Finding Childhood Love Episode 4

Hal Memalukan

“OMG, Brian!” Suara Febby terdengar saat ia tiba melihat kami berdua menemui Brian. Reaksi Febby saat melihat Brian menemui adiknya yang turun dari taksi putih tidak kalah kagetnya.
Seorang supir berjalan keluar dari taksi putih itu. “Brian, teman sekelas kamu ya?”
Brian kini tidak bisa berkata apa-apa karena dua orang yang paling dikenalnya sedang memandangi kami, yaitu seorang anak kecil dan seorang supir taksi.
“Brian,” Aditya berjalan mendekati Brian. “Enggak apa-apa, Bro.”
“I .... Iya, Yah,” jawab Brian.
Ternyata gosip yang selama ini berhembus di kelas benar, ayah sang ketua kelas XI IPA 8 merupakan seorang supir taksi. Aku pun sangat tidak menyangka bahwa gosip itu benar-benar terbukti.
“Kakak,” adiknya memanggil Brian, “Kenapa, Kak?”
“Kita pulang sekarang.” Brian segera menarik tangan adiknya dengan keras, meninggalkan kami begitu saja.
“Brian!” panggil ayahnya, namun Brian sudah terlanjur berjalan melewati sebuah jalan kecil.
“Brian!” Aditya berlari mengejar Brian. “Brian, tunggu!” Aditya menghentikan langkah Brian sebelum aku dan Febby juga tiba.
Terus apa, hah?!” Brian berteriak kasar setelah berbalik dan menghadapi kami bertiga, “Jadi lo selama ini nyebarin gosip tentang gue, hah?! Lo pengen ngerusak privasi gue?!”
“Brian, udah, jangan marah gini,” Aditya berbicara baik-baik, “Gue enggak nyebarin gosip tentang lo, gue cuma pengen nanya, lo sebenarnya punya masalah apa?”
“Bukan urusan lo!” Brian tampak seperti seorang aktor yang tidak mau diganggu wartawan infotainment.
Adiknya berkata, “Kakak, udah dong, masa kakak berantem sama teman sendiri.”
“Diam lo!” Brian membentak adiknya, “Kita pulang sekarang!” Brian berbalik menarik adiknya dengan paksa.
“Brian, tunggu,” Aku secara spontan berkata, kata-kataku menghentikan langkah Brian. “Meskipun kamu ngebantah, kondisi lo enggak akan berubah.”
“Lo apaan sih? Udah dibilangin bukan urusan lo.”
Febby berjalan menemui Brian, “Brian, padahal lo bisa aja bilang sama kita kalau lo ada masalah.”
Brian hanya berkata dengan nada sedih, “Kagak mungkin, gue enggak mungkin bilang sama lo.”
Kulihat ekspresi wajah Brian berubah menjadi sedih, ia terlihat mengeluarkan air matanya seakan-akan ia ingin menangis karena diejek, tetapi dia bukan anak kecil lagi, seharusnya dia tidak boleh menangis karena hal itu.
 “Gue enggak mungkin bilang sama lo, masalah yang lagi gue hadapin.” Brian pun mengungkapkan masalahnya, kami mendengarkannya secara perhatian, “Bukannya gue mau cari perhatian, gue emang sedih, tapi gue kagak mau nunjukkin hal yang memalukan bagi gue kayak gini, yang digosipin. Saat gue dibilangin gitu, gue hilang kendali karena emosi gue. Gue sebenarnya bukan orang miskin. Gue ngerasa kalau gue yang sekarang bukan gue, semua gara-gara bokap gue. Dulu gue bisa beli apa kek, gue bisa dapatin semua yang gue mau. Tapi sekarang keluarga gue jatuh miskin cuma gara-gara bokap gua banyak utang sama di-PHK.”
Aku turut prihatin apa yang terjadi pada keluarga Brian, ayahnya di-PHK, apalagi beliau sedang banyak utang, mungkin setelah di-PHK. Mungkin kejadian ini terjadi sebelum aku masuk sekolah.
