Finding Childhood Love Episode 7
Pertandingan Persahabatan
Sudah dua minggu
sejak aku masuk sekolah formal seperti remaja normal. Begitu banyak pengalaman
yang tidak terduga bagiku, termasuk beberapa perbedaan yang tak pernah
kurasakan saat aku homeschooling. Aku
juga mendapat beberapa pengalaman yang kudapat bersama teman satu kelompok,
maksudku kelompok belajar selama satu semester. Ada Aditya, Brian, Rayn,
Setiawan, dan Febby. Bukan hanya mereka, tetapi juga ada seniorku yang baik
hati, yaitu Ikbal.
Hari ini adalah
hari Senin, seperti biasa, kebanyakan siswa malas saat mereka masuk sekolah.
Hal itu terlihat pada beberapa siswa laki-laki, termasuk Aditya, sepertinya
kurang tidur, mungkin saja karena menonton pertandingan sepak bola, makanya
mereka ingin tidur dengan menyandarkan kepala mereka pada meja masing-masing
saat waktu istirahat.
Setiawan masih
berlatih beberapa soal fisika, begitu juga dengan Febby yang memainkan
ponselnya. Brian juga tidak melakukan apapun meski dia tetap duduk di
bangkunya. Rayn, sama seperti Aditya, menyandarkan kepalanya pada mejanya.
Telingaku terpasang
earphone putih yang dicolokan pada
ponselku, aku sedang mendengar lagu Galaxias!,
yaitu salah satu lagu J-Pop yang dibuat dengan sebuah program bernama Vocaloid.
Lagu itu merupakan salah satu lagu mancanegara non-Inggris favoritku. Aku pun bersenandung:
I'm gleaming, sparking mata aeru you ni
Dreaming, breathing mata aeru made
Gleaming, sparking hoshiai i no yoru la la la la
I'm gleaming, sparking
Dreaming, breathing
Sebuah SMS menghentikanku
untuk bernyanyi, aku segera membuka SMS tersebut setelah mengetahui bahwa itu
dari Ikbal. Ikbal ternyata mengajakku menemuinya di lobi sekolah.
Indah, temui gue di lobi sekolah, gue mau ngomong sama loo.
Aku segera berdiri
dan berjalan meninggalkan bangkuku. Kulewati pintu ruangan kelasku sebelum aku
belok kiri dan berjalan lurus melewati beberapa halaman ruangan kelas. Aku pun
akhirnya tiba di lobi, di mana Ikbal sedang menungguku di samping kanan pintu
masuk gedung sekolah. Kutatapi juga beberapa siswa yang berdiri sedang
bercakap-cakap di luar gedung sekolah maupun di dalam lobi.
Saat kutemui Ikbal,
ia menyapa, “Halo, Indah.”
Kubalas sapanya
dengan malu, “Halo juga,” kupandangi Ikbal sedang memegang dan menyembunyikan
sesuatu di belakangnya, “Hari ini kamu akan bertanding, kan?”
“Benar.”
“Terus, apa yang
kamu sembunyiin?” Aku penasaran.
“Oh, ini.” Ikbal
mulai berkata, “Gue pengen penyemangat,”
Aku melongo. “Kan
masih ada banyak cewek yang suka sama kamu, apalagi ngefans sama kamu. Soalnya
sih … kamu kan kapten tim sepak bola SMA Global Taruna.”
“Kayaknya sih … lo
teman cewek yang paling asyik, gue pengen ngasih ini sama lo.” Ikbal
menunjukkan sesuatu yang disembunyikannya, dia memperlihatkan sebuah sekuntum
mawar dan cokelat Cadbury Dairy Milk. “Gue tahu Valentine masih lama, tapi
anggap aja ini hadiah persahabatan kita.”
Aku tersenyum pada
Ikbal. “Oh, kamu serius ngasih ini?”
“Serius, Indah.”
