Finding Childhood Love Episode 6
Kerja Kelompok
“Hei, Indah, kamu datang
duluan,” Aditya yang memakai kaus oblong abu-abu dan celana pendek hijau
membukakan pintu rumahnya..
“Masuk aja, yang lainnya belum pada datang.”
“Anu ....” Aku malu-malu.
“Kenapa?”
“Ini pertama kalinya aku
berkunjung ke rumahmu meski kita tetangga,”
“Udah jangan dipikirin
deh,” Aditya tersenyum padaku.
“Masuk aja, jangan malu.”
Aku memasuki rumah Aditya
untuk pertama kalinya. Aditya menutup pintu sebelum berjalan melewati ruang
tamu bersamaku. Aku berjalan menuju ruang keluarga. Terlihat sebuah sofa mengelilingi
meja coklat lebar di depan TV LCD yang menyala beserta dekoder TV.
“Sorry banget, enggak ada apa-apa, cuma ginian
doang.” Aditya sungkan.
Aku tersenyum. “Tidak apa-apa, Dit.”
Aku segera duduk di atas sofa yang menghadap TV.
Aditya mematikan TV tersebut
dengan menekan tombol merah pada remote yang dipegangnya. “Orangtuaku lagi keluar
kota, bakalan pulang hari Senin nanti.” Dia meletakkan remote TV di atas piano
sebelah TV tersebut.
“Mau teh?”
“Boleh.” Aku segera
melepas tasku, kubuka risleting tasku untuk mengambil buku pelajaran Bahasa
Indonesia dan Matematika. Kuletakan kedua buku itu di atas meja, aku segera
membuka buku bahasa Indonesia. Saat Aditya berjalan menuju dapur, aku bertanya, “Oh ya, tugas bahasa
Indonesia yang kelompok kita disuruh bikin makalah, kan?”
“Yup,” Aditya menjawab dengan santai. “Kamu udah ada naskah drama jadul yang
mau kamu baca enggak?”
“Belum, aku belum nge-print, masih kusimpan dalam bentuk file di hp-ku.” Kuambil ponselku untuk
membuka file tersebut. “Kita cuma disuruh
ngebandingin lima naskah drama jadul di makalah itu, kan?”
“Ya,” jawab Aditya. “Aku udah dapet naskah Raden Bei Surio Retno, aku baru baca
sebagian, aku kurang ngerti bahasanya.” Aku memandang Aditya meletakkan dua
gelas di meja makan setelah berjalan dari dapur. Ia menuangkan air panas pada
dua gelas itu sebelum memasukkan kantung teh pada masing-masing gelas. “Kamu dapat apa?”
“Oh, kalau aku dapet Awal dan Mira, aku dapet dari ibuku.
Ibuku bilang Awal dan Mira tuh drama
Indonesia yang unik banget, drama juga bagus. Ibuku sering nonton teater waktu
keluargaku berpindah-pindah negara, termasuk drama Indonesia yang kebetulan aja
dipentasin di sana.”
Aditya memegang dua
cangkir teh sambil melangkah kembali ke ruang keluarga. “Wow, ibumu pecinta
teater ya? Pasti ibumu tahu
soal Broadway sama West End, kan?” Dia meletakkan dua cangkir teh di atas meja
ruang keluarga sebelum duduk di sampingku.
“Silakan.”
“Makasih.” Aku mengambil
secangkir teh tersebut, kuminum seteguk. Aku meletakkan cangkir itu di atas meja. “Mungkin, soalnya aku
sering diajak ibu nonton teater sih. Enggak
tahu kenapa orang-orang
diluar juga sering nonton teater, kalau di sini juga jarang.”
Aditya berkata setelah ia
meneguk secangkir tehnya,
“Aku juga setuju, soalnya katanya teater di luar negeri, apalagi di Amerika
sama Eropa tuh punya sejarah panjang. Kalau
Indonesia sih gimana ya, punya sejarah semacam pendek sih. Makanya di sini tuh
teater jarang dipromoin karena keterbatasan dana. Makanya orang Indo lebih suka
nonton film sama TV.”
“Sayang banget di sini
jarang ada pertunjukan teater.”
“Oh ya,” Aditya segera
mengganti topik,
“Itu Awal dan Mira ceritanya tentang
apa?”
Tak lama kemudian,
terdengar sebuah ketukan pintu. Aditya segera berjalan menuju ruang tamu untuk
membukakan pintu.