Brian terlihat menjaga image karena ia tidak ingin orang lain tahu. Aku bisa mengerti apa yang dirasakan Brian sekarang.
Aku berkata, “Brian, kamu jangan khawatir, mungkin ini adalah ups and downs dalam hidup kamu, kamu enggak bisa selalu dapet yang kamu mau. Kamu bakal ngerasa gimana kondisi orang yang lebih enggak mampu dari mu.”
Kulihat wajah Brian, aku tahu kalau Brian mulai menangis terharu. Aku tersenyum menenangkan Brian karena mengerti bagaimana kondisi keluarganya saat ini.
“Lo sok tahu!” Brian berbalik kembali berjalan melewati jalan kecil. “Ayo kita pergi, Andi!” suruh Brian pada adiknya.
Aditya berjalan mengikuti Brian sambil berkata, “Lo enggak perlu malu sama kayak ginian.” Aku dan Febby juga mengikuti mereka. Setelah beberapa meter, Brian dan adiknya berhenti, Aditya bertanya, “Kenapa?”
“Ini rumah gue,” jawab Brian.
“Itu kontrakan keluarga lo?” Aditya menunjuk sebuah rumah sederhana bercat putih dengan pagar bersemak.
“Ya udah, lo boleh mampir ke rumah gua, tapi lo jangan kaget ya, soalnya rumahnya kecil sama kumuh.”
Kami berjalan belok kanan melewati pagar semak-semak. Kami sudah menginjaki teras berlantai kayu coklat sederhana. Kulihat juga di samping pintu masuk, ada sebuah kursi bambu tradisional. Febby duduk di kursi bambu untuk menenangkan diri.
“Andi, kuncinya,” pinta Brian.
Andi segera mengambil kunci rumah tersebut dari saku celananya, ia membuka kunci rumah tersebut sebelum membuka pintu. Pintu pun terbuka, kami memasuki rumah itu.
Di dalam rumah itu, terlihat dinding bercat putih putih, sofa merah, dan meja putih sederhana yang menghiasi ruang depan. Terdapat pula sebuah gorden hijau menutupi satu jendela depan.
Sorry banget,” Brian sungkan. “Enggak ada apa-apa, rumah gue cuma ginian.”
“Enggak apa-apa, Brian,” jawab Aditya tersenyum sambil menaruh kantong plastik belanjaan dari 7-Eleven. Kami pun duduk di salah satu sofa, kecuali Febby yang baru saja masuk, “Lagian, kontrakannya cukup nyaman kok.” Ia pun menatap Febby yang masih berdiri di depan pintu. “Oh ya, Febby,”
“Apa?”
“Lo balik ke 7-Eleven, tolong banget.”
Naha gue sih?”
Aku menambah, “Kan, aku dan Aditya udah beli beberapa snack dari sana.”
Aditya berkata lagi, “Sekarang giliran lo beli makanan hangat. Gue mau Nasi Goreng Katsu Bento ya. Kamu mau apa Indah?”
“Aku ... samain aja deh.” Aku bingung ingin makan apa.
“Indah, kamu yakin?”
“Ya, aku kan enggak tahu menu 7-Eleven di sini apa aja, jadi aku samain aja.” Aku bertanya pada Brian, “Kamu mau apa?”
Gue? Gue kan enggak punya duit banyak.”
“Febby yang traktir,” Aditya secara spontan menjawab.
Febby sungguh keberatan, “Ih! Kumaha sih maneh?! Kenapa jadi gue yang traktir!”
“Lo ketinggalan sih, lo telat ke 7-Eleven.” Aditya tertawa.
“Udah deh, gue enggak usah,” jawab Brian.
Aku pun menolak, “Udah, enggak apa-apa, Brian. Kita juga kan enggak enak kalau kamu enggak makan.”
“Udah, tenang aja,” tambah Aditya sambil tersenyum, aku pun tersenyum.
