya.
“Ya …,” ucap Rayn
singkat.
“Rayn, kaum
baik-baik saja?” tanyaku saat kami melewati pintu lobi sekolah.
Rayn menjawab saat
kami belok kanan, “Ya, gue baik-baik aja. Tapi … Indah, sorry banget, udah ngerepotin waktu itu.”
“Enggak apa-apa,” jawabku.
“Kamu benaran
ngantar Rayn ya?” tanya Aditya.
“Ya, habisnya dia
pulang sendirian.”
Rayn menghentikan
langkahnya, “Aditya, Brian, lo duluan aja, gue mau ngomong duaan sama Indah.
Ini personal kita berdua doang.”
“Oh …, oke.” ucap
Aditya. “Ayo, Brian.” Dia dan Brian melangkah meninggalkan kami menuju kelas
duluan.
Aku menatap Rayn,
“Rayn, kamu mau ngomong apa sama aku?”
“Indah …, waktu itu
makasih banget.”
“Ya.”
“Gue benar-benar enggak
nyangka lo udah mau rela nemenin gue.”
Aku membalas,
“Lebih baik kamu enggak usah berterima kasih, Rayn. Lagian aku senang punya
teman seperti kamu.”
“Indah ….” Rayn
mulai malu-malu, “Gue … gue ….” Pembicaraannya terhenti saat bel kelas
berbunyi.
“Eh, mending kita
masuk duluan. Udah bel nih.”
“Oke …,” jawab Rayn
lemas saat aku melangkah menuju kelasku. Rayn mengikutiku dari belakang.
Aku segera memasuki
kelasku, aku segera belok kiri saat kudekati jendela kelas, kududuki bangku di
dekat Febby yang sedang asyik-asyiknya menonton video K-Pop pada ponselnya
sambil memasang earphone putih pada
telinganya.
“Indah,” Aditya menemuiku,
“Habis pulang kamu mau ikut enggak ke mall? Aku mau beli hadiah.”
“Hadiah buat siapa,
Dit?”
“Ya, teman dekat,
bukan hanya teman dekat, tetapi teman yang paling kusayangi.” Kata-kata Aditya
juga sulit kumengerti.
“Maksudmu?”
“Ya, bukan cuma
teman, tapi dia juga teman yang paling spesial, pokoknya lebih dari teman lah.
Gitu. Ya, aku juga pengen ngajak kamu bisa jadi mau beli sesuatu.”
Aku teringat, “Oh,
aku juga mau beli sesuatu, kurang lebih buat teman spesial juga, sama kayak
kamu.”
“Guru udah datang!”
seru Aldi menyuruh semua murid duduk di bangku masing-masing.
“Habis pulang kita
langsung?”
“Ya.”
***
“Ayo, Dah. Pilih
aja,” ucap Aditya.
Aku dan Aditya
sedang berada di sebuah toko kado kecil di sebuah mall, kupandangi begitu banyak
barang-barang lucu yang diletakkan pada masing-masing rak, seperti kalung,
gantungan kunci, topi, dompet, sabuk, dan bahkan makanan kecil seperti toples
berisi cokelat dan kue kering.
“Kita masing-masing
pilih dua aja.” Perkataan Aditya mengagetkan diriku. Aku kebingungan apa yang
harus kubeli, semuanya terlihat menarik, tetapi sulit juga karena uang yang
kumiliki tidak banyak.
Aku segera
melihat-lihat barang-barang yang dijual sekali lagi, aku sampai bingung mau
membeli yang mana. Kupandangi Aditya dengan mudah memilih barang yang dijadikan
kado yang akan diberikan untuk teman spesialnya, kalung warna perak dan
setoples kecil bola-bola cokelat.
Aku bertanya, “Lho,
kamu udah pilih lagi?”
“Ya iyalah, aku
udah tahu nih bakal ngasih ke siapa.”
“Ya iyalah,”
ulangku, “Kamu bilang teman yang paling spesial, kan?”
Aku kembali
melihat-lihat barang-barang yang dijual di toko tersebut. Semuanya tampak lucu
dan indah, aku jadi bingung ingin memilih yang mana. Tapi … aku juga berpikir
jika kuberikan barang yang kubeli takutnya dia takkan suka.
“Kok bengong?” tanya
Aditya.
“Eh? Emang aku
bengong?”
