While We Ran Away Episode 10
Kepercayaan
“Bang,
sorry ya. Yoshi … malah jadi makin
ngerepotin Abang,” ujarku ketika kami bertiga sedang menikmati sarapan roti
bakar olesan selai dan mentega tawar di area restoran hotel.
“Ya
… Abang percaya kamu enggak pengen cerita dulu sama Ibu atau keluarga Abang
sendiri. Kan kasihan kamu sama Sena, udah jauh-jauh ke sini mau ketemu Abang.
Abang enggak enak ngebiarin kalian jadi anak jalanan,” jelas Bang Fandy.
“Oh
ya, Bang. Yoshi … kayak masih … enggak jelas ceritanya semalam?”
“Abang
ngerti kok yang udah kamu ceritain, Yosh. Sekarang … Abang pengen bantu kamu
sama Sena, seenggaknya buat sementara waktu. Entar … Abang SMS ke Ibu kalau
kamu dan Sena nginap di kosan terus ikutan ke rumah. Simple, ya … alasannya mau liburan ke, mau ketemu sama Abang ke—”
“Uhuk!
Uhuk!” perkataan Bang Fandy terpotong ketika kudengar Sena batuk.
“Lho?
Sena batuk?” ucapku.
Sena
melanjutkan makan roti isi olesan selai dan menteganya sambil menjawab, “Sena
enggak apa-apa, Kak. Cuma ada yang ketinggalan di tenggorokan.”
“Oh
ya, Kakak ambilin air hangat ya, biar enak tenggorokannya.”
Aku
bangkit dari tempat duduk menuju meja buffet
sarapan sederhana. Beberapa bungkus berisi beberapa lembar roti yang begitu
banyak, toaster untuk memanggang
roti, beberapa bungkus kotak selai dan mentega, kopi bubuk, teh, dan dispenser air hangat serta dingin telah
tertata di atas meja bertaplak meja putih. Wajar, tidak se-wow yang
kubayangkan, hanya ada satu menu sarapan, roti bakar.
Kuambil
cangkir di laci terbuka di bagian bawah meja. Kutuangkan air panas pada cangkir
hingga terisi setidaknya mendekati penuh. Kuangkat cangkir itu sambil berbalik.
Kutatap juga beberapa meja telah terisi oleh tamu hotel lainnya yang sedang
menikmati sarapan gratis.
Begitu
aku kembali ke meja semula membawakan secangkir air hangat untuk Sena, kutatap
Fandy memperlambat makan roti bakarnya, seakan-akan sedang menikmati secara
berlebihan, memang dia hanya mengincar sarapan gratis khusus tamu hotel.
“Enggak
usah gitu juga kali!” sambutku sambil meletakkan secangkir air hangat di
hadapan Sena.
“Nikmatin
lah mumpung gratis!” bela Bang Fandy. “Eh, habis sarapan, kita langsung ambil
barang, terus check out ya!”
“Bang,”
panggil Sena. “Emang … kampus itu sama kayak sekolah ya? Kata Ibu … nanti habis
lulus semua sekolahnya, bisa belajar lagi di kampus dong, terus kerja buat cari
uang.”
“Iya,
Sena. Makanya, kalau sekolahnya bagus, entar dapat kampus bagus, terus gampang
cari kerja,” jawab Bang Fandy ketika aku kembali duduk di samping Sena dan
menikmati roti bakar.
Akhirnya,
kulihat Sena sudah mulai seperti dulu lagi, meski sedikit demi sedikit,
perlahan tapi pasti. Aku … hanya ingin Sena begitu bahagia ketika dia akhirnya
bebas dari segala siksaan di rumah, setidaknya aman baginya ketika bersama
diriku dan Bang Fandy.
***
Begitu
kami check out dari hotel dan
membayar sewa kamar, kami bertiga memesan taksi online menuju kampus Bang Fandy. Kosan Bang Fandy bisa dibilang
cukup dekat dari kampusnya, bisa ditempuh dengan jalan kaki jika pergi ke
kampus.