Ikbal membalas senyumku. Saat bel masuk sudah mulai berdering, ia segera pamit,
“Gue duluan ke kelas, soalnya guru sejarah gue sering masuk awal, dan gue bakal
dimarahin kalau masuk telat semenit.” Dia berjalan meninggalkan lobi.
“Hati-hati,” ucapku
secara canggung sebelum berjalan meninggalkan lobi.
***
“Cokelat dan mawar
dari siapa?” tanya Febby saat melihatku kembali duduk di bangkuku.
“Dari kakak kelas.”
“Ih! OMG! Naha maneh yang dapet sih?! Gue belum
pernah dapet gituan dari cowok.”
Aku tertawa geli
mendengar respon dari Febby saat aku mendapat hadiah mawar dan cokelat dari
Ikbal. Sebenarnya aku belum menaksir siapapun, aku masih menganggap cowok-cowok
yang dekat denganku hanya sebatas teman, hanya sekadar teman.
Febby bertanya
padaku, “Oh ya, lo mau nonton tim sepak bola tanding enggak? Pasti cewek-cewek
pada kesana buat ngelihat Ikbal. Banyak cewek yang teriakin Ikbal cuma buat
dukungan dong.”
“Aku ikut nonton
deh. Kalau misalnya yang lain kayak Aditya dan Brian ikutan.”
Febby segera
memotong perkataanku, “Idih …. Maneh mah ikutin
aja ah! Lo itu harusnya teguh pendirian lho! Gimana kalau Aditya sama Brian enggak
ikut? Lo juga kagak ikut kan? Enggak boleh gitu ah. ‘Terserah mereka’ itu bukan
jawaban lho, Indah.”
“Udah ah bercandanya,”
ucapku serius saat seorang guru Bahasa Indonesia yang berjilbab krem seperti
biasa tiba memasuki kelas kami.
Kami segera berdiri
setelah Brian mengucapkan kata-kata seperti biasa untuk menyambut guru di depan
kami, “Selamat pagi, Bu.”
Saat kami sudah
kembali duduk, Setiawan memanggilku, “Indah, hari ini kita biasa belajar
bareng? Oh ya, katanya mau nonton tanding bola dulu, kan?”
Aku menjawab
demikian, “Ya, temanku mengajak untuk nonton. Dia itu kapten tim sepak bola
yang jadi idola cewek-cewek di sini.” Aku mengatakan bahwa Ikbal merupakan
temanku dengan alasan yang asal-asalan.
“Oh,” Setiawan
hanya berkata begitu dengan raut wajah yang tidak seperti biasa, mulutnya
berubah menjadi datar dari senyuman yang tampak mampu menggaet gadis-gadis di
kelas. Apakah ini hanya perasaanku ataukah ….
“Indah, perhatiin
gurunya!” seru Febby.
“SSST!!” seru siswa
yang duduk di belakang Febby.
“Iya, iya,” ucapku
sambil tersenyum.
Kualihkan
pandanganku kepada Brian yang sedang memegang dagunya dengan tangan kirinya,
kepalanya tampak miring ke kiri. Aditya menundukkan kepalanya pada meja di
depannya. Namun wanita berjilbab krem yang sedang mengajar di depan kami
melangkah menemui Aditya. Ia menepuk meja Aditya dua kali. Aditya pun
mengangkat kepalanya. Hal itu membuat seisi kelas mulai tertawa geli memandangi
Aditya dibangunkan oleh guru Bahasa Indonesia kami.
***
Beberapa siswa-siswi
sudah berkumpul berteriak dan bersorak-sorai mendukung tim sepak bola sekolah
kami. Beberapa gadis cantik, terutama pemandu sorak berkostum kaos biru tanpa
lengan dan rok putih pendek serta pom-pom emas, berteriak memanggil nama Ikbal,
sang kapten, berkali-kali.