“Wajah kamu
kelihatan, Indah.” Aditya tertawa kecil.
Secara perlahan,
kuambil sebuah topi hitam polos. Kupandangi bahwa Aditya juga membeli setoples
cokelat kecil, maka aku juga mengambil setoples kue kering berbentuk bulan
sabit berselimutkan gula putih yang biasa kami panggil putri salju.
“Wow, temanmu pasti
suka banget sama hadiah yang kamu pilih,” Aditya tiba-tiba memuji.
Aku tidak begitu
percaya diri, “Tidak juga.”
“Kita bayar
sekarang ya.” Aditya mendadak teringat. “Eh, kita sekalian pakai bungkus kado
aja, kan buat teman spesial kita.”
“Boleh.” ucapku.
“Sip,” ucap Aditya
saat kuserahkan barang yang kubeli padanya, “Mbak, yang ini dibungkus ya, tapi
dipisah aja.” Dia juga sambil menunjukkan mana yang kubeli dan mana yang dia
beli.
Aku segera
mengambil ponsel dari saku rokku dan mengangkat telepon dari Brian. “Brian, ada
apa?”
“Indah, hari ini
kita belajar bareng enggak?” tanya Brian.
“Oh, kalau gitu aku
enggak tahu belajar atau enggak. Aku tanya Aditya dulu.” Aku segera bertanya
pada Aditya yang sedang memandang barang belanjaan kami masing-masing dibungkus
kado, “Dit, hari ini kita belajar bareng enggak?”
“Eh, kayaknya enggak,
Indah. Oh ya, barang kamu mau dibungkus warna apa?”
“Sebentar,” Aku
kembali berbicara pada Brian “Brian, kayaknya enggak ada, palingan nanti
dikasih tahu kalau ada.”
“Sip, thanks, Dah,” Brian menutup percakapan.
Aku melihat-lihat
beberapa bungkus kado yang cantik di belakang seorang kasir wanita yang sedang
membungkus barang-barang yang dibeli Aditya, aku kembali bingung. Bungkus kado
untuk teman spesial tentunya harus menarik, dan semua bungkus kado yang kulihat
terlihat menarik.
“Indah, pilih yang
mana?”
Aku menunjuk sebuah
bungkus kado, “Yang itu aja.”
“Mbak, yang satu
lagi bungkusnya yang ini aja.” Aditya menunjukkan bungkus kado yang kupilih
pada kasir.
“Indah!” Kudengar
ada suara lelaki menyapaku dari belakang.
Aku berbalik dan
melihat Ikbal melambaikan tangannya dari kejauhan, aku tersenyum padanya.
Aditya juga berbalik memandang Ikbal.
“Ikbal, ke sini
juga lo?” tanya Aditya.
Ikbal menghampiri
kami, “Jalan-jalan lah, gue stres banget abis ulangan ekonomi. Soalnya jangan
tanya deh kalau ngelihat guru gue. Lo lagi pada ngapain nih?”
Aditya menjawab, “Beli
kado.”
“Buat siapa nih??”
Ikbal penasaran.
“Ya, buat teman ….”
Aku memotong
kalimat Aditya, “Teman spesial sebenarnya.” Perkataanku agak canggung.
“Wow, bagus banget
kalau gitu,” ucap Ikbal.
“Oh ya, Ikbal, lo
sering banget dapat kado dari cewek, dari penggemar lo tentunya,” kata Aditya.
“Biasa aja, Dit.”
Ikbal tertawa.
“Indah, Aditya,”
Setiawan datang menghampiri kami.
“Lho? Setiawan,
kamu ke sini juga?” tanya Indah.
“Gue ngelihat lo sama
Aditya ke mall ini di Path,” ucap Setiawan.
“Lagi ngapain,
Setiawan?” tanya Aditya.
“Jalan-jalan doang
abis ngantarin adik gue sekalian janjian bareng teman.”
Kupandangi Rayn tengah
berjalan memandangi kami. Namun Aditya, Ikbal, dan Setiawan tampak tidak melihatnya.
Kulihat wajah Rayn kembali murung, aku tak tahu mengapa dengan dia akhir-akhir
ini.
Rayn langsung pergi
meninggalkan kami begitu saja tanpa menyapa sama sekali. Kutatap dirinya
menatap ke bawah sambil berjalan, murung, itulah yang kupikirkan tentangnya.
