Finding Childhood Love Episode 6

Kerja Kelompok

“Hei, Indah, kamu datang duluan,” Aditya yang memakai kaus oblong abu-abu dan celana pendek hijau membukakan pintu rumahnya.. “Masuk aja, yang lainnya belum pada datang.”
“Anu ....” Aku malu-malu.
“Kenapa?”
“Ini pertama kalinya aku berkunjung ke rumahmu meski kita tetangga,”
“Udah jangan dipikirin deh,” Aditya tersenyum padaku. “Masuk aja, jangan malu.”
Aku memasuki rumah Aditya untuk pertama kalinya. Aditya menutup pintu sebelum berjalan melewati ruang tamu bersamaku. Aku berjalan menuju ruang keluarga. Terlihat sebuah sofa mengelilingi meja coklat lebar di depan TV LCD yang menyala beserta dekoder TV.
Sorry banget, enggak ada apa-apa, cuma ginian doang.” Aditya sungkan.
Aku tersenyum. “Tidak apa-apa, Dit.” Aku segera duduk di atas sofa yang menghadap TV.
Aditya mematikan TV tersebut dengan menekan tombol merah pada remote yang dipegangnya. “Orangtuaku lagi keluar kota, bakalan pulang hari Senin nanti.” Dia meletakkan remote TV di atas piano sebelah TV tersebut. “Mau teh?”
“Boleh.” Aku segera melepas tasku, kubuka risleting tasku untuk mengambil buku pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika. Kuletakan kedua buku itu di atas meja, aku segera membuka buku bahasa Indonesia. Saat Aditya berjalan menuju dapur, aku bertanya, “Oh ya, tugas bahasa Indonesia yang kelompok kita disuruh bikin makalah, kan?”
Yup,” Aditya menjawab dengan santai. “Kamu udah ada naskah drama jadul yang mau kamu baca enggak?”
“Belum, aku belum nge-print, masih kusimpan dalam bentuk file di hp-ku.” Kuambil ponselku untuk membuka file tersebut. “Kita cuma disuruh ngebandingin lima naskah drama jadul di makalah itu, kan?”
“Ya,” jawab Aditya. “Aku udah dapet naskah Raden Bei Surio Retno, aku baru baca sebagian, aku kurang ngerti bahasanya.” Aku memandang Aditya meletakkan dua gelas di meja makan setelah berjalan dari dapur. Ia menuangkan air panas pada dua gelas itu sebelum memasukkan kantung teh pada masing-masing gelas. “Kamu dapat apa?”
“Oh, kalau aku dapet Awal dan Mira, aku dapet dari ibuku. Ibuku bilang Awal dan Mira tuh drama Indonesia yang unik banget, drama juga bagus. Ibuku sering nonton teater waktu keluargaku berpindah-pindah negara, termasuk drama Indonesia yang kebetulan aja dipentasin di sana.”
Aditya memegang dua cangkir teh sambil melangkah kembali ke ruang keluarga. “Wow, ibumu pecinta teater ya? Pasti ibumu tahu soal Broadway sama West End, kan?” Dia meletakkan dua cangkir teh di atas meja ruang keluarga sebelum duduk di sampingku. “Silakan.”
“Makasih.” Aku mengambil secangkir teh tersebut, kuminum seteguk. Aku meletakkan cangkir itu di atas meja. “Mungkin, soalnya aku sering diajak ibu nonton teater sih. Enggak tahu kenapa orang-orang diluar juga sering nonton teater, kalau di sini juga jarang.”
Aditya berkata setelah ia meneguk secangkir tehnya, “Aku juga setuju, soalnya katanya teater di luar negeri, apalagi di Amerika sama Eropa tuh punya sejarah panjang. Kalau Indonesia sih gimana ya, punya sejarah semacam pendek sih. Makanya di sini tuh teater jarang dipromoin karena keterbatasan dana. Makanya orang Indo lebih suka nonton film sama TV.”
“Sayang banget di sini jarang ada pertunjukan teater.”
“Oh ya,” Aditya segera mengganti topik, “Itu Awal dan Mira ceritanya tentang apa?”
Tak lama kemudian, terdengar sebuah ketukan pintu. Aditya segera berjalan menuju ruang tamu untuk membukakan pintu.