Brian tersenyum malu, makanya dia minta, “Gue ... samain aja deh.” Dia lalu bertanya pada adiknya, “Andi, kamu mau makan juga?”
“Enggak usah, Kak,” Andi menolak dengan halus.
Aku pun berkata, “Udah, enggak apa-apa, kamu pasti lapar, kan?” Aku tersenyum.
“Iya deh.”
“Oke deh, gue juga samain aja sama maneh semua,” kata Febby spontan.
“Lo yang traktir!” ucap Aditya dan Brian secara bersamaan.
Aku tertawa saat melihat mood Brian perlahan-lahan berubah menjadi lebih baik. Brian menatapku. “Apaan yang lucu?”
“Enggak ko,” Aku menjawab dengan halus.
“Ya udah, gue beli ya.” Febby keluar meninggalkan rumah.
Aditya mengeluarkan semua snack dari kantong belanjaan 7-Eleven kami. Dia mengeluarkan beberapa macam snack, meskipun tidak terlalu banyak, ada tiga botol kopi Good Day, sebungkus besar Chitato rasa ayam bumbu, satu cokelat Cadbury Dairy Milk berukuran besar, permen Fox’s, dan sebotol besar Pepsi. Ia meletakkan semuanya di atas meja ruang tamu.
“Enggak apa-apa kalau Andi minta?” tanya Andi.
“Andi!” Brian pun langsung membentak adiknya.
Aku tersenyum pada Andi sambil berkata, “Enggak apa-apa, ambil aja, ini punya sama-sama.”
“Anu ..., enggak apa-apa nih, Indah?” Brian bertanya dengan malu.
“Ya,” Aku tersenyum pada Brian.
“Andi ambil gelas dulu di dapur ya.” Andi berdiri sebelum berjalan menuju dapur.
Brian mengambil sebungkus besar Chitato rasa ayam bumbu. “Ini ... enggak apa-apa, kan?”
“Enggak apa-apa.”
Kulihat Brian membuka bungkus Chitato dengan tangannya sendiri, lalu ia mengambil keripik kentang pertama dari bungkus tersebut, Ia memakan keripik tersebut. Saat ia mengunyah, ia terlihat sangat murung, seakan-akan banyak beban yang menghinggapi pikirannya.
“Kenapa?” tanya Aditya.
“Gue ..., gue udah lama enggak makan seenak gini,” Brian menjawab dengan sungkan. “Gue cuma bisa makan makanan di warung murah yang enggak seenak ginian, apalagi nanti Bento dari 7-Eleven. Keluarga gue sekarang lagi hemat.”
“Brian,” Aditya memanggil dengan nada halus. “Udah, enggak usah dipikirin.” Dia memegang kedua pundak Brian. “Brian, lo teman gue, kalau lo ada masalah, gue bakal bantu sebisa gue. Tapi yang terpenting, lo harus bantuin bokap sama nyokap lo buat bangkit. Lo mungkin kehilangan segala yang lo punya, tapi enggak segalanya, kan? Ada juga yang kagak bisa dinilai sama uang, enggak hanya sebatas materi, itu keluarga lo, bokap lo, nyokap lo, adik lo. Anggap aja ini adalah sebuah ujian, Brian.”
Brian pun berkata, “Indah, Aditya, jangan bilang kalau gue kayak gini di sekolah. Gue enggak mau yang lain tahu keadaan gue.”
“Gue janji,” ucap Aditya.
“Bilangin juga sama Febby.”
“Ya,” Aku tersenyum. “Kamu enggak usah khawatir. Rahasia kamu aman sama kita.”
“Ya, deh,” ucap Brian.
Kami menikmati semua snack yang kami beli. Andi kembali dari dapur membawa lima buah gelas dalam satu tray. Dia meletakkan tray di atas meja dekat snack-snack yang sedang kami makan. Kami juga menuangkan dan meminum segelas Pepsi. Bisa kulihat Brian sungguh menikmati snack enak yang dia rindukan.