Dalam
perjalanan, Bang Fandy sempat cerita kalau dia sebenarnya malas naik motor ke
Jogja dari Surabaya, dia lebih prefer naik
bus antar kota jika ingin bolak-balik dari kosan ke rumahnya. Pantas saja, dia
pesan ojek online semalam untuk
menemuiku di hotel.
Alih-alih
memasuki daerah kampus, Bang Fandy justru ingin langsung ke kosan begitu tiba
di gerbang kampus. Kami berjalan kaki menuju kosan Bang Fandy, kuingat jalan
menuju ke sana berbelok begitu banyak hingga membuatku pusing, bahkan sampai
melewati beberapa gang.
Kami
pun tiba di depan kosan Bang Fandy. Memang bukan seperti gedung apartemen yang
wow, lebih mendekati rumah biasa, bedanya sedikit lebih lebar mengingat ini
adalah kosan. Dinding bagian luar rumah berwarna hijau, lantai teras kosan itu
berwarna hitam aspal layaknya di tempat parkir.
Bang
Fandy membuka pagar berwarna hijau dengan pelan. Begitu kami memasuki daerah
halaman kosan, seorang pemuda berambut gondrong hingga melebihi dahi dan
berwajah oriental melangkah menemuinya.
“Eh,
Fandy. Lo entar enggak kemana-mana, kan? Ntar siang kumpul ya!” sapa pemuda
itu.
“Mau
ngapain?” tanya Bang Fandy.
“Ya
… mau ngomongin soal pacarnya Shinta sih. Ya, katanya mau pada semacam
intervensi sih. Oh ya, lo sebelahnya Shinta, kan?”
“Iya.”
“Ya
udah, nanti kumpul ya!” Pemuda itu keluar dari daerah kosan itu.
“Lho?
Intervensi? Apaan?” tanyaku.
“Nanti
Abang omongin pas udah di kosan,” jawab Bang Fandy begitu kami memasuki
bangunan kosan itu.
Kami
melangkah melewati tangga yang berada di dekat ruang tengah, di mana semua
orang biasanya berkumpul hanya untuk hang
out setiap malam, wajar, di ruang tengah ada televisi, jadi penghuni kosan
biasanya menonton pertandingan sepak bola.
Begitu
kami tiba di kosan Bang Fandy, dia membuka kunci pintu nomor 23 yang menghadap
balkon pemandangan ruang tengah. Bang Fandy membuka pintu, menunjukkan bagian
dalam kosannya.
Kulihat
beberapa poster tertempel di dinding bercat biru, meja belajar dan lemari
pakaian di dekat pintu, dan tempat tidur di sebelah kanan menghadap jendela
bergorden biru. Karpet yang masih tergulung juga berada di dekat meja belajar.
“Sorry ya, simple banget kosan Abang. Cuma ginian doang.” Bang Fandy
meletakkan tasnya di dekat meja belajar.
“Enggak
apa-apa, Bang,” balasku ketika memasuki kosannya dengan Sena. “Oh ya, Sena mau
tiduran dulu?”
“I-iya,
Kak. Sena … masih … capek kayaknya,” jawab Sena sebelum melangkah menuju tempat
tidur Bang Fandy.
Bang
Fandy membuka gulungan karpet dan menggelarnya di lantai begitu Sena mulai
berbaring di tempat tidur. Aku letakkan tasku di dekat tas Bang Fandy dan
membuka risleting, memastikan semuanya masih ada di dalamnya.
“Eh,
itu katanya pacarnya Shinta kenapa sih? Emang kenapa sampai harus diomongin
entar siang?” tanyaku lagi.
Bang
Fandy menjawab, “Sebenarnya … Shinta itu … punya pacar semacam bad boy sih, katanya dari SMA. Ya,
sekarang udah beda kampus wajar lah kalau Shinta punya banyak kerjaan, apalagi hang out bareng teman kampus sama kosan.