“Iya, kan, Indah?”
kudengar Aditya berbicara.
“Um …, i …, iya.”
Aku tak tahu apa yang Aditya bicarakan. Aku sama sekali tidak memperhatikan
pembicaraan mereka.
“Oh ya, besok
sepulang sekolah mau ice skating enggak?”
tawar Ikbal.
“Eh?” aku kaget.
Aditya bertanya, “Kenapa?”
“A … anu …, aku …
belum pernah ice skating sebelumnya …
meski aku tinggal di luar negeri …,” aku dengan ragu menjawab.
Setiawan juga
kurang berminat. “Besok? Kan besok kita …”
Aditya menjawab,
“Ayolah! Kita butuh refreshing.” Dia
tertawa.
Ikbal menambah,
“Benar banget, enggak baik kalau belajar terus-terusan. Seenggaknya, kita butuh
refreshing lho. Sip, besok sepulang
sekolah kita ice skating.”
“Sip. Nanti kita
ajak Brian sama Febby juga, sama … Rayn,” usul Aditya, namun saat dia
mengatakan nama Rayn, bisa kudengar nada bicaranya agak berat.
“Nanti kumpul di
mana nih?” tanya Setiawan.
“Pokoknya sepulang
sekolah aja,” jawab Ikbal.
“Ya, itu lebih
baik,” secara canggung kukatakan kalimat itu.
Aditya bertanya,
“Indah, aku mau ngumpul sama komunitas di food
court, kamu mau ikut enggak?”
Aku menjawab, “Enggak
usah, Dit.”
“Jadi kamu mau
langsung balik aja?”
“Kayaknya, habis
kadonya udah jadi.”
Setiawan mendadak
pamit, “Eh, gue duluan aja ya, ada janji sama teman hari ini, mau belajar
bareng ceritanya.”
“Eh? Belajar bareng?”
Aditya menambah,
“Dia punya semacam komunitas belajar buat olimpiade sains nasional nanti,
Indah. Dia udah baik banget udah berbagi sama teman-teman dari sekolah lain
meski harus bersaing.”
“Kurang lebih gitu
juga,” ucap Setiawan sebelum dia pergi. “Gue duluan.”
Aditya segera
menemui kasir untuk mengambil kedua kado yang kami telah beli dan membayarnya,
aku sebelumnya telah memberi uang untuk membayar kado yang kubeli. Dia
menyerahkan kado yang kubeli itu padaku.
“Aku duluan, Dit,”
ucapku.
“Eh, lo pulang
sendiri?” tanya Ikbal heran.
“Ya.”
Ikbal secara
sukarela mengajakku, “Indah, gue antarin aja.”
“Enggak usah, kamu
baru nyampe, kan? Aku bisa pulang sendiri.” Aku tersenyum pada Ikbal. “Duluan,
Bal.”
“Hati-hati, Indah.”
***
Bel kelas berbunyi
menandakan waktu istirahat pertama, sebagian teman sekelasku dengan semangat
keluar dari kelas setelah dibuat pusing dengan ujian fisika yang telah kami
kerjakan pagi ini.
Kupandangi barisan
bangku belakang, aku tidak melihat Rayn ataupun tasnya di bangkunya. Aku
bertanya-tanya pada diriku, mengapa Rayn tidak masuk sekolah hari ini, apakah…
“Indah,” Febby
memanggil, “Hari ini jadi ice skating?”
“Ya,” aku
mengangguk. “Rayn hari ini enggak masuk ya?”
Aditya berjalan
menemuiku, “Oh ya, kirain pada masuk semua, ternyata Rayn enggak masuk. Kenapa
ya?”
“Gue juga enggak
lihat dia datang ke sekolah.” Febby menjawab.
“Ya, padahal kita
mau ngajak dia ikutan ice skating,
sekalian refreshing.”
Brian segera
berjalan menemui kami, “Yakin nih kita mau ice
skating?”
Febby meledek,
“Brian, lu punya duit emang? Mentang-mentang diajakin, lo mau aja langsung ikut
….”
Brian membalas
ledekan Febby, “Heh! Emangnya lo orang kaya raya apa?!” Aku dan Aditya tertawa
geli. Brian segera membalas, “Lucu apaan hah?!”
Aku segera menawar,
“Brian, aku bayar bagian kamu deh.”
Aditya juga berkata,
“Gue juga bayar yang lo deh.”