“Bento!” seru Febby berjalan kembali masuk ke dalam rumah sambil membawa sekantong plastik berisi lima bungkus Bento dari 7-Eleven.
“Asyik, Kak! Kita bisa makan ginian!” seru Andi senang.
“Cepetan keluarin, Febby,” Aditya meledek.
Febby tersinggung. “Ih... Maneh sabar atuh!” Dia membagikan setiap bungkus bento yang isinya sama kepada kami.
Kubuka bungkus bento tersebut, kupandangi isi bento tersebut, ada nasi goreng dan sepotong chicken katsu seperti yang kami minta, dilengkapi dengan salad sayuran. Sebelum aku mulai makan, aku melihat Febby langsung memakan bento miliknya dengan lahap, begitu juga dengan Adit.
“Ini enggak apa-apa, kan?” Brian masih sungkan.
“Enggak apa-apa,” aku menjawab demikian.
“Siapa juga yang nanya ke lo.” Brian membuang muka dariku.
Aku mengambil sendok plastikku untuk mulai makan, aku makan sesuap nasi goreng, kunikmati makanan dari 7-Eleven itu. Selanjutnya, aku makan sepotong kecil chicken katsu. Sungguh enak, benar-benar enak.
Aku melihat semuanya begitu menikmati makan bersama ini, apalagi Brian, aku merasa kerinduannya terhadap makanan enak seakan-akan mulai terobati.
“Indah,” Brian memanggilku.
“Ya,”
Brian berupaya untuk bertanya dengan percaya diri, “I ..., Indah, lo mau enggak belajar bareng sama gua?”
“Belajar bareng?” tanyaku heran.
Aditya memanas-manasi Brian, “Ciyeee! Brian! Belajar berduaan nih!”
“Aduh, aduh, ada apa ya? Jadi lo mendam sesuatu sama Indah?” Sama saja, Febby juga ikut manas-manasin.
Brian salah tingkah, “Bukan gitu! Gue, gue juga ngajak lo juga! Ya, lo berdua!
 Febby membalas, “Kenapa lo nanya Indah doang tadi?”
“Udah deh!” Brian semakin malu. “Kita belajar bareng, tapi di jangan rumah gue. Lo lihat kalau rumah gue enggak gitu kondusif buat belajar.”
“Oke, di rumah Aditya deh!” ucap Febby.
“Lho?! Kok rumah gue sih?! Kenapa enggak rumah lo aja?!” Aditya menolak usul Febby.
“Aduh, rumah lo lebih kondusif buat belajar, gue sama Indah enggak pernah ke rumah lo. Lo sih dekat sama rumahnya Indah, tapi dia enggak pernah kunjungin lo. Jadi rumah lo pantas pisan dijadiin ....
“Lo ngomong jangan alay melulu deh!” Aditya meledek Febby.
“Ih! Siapa juga yang alay?!”
Aku tertawa melihat Aditya dan Febby saling meledek satu sama lain hanya untuk mempertengkarkan rumah siapa yang harus kita tumpang untuk belajar bareng besok. Kurasa akan menyenangkan berkunjung ke rumah Aditya meski dekat dengan rumahku.
***
Bukannya berjalan keluar dari kelas saat waktu istirahat berlangsung, aku malah menulis dan memikirkan saat aku kecil dulu. Aku mungkin sudah memikirkannya berkali-kali, bahkan saat aku masih homeschooling. Lagi-lagi aku memikirkan tentang cinta.”
Galau, itukah perasaanku sekarang? Aku teringat aku pernah berjanji di dalam hati aku akan menemui anak laki-laki yang pernah kusuka saat aku tersesat mencari ibuku. Laki-laki itu bisa jadi sekolah di sini, sama sepertiku, atau bisa jadi beda sekolah.
Aku masih punya sisa istirahat selama lima menit, maka kuputuskan untuk berjalan keluar kelas. Aku menutup catatanku, berjalan melewati pintu keluar kelas.