“Permisi.” Kudengar suara
Brian dan Febby secara bersamaan.
Aditya langsung meledek, “Ciyeee, bareng ni yee.”
Febby tersinggung. “Ih, lo apaan sih, Dit?
Gue kebetulan datang barengan sama Brian.”
Brian juga membantah, “Febby, lo salah banget
sih ngegunain kata-kata lo. Harusnya kebetulan kita datang di waktu yang sama.
Bukan berangkat barengan.”
Tak lama setelah Febby
dan Brian melangkah memasuki ruang tamu dan duduk di atas sofa dekat meja,
kudengar suara hujan deras yang cukup keras ketika terdengar sudah turun di
tanah.
“Anjrit, hujan lagi!”
ucap Brian.
“Bentar ya, gue buatin
teh dulu.” Aditya segera melangkah menuju dapur, “Sorry banget enggak ada apa-apa.”
Kutatap Brian sedang
menatap diriku dengan perasaan yang tidak bisa kutebak. Apakah dia masih marah padaku
karena tersinggung aku telah meminjamkan payungku kemarin atau malah sebaliknya?
Brian segera berteriak, “Apa sih lihat-lihat?” Dia segera melepas
tasnya untuk mengeluarkan buku Bahasa Indonesianya dan naskah drama yang sudah
dipilihnya. Begitu juga dengan
Febby.
“Kamu dramanya apa,
Indah?” tanya Febby
“Awal dan Mira, drama favorit ibuku, Aku sempat kaget kalau drama ini
dipentasin di luar negeri segala.”
“Ya iyalah, Indah,” Febby
menjawab, “Orang Indo yang pentas kan?”
“Enggak tahu juga kalau soal
gituan.”
“Kalau gitu mah pasti orang Indo atuh!” Febby berseru, “Apalagi drama Indonesia
yang dipentasin di luar negeri pada pake bahasa Indonesia, jadi we penontonnya teu ngerti.”
“Sebenarnya ada yang pake
bahasa Inggris pentasnya.”
“Eh, Brian, kalau lo
drama apa?” Febby mendadak ganti topik.
“Lo dulu deh,” jawab Brian.
“Ih!! Gue yang nanya! Lo
jawab dulu atuh kalau ada orang yang
nanya teh!”
“Silakan,” jamu Aditya meletakkan secangkir teh
di atas meja masing-masing di depan Brian dan Febby. “Jadi kita mulai aja
diskusinya?”
“Jangan dulu dong,” protes Febby. “Kita mah harus tahu drama apa yang bakal
didiskusiin.”
Aku menggeleng, “Feb, masing-masing dari
kita bawa satu naskah drama, nanti kita diskusiin keenam drama itu
bareng-bareng, terus bikin makalahnya.”
Aditya menambah, “Lagian tugasnya
dikumpulin hari Jumat nanti, jadi tenang aja. Lagian kita sekalian mau belajar
bareng pelajaran yang enggak kita ngerti, kan?” Saat terdengar
suara ketukan pintu lagi, dia
bangkit. “Bentar, ada orang lagi.
Pasti itu Setiawan atau enggak Rayn,” Dia melangkah
menuju ruang tamu untuk membukakan pintu.
“Brian, Brian, lo gimana
sih ngelihatin si Indah melulu,”
ledek Febby.
“Suwa!” Brian
mengungkapkan kata aneh yang tidak kuketahui artinya. “Enak aja lo! Lo cemburu
nih?!”
“Selamat sore,” sapa
Setiawan yang baru saja memasuki ruang keluarga menemui kami.
“Setiawan! OMG!!” Febby
langsung bersemangat.
“Akhirnya gue sekelompok sama cowok ganteng dan pintar kayak lo!”
Brian langsung memotong, “Diam lu, Sunda Alay!”
“Sunda Alay?!”
“Itu lo, bicara lo pake
Sunda campur-campur jadi alay nih, jadinya kedengeran alay nih. Lu sok Sunda
banget sih.”
Aditya melangkah melewati
ruang keluarga sambil meledek,
“Heh, Febby, Brian, lo jadi sok akrab banget sih.” Ejekan tersebut tentunya
mengagetkan Febby dan Brian. Aditya lalu melangkah menuju dapur. “Gue bikinin teh.”
Setiawan segera menolak
dengan halus,
“Enggak usah, Dit. Lagian lo
jadi repot sendiri harus bolak-balik ke dapur gitu.”