Akhir-akhir ini juga … pacarnya kelihatan banget toxic. Abang juga pernah dimarahin sama dia cuma gara-gara dekat sama
Shinta, ya enggak lah, dia salah paham banget coba!
“Terus,
Abang juga pernah dengar dia cewek kosan yang lain kalau Shinta sering banget
nangis tiap kali dia kencan sama pacarnya. Katanya juga … dia kelihatan sampai
dipukul lho. Pas ditanya, Shinta malah ngehindar, enggak mau jawab gitu. Apa
dia … emang denial kalau pacarnya
emang toxic?”
“Anjir.”
Entah
kenapa, kubayangkan kembali ketika Sena tersiksa oleh sang ibu tiri, bisa kuingat
bagaimana suara jeritannya meminta ampun. Lalu, Ayah juga ikut-ikutan menyiksa
Sena setelah menolak kenyataan yang dikatakannya. Mungkin hal ini tidak bisa
dibandingkan dengan penderitaan Shinta oleh pacarnya yang toxic, kurang lebih, ini … kejam sekali, apalagi korbannya adalah
wanita dan anak-anak, korban siksaan dari seorang laki-laki yang toxic.
“Oh
ya, Yosh, kalau capek, mending tiduran aja,” bujuk Bang Fandy.
“Nanti
deh.” Aku mengeluarkan ponsel menatap jam sudah menunjukkan jam 10:37.
“Kak?”
panggil Sena.
“Ya?
Kenapa, Sena?” Aku menemuinya.
“Apa
… Ayah … enggak sayang lagi sama Sena? Setelah … Sena ceritain tentang ibu tiri
ke Ayah?” Sena mengungkapkan.
Aku
menjawab sambil menyentuh lengan Sena, “Sena, Ayah mungkin belum mau percaya
sama kejujuran kamu. Ya … Ayah juga sayang sama istrinya. Kakak juga … pikir
kalau Ayah juga masih sayang sama Sena. Lama kelamaan, kejujuran bakal menang,
kebohongan pasti bakal terungkap ujung-ujungnya.”
Sena
bertanya lagi, “Kalau … Ayah sayang Sena … sama Kakak, Ayah … bakal cari kita?
Ayah tahu kalau kita … kabur dari rumah?”
Aku
memalingkan wajah sejenak, memikirkan bagaimana kalau Ayah benaran mencari aku
dan Sena. Konsekuensi apakah yang akan kudapat karena melarikan diri dengan
Sena ketika Ayah menemukan kami? Aku … sama sekali belum memikirkan bagaimana
kalau Ayah menemukan kami di sini, atau di kota lain, terutama Surabaya yang
akan kami kunjungi dan singgah sejenak.
***
Sudah
sekitar jam satu siang, aku tetap duduk di atas karpet, tidak tahu harus apa
ketika Bang Fandy ikut berkumpul dengan seluruh penghuni kosan di ruang tengah
untuk melakukan semacam intervensi terhadap Shinta.
Ketika
aku berbalik menatap Sena yang masih berbaring, lagi-lagi kubayangkan bagaimana
dia menjerit minta tolong saat tengah malam dari siksaan sang ibu tiri, salah
satu penyesalanku, aku hanya berdiam diri, malah ingin melanjutkan tidur
setelah lelah belajar demi ujian terakhir.
Aku
juga terpikir sebuah pertanyaan, kenapa Ayah juga ikut-ikutan menyiksa Sena?
Aku tahu Sena cerita kalau Ayah sama sekali tidak ingin menerima penjelasan
Sena mengenai sang ibu tiri, pada akhirnya Ayah muak ketika mengetahui Sena
yang mencuri uang dari sang ibu tiri, jadi dia menyiksanya. Tidak, kenapa Ayah
tidak mau mendengar penjelasan Sena sama sekali? Pasti Ayah begitu sayang pada
istri barunya, istrinya yang telah dia nikahi beberapa bulan lalu.