Beberapa siswa hanya
bisa menonton berdiri di belakang pagar pembatas lapangan sepak bola. Aku
berdiri di dekat Febby, Adhitya, dan Brian sambil menyaksikan Ikbal serta
beberapa anggota tim inti sedang melakukan pemanasan di depan gawang tim SMA
Global Taruna.
Ikbal dan semua
anggota tim sepak bola SMA Global Taruna memakai kaus abu-abu dan celana pendek
biru sebagai seragam, kecuali kipernya yang memakai kaus hitam dan celana
abu-abu. Sedangkan tim lawan berseragam kaus biru tua dan celana pendek putih.
Saat wasit
membunyikan peluit, semua pemain di lapangan berkumpul di tengah-tengah
lapangan untuk sekadar berfoto dan salam-salaman sebelum akhirnya mereka
berkumpul dengan tim masing-masing untuk menyiapkan strategi mereka.
Sudah mulai
terdengar yel-yel dari masing-masing supporter, yel-yel dari supporter SMA
Global Taruna adalah:
Di sini menang, di
sana menang
Di mana-mana Global
Taruna menang!
Di sini menang, di
sana menang
Di mana-mana Global
Taruna menang!
La la la la la la
la
La la la la la la
la
La la la la la la
la
La la la la…
“Yelnya alay
banget,” keluh Febby “Apalagi kita semua harus belajar bareng lagi, hari Senin
memang melelahkan ….”
Aku memandangi
masing-masing kapten menatap adu lempar koin yang dilakukan wasit untuk
menentukan siapa yang akan memulai kick-off
duluan. Wasit pun menunjuk Ikbal, berarti tim SMA Global Taruna akan kick-off di babak pertama.
Febby menatap
padaku dengan semangat secara mendadak. “Indah, kok diam aja sih? Ayo dong,
dukung sekolah kita!”
“I … Iya …,” aku
ragu-ragu menjawab. Aku juga mengikuti beberapa supporter mendendangkan
yel-yel, tetapi merasa canggung saat menyamai suaraku dengan supporter lain
termasuk Aditya dan Brian.
Kutatap Aditya yang
sekali lagi menguap, kupandangi kantung matanya agak gelap. Hal itu tidak mengurangi
semangat menonton pertandingan.
Febby bilang pada
Aditya, “Dit, mending lo enggak usah nonton deh. Lo masih ngantuk gitu.”
“Aduh, aku enggak
apa-apa, kok.” Tanpa sadar Aditya kembali menguap dan menutup kedua matanya
sedikit demi sedikit, namun dia kaget saat membuka matanya kembali bahwa ia
hampir saja tertidur.
“Udah deh, mending
lo ke UKS aja, terus lo tidur di sana.”
“Enggak gitu, Feb.
Mendingan lo pulang aja,” ucap Brian.
“Ih! Gimana kalau
si Adit ngantuk di tengah-tengah jalan, terus kagak konsen lagi!”
“Diam lu.”
“Oke, gue mending
tidur di UKS,” Aditya segera berlalu meninggalkan kami.
Aku secara sukarela
berjalan mengikuti Aditya meninggalkan lapangan, “Aku temanin ya, Dit.” Kami
pun kembali memasuki gedung sekolah lewat pintu halaman belakang tepat saat
wasit membunyikan peluit pertama, yang berarti pertandingan sepak bola sudah
dimulai.
Kami pun melewati
beberapa halaman depan kelas sebelum kami memasuki sebuah ruangan yang penuh
dengan meja berkomputer, atau kami sebut lab komputer. Saat melewati pintu lab
computer yang terbuka, kami belok kiri menuju sebuah ruangan.
Saat kami memasuki
ruang UKS, Aditya segera berjalan sebelum akhirnya berbaring di tempat tidur
berupa matras hitam, sementara aku duduk di sampingnya.
Aditya bertanya, “Kamu
kok nemanin aku? Pertandingannya udah mulai tuh.”
Aku menggeleng dan
menjawab pada intinya, “Kamu tetanggaku, Dit, kamu juga teman dekat sih.” Aku
tersenyum. “Lagipula anggap aja ini balas budi.”