Aku berjalan melewati selasar depan ruangan kelas yang dipenuhi oleh beberapa siswa yang sedang mengobrol, ada juga yang sedang menyendiri memainkan gadget seperti handphone, tablet atau sebuah game console seperti PS Vita atau Nintendo 3DS.
“Indah,” Kudengar suara seorang laki-laki memanggilku dari belakang, suara ini .... Aku mengenali suara itu, aku ingat aku pernah bertemu dia kemarin saat waktu istirahat di depan lapangan sepak bola.
Aku berbalik menyapa, “Eh, Ikbal,”
Dia tersenyum padaku, “Akhirnya gue bisa ketemu sama lo, gue cari lo di setiap kelas, ternyata lo adik kelas ya?”
Adik kelas? Apa dia berkata kalau aku salah satu adik kelasnya? Apakah dia kakak kelasku? Dia sekarang duduk di kelas 12? Jadi Ikbal yang sedang berdiri tepat di hadapanku adalah anak kelas 12?
“Ko bengong?”
Aku langsung kembali menatap Ikbal. “Oh, maaf,”
“Besok lo kosong enggak?”
Emang kenapa?”
“Besok lo mau enggak minum kopi bareng gue, terus kita nonton film bareng di bioskop, gimana?”
Apa dia serius? Dia serius ngajak aku menonton film di bioskop? Aku dan Ikbal baru saja berkenalan kemarin, kenapa dia langsung mengajakku hang out bareng? Minum kopi bareng? Nonton bioskop bareng? Apa dia bercanda? Bagiku ini terlalu cepat, tapi... Aku tentu saja tidak bisa menolaknya, Apa yang harus kujawab? Aku malu untuk menjawab. Aku tidak tahu...
“Indah, kalau enggak bisa, ya udah, enggak apa-apa, kok.” Ikbal tersenyum.
“Ya ....” Kata itu meluncur dari mulutku.
“Apa?”
Aku tersenyum, “Ya, aku mau pergi bareng kamu.”
“Sip, sip,” ucap Ikbal, “Gue nanti kirim nomor hp gue.” Dia tersenyum padaku.
“Ya, aku akan ... kirim nomor hpku juga.”
“Udah ya, gue duluan ke kelas.” Ikbal segera berjalan ke kelasnya.
Aku tidak percaya, sungguh tidak percaya. Salah satu cowok terpopuler di sekolah seperti Ikbal mengajakku hang out. Bagi kebanyakan cewek, diajak hang out oleh cowok terpopuler seperti dia merupakan mimpi yang menjadi kenyataan, tapi kebanyakan dari mereka menganggap ini sebagai kencan, bagiku tidak. Aku dan Ikbal baru saja menjadi teman, bisa dibilang hanya teman, tidak ada apa-apa yang terjadi padaku dan Ikbal.
Bel berbunyi menandakan waktu istirahat sudah habis. Aku segera berjalan kembali memasuki kelas dan duduk di bangkuku sendiri, karena hari ini adalah hari Jumat, hanya ada satu mata pelajaran sebelum kami pulang ke sekolah, sedangkan pada hari Senin sampai Kamis, biasanya ada dua mata pelajaran sebelum pulang.
“Indah,” Brian memanggilku. “Sini,”
Aku berdiri dan berjalan mendekati bangku Brian. “Ya?”
“Ternyata si Febby kagak bisa hari ini, dia ada keperluan keluarga, dia ngusulin buat ke rumah Aditya besok aja.”
“Besok?”
“Lo bisa enggak kalau belajar kelompok kita ditunda besok?”
“Ya,” Aku menjawab, “Tapi ntar sore aja.”
“Enggak apa-apa, soalnya si Aditya juga mau nyuci motor besok pagi.” Brian tidak sadar memegang tanganku erat.
“Brian?” Kurasakan gengaman tangan Brian yang kasar, mungkin karena dia masih tidak ingin yang lain tahu keadaan keluarganya sekarang.