Apakah
dia rela mengorbankan kejujuran anaknya hanya demi cinta pada sang istri? Ayah
macam apa kalau dia tidak peduli dengan anaknya sendiri, termasuk Sena?
Kukepalkan kedua tangan, menahan ledakan emosi yang kupendam semenjak mendengar
kenyataan bahwa Ayah juga ikut-ikutan menyiksa Sena.
“Uhuk!
Uhuk! Uhuk!” Kudengar Sena batuk begitu keras.
“Sena!”
Kutemui Sena yang terbaring kaku di tempat tidur. “Sena enggak apa-apa, kan?”
“Pusing
… Kak … Uhuk! Uhuk!”
Aku
sentuh dahi Sena. Oh tidak! Kurasakan panas telah menggerogoti tubuhnya.
Kusentuh lehernya juga bercucuran keringat. Sena tetap batuk-batuk ketika kucek
dirinya.
“Sena,
kamu panas?”
Sena
sama sekali tidak menjawab pertanyaanku, dia seperti kesulitan untuk bernapas
setelah batuk-batuk begitu keras. Oh tidak, jangan bilang Sena … dia
benar-benar demam, sial! Kenapa jadi begini?
Aku
benar-benar panik, sangat panik! Sena jatuh sakit! Sial, aku harus menelepon
Bang Fandy! Kuambil ponsel dan kutelepon Bang Fandy, meski dia berada di ruang
tengah di bawah, masih melakukan intervensi terhadap Shinta bersama hampir
seluruh penghuni kosan.
“Halo?
Yosh?” Untunglah, Bang Fandy mengangkat telepon.
“Bang
Fandy!” dengan panik kupanggil namanya.
“Whoa!
Kenapa, Yosh?”
“Sena!
Sena! Sena panas!”
“Whoa,
whoa, whoa! Serius, Yosh?”
“Iya!
Sena juga batuk! Gimana dong!”
“Oke
deh, Abang ke kamar ya!” Bang Fandy menutup percakapan.
Aku
menutup mata mencoba untuk menenangkan diri, tidak kusangka Sena akan jatuh
sakit seperti ini, apalagi setelah menghadapi penderitaan dari ibu tiri dan
Ayah dari kemarin. Kusentuh kembali tangan Sena yang masih bergelimangan
goresan bekas sapu lidi, panasnya begitu tinggi hingga membakar dalam tubuhnya.
“Yosh!”
panggil Bang Fandy memasuki kamar menemuiku.
“Bang
Fandy! Sena panas banget!” sahutku ketika Bang Fandy menemui Sena.
Bang
Fandy menyentuh kening Sena, merasakan panas yang begitu membakar rabaan kulit.
Dia juga menyentuh bagian leher Sena yang berkeringat.
“Punya
obat panas sama batuk enggak, Bang?” tanyaku panik.
“Paling
tablet atau enggak kapsul, terus belum tentu Sena bisa minum obat orang dewasa
lah. Sekarang, slow aja, Yosh. Kamu
tenang dulu. Tenang.” Bang Fandy menepuk kedua pundakku dengan keras. “Nanti
Abang beliin obat buat Sena, soalnya hari ini kliniknya pada tutup di dekat
kampus. Abang ke apotek sekarang ya! Tunggu ya, Yosh.”
“Cepat
ya, Bang!”
Saat
Bang Fandy kembali ke lantai bawah, kusentuh kembali dagu dan kening Sena,
masih kurasakan panas menyengat di sekujur tubuhnya. Kepanikan masih membanjiri
emosiku, takut kalau terjadi sesuatu yang tidak-tidak pada Sena.
“Sena,
kamu bakal baik-baik aja. Kamu bakal baik-baik aja.”
Comments
Post a Comment