Brian pun menolak,
“Makasih, tapi … enggak usah deh …. Gue mending enggak ikutan, lo pada tahu kan
kondisi keluarga gue kayak gimana.”
“Udah deh, mending
lo ikut aja. Kita-kita bakalan bayarin buat lo.”
“Eh?! Kenapa kita
harus bayarin si orang miskin segala sih, Dit?!” Febby protes.
“Namanya juga
ngebantuin, Feb. Jangan pelit gitu dong, teman kita nih, Brian, kagak mampu
buat ngebayarin ….”
“Blah, blah, blah,
gue tau, Dit. Gue bantuin bayarin buat lo, Brian.”
“Katanya enggak mau
bayar!” ulang Aditya dan Brian secara bersamaan yang membuatku tertawa geli.
“Eh, sepulang
sekolah kita kumpul di lobi biar kita sekalian berangkat,” ucap Aditya. “Satu
lagi, pada bawa baju hangat enggak?”
Febby mengeluh lagi,
“Ih! Kenapa enggak bilang dari tadi kalau harus bawa jaket sih?!”
“Udah ah, mending
daripada dengar keluhan lo, kita ke kantin atau enggak lapangan,” usul Brian.
“Benar, man!” Aditya tertawa meledek Febby.
“Indah, mau ikut?”
“Aku nanti nyusul
aja, kalian duluan aja. Aku ada urusan dulu.”
“Sip, Dah, duluan.”
Aditya langsung pergi meninggalkan kelas bersama Brian.
“Ih! Aku mah apa
atuh! Gue kagak ditanya!” Febby bangkit mengikuti Aditya dan Brian.
Aku mengambil
ponselku untuk mengecek balasan SMS dari Ikbal, semula aku bertanya ia sedang
dimana. Aku buka dan baca SMS itu, tanpa basa-basi lagi, aku mengambil kado
yang kubeli kemarin dari dalam tas. Aku segera meninggalkan ruangan kelas membawa
kado itu.
Aku segera berjalan
mendekati lapangan sepak bola, kupandangi beberapa siswa yang sedang bermain
sepak bola seperti biasa, tetapi tidak ada Ikbal di antara mereka. Tumben
sekali, Ikbal sedang tidak bermain, padahal dia kapten tim sepak bola sekolah.
“Indah,” suara
Ikbal mengagetkanku dari belakang.
Aku kaget, “Ikbal,”
Ikbal menatap kado
yang kubawa, “Itu, kado yang lo beli kemarin kan?”
“Ya … um ….” Secara
tak sadar aku mengulurkan kado itu pada Ikbal.
“Indah? Maksud lo …
kado ini ….”
Aku membalas, “Ya …,
sebenarnya kado ini … buat kamu. Ya, buat balasan hadiah dari kamu, yang waktu
itu …. Valentine masih lama, kan?”
Ikbal pun tersenyum
mengambil kadoku, “Indah, makasih.”
Aku tersenyum,
“Sama-sama,”
“Eh, Indah, jadi ice skating, kan?”
“Jadi kok.”
“Gue main bola
dulu, gue duluan ya.” Ikbal pamit sebelum berlari memasuki lapangan sepak bola
untuk ikut main.
***
Kupandangi jendela
kelas saat wali kelas kami sedang menjelaskan rumus-rumus fisika yang membuat
kebanyakan dari kami kebingungan dan kewalahan. Awan kelabu menutupi langit dan
menurunkan tetesan air dengan keras ke tanah.
Tidak biasanya akan
turun hujan di siang hari begini, apalagi hujannya cukup deras seperti ini
sangat jarang, seringnya saat sore hari.
“Ah! Hujan lagi!
Hujan lagi!” keluh Febby. “Gimana nih? Kita jadi enggak sih ice skating kalau hujan kayak gini.
Apalagi gue kagak bawa jaket lagi! Huh! Nyebelin hujan teh!’
“Ya,” aku menjawab
singkat.
“Apa?”
Aku kembali menarik
perkataanku. “Enggak, enggak jadi, Feb.”
Kutatapi Aditya mengacungkan
tangannya pada wali kelas kami, saat ia dipersilakan untuk bertanya, ia
bertanya mengenai kegunaan rumus tersebut jika diterapkan dalam soal. Setiawan
pun mengangkat tangannya untuk menjawab dan menambah penjelasan dari wali kelas
kami, hal itu tentunya membuat kami sedikit mengerti.