“Permisi.” Kudengar suara Brian dan Febby secara bersamaan.
Aditya langsung meledek, “Ciyeee, bareng ni yee.”
Febby tersinggung. “Ih, lo apaan sih, Dit? Gue kebetulan datang barengan sama Brian.”
Brian juga membantah, “Febby, lo salah banget sih ngegunain kata-kata lo. Harusnya kebetulan kita datang di waktu yang sama. Bukan berangkat barengan.”
Tak lama setelah Febby dan Brian melangkah memasuki ruang tamu dan duduk di atas sofa dekat meja, kudengar suara hujan deras yang cukup keras ketika terdengar sudah turun di tanah.
“Anjrit, hujan lagi!” ucap Brian.
“Bentar ya, gue buatin teh dulu.” Aditya segera melangkah menuju dapur, “Sorry banget enggak ada apa-apa.”
Kutatap Brian sedang menatap diriku dengan perasaan yang tidak bisa kutebak. Apakah dia masih marah padaku karena tersinggung aku telah meminjamkan payungku kemarin atau malah sebaliknya?
Brian segera berteriak, “Apa sih lihat-lihat?” Dia segera melepas tasnya untuk mengeluarkan buku Bahasa Indonesianya dan naskah drama yang sudah dipilihnya. Begitu juga dengan Febby.
“Kamu dramanya apa, Indah?” tanya Febby
Awal dan Mira, drama favorit ibuku, Aku sempat kaget kalau drama ini dipentasin di luar negeri segala.”
“Ya iyalah, Indah,” Febby menjawab, “Orang Indo yang pentas kan?”
Enggak tahu juga kalau soal gituan.”
“Kalau gitu mah pasti orang Indo atuh!” Febby berseru, “Apalagi drama Indonesia yang dipentasin di luar negeri pada pake bahasa Indonesia, jadi we penontonnya teu ngerti.”
“Sebenarnya ada yang pake bahasa Inggris pentasnya.”
“Eh, Brian, kalau lo drama apa?” Febby mendadak ganti topik.
“Lo dulu deh,” jawab Brian.
“Ih!! Gue yang nanya! Lo jawab dulu atuh kalau ada orang yang nanya teh!”
“Silakan,” jamu Aditya meletakkan secangkir teh di atas meja masing-masing di depan Brian dan Febby. “Jadi kita mulai aja diskusinya?”
“Jangan dulu dong,” protes Febby. “Kita mah harus tahu drama apa yang bakal didiskusiin.”
Aku menggeleng, “Feb, masing-masing dari kita bawa satu naskah drama, nanti kita diskusiin keenam drama itu bareng-bareng, terus bikin makalahnya.”
Aditya menambah, “Lagian tugasnya dikumpulin hari Jumat nanti, jadi tenang aja. Lagian kita sekalian mau belajar bareng pelajaran yang enggak kita ngerti, kan?” Saat terdengar suara ketukan pintu lagi, dia bangkit. “Bentar, ada orang lagi. Pasti itu Setiawan atau enggak Rayn,” Dia melangkah menuju ruang tamu untuk membukakan pintu.
“Brian, Brian, lo gimana sih ngelihatin si Indah melulu,” ledek Febby.
“Suwa!” Brian mengungkapkan kata aneh yang tidak kuketahui artinya. “Enak aja lo! Lo cemburu nih?!”
“Selamat sore,” sapa Setiawan yang baru saja memasuki ruang keluarga menemui kami.
“Setiawan! OMG!!” Febby langsung bersemangat. “Akhirnya gue sekelompok sama cowok ganteng dan pintar kayak lo!”
Brian langsung memotong, “Diam lu, Sunda Alay!”
“Sunda Alay?!”
“Itu lo, bicara lo pake Sunda campur-campur jadi alay nih, jadinya kedengeran alay nih. Lu sok Sunda banget sih.”
Aditya melangkah melewati ruang keluarga sambil meledek, “Heh, Febby, Brian, lo jadi sok akrab banget sih.” Ejekan tersebut tentunya mengagetkan Febby dan Brian. Aditya lalu melangkah menuju dapur. “Gue bikinin teh.”
Setiawan segera menolak dengan halus, “Enggak usah, Dit. Lagian lo jadi repot sendiri harus bolak-balik ke dapur gitu.”