“Ya,” Aditya
tersenyum balik.
“Lagipula kata
Mama, kamu kayak terlalu cepat ngajak aku sih.” Aku tertawa.
“Yup, itu lah aku.”
Aditya tertawa. “Kamu habis dari homeschooling
pas keliling dunia, kan? Aku juga udah ngerasa kok.”
“Apa?”
“Enggak, enggak
jadi.”
Aku berkata lagi,
“Kamu sih, harusnya dari awal aku ngelarang kamu masuk ke kamarku.”
“Tapi udah
terlanjur kan?” Aditya tertawa.
“Udah deh, kamu
tidur aja dulu. Aku nonton pertandingannya, ntar aku kasih tahu siapa yang
menang deh.”
Aditya tertawa lagi.
“Oh ya, selamat menonton.”
“Oke, selamat
tidur.” Aku tersenyum sebelum pergi keluar dari UKS.
***
Ayo, Global Taruna!
Ayo terus menang!
Kuyakin…
Kita pasti menang!!
Ayo, Global Taruna!
Ayo terus menang!
Kuyakin…
Kita pasti menang!!
Yel-yel supporter
sekolahku terdengar dengan keras. Supporter dari kedua belah pihak sangat
bersemangat mendukung tim sekolahnya, masing-masing menuju kemenangan.
Begitu juga dengan
semua pemain tim sepak bola di lapangan, mereka juga sama-sama tidak mau kalah,
mereka akan melakukan apapun sesuai aturan untuk menang. Beberapa upaya untuk
menendang bola ke dalam gawang pun tidak berhasil bagi masing-masing tim,
begitu juga dengan beberapa pelanggaran sengaja ataupun tidak. Setiap kali
pelanggaran yang ditetapkan wasit, masing-masing supporter langsung protes dan
berteriak “Huu!” dan berkata kasar.
Tak terasa, wasit
sudah membunyikan peluit tanda babak pertama telah berakhir. Kedua tim
meninggalkan lapangan untuk rehat sejenak sebelum babak kedua dimulai. Begitu
juga dengan kedua belah pihak supporter.
Aku tidak tahu
mengapa tiap kali aku mengikuti menggaungkan yel-yel dukungan untuk sekolahku,
aku selalu merasa canggung, Meskipun aku ditemani Febby dan Brian yang juga
menyemangati tim sepak bola SMA Global Taruna, aku tak tahu kenapa, sungguh tak
tahu, aku malu berteriak dan menyanyikan yel-yel dengan keras. Dalam homeschooling, tidak ada
ekstrakurikuler, kecuali jika ingin otodidak, itu yang kutahu.
Febby bertanya
padaku, “Indah, kamu kenapa sih? Ayo dukung dong tim sepakbola kita! Biar
menang dong!”
“Ya …,” Aku
menjawab dengan canggung.
Brian pun mulai
kecewa padaku, “Ah! Gimana sih lo! Lo enggak semangat banget sih, Indah! Kita
harus dukung tim kita biar menang dong!”
“Iya,” aku menjawab
halus, “Tapi …, aku merasa aneh, soalnya … aku …, aku …, aku tidak tahu
mengapa. Tapi…”
“Indah,” Brian
mendekatiku, “Lo nikmatin aja deh. Lo enggak usah khawatir canggung atau kagak
lah! Yang penting lo bakal nemu groove lo
lah. Ikutan aja deh! Mending lo ikut teriakan gue.”
“Ta …, tapi ….”
“Udah lah! Keluarin
aja deh semuanya! Lama-lama juga kebiasa kok!” Brian kembali tertawa.
Febby pun berkata,
“Tumben, lo enggak biasanya senyam-senyum nih.”
“Lo protes, hah?”
“Ciyee! Ciyee! Ngomong sama Indah enggak
marah-marah ni yee,” Febby meledek.