“Lagian lo haus banget, kan?
Habis ke sini lagi,” Aditya pun tersenyum.
Bertepatan dengan itu,
suara ketukan pintu kembali terdengar. Aku segera berdiri untuk berjalan menuju
ruang tamu. “Oh, aku aja yang buka ya, Dit.”
Saat kubuka pintu,
kulihat seorang laki-laki yang tampak
familiar, dia pernah kulihat di
sekolah saat aku dan Febby bertabrakan beberapa hari yang lalu. Lingkaran hitam
melingkari kedua matanya, banyak keriput memenuhi wajahnya sehingga tampak
lebih tua.
Suasana
seketika berubah berkat kedatangan laki-laki itu, tak ada yang tampak
menyukai lelaki jelek, buruk rupa dan dekil itu. Sebenarnya dia tidak dekil,
tapi mereka menganggap dirinya begitu.
Jadi … laki-laki ini Rayn?
Anggota terakhir kelompok kami? Masa dia? Kenapa harus dia jika kebanyakan dari
kami tidak menyukai kehadirannya? Memang, guru Bahasa Indonesia kami sudah
membagikan kelompok belajar selama satu semester penuh, kurasa ini cukup adil
bagiku.
Aku segera bertanya,
“Jadi kamu yang namanya Rayn?”
Rayn tidak menjawab, dia mengabaikanku
begitu saja. Kupandangi muka masam Febby, Brian, dan
Setiawan, begitu juga Aditya yang membawakan secangkir teh pada Setiawan.
Hening, itu yang terasa
sekarang karena kedatangan Rayn. Aku tidak tahu mengapa teman-teman
sekelompokku memasang muka masam pada Rayn, padahal dia
termasuk anggota kelompok.
Aditya secara canggung
bertanya, “Um …, Rayn, mau teh?”
“Enggak, gue mau kopi hitam
aja.”
“Oke. Kalian duluan aja
belajarnya.” Aditya berjalan kembali ke dapur untuk menyiapkan secangkir kopi
untuk Rayn.
“Indah, kok diam aja? Ayo kita
mulai!” seru Febby.
Aku langsung tersadar
karena panggilan Febby. “Eh? Iya!” Aku segera berjalan menemui teman-teman
sekelompokku dan duduk di samping Febby.
Sementara itu, Rayn
berdiri dan berjalan meninggalkan kami. Dia berjalan melewati ruang tamu
sebelum membuka pintu sambil mengeluarkan sebuah kotak hitam dari saku
celananya.
“Udah, biarin aja, Indah.
Si Rayn emang kayak gitu. Oke, kita mulai belajar aja deh!” ucap Febby.
“Lo enggak sabaran banget, sih,
Febby. Mentang-mentang enggak ada si Rayn di sini, lo
baru aja semangat belajar,” kata Brian.
“Ya udah! Hayu atuh! Kita mulai belajar aja! Oke, kita
ngerjain tugas dulu, kan?”
“Lo sebutin duluan drama
apa yang lu baca! Ato enggak lo belum baca nih?”
Brian kembali menyindir.
“Aduh! Gue mah udah baca sebagian! Lo yang belum
baca keles.”
“Diam lo! Sunda Alay dari
sinetron!”
“Sinetron?”
“Itu loh, kebanyakan
kelakuan lo tu kayak di sinetron alay,” ledek
Brian.
“Udah, udah.” Aditya
kembali ke ruang keluarga membawakan secangkir kopi “Mendingan Setiawan dulu yang nyebutin drama
apa yang dia udah baca. Lho, mana Rayn?”
“Si brengski itu lagi
keluar,” jawab Brian.
“Brian, jangan ngomong
kayak gitu, Bro. Dia teman kita
juga. Gue tahu
kalau gue capek
kalau pura-pura baik sama Rayn ….”
“Apaan dia? Gue emang enggak suka sama dia!” Brian
membantah sambil marah “Gua enggak suka sama kelakuan cowok
dekil itu!”
“Brian, lo gimana sih?
Rayn kan teman sekelas kita juga!”
“Ah! Teman darimana coba!
Orang kayak gitu enggak pantas dianggap teman,
Dit! Gue juga enggak sudi sekelompok sama
dia! Semuanya juga enggak sudi sekelompok sama
orang buruk rupa kayak dia!”