“Lagian lo haus banget, kan? Habis ke sini lagi,” Aditya pun tersenyum.
Bertepatan dengan itu, suara ketukan pintu kembali terdengar. Aku segera berdiri untuk berjalan menuju ruang tamu. Oh, aku aja yang buka ya, Dit.”
Saat kubuka pintu, kulihat seorang laki-laki yang tampak familiar, dia pernah kulihat di sekolah saat aku dan Febby bertabrakan beberapa hari yang lalu. Lingkaran hitam melingkari kedua matanya, banyak keriput memenuhi wajahnya sehingga tampak lebih tua.
Suasana seketika berubah berkat kedatangan laki-laki itu, tak ada yang tampak menyukai lelaki jelek, buruk rupa dan dekil itu. Sebenarnya dia tidak dekil, tapi mereka menganggap dirinya begitu.
Jadi … laki-laki ini Rayn? Anggota terakhir kelompok kami? Masa dia? Kenapa harus dia jika kebanyakan dari kami tidak menyukai kehadirannya? Memang, guru Bahasa Indonesia kami sudah membagikan kelompok belajar selama satu semester penuh, kurasa ini cukup adil bagiku.
Aku segera bertanya, “Jadi kamu yang namanya Rayn?”
Rayn tidak menjawab, dia mengabaikanku begitu saja. Kupandangi muka masam Febby, Brian, dan Setiawan, begitu juga Aditya yang membawakan secangkir teh pada Setiawan.
Hening, itu yang terasa sekarang karena kedatangan Rayn. Aku tidak tahu mengapa teman-teman sekelompokku memasang muka masam pada Rayn, padahal dia termasuk anggota kelompok.
Aditya secara canggung bertanya, “Um , Rayn, mau teh?”
“Enggak, gue mau kopi hitam aja.”
Oke. Kalian duluan aja belajarnya.” Aditya berjalan kembali ke dapur untuk menyiapkan secangkir kopi untuk Rayn.
“Indah, kok diam aja? Ayo kita mulai!” seru Febby.
Aku langsung tersadar karena panggilan Febby. “Eh? Iya!” Aku segera berjalan menemui teman-teman sekelompokku dan duduk di samping Febby.
Sementara itu, Rayn berdiri dan berjalan meninggalkan kami. Dia berjalan melewati ruang tamu sebelum membuka pintu sambil mengeluarkan sebuah kotak hitam dari saku celananya.
“Udah, biarin aja, Indah. Si Rayn emang kayak gitu. Oke, kita mulai belajar aja deh!” ucap Febby.
“Lo enggak sabaran banget, sih, Febby. Mentang-mentang enggak ada si Rayn di sini, lo baru aja semangat belajar,” kata Brian.
“Ya udah! Hayu atuh! Kita mulai belajar aja! Oke, kita ngerjain tugas dulu, kan?”
“Lo sebutin duluan drama apa yang lu baca! Ato enggak lo belum baca nih?” Brian kembali menyindir.
“Aduh! Gue mah udah baca sebagian! Lo yang belum baca keles.”
“Diam lo! Sunda Alay dari sinetron!”
“Sinetron?”
“Itu loh, kebanyakan kelakuan lo tu kayak di sinetron alay,” ledek Brian.
“Udah, udah.” Aditya kembali ke ruang keluarga membawakan secangkir kopi “Mendingan Setiawan dulu yang nyebutin drama apa yang dia udah baca. Lho, mana Rayn?”
“Si brengski itu lagi keluar,” jawab Brian.
“Brian, jangan ngomong kayak gitu, Bro. Dia teman kita juga. Gue tahu kalau gue capek kalau pura-pura baik sama Rayn .
“Apaan dia? Gue emang enggak suka sama dia!” Brian membantah sambil marah “Gua enggak suka sama kelakuan cowok dekil itu!”
“Brian, lo gimana sih? Rayn kan teman sekelas kita juga!”
“Ah! Teman darimana coba! Orang kayak gitu enggak pantas dianggap teman, Dit! Gue juga enggak sudi sekelompok sama dia! Semuanya juga enggak sudi sekelompok sama orang buruk rupa kayak dia!”
“Brian, udah! Gue juga cape! Apalagi di depan Indah yang enggak tahu apa-apa tentang Rayn, kan?” teriak Aditya.