“Bosan! Hujan
melulu! Bosan! Bosan! Bosan!” Febby menyandarkan wajahnya di atas meja sambil
mengeluh.
“Baik, segitu saja
buat hari ini. Kita akan ada ulangan pada pertemuan selanjutnya. Bapak harap
kalian kerjakan soal-soal evaluasi di buku paket kalian ….”
“Indah, mending gue
ikutan ice skating jangan ya? Gue
bisa-bisa kedinginan kalau hujan terus,” Febby bertanya.
Aku menjawab,
“Mending kita nunggu sampai hujannya reda deh, Feb, baru kita berangkat.”
“Selamat siang,” wali
kelas kami pamit meninggalkan kelas.
Kebanyakan dari
kami tetap berada di kelas, tetap duduk di bangku masing-masing atau berlalu
untuk mengobrol, ada juga yang keluar. Aku tetap duduk di bangkuku.
Aditya berjalan
menemuiku. “Gimana nih? Kalau hujan kita bakalan jadi enggak? Kasihan juga yang
enggak bawa jaket.”
“Kita tunggu aja
sampe hujannya reda,” usulku optimis.
Aditya bertanya,
“Kamu enggak pernah ice skating?”
Aku menggeleng,
“Aku enggak sempat ice skating,
orangtuaku sibuk banget sama pekerjaan di luar negeri, sering pindah-pindah
negara. Aku juga ngerasa enggak enak meski aku sering ke luar negeri, tapi enggak
sempat ….”
“Enggak usah
khawatir, Dah.” Aditya tersenyum.
“Terus kita ngapain
dong?” keluh Febby lagi. “Bisa aja hujannya enggak reda-reda sampe malam, kan?
Apa aja bisa terjadi, kan?”
Setiawan datang
menghampiri kami, “Mending kita ngerjain beberapa soal evaluasi sambil nunggu
hujan reda.”
“Eh?! Ngerjain
soal?!”
Aditya tersenyum,
“Ya mending kan, ulangan fisika di pertemuan selanjutnya. Sekalian latihan lah
biar kita bisa ngerjain ….”
“Ah …, nanti kita
pusing pala baby atuh!”
Aditya protes,
“Yang benar pusing pala Barbie, alay.”
“Berisik!”
Aku segera kembali
membuka buku paket fisika, kubolak-balik setiap halaman hingga kutemukan
soal-soal evaluasi yang telah dijadikan tugas sebagai latihan sebelum ulangan
mendatang.
Kupandangi setiap
teks soal cerita dan juga gambar-gambar yang rupanya agak membingungkan bagiku,
aku bahkan tidak mengerti beberapa soal tersebut. Aku langsung shock saat melihatnya, seperti sebuah
cahaya panggung menyilaukan membuat semua latihanku terasa sia-sia.
Aku tidak tahu soal
manakah yang harus kukerjakan, semuanya sulit, benar-benar membingungkan. Aku
buru-buru kembali membuka buku catatanku untuk mencari rumus-rumus apa saja
yang harus digunakan.
Tetap saja aku
tidak mengerti cara menerapkannya pada soal. Aku jadi terpikir bahwa seharusnya
kita pergi ice skating kalau tidak
hujan besar seperti ini, tetapi sudah terlanjur. Aku akan berlatih soal fisika
bersama teman-teman sekelompok belajarku.
“Si Brian mana?” tanya
Febby.
“Biasa lah, ngomong
sama Aldi, sekretaris kelas,” ucap Setiawan.
“Kira-kira tentang
apa, ya? Apa dia udah enggak malu lagi nunjukkin keadaan yang sebenarnya?”
Aku kembali
terpikir, apakah Setiawan juga pernah ngomong kondisi Brian sebagai orang
kurang mampu pada yang lainnya? Ah, sepertinya itu tidak mungkin karena Aldi,
sang sekretaris kelas, tahu sendiri saat melihat ayah Brian bekerja sebagai
supir taksi.
Aku tak perlu memikirkan
oleh hal itu lagi, yang harus kupikirkan adalah kelima teman cowok paling
dekat, Aditya, Brian, Setiawan, Ikbal, dan Rayn mungkin semakin dekat denganku.