“Brian, udah! Gue juga
cape! Apalagi di depan Indah yang enggak tahu apa-apa tentang Rayn, kan?”
teriak Aditya.
“Justru itu dia
masalahnya, Dit!” Brian berteriak balik.
“Indah emang enggak tahu apa yang Rayn lakuin
semester lalu, yang jelas kita semua sekelas benci sama dia!”
“Udah, udah!” Febby
berusaha menghentikan pertengkaran.
“Daripada kita berantem kayak ginian pisan,
mendingan kita mulai belajar bareng deh! Udah dong!”
“Lo mending diam aja,
Sunda Alay!” Brian membantah.
Aku
segera berdiri di hadapan yang lain, hal itu tentunya mengagetkan mereka,
terutama Aditya yang bertanya, “Indah, kamu kenapa? Kamu marah ya sama aku?
Kamu marah sama kita-kita?”
Aku
menjawab, “Enggak,
aku enggak marah kok, Dit. Cuman
... aku pengen tahu
kenapa kalian teman sekelas si Rayn ini malah benci sama dia? Jadi aku pengen
ngomong sama dia.”
Aditya
berdiri menemuiku.
“Indah, aku minta maaf kalau kamu enggak nyaman,”
“Enggak usah minta maaf, Dit,”
“Enggak, Indah, bukan gitu. Aku
malu kelakuanku kayak barusan sebagai tuan rumah kerja kelompok. Lagian kamu
mau kan ngomong sama Rayn? Aku temanin.”
Aku
menolak dengan halus,
“Makasih, Dit, tapi kurasa,
aku butuh bicara sama dia empat mata
aja. Kalau sama kamu mungkin dia enggak nyaman.”
Aku
segera berjalan meninggalkan ruang keluarga sebelum melewati ruang tamu, aku
meletakkan kedua kakiku di teras rumah Aditya. Kupandangi Rayn yang sedang
berdiri menatapi hujan sambil memegang sebuah batang putih yang ujungnya
terbakar mengeluarkan asap. Rayn membuang asap putih dari mulutnya.
“Rayn,”
panggilku.
“Lo
ngapain nemuin gue? Mendingan lo
kumpul sama yang lain.” Rayn secara blak-blakan berkata, “Gue sebenarnya punya
masalah sejak masuk ke sekolah bareng mereka.”
“Maksud
kamu apa?” Aku heran.
“Beberapa
guru tahu kalau gue punya masalah
yang nyebabin semua orang benci sama gue,” jawab Rayn, “Semua orang benci sama
gue, lo pasti benci juga sama gue meski lo baru ketemu sama gue, lo juga baru
kenal sama gue.”
“Indah,”
Brian memanggilku,
“Biarin aja dia, dia emang mau sendiri.”
Terdengar
suara Aditya.
“Brian, jangan ganggu mereka.”
“Tapi
dia emang enggak mau kerja sama
kita-kita, Dit.”
Aku
segera berkata,
“Brian, Adit, kalian kerjain tugasnya duluan aja, aku mau ngomong sama Rayn.”
“Sip-sip,”
ucap Aditya.
Aku
menatap Rayn seakan-akan seperti orang tua yang sedang murung dan depresi, atau
bisa kubilang seperti ekspresi seekor keledai bernama Eeyore yang selalu
murung.
“Lu
mau enggak …,” tanya Rayn terputus.
“Mau
apa?”
“Enggak, enggak jadi.”
“Rayn, enggak apa-apa, sampaiin aja.”
“Lo
kepo banget.”
“Ini buat kebaikan kamu, apa
yang jadi masalah kamu, Rayn?”
Rayn
menceritakan semuanya, “Gue punya pengalaman buruk dan memalukan selama gua di
SMA. Gue enggak punya teman dekat, enggak punya teman sama sekali.
Gue selalu menyendiri, selalu aja.” Aku mendengarkan Rayn tanpa memotong
pembicaraan sama sekali “Banyak banget yang nyalahin gue, gue selalu jadi
korban, gue selalu disalahin. Gue depresi! Depresi cuy! Gue enggak tahu kenapa, tapi yang jelas
gue …, gue …, gue …, sering ikut tawuran
bareng teman-teman lama, gue jadi puas ngelampiasin emosi gua yang gue dapet di
sekolah! Gue ngelukain orang-orang yang nyerang gue. Bahkan gue pernah mukul
satu orang sampe dia koma!
Koma! Dia benaran koma!”