“Justru itu dia masalahnya, Dit!” Brian berteriak balik. “Indah emang enggak tahu apa yang Rayn lakuin semester lalu, yang jelas kita semua sekelas benci sama dia!”
“Udah, udah!” Febby berusaha menghentikan pertengkaran. “Daripada kita berantem kayak ginian pisan, mendingan kita mulai belajar bareng deh! Udah dong!”
“Lo mending diam aja, Sunda Alay!” Brian membantah.
Aku segera berdiri di hadapan yang lain, hal itu tentunya mengagetkan mereka, terutama Aditya yang bertanya, “Indah, kamu kenapa? Kamu marah ya sama aku? Kamu marah sama kita-kita?”
Aku menjawab, “Enggak, aku enggak marah kok, Dit. Cuman ... aku pengen tahu kenapa kalian teman sekelas si Rayn ini malah benci sama dia? Jadi aku pengen ngomong sama dia.”
Aditya berdiri menemuiku. “Indah, aku minta maaf kalau kamu enggak nyaman,”
“Enggak usah minta maaf, Dit,”
“Enggak, Indah, bukan gitu. Aku malu kelakuanku kayak barusan sebagai tuan rumah kerja kelompok. Lagian kamu mau kan ngomong sama Rayn? Aku temanin.”
Aku menolak dengan halus, “Makasih, Dit, tapi kurasa, aku butuh bicara sama dia empat mata aja. Kalau sama kamu mungkin dia enggak nyaman.”
Aku segera berjalan meninggalkan ruang keluarga sebelum melewati ruang tamu, aku meletakkan kedua kakiku di teras rumah Aditya. Kupandangi Rayn yang sedang berdiri menatapi hujan sambil memegang sebuah batang putih yang ujungnya terbakar mengeluarkan asap. Rayn membuang asap putih dari mulutnya.
“Rayn,” panggilku.
“Lo ngapain nemuin gue? Mendingan lo kumpul sama yang lain.” Rayn secara blak-blakan berkata, “Gue sebenarnya punya masalah sejak masuk ke sekolah bareng mereka.”
“Maksud kamu apa?” Aku heran.
“Beberapa guru tahu kalau gue punya masalah yang nyebabin semua orang benci sama gue,” jawab Rayn, “Semua orang benci sama gue, lo pasti benci juga sama gue meski lo baru ketemu sama gue, lo juga baru kenal sama gue.”
“Indah,” Brian memanggilku, “Biarin aja dia, dia emang mau sendiri.”
Terdengar suara Aditya. “Brian, jangan ganggu mereka.”
“Tapi dia emang enggak mau kerja sama kita-kita, Dit.”
Aku segera berkata, “Brian, Adit, kalian kerjain tugasnya duluan aja, aku mau ngomong sama Rayn.”
“Sip-sip,” ucap Aditya.
Aku menatap Rayn seakan-akan seperti orang tua yang sedang murung dan depresi, atau bisa kubilang seperti ekspresi seekor keledai bernama Eeyore yang selalu murung.
“Lu mau enggak , tanya Rayn terputus.
“Mau apa?”
“Enggak, enggak jadi.”
 “Rayn, enggak apa-apa, sampaiin aja.”
“Lo kepo banget.”
Ini buat kebaikan kamu, apa yang jadi masalah kamu, Rayn?”
Rayn menceritakan semuanya, “Gue punya pengalaman buruk dan memalukan selama gua di SMA. Gue enggak punya teman dekat, enggak punya teman sama sekali. Gue selalu menyendiri, selalu aja.” Aku mendengarkan Rayn tanpa memotong pembicaraan sama sekali “Banyak banget yang nyalahin gue, gue selalu jadi korban, gue selalu disalahin. Gue depresi! Depresi cuy! Gue enggak tahu kenapa, tapi yang jelas gue , gue , gue , sering ikut tawuran bareng teman-teman lama, gue jadi puas ngelampiasin emosi gua yang gue dapet di sekolah! Gue ngelukain orang-orang yang nyerang gue. Bahkan gue pernah mukul satu orang sampe dia koma! Koma! Dia benaran koma!”