Aku terlintas kembali masa lalu waktu aku tersesat mencari ibu dan seorang anak
laki-laki yang membantuku. Aku teringat pegangan tangannya yang sangat hangat,
sangat hangat.
Aditya berkata,
“Bengong aja, Dah.”
Aku kaget. “Um …,
ya, soalnya sih … sulit juga.”
“Aku bantu dikit
deh.”
“Eh?! Emang kamu
bisa?”
“Aku ngerti sih,
Dah, soal pertama ginian.”
Aditya memberitahu
rumus mana yang harus kugunakan untuk mengerjakan soal pertama, dia juga
memberitahuku bagaimana cara menerapkan rumus tersebut dalam soal pertama. Aku
menuliskan jawabannya pada buku catatanku secara sistematis, kutulis rumus dan
cara pengerjaannya hingga jawaban akhir.
Setiawan juga mulai
membantu kami bagaimana cara mengerjakan soal-soal evaluasi tersebut, ia secara
sistematis menjelaskan semuanya, ada yang kami mengerti, ada yang tidak,
setidaknya tak serumit yang guru kami jelaskan.
***
“Lho? Udah enggak
hujan?” Tak terasa, kita bahkan belum selesai mengerjakan semua soalnya.
Brian datang
menemui kami, “Kita berangkat sekarang? Ayo. Hujannya udah reda.”
Febby mengeluh,
“Ih!! Lo enak pisan sih!”
“Udah, Feb.” Aku tersenyum.
“Dia juga ada urusan, kan?”
Kami segera
mengambil tas dari bangku masing-masing sebelum melangkah keluar bersama-sama
dari kelas. Kami pun segera berjalan cepat menuju lobi sekolah untuk menemui
Ikbal yang sudah ada di sana.
Ikbal pun
mengangguk saat melihat kami dan mengatakan bahwa kita harus segera berangkat
ke tempat ice skating.
“Oke, cepatan
berangkat,” ucap Brian.
***
“Wow!” Aku merasa
kagum melihat tempat ice skating yang
kami kunjungi.
Kupandangi beberapa
orang dengan cerianya melintasi arena ice
skating seputih tanah terselimuti salju dengan takjub, kupandangi juga
beberapa anak kecil pun sudah jago ice
skating, ada juga yang terlihat masih belajar.
Kami segera duduk
di bangku dekat loker biru sambil memakai sepatu skating yang ujung bawahnya tajam seperti pisau, cukup memudahkan
kami melangkahi arena es.
Aku terpikir apakah
ini pengalaman pertamaku mencoba ice
skating, entah mengapa aku merasa tegang. Aku memasukkan kedua kakiku
kedalam sepatu skate, kuikat tali
sepatu dengan hati-hati.
“Sip, gue duluan,”
ucap Aditya segera melangkah bersiap untuk memasuki arena es.
“Eh! Tungguin!” teriak
Febby segera menyusul. Dia tanpa sadar lupa mengikat tali sepatunya hingga
terjatuh. “Ah! Sakit!!”
Setiawan dan Brian
segera menyusul sebelum aku selesai mengikat tali sepatu skate yang kupinjam. Aku segera bangkit dari bangku, tetapi Ikbal
yang masih duduk di samping menghentikan dengan memegang lengan kiriku.
“Eh?” aku heran.
Ikbal mengingatkan,
“Tali sepatu lo belum kencang banget,”
“Masa?”
Ikbal bangkit dan
berlutut di depanku, dia mengikat kembali tali sepatu skate-ku. Kali ini sepatuku terasa lebih kencang, seakan-akan
kakiku tidak ingin lepas dari sepatu itu.
“Makasih, Bal.”
Ikbal mengulurkan
tangan kanannya, “Ayo,”
“Eh? Iya.” Kupegang
tangan kanan Ikbal untuk bangkit.
Kami berdua
melangkah bersama menuju arena es. Saat aku meletakkan kedua kakiku pada arena
es, aku terasa seperti mau jatuh, tetapi Ikbal memegangku dari samping.
Ikbal bertanya, “Pertama
kali?”
“Ya, aku enggak pernah
melakukan ini sebelumnya.”
Ikbal tertawa kecil.
“Gue ajarin lo.”
Ikbal memegang
kedua tanganku dari depan sambil berskating
mundur mengajari bagaimana caranya ice
skating. Aku maju sedikit demi sedikit bersama Ikbal.