Aku
merasa kasihan pada Rayn karena ia sangat terpukul
dengan masa lalunya yang suram, kupikir semua teman
sekelasnya mengetahui hal ini hanya dengan melihat kondisinya setiap kali ia
datang ke sekolah. Aku sangat iba, sangat iba.
“Gue…
gue jadi ngelampiasin diri gua! Gue sempet sakau!” Dia menjelaskan mengapa
kondisi fisiknya terlihat seperti yang kulihat sekarang. “Gue kecanduan ganja,
sob! Gue kacau abis tawuran kayak gitu, gue juga enggak
berantem duluan, lawan gue yang berantem duluan! Gue kacau gara-gara lawan gue!
Gue salahin mereka karena ngebuat gue jadi gini.”
Aku
tidak bisa berkata apapun, apalagi tidak biasanya remaja asal Indonesia bisa
kecanduan ganja seperti beberapa remaja kurang mampu yang pernah kulihat di
sekitar jalanan di negara Amerika.
“Terus
gua disuruh rehab sama sekolah, kalau enggak gue bakalan di-DO, gue juga disuruh rehab sama bokap sama
nyokap gue. Sebelum gue dikirim rehab pas liburan, gue di kamar. Gue ngelihat
diri gue di hadapan cermin. Gue pukul cermin itu sekeras mungkin beberapa kali
sampe tangan gue berdarah! Gue pengen baik kayak dulu. Gue pengen kayak dulu lagi!
Kalau aja teman-teman gue enggak buat gue kayak sekarang gini, gue pasti enggak
akan dibenci kayak sekarang. Apalagi gue juga pengen ketenangan.”
Kutatapi mata Rayn sedang menatap diriku dengan serius, namun tetap
lembut. Sebenarnya, perasaan apakah ini? Perasaan apa yang sedang dia kirim
kepadaku? Aku tidak begitu tahu. Apakah ini hanyalah perasaan ibaku setelah aku
mendengar semua ceritanya? Dia terus menerus menatap diriku.
“Indah,” Aditya berjalan keluar dari ruang tamu menuju teras menemuiku
dan Rayn, “Rayn, aku sudah dengar semua. Aku mengerti perasaanmu.”
“Adit?” Aku berdiri menatap Aditya, “Kau denger juga? Harusnya kamu ….”
Rayn memotong, “Tidak apa-apa, gue lega lo mengerti, Dit.”
“Sorry, gue ….”
“Enggak, enggak usah minta maaf, Dit.” Rayn menghampiri Aditya. “Lagian
yang lain masih pada belum ngerti apa yang gue rasain sekarang. Setidaknya,
selain dirimu, aku menemui si cewek ini. Cewek yang pindah sekolah ini terlihat
bagai malaikat cantik. Adit, gue mau ngomong sama Indah berdua, lo duluan
belajar sama yang lain.”
Aditya tersenyum, walau masih terlihat ragu. “Oke, masuk aja kalau mau
gabung.” dia segera kembali masuk ke dalam rumahnya.
Aku heran mengapa Rayn berkata aku bagai malaikat cantik meski ia
terlihat menyeramkan bagiku. Aku juga baru saja berkenalan lebih dekat dengan
Rayn, tapi aku tidak tahu apa perasaanku yang kurasakan sekarang. Aku tidak
merasa curiga lagi dengan Rayn, tapi aku merasakan sesuatu yang positif, positif.
Aku membalas pujian Rayn, “Ma …, makasih udah berkata aku bagai malaikat
cantik. Tapi … aku tidak tahu harus berkata apa setelah mendengar ceritamu.”
“Lo juga sebelumnya enggak punya teman dekat. Gue tahu perasaan lo. Gue
pikir lo akan canggung saat masuk kelas sekolah umum untuk pertama kalinya. Aku
bisa ngerasain.” Rayn berjalan mendekatiku, “Aku juga merasa kesepian karena
hal yang sudah kuceritakan lagi.”
Aku hanya menasihatinya, “Kamu tidak sendirian, Rayn. Aku adalah temanmu.”
Aku tersenyum. “Sebenarnya aku hanya ingin membuat semua orang tersenyum, aku
ingin setiap temanku tersenyum damai. Tapi setidaknya marah dan sedih itu
perlu, tapi tidak sembarangan dan di waktu yang salah. Aku sering mendapat
nasihat dari guru-guru homeschoolingku.