Aku merasa kasihan pada Rayn karena ia sangat terpukul dengan masa lalunya yang suram, kupikir semua teman sekelasnya mengetahui hal ini hanya dengan melihat kondisinya setiap kali ia datang ke sekolah. Aku sangat iba, sangat iba.
“Gue… gue jadi ngelampiasin diri gua! Gue sempet sakau!” Dia menjelaskan mengapa kondisi fisiknya terlihat seperti yang kulihat sekarang. “Gue kecanduan ganja, sob! Gue kacau abis tawuran kayak gitu, gue juga enggak berantem duluan, lawan gue yang berantem duluan! Gue kacau gara-gara lawan gue! Gue salahin mereka karena ngebuat gue jadi gini.”
Aku tidak bisa berkata apapun, apalagi tidak biasanya remaja asal Indonesia bisa kecanduan ganja seperti beberapa remaja kurang mampu yang pernah kulihat di sekitar jalanan di negara Amerika.
“Terus gua disuruh rehab sama sekolah, kalau enggak gue bakalan di-DO, gue juga disuruh rehab sama bokap sama nyokap gue. Sebelum gue dikirim rehab pas liburan, gue di kamar. Gue ngelihat diri gue di hadapan cermin. Gue pukul cermin itu sekeras mungkin beberapa kali sampe tangan gue berdarah! Gue pengen baik kayak dulu. Gue pengen kayak dulu lagi! Kalau aja teman-teman gue enggak buat gue kayak sekarang gini, gue pasti enggak akan dibenci kayak sekarang. Apalagi gue juga pengen ketenangan.”
Kutatapi mata Rayn sedang menatap diriku dengan serius, namun tetap lembut. Sebenarnya, perasaan apakah ini? Perasaan apa yang sedang dia kirim kepadaku? Aku tidak begitu tahu. Apakah ini hanyalah perasaan ibaku setelah aku mendengar semua ceritanya? Dia terus menerus menatap diriku.
“Indah,” Aditya berjalan keluar dari ruang tamu menuju teras menemuiku dan Rayn, “Rayn, aku sudah dengar semua. Aku mengerti perasaanmu.”
“Adit?” Aku berdiri menatap Aditya, “Kau denger juga? Harusnya kamu ….”
Rayn memotong, “Tidak apa-apa, gue lega lo mengerti, Dit.”
Sorry, gue ….”
“Enggak, enggak usah minta maaf, Dit.” Rayn menghampiri Aditya. “Lagian yang lain masih pada belum ngerti apa yang gue rasain sekarang. Setidaknya, selain dirimu, aku menemui si cewek ini. Cewek yang pindah sekolah ini terlihat bagai malaikat cantik. Adit, gue mau ngomong sama Indah berdua, lo duluan belajar sama yang lain.”
Aditya tersenyum, walau masih terlihat ragu. “Oke, masuk aja kalau mau gabung.” dia segera kembali masuk ke dalam rumahnya.
Aku heran mengapa Rayn berkata aku bagai malaikat cantik meski ia terlihat menyeramkan bagiku. Aku juga baru saja berkenalan lebih dekat dengan Rayn, tapi aku tidak tahu apa perasaanku yang kurasakan sekarang. Aku tidak merasa curiga lagi dengan Rayn, tapi aku merasakan sesuatu yang positif, positif.
Aku membalas pujian Rayn, “Ma …, makasih udah berkata aku bagai malaikat cantik. Tapi … aku tidak tahu harus berkata apa setelah mendengar ceritamu.”
“Lo juga sebelumnya enggak punya teman dekat. Gue tahu perasaan lo. Gue pikir lo akan canggung saat masuk kelas sekolah umum untuk pertama kalinya. Aku bisa ngerasain.” Rayn berjalan mendekatiku, “Aku juga merasa kesepian karena hal yang sudah kuceritakan lagi.”
Aku hanya menasihatinya, “Kamu tidak sendirian, Rayn. Aku adalah temanmu.” Aku tersenyum. “Sebenarnya aku hanya ingin membuat semua orang tersenyum, aku ingin setiap temanku tersenyum damai. Tapi setidaknya marah dan sedih itu perlu, tapi tidak sembarangan dan di waktu yang salah. Aku sering mendapat nasihat dari guru-guru homeschoolingku. Oh ya, kita gabung yuk sama yang lain.”