Brian menatap bahwa ia ternyata sedang memegang tanganku tanpa sadar, ia segera melepaskan pegangannya. “Ma ... maaf,” kurasa ia merasa malu.
“Enggak apa-apa kok, Brian.” Aku tersenyum sebelum berjalan kembali ke bangkuku.
Brian beruntung sekali, karena hanya sedikit murid sekelas yang sudah kembali ke dalam kelas. Jika semua teman sekelas sudah kumpul, pasti kami berdua akan disoraki bahwa kita saling suka.
Teman-teman sekelas telah kembali masuk dan duduk di bangku masing-masing, termasuk Aditya, Febby, dan Setiawan. Di saat yang sama, guru bahasa Indonesia kami berjalan memasuki kelas.
Brian segera berseru sebagai ketua kelas, “Berdiri!” Kami semua berdiri sebelum ia memerintahkan, “Beri salam!”
“Selamat pagi, Bu!” sahut kami.
“Selamat pagi, anak-anak,” balas wanita berhijab krem yang memakai pakaian serba krem pula.
“Indah,” Febby memanggilku.Sorry pisan, ternyata gue ada keperluan keluarga sore ini, penting banget, jadi lo bisa enggak besok sore?”
“Bisa,” jawabku.
“Sekarang Ibu akan umumkan kelompok belajar baru kalian selama satu semester penuh karena ibu merasa kalian sudah mulai kesulitan mengerjakan soal-soal pada UAS lalu. Sekretaris kelas, tolong kemari dan tulis nama yang ibu sebut.”
“Ya!” jawab sang sekretaris yang duduk di kursi paling depan sebelah kanan.
Aku mengambil handphone dari saku rokku saat kurasakan getaran, ada pesan masuk. Aku secara diam-diam memegang ponselku di bawah meja agar tidak ketahuan guru.
Kubuka notifikasi bahwa ada pesan LINE dari Ikbal, kubuka pesan tersebut. Ia baru saja mengirimkan nomor handphone-nya kepadaku, juga pesan bahwa aku tidak boleh lupa kalau besok aku akan pergi bersamanya.
“Ciyeee ....” Febby memanas-manasi aku “Dari siapa hayo?”
“Bukan dari siapa-siapa,” jawabku.
“Hayo ngaku, teu boleh bohong lo!”
“Sssst!” Seseorang di yang duduk di belakang Febby memperingatkan untuk diam.
“Udah, bukan urusan kamu.”
Aku kembali menatap layar handphone-ku, kuketik pesan kepada Ikbal untuk menyampaikan nomor handphone-ku agar dia bisa tahu kapan kita berdua akan berangkat besok. Aku tidak tahu mengapa aku sangat tidak sabar ingin pergi besok. Kuterima lagi pesan dari Ikbal, aku pun tersenyum.
Aku menatap papan tulis, kulihat seorang sekretaris kelas menulis setiap nama untuk dibagi menjadi enam kelompok. Anggota kelompok pertama sudah ditulis:
Kelompok 1
Setiawan
Brian
Febby
Rayn
Aditya
Indah
Aku tidak terkejut karena secara kebetulan aku sekelompok dengan tiga teman dekatku di kelas yang ingin membentuk kelompok belajar sendiri, tetapi kali ini ditambah dua orang lagi, yaitu Setiawan dan Rayn. Aku sudah tahu kalau Setiawan merupakan murid terpintar di kelas, sedangkan Rayn ..., aku tidak tahu siapa orang itu.
Aditya menyahut, “Eh, kita sekelompok! Kebetulan nih!”
Febby membalas, “OMG! Kita sekelompok!”

Brian dan aku hanya diam, tidak merespon. Tetapi kini kita seperti kedatangan dua anggota baru ke dalam kelompok belajar kita. Meskipun begitu, kupikir besok juga akan menjadi pertemuan pertama kelompok belajarku. Bukan hanya untuk belajar bahasa Indonesia, tetapi juga semua mata pelajaran jika bisa.

Comments

Popular Posts