“Diam lo!” Brian
tersinggung. Saat kedua tim berlari kembali ke lapangan, Brian berkata padaku
saat supporter bersiap-siap untuk menyemangati kembali. “Indah, ayo! Kasih
semangat sama tim kita! Enggak apa-apa, ikutan aja! Kayak gua bilang tadi,
lama-lama juga kebiasa!”
“I … Iya …,”
ucapku.
Kami kembali
menyanyikan yel-yel dukungan:
Di sini menang, di
sana menang
Di mana-mana Global
Taruna menang!
Di sini menang, di
sana menang
Di mana-mana Global
Taruna menang!
La la la la la la
la
La la la la la la
la
La la la la la la
la
La la la la…
Canggung sih
canggung, tapi setidaknya aku bisa mengikuti iramanya, benar kata Brian.
Setidaknya aku tidak merasa malu dan aneh saat menyanyikan yel-yel itu.
Kami kembali
menyanyikan yel-yel saat tim lawan melakukan kick off menandakan babak kedua telah dimulai.
Ayo, Global Taruna!
Ayo terus menang!
Kuyakin…
Kita pasti menang!!
Ayo, Global Taruna!
Ayo terus menang!
Kuyakin…
Kita pasti menang!!
Saat kulihat Ikbal
berhasil merebut bola dari tim lawan yang akan menembak ke gawang, kami
bertepuk tangan sambil berteriak menyemangati, “Global Taruna! Global Taruna!
Ayo! Pasti menang!!”
Menit ke menit,
pertandingan semakin imbang, meskipun tidak begitu sengit menurutku, kedua tim
berusaha untuk memasukkan bola ke gawang lawan sambil tidak membiarkan gawang
sendiri kebobolan. Sejauh ini, belum ada satu tim pun yang mencetak gol, skor
masing 0-0.
Febby bertanya
padaku menjelang menit-menit terakhir, “Hari ini kita belajar bareng, kan?”
“Ya, biasa sih.”
“OMG! Gue kagak
bisa euy… Gue ada perlu sama keluarga
di rumah. Katanya eyang gue mau
datang ke rumah, jadi Mama nyuruh pulang.”
“Jadi begitu,” kata
Brian. “Aku kayaknya nanti datang telat, gue ada semacam rapat kelas. Kalau lo mau
duluan, sok aja habis ini. Kan ada Aditya yang biasa ngantar lo. Lo tinggal
bangunin dia di UKS terus bilang biar dia ngantarin lo kayak biasanya.”
Febby menambah,
“Aditya kan sering banget nganter maneh ke
sekolah tiap pagi. Jadi enggak masalah dong, dia enggak bakalan keberatan deh!”
Tak lama kemudian,
terdengar peluit penanda akhir pertandingan, kedua tim sama-sama imbang, tidak
ada gol yang dicetak sama sekali. Meskipun begitu, supporter kedua belah pihak
cukup puas dan menerima hasil tersebut. Kedua supporter sama-sama menyemangati
tim mereka.
Kami menyanyikan
yel-yel dukungan dan semangat pada tim sepak bola SMA Global Taruna, kutatap
Ikbal yang tersenyum pada penonton sambil berjalan bersemangat. “Ayo, Global
Taruna! Ayo terus menang! Kuyakin… kita pasti menang!! Ayo, Global Taruna! Ayo
terus menang! Kuyakin … kita pasti menang!!”
“Bubar! Bubar!
Bubar!” seru Brian “Kita balik yuk!”
“Gue balik duluan
deh,” ucap Febby, dia teringat “Oh! Tas gue masih di kelas!” Dia buru-buru
berlari ke kelas.
“Dasar …,” ucap
Brian, “Dah, lo ke UKS gih, lo duluan aja sama Aditya.” Brian tersenyum padaku.
“Nanti gue bakal telat. Gue ke kelas duluan deh. Lo…”
Aku memotong,
“Brian, tasku juga ada di kelas, mending kita ke kelas dulu.”