“Mungkin gue butuh waktu buat gabung sama yang lain.”
“Oke, kalau kamu mau ketemu yang lain, masuk aja.”
Aku segera melangkah masuk kembali, kutemui Aditya dan yang lainnya. Mereka sudah mulai membaca naskah drama yang dibawa masing-masing sambil berdiskusi. Aku segera duduk di sebelah Febby dan mulai membaca naskah drama yang telah kubawa.
Masing-masing naskah drama yang telah kami bawa bertema berbeda-beda, tetapi memiliki suatu kesamaan yang cocok untuk menjadi bahan perbandingan. Tapi ini masih awal dari pengerjaan tugas ini, sebab Febby meminta Setiawan untuk mengajari kami beberapa materi pelajaran yang tidak kami mengerti, terutama matematika dan fisika.
Tepat setelah sekitar limabelas menit kami mulai mendiskusikan pelajaran yang tidak kami mengerti, Rayn kembali menemui kami. Aku dan Aditya rela membantunya sambil tersenyum, masih bisa kurasakan bahwa Brian, Setiawan, dan Febby masih belum bisa menerima Rayn sebagai anggota kelompok belajar kami.
Tidak lupa kucatat setiap trik untuk mengerjakan beberapa soal matematika dan fisika beserta beberapa rumus yang masih tidak kumengerti di buku catatanku. Meskipun kelihatannya yang lain masih merasa kesulitan mengerjakan soal-soal yang sebenarnya cukup mudah bagi Setiawan, terutama Aditya, Febby, dan Rayn. Aku dan Brian sudah mulai bisa perlahan-lahan mengerjakan soal-soal tersebut.
Tak terasa sudah pukul delapan malam, kami belajar tanpa memandang waktu sama sekali. Kami sudahi kegiatan belajar kelompok kami. Kupandangi Febby dan Rayn mulai mengantuk, Brian dan Aditya mulai bosan dan lesu, sedangkan Setiawan sibuk membereskan soal terakhir untuk malam ini.
Aku bersiap untuk pulang sambil memasukkan semua buku catatan dan alat tulis milikku ke dalam tasku. Brian juga tengah berdiri bersiap untuk pamit.
“Semuanya, gue pulang duluan,” ucap Brian.
“Aku juga,” Aku pamit.
Aditya segera berdiri mengikuti aku dan Brian untuk keluar “Oh ya, hati-hati di jalan,” Aditya tersenyum menatapi kami berdua saat kami meninggalkan rumahnya.
“Brian,” Aku panggil.
“Ya?”
“Kau mau pulang pakai apa?”
“Gue naik ojeg aja, gue mending cari ojeg terdekat daripada harus ketahuan.”
Aku mengingatkan Brian, “Tapi kamu keceplosan tadi.”
Brian tersinggung, “Keceplosan darimana? Hah!? Lo sok tau!”
“Aku tadi dengar saat kamu lagi enggak ngomong sama Rayn empat mata.”
“Lo…” Brian pun tidak punya alasan lain untuk marah, ia mendadak menatap ke arahku dengan aura positif .“Anu… Indah, makasih.”
“Eh? Makasih buat apa?”
“Untuk segalanya.” Kupandangi muka Brian mulai memerah, seakan-akan dia tidak bisa menjelaskan dia ingin berterima kasih untuk suatu hal. “Karena lo, hidup gua jadi lebih baik. Lo udah baik banget sama semuanya, terutama teman sekelompok, meski lo harus homeschooling sebelum lo ke sini, ke sekolah gua.”
“Benarkah?” ucapku sambil berjalan menuju rumah. “Oh, terima kasih, Brian.”
“Ya,” Brian mulai malu.
“Kalau gitu, aku pulang duluan. Rumahku di sini.” Kutunjukkan rumahku pada Brian saat aku tiba di sana.
“Oh, begitu. Ya, kamu … hati-hati, nanti kita ketemu lagi.”
Aku tersenyum. “Ya, sampai jumpa di sekolah. Hati-hati di jalan, Brian.”

Aku segera berjalan memasuki rumah sambil merenungi bahwa Sabtu ini merupakan hari yang luar biasa, luar biasa! Belajar kelompok pertama bisa dinilai berhasil meski ada gangguan pada awalnya.

Comments

Popular Posts