Oh ya, kita gabung yuk sama yang lain.”
“Mungkin gue butuh waktu buat gabung sama yang lain.”
“Oke, kalau kamu mau ketemu yang lain, masuk aja.”
Aku segera melangkah masuk kembali, kutemui Aditya dan yang lainnya. Mereka
sudah mulai membaca naskah drama yang dibawa masing-masing sambil berdiskusi.
Aku segera duduk di sebelah Febby dan mulai membaca naskah drama yang telah
kubawa.
Masing-masing naskah drama yang telah kami bawa bertema berbeda-beda,
tetapi memiliki suatu kesamaan yang cocok untuk menjadi bahan perbandingan.
Tapi ini masih awal dari pengerjaan tugas ini, sebab Febby meminta Setiawan
untuk mengajari kami beberapa materi pelajaran yang tidak kami mengerti,
terutama matematika dan fisika.
Tepat setelah sekitar limabelas menit kami mulai mendiskusikan pelajaran
yang tidak kami mengerti, Rayn kembali menemui kami. Aku dan Aditya rela
membantunya sambil tersenyum, masih bisa kurasakan bahwa Brian, Setiawan, dan
Febby masih belum bisa menerima Rayn sebagai anggota kelompok belajar kami.
Tidak lupa kucatat setiap trik untuk mengerjakan beberapa soal
matematika dan fisika beserta beberapa rumus yang masih tidak kumengerti di
buku catatanku. Meskipun kelihatannya yang lain masih merasa kesulitan
mengerjakan soal-soal yang sebenarnya cukup mudah bagi Setiawan, terutama
Aditya, Febby, dan Rayn. Aku dan Brian sudah mulai bisa perlahan-lahan
mengerjakan soal-soal tersebut.
Tak terasa sudah pukul delapan malam, kami belajar tanpa memandang waktu
sama sekali. Kami sudahi kegiatan belajar kelompok kami. Kupandangi Febby dan
Rayn mulai mengantuk, Brian dan Aditya mulai bosan dan lesu, sedangkan Setiawan
sibuk membereskan soal terakhir untuk malam ini.
Aku bersiap untuk pulang sambil memasukkan semua buku catatan dan alat
tulis milikku ke dalam tasku. Brian juga tengah berdiri bersiap untuk pamit.
“Semuanya, gue pulang duluan,” ucap Brian.
“Aku juga,” Aku pamit.
Aditya segera berdiri mengikuti aku dan Brian untuk keluar “Oh ya,
hati-hati di jalan,” Aditya tersenyum menatapi kami berdua saat kami
meninggalkan rumahnya.
“Brian,” Aku panggil.
“Ya?”
“Kau mau pulang pakai apa?”
“Gue naik ojeg aja, gue mending cari ojeg terdekat daripada harus ketahuan.”
Aku mengingatkan Brian, “Tapi kamu keceplosan tadi.”
Brian tersinggung, “Keceplosan darimana? Hah!? Lo sok tau!”
“Aku tadi dengar saat kamu lagi enggak ngomong sama Rayn empat mata.”
“Lo…” Brian pun tidak punya alasan lain untuk marah, ia mendadak menatap
ke arahku dengan aura positif .“Anu… Indah, makasih.”
“Eh? Makasih buat apa?”
“Untuk segalanya.” Kupandangi muka Brian mulai memerah, seakan-akan dia
tidak bisa menjelaskan dia ingin berterima kasih untuk suatu hal. “Karena lo,
hidup gua jadi lebih baik. Lo udah baik banget sama semuanya, terutama teman
sekelompok, meski lo harus homeschooling sebelum
lo ke sini, ke sekolah gua.”
“Benarkah?” ucapku sambil berjalan menuju rumah. “Oh, terima kasih,
Brian.”
“Ya,” Brian mulai malu.
“Kalau gitu, aku pulang duluan. Rumahku di sini.” Kutunjukkan rumahku
pada Brian saat aku tiba di sana.
“Oh, begitu. Ya, kamu … hati-hati, nanti kita ketemu lagi.”
Aku tersenyum. “Ya, sampai jumpa di sekolah. Hati-hati di jalan, Brian.”
Aku segera berjalan memasuki rumah sambil merenungi bahwa Sabtu ini
merupakan hari yang luar biasa, luar biasa! Belajar kelompok pertama bisa
dinilai berhasil meski ada gangguan pada awalnya.
Comments
Post a Comment