Kupandangi ke
depanku, Brian yang menatap ke belakang, tetapi ia seperti membuang muka padaku
dan Ikbal. Brian tanpa sadar tidak memegang pipa di pinggir hingga ia terjatuh.
“OMG!” Teriak Febby
yang tidak mampu skating di es
memegang pipa dengan kedua tangannya.
Aditya datang
menemuinya, “Gue ngajarin lo deh.” Dia memegang kedua tangan Febby sambil
berbalik menghadapnya. Dia berjalan mundur sambil mengajari Febby untuk maju
secara perlahan, seperti yang Ikbal lakukan padaku.
“Oke, kita belok
sekarang,” kata Ikbal.
“Iya!”
“Sekarang lo coba deh
di pinggir dulu. Kalau misalnya lo kayak mau jatuh, pegang ini.” Ia menunjukkan
pipa pemegang di pinggir.
“Ya.”
Aku segera
melangkah secara perlahan dan berhati-hati, aku memandang ke depan, lurus ke
depan.
Aku sedikit
mempercepat langkahku, lama kelamaan aku merasa ice skating benar-benar menyenangkan, tapi aku belum begitu mahir.
Sudahlah, namanya juga belajar. Aku benar-benar menikmati ice skating seperti ini. Begitu menyenangkan.
***
“Indah,” Setiawan
duduk di sampingku saat kupandangi arena ice
skating tengah dibersihkan oleh pihak pengelola dengan mesin yang dinamakan
Zamboni. Semua es yang terlihat kasar menjadi halus lagi.
“Ya?”
Setiawan memegang
kedua tanganku, “Gue … pengen bilang sesuatu sama lo.”
“Emang kenapa,
Setiawan?” Aku penasaran.
“Gi …, gini …, um …,
gimana …, gue … enggak tahu harus ngatain apa yang pengen gua sampein.”
“Pelan-pelan aja,
Wan.”
Setiawan menarik
napas. “Indah …. Gue …, gue suka lo ….”
“Eh?” Aku hampir
tidak bisa berkata apapun.
“Gue benar-benar
menyukai lo, Indah, gue sangat suka. Cewek yang cuma gue suka adalah lo.”
Setiawan mulai terbata-bata. “Kecantikan lo …, saat kau pindah ke kelas gua…
gue pikir lo …, lo …, lo benar-benar cantik, Indah. Lo beda sama cewek yang
lain bagi gua, Indah.”
Aku …, aku tak tahu
harus berkata apa. Mengapa? Mengapa Setiawan mengatakan hal itu padaku? Apakah
dia sungguh-sungguh? Dia sungguh-sungguh menyukaiku? Aku tidak tahu apakah
cowok terpintar di kelasku benar-benar tulus mengatakan perasaannya ini padaku.
Otakku terasa
membeku, pikiranku kosong, benar-benar kosong. Aku ingin menjawab pernyataan
perasaan Setiawan padaku, tapi …, tapi … aku ….
Kupandangi Setiawan
mengambil ponselnya dari saku celananya, dia menjawab teleponnya, “Halo? Ya?
Sekarang? Oke.” Dia menutup teleponnya sebelum berbicara kembali padaku,
“Indah, sorry, gue balik sekarang ya. Ada urusan penting kelompok belajar buat
olimpiade sains soalnya.” Dia juga pamit pada yang lainnya. “Dit, Ikbal. Lho?”
Aku melihat yang
lainnya, Aditya dan Ikbal sedang berdiri melihat arena ice skating yang tengah dibersihkan, tetapi Brian tidak ada. Aditya
dan Ikbal berbalik memandang kami.
“Brian mana?” tanya
Setiawan sambil melepas sepatu skate-nya.
“Enggak tahu, lagi
sama Febby kali, keluar bentar.” jawab Ikbal.
“Gue ada urusan
mendadak, gue balik duluan,” pamit Setiawan sambil membawa sepatu skate-nya setelah berdiri
meninggalkanku.
“Yup, hati-hati!” balas
Aditya.
Aku teringat
ungkapan perasaan Setiawan padaku, aku bingung …. Aku bahkan tidak sempat
menjawabnya. Apakah aku harus menerimanya atau menolaknya? Aku benar-benar
bingung. Aku tidak bisa berkata apa-apa sekali lagi tentang itu.
Comments
Post a Comment