“Oke.”
Aku dan Brian
meninggalkan keramaian sehabis pertandingan persahabatan berakhir. Kami segera
memasuki gedung lewat halaman belakang. Selasar sekolah pun sudah terasa sepi,
hampir tidak ada orang berkumpul di depan kelas. Ya, semuanya, kecuali yang menonton
pertandingan persahabatan.
Saat kami memasuki
kelas, tas Febby sudah tidak ada di depan bangkunya, berarti Febby sudah pulang
duluan. Begitu juga dengan tas Aditya yang tidak ada di depan bangkunya. Kurasa
Aditya juga sudah pulang setelah tidur di UKS. Aku segera melangkah menuju
bangkuku, aku ambil tas.
“Ya, Aditya udah
balik nih!” ucap Brian. “Mending gue antar lo deh.”
Aku menggeleng.
“Enggak usah, kamu kan enggak pake motor ke sini. Kamu juga ada rapat kelas
kok.”
“Ya udah, kalau
gitu,” Brian tersenyum. “Lo hati-hati di jalan ya. Kalau cewek lagi sendiri tuh
jadi sasaran empuk copet,” Ia tertawa.
“Ah, Brian!” Aku
tertawa balik, “Aku duluan ya.”
“Oke, hati-hati.
Nanti gue nyusul ke sana.”
Aku berjalan
meninggalkan kelas.
***
“Mau kemana,
Indah?” Setiawan mengendarai motornya menghampiriku. Dia sudah memakai helm
hitam dan jaket biru.
“Kan mau belajar
bareng,” jawabku.
“Naiklah,” Setiawan
mengajakku naik motornya “Kalau cewek sendiri naik busway atau angkot kan enggak baik. Biar gue antar. Sekalian juga
kita belajar bareng.”
“Boleh deh,”
ucapku.
“Eh, rumah lo dekat
rumah Aditya, kan?” Setiawan bertanya saat aku menaiki motornya.
“Ya.”
“Sip, pegangan yang
erat!”
***
“Oke, kita sudah
sampai,” Aku membuka pintu rumah sebelum masuk bersama Setiawan. Saat aku
melangkah menuju ruang keluarga, entah mengapa aku menguap dan merasa lelah.
Aku tidak tahu mengapa.
“Indah,” Setiawan
memanggilku. “Lo ngantuk?”
“Enggak apa-apa,
kok.” Aku duduk di sofa. “Mungkin gara-gara nyemangatin tadi sih.” Aku menguap
lagi saat Setiawan duduk di sampingku.
Setiawan mengambil remote untuk menyalakan TV. “Aku
sebaiknya istirahat dulu untuk belajar sambil nunggu. Lo tidur aja.”
“Enggak apa-apa.”
“Belajar terus
kagak baik kadang-kadang.” Setiawan tersenyum sambil memindah-mindahkan channel. “Kita nonton aja dulu sambil nunggu yang lain, kamu mau nonton
apa?”
“Enggak tahu.
Sore-sore gini kagak ada yang rame, paling coba drama Korea.”
“Oh, ini dia.”
Setiawan menemukan sebuah channel yang
sedang menayangkan drama Korea, “Gue sebenarnya jarang nonton TV, lagian TV
sekarang udah kagak mendidik. Banyak banget sinetron sama FTV yang kagak mutu
lah.” Dia tertawa. “Mendingan dengerin radio sambil belajar.”
“Ya,” Tanpa sadar,
aku menutup mataku sambil menyandarkan diri pada bahu Setiawan. Aku tidak tahu
mengapa, ini bukan aku yang mengendalikan badanku. Aku benar-benar lelah,
sangat lelah.
Tanpa sadar aku
segera tertidur setelah menutup mataku beberapa kali, aku benar-benar tertidur
di pangkuan Setiawan. Kupikir Setiawan tersenyum memandangiku tertidur untuk
pertama kalinya.
Comments
Post a Comment