While We Ran Away Episode 12
Kenangan yang Menyedihkan
“Sena
udah mendingan, kan?” Bang Fandy menyentuh kening Sena, memastikan suhu
tubuhnya sudah benar-benar turun.
“Udah
sih, Bang. Uhuk!” jawab Sena sambil batuk.
“Masih
batuk ya. Kayaknya minum obat batuk aja, enggak usah minum obat panas. Sama …
minum banyak air hangat ya.”
Bang
Fandy telah bersiap untuk berangkat ke kampus. Dia sudah memakai jaket dan kaos
oblong putih. Hari ini adalah ujian terakhir buat Bang Fandy dalam semester
ganjil tahun ajaran.
Bang
Fandy menemuiku yang sedang duduk di hadapan laptopnya. Aku terfokus pada layar
laptop yang menunjukkan laman daftar kartun.
“Yosh,
nanti Abang langsung ke sini habis ujian. Oh ya, kalau ada apa-apa, SMS Abang
aja ya.” Bang Fandy mulai menggendong tasnya.
“Iya,
Bang,” jawabku.
“Oke,
Abang cabut ya!” pamit Bang Fandy.
“Hati-hati,
Bang!” seruku.
Ketika
kulihat Bang Fandy meninggalkan kamar, aku baru ingat. Hari ini adalah Senin.
Kalau saja aku dan Sena masih bersama Ayah dan ibu tiri, kami biasanya sudah di
sekolah seperti biasa pagi begini, waktu yang sama ketika Bang Fandy
mengerjakan ujian di kampus hari ini.
Untunglah,
pekan ini sama sekali tidak ada pelajaran, hanya pekan olahraga dan seni yang
diadakan di sekolah. Tapi … kalau teman-temanku tahu aku menghilang, bagaimana
jadinya? Apakah mereka akan bertanya-tanya apa yang terjadi padaku? Apakah aku
akan mendapat ganjaran dari sekolah juga karena telah menghilang demi
melindungi Sena?
“Kak,
Sena mau nanya,” Sena membuyarkan lamunanku.
“Oh.”
Aku menatap Sena yang masih duduk di atas kasur. “Kenapa, Sena?”
“Apa
… Ayah emang pacaran sama ibu tiri? Terus … kita enggak tahu?”
Aku melongo, memang seharusnya anak-anak
seperti Sena tidak mengetahui segala hal tentang cinta, apalagi pacaran.
Mendadak, aku teringat ketika melihat sebuah kabar bahwa anak SD sudah mulai
berani pacaran di depan umum, bahkan sampai pamer lewat media sosial.
Sebenarnya, Sena belum siap untuk mendengar segala hal seputar pacaran.
Oh
tidak, aku ingat, mungkin kemarin Sena mendengar aku dan Bang Fandy berbicara tentang
Shinta serta pacarnya. Mungkin … itu mendasari Sena untuk menanyakan pertanyaan
seperti ini.
“Bisa jadi sih. Ya … mereka ketemu,
terus jatuh cinta, terus pacaran, terus nikah. Kalau mereka udah merasa cocok
sejak lama, ya … mereka siap ke langkah berikutnya, menikah, terus mengurus
anak.”
“Kak,
apa … pacarnya Shinta … sama aja kayak Ayah, sama juga kayak ibu tiri? Apa …
Shinta juga … sama kayak Sena? Disakitin gitu aja, kan?”
Aku
menggeleng. “Kita … sebaiknya enggak ngomongin gini deh. Mending … nonton
kartun aja. Kartun emang lebih fun daripada
ngomong ginian. Ya, Kakak juga sering nemanin Sena pas weekend, nonton kartun bareng. Kakak … udah download lumayan ramai nih kartunnya.”
“Kak,
kita … kapan ke rumah Bang Fandy-nya?”
“Enggak
tahu sih. Tapi kata Bang Fandy, Sena masih harus istirahat ya. Kita nunggu kamu
baikan, oke? Terus kita ke rumah Bang Fandy di Surabaya. Sena harus baikan
total ya. Nah, kita nonton kartun aja.”
Aku
berbalik menatap layar laptop, membuka file
salah satu kartun yang ku-download tadi, serial kartun yang ku-download adalah Gravity Falls, salah satu kartun kesukaan Bang Fandy waktu SMA.
Bang Fandy memintaku untuk men-download
serial kartun itu karena yakin Sena pasti suka.
Ketika
kutonton beberapa episode pertama, ceritanya cukup rumit buat kebanyakan kartun
untuk anak-anak, tapi … ketika kutatap Sena, dia begitu menikmati kartun sambil
berkomentar tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.
SpongeBob dan Gravity Falls yang kami tonton akhir-akhirnya membuktikan bahwa
anggapan kartun hanya untuk anak-anak itu salah besar. Kebanyakan remaja zaman
sekarang, apalagi orang dewasa, menganggap demikian, mereka tidak ingin
menonton kartun atau selebihnya anime
sama sekali karena takut dianggap kekanak-kanakan. Kartun memang dibuat untuk ditonton
sekeluarga.
Sudah
beberapa episode yang telah kami tonton, kami masih menunggu Bang Fandy untuk
pulang ke kosan. Mungkin … dia ada urusan mendadak setelah ujian selesai, hal
yang bisa kulakukan hanyalah menunggu dan menonton kartun sambil menemani Sena.
“Lo
mau apa? Mau apa ke sini lo?” jeritan Shinta terdengar dari kamar sebelah.
“Lo
minta putus? Lewat SMS!” terdengar suara seorang cowok, tak salah lagi, itu
suara Alex, pacarnya Shinta!
“Emang.
Mending lo pergi aja deh! Gue udah enggak tahan sama sifat lo—" Shinta
membalas jeritan sambil mengusir Alex.
“Enggak!
Gue enggak mau pergi! Gue cinta lo, Shinta! Gue cinta sama lo!” jerit Alex.
Ah
… ternyata benar, Shinta memang putusin pacarnya, Alex, lewat SMS. Padahal
Stella sudah bilang padanya, dia seharusnya ngomong baik-baik dulu pada
pacarnya agar bisa putus.
“Lepasin!
Lepasin!” Shinta meronta-ronta. “Tolong! Lepasin!”
“Gue
cinta sama lo, Shinta! Lo enggak ngerti juga ya! Gue gini ke lo karena sayang lo!”
bentak Alex.
“Enggak!
Lepasin!”
“Gue
udah sayang banget sama kamu, terus gini yang kamu kasih ke gue?”
Shinta
terdengar mulai menangis. “Lepasin! Gue capek sama sifat lo yang gini!”
“Gue
gini ke lo … gue sayang banget.”
“Enggak,
lo gini buat gue nangis, lo selalu gitu. Udah, keluar aja. Gue capek hadapin
lo.”
“Shinta!
Lo enggak ngerti juga gue sayang sama lo! Gue cinta sama lo! Gue enggak playboy. Sini lo!”
“Lepasin!
Lepasin!!” jerit Shinta. “AAAH!” Kudengar suara tubrukan menuju lantai.
Oh
tidak. Ini benar-benar berbahaya. Dengan cepat, aku mengetik SMS pada Bang
Fandy. Bang, si cowonya Shinta dtg! Gmn
nih?
“Ini
salah lo sendiri, Shinta! Gue enggak mau diginin sama lo!” jeritan Alex semakin
keras. “Minta putus lewat SMS, enak aja gitu ke gue!”
“Kak,
itu kenapa di sebelah?” tanya Sena.
“Gue
udah enggak tahan lagi sama lo! Gue enggak sudi banget sama lo lagi!” Shinta
merengek histeris, jeritannya tidak keras dibandingkan Alex.
“Woi!”
Suara seorang cowok terdengar menengahi mereka. “Lo ngapain ke sini!”
“Sena,
kamu di sini aja ya. Kakak mau ke sana dulu. Lanjutin nonton aja ya,” ucapku
sambil bangkit dari karpet.
Aku
membuka pintu ketika jeritan dari kamar sebelah semakin menjadi-jadi, bahkan
menjadi adu mulut yang panas, susah untuk dipadamkan. Adu mulut kini seperti
api emosi yang sulit padam dengan bujukan.
“Lo
siapanya Shinta, hah?” jerit Alex.
“Gue
teman kosannya Shinta!” Cowok yang menengahi perdebatan itu adalah Richard,
yang kulihat ketika menatap ke dalam kamar Shinta.
Richard
menghalang-halangi Alex agar dia tidak mendekati Shinta lagi dengan
merangkulnya. Alex masih saja bersikukuh sambil menjerit-jerit agar dia dapat
mendekati pacarnya lagi.
Richard
mulai menasihati, “Gue tahu Shinta cewek lo, tapi bukan gini cara buat
ngelakuin cewek!”
“Emangnya
lo siapa, hah! Lo enggak tahu betapa sayang banget sama Shinta!” jerit Alex
tidak mau mengalah.
“Lo
yang siapa? Siapa yang ngajarin kayak gitu ke lo!” jerit Richard. “Lo kan
cowok! Ini cewek lo lho! Harusnya lo enggak kayak gini ke cewek lo! Lo sayang
sama dia, kan? Harusnya enggak menyakiti dia!”
“Lo
siapa, anjing? Lo berhak gitu ke gue!” Alex mendorong Richard dengan keras.
“Biasa
aja kali! Gue tahu lo bilang sayang sama cewek lo, tapi enggak gini caranya! Lo
lihat kan! Lihat! Gara-gara lo, dia luka kayak gini! Lo tahu lo buat dia luka
kayak gini kemarin! Lo mending pergi aja deh, terus jangan—”
Alex
menghantamkan kepalan tangan tepat pada wajah Richard, meledakkan seluruh emosi
yang dia pendam. Richard pun akhirnya ikut meledakkan hawa panas dari emosinya
dengan membalaskan pukulan pada Richard. Shinta yang terlepas dari Richard
memundurkan langkah sambil histeris.
“Udah!
Stop!” Tangisan Shinta semakin menjadi-jadi.
Oh
tidak, semuanya meledak, seperti bom meledak! Yang kulihat dari pintu kamar
Shinta, Alex dan Richard saling memukul setelah capek dengan adu mulut panas!
Mereka memutar posisi, dengan Alex menhadap pintu, sedangkan Richard
membelakangi pintu. Sial, aku harus menghentikan mereka. Tapi … apakah … aku
memang yang harus … menghentikan perkelahian mereka.
“Diam,
anjing!” jerit Alex mendorong bahu Richard hingga terjatuh ke lantai ketika
terkena tempat tidur di sisi kanan kamar.
“Stop!
Udah!” jerit Shinta histeris bersandar di tembok dekat lemari pakaiannya.
Tanpa
berpikir panjang, aku menerobos masuk ke kamar itu, mencoba semampuku untuk
menghentikan perkelahian. Aku tidak ingin Shinta sama menderitanya dengan Sena
kalau begini. Dia sama toxic-nya
dengan Ayah dan ibu tiri. Kalau kulihat mereka menyiksa Sena seperti ini, aku
pasti akan menghentikan mereka seperti yang akan kulakukan.
“Enggak!”
jerit Shinta ketika Alex berbalik menemuinya.
“Gue
cinta lo, Shinta!” jerit Alex ketika aku mendekatinya dari belakang.
“Woi!”
jeritku impulsif, menarik perhatiannya. “Udah dong, enggak usah kayak gini
caranya.”
“Lo
ngapain ikut campur!” jerit Alex padaku.
“Lo
juga udah menganggu penghuni kosan, tahu enggak! Gue udah tahu keadaan lo sama
cewek lo.”
“Emangnya
lo siapa, hah?” Alex mendekatiku sambil mengancam.
“Alex
… kan? Gue sebagai cowok pengen bilang baik-baik. Gue cuma pengen ngasih tahu
lo baik-baik. Lo udah sayang sama Shinta, kan? Lo punya kasih sayang sama
Shinta sebagai pacar lo? Tapi … nyatanya beda sama omongan lo sendiri. Gue
emang lebih muda daripada lo, tapi gue cuma pengen kasih tahu lo,” aku
berpesan. “Cara lo … ngelampiasin kasih sayang ke cewek lo … salah besar.”
“Lo
sok nasihatin aja! Kayak bapak-bapak aja! Emang lo siapa!” bentak Alex.
“Gue
tahu gimana rasanya jadi korban kelakuan kayak lo, adik gue pernah jadi korban
ginian. Bukannya sayang, malah takut, sakit, sakit banget tiap kali ngelihat
pelaku kayak lo. Tiap kali lo ngelakuin kasar sama cewek lo, apalagi sampai dia
terluka kayak gini, dia jadi takut sama lo. Pantas aja, dia mau putus sama lo
kemarin. Gue udah dengar dari Shinta kemarin, kalau lo emang … pantas dapat
ditinggalin! Kalau … Shinta emang pengen udahan sama lo, lo kenapa sih harus
maksa dia buat balik ke lo!”
“Diam!”
Alex melepaskan segala emosi melalui pukulannya. Pukulannya mengenai perutku.
“AH!”
jeritku terjatuh ke lantai tidak dapat menahan rasa sakit sehabis menerima
pukulan tepat pada perut.
“AA-AAAAH!!”
jerit Shinta kembali histeris. “AAAH!!”
Sialan!
Pukulannya keras sekali! Perutku terasa seperti melilit setelah dipukul Alex!
Aku menyilangkan kedua tangan menyentuh perut dan menahan rasa sakit. Aku
berguling ingin mengalihkan rasa sakit itu.
“Sini
lo!” jerit Alex menarik paksa Shinta.
“Enggak!
Enggak!” balas Shinta meledakkan air mata.
“Woi!”
jerit Richard bangkit menghadapi Alex dan menampar lengannya.
“Apa
lo! Enggak puas lo habis dipukul!” jerit Alex berbalik menghadapi Richard.
“Lo
mending pergi aja deh! Jangan ganggu Shinta lagi! Lo udah enggak pantas sama
Shinta!”
Alex
kembali memukul Richard tepat di kepala sekali lagi. Lagi-lagi … Alex dan
Richard saling baku hantam, mereka melontarkan kata-kata kasar sambil saling
memukul dan menjatuhkan. Aku ingin menghentikan mereka, tapi … perutku masih
terasa sakit.
Cengeng banget sih jadi cowok!
Ah!
Kenapa? Kenapa tiba-tiba saja … sebuah kilas balik yang tidak ingin kuingat …
kembali muncul di otakku? Enggak! Aku tidak mau ingat kembali!
Suara
ketukan pintu terdengar begitu keras, seperti sebuah ledakan yang mengagetkan
kami semua di kamar Shinta, menghentikan seluruh kericuhan yang telah terjadi.
Alex tercengang ketika beberapa penghuni dan pemilik kosan telah tiba di
hadapan pintu.
“Itu
tuh!” seru salah satu penghuni kosan.
“Kalian
semua, ikut saya. Cepat!” perintah pemilik kosan yang merupakan seorang
bapak-bapak berambut putih dan berkacamata.
“Awas
lo!” jerit Alex sambil menunjuk-nunjuk Richard sambil keluar.
“Shinta!”
beberapa penghuni cewek mendatangi Shinta. “Oh
my God!”
“Yoshi!”
panggil Richard menemuiku. “Enggak apa-apa, kan? Bisa berdiri, kan?”
“I-iya.”
Akhirnya aku berhasil bangkit tanpa dibantu. “Enggak apa-apa kok.”
“Gue
capek banget! Gue capek sama … Alex yang posesif ke gue.” Shinta kembali
hiseris hingga dia membutuhkan pundak untuk ditangisi.
“Shinta,
udah, udah,” salah satu penghuni cewek memeluknya dan membiarkan pundaknya
menjadi tempat tangisan Shinta.
***
Setelah
memberi segala penjelasan pada pemilik kosan, akhirnya Alex masih membantah
segala kebenaran yang aku, Richard, dan Shinta lontarkan. Bukan hanya itu, Alex
akhirnya diusir dari kosan, juga … dia tidak boleh datang ke dalam kehidupan
Shinta lagi. Memang, Shinta dan Alex sudah putus untuk selamanya.
Bang
Fandy datang ke ruang tengah, di mana aku dan Richard hanya duduk terdiam
merenungi apa yang telah terjadi di kamar Shinta. Dia bertanya, “Ini tadi
kenapa ya? Tadi … Yoshi SMS.”
Aku
berdiri menemui Bang Fandy. “Sorry,
Bang. Baru kebaca SMS-nya.”
Richard
menjawab pertanyaan Bang Fandy, “Tadi si Alex psycho datang tuh. Untung aja udah diusir sama pemilik kosnya.
Goblok banget sih itu cowok, nyiksa Shinta terus sih. Ya, emang Shinta udah
minta putus sama dia lewat SMS.”
“Aduh!”
Bang Fandy menepuk tangan pada dahinya. “Ya iyalah malah jadi masalah gini, pantas
aja dia enggak mau nerima kalau Shinta udah mau putus. Oh ya, Yosh. Sena mana?”
“Masih
di kamar kayaknya, Bang. Ya … udah bilang ke Sena biar enggak keluar kamar
dulu,” aku menjawab.
“Oh
ya, si Shinta mana?” tanya Bang Fandy lagi.
Richard
bangkit. “Masih di kamarnya, sama anak-anak cewek. Udah ah, pusing mikir
ginian. Udah tugas buat ujian besok belum dikerjain lagi.”
“Yosh,
balik ke kamar ya.”
Aku
bangkit saat Richard memasuki kamarnya di dekat ruang tengah, mengikuti langkah
Bang Fandy, menaiki tangga. Tetapi … di tengah-tengah tangga, mendadak … aku
kembali terbayang sebuah kilas balik yang seharusnya sudah kuhapus bersih dari
pikiranku.
Begitu
menyakitkan ketika mengingat kembali kilas balik itu. Segala rasa sakit, dari
kemarahan menuju fisik dan mental, sampai-sampai hatiku terluka saat itu.
Mungkin … pukulan dari Alex memicu kilas balik itu kembali ke dalam pikiranku.
Entah kenapa, mataku kembali berair semakin kuputar kembali sebuah kenangan
pahit itu.
***
Waktu
itu … saat pelajaran olahraga ketika aku masih SMP. Kami bermain bebentengan,
salah satu permainan tradisional, katanya permainan ini dari Jawa Barat.
Peraturannya cukup sederhana, tujuan utamanya adalah untuk menyerang dan
mengambil alih benteng dengan menyentuh tiang lawan. Pemain yang bertahan di
daerahnya dapat menawan penyerang dari tim lain hanya dengan menyentuh tubuh
mereka.
Waktu
itu, aku memang disuruh menjaga gawang yang menjadi benteng di lapangan sepak
bola. Aku ingin maju, tapi … aku tetap dipaksa untuk menjaga benteng oleh rekan
timku sendiri. Ketika lawan menyentuh gawang yang berarti mereka mendapat
angka, mereka malah menyalahkanku dan hanya berkata agar aku jaga benteng
dengan benar, padahal, aku sudah berusaha sebaik mungkin.
Ketika
tim lawan sudah mendapat tiga angka berturut-turut, lagi-lagi aku disalahkan,
aku menjadi kambing hitam oleh rekan satu timku. Aku jadi sasaran empuk untuk
disalahkan menggunakan kata-kata panas.
“Gimana
sih kamu!” jerit salah satu rekan timku. “Lo enggak bisa jaga yang benar ya!”
“Ah!
Yoshi mah!”
Aku
membela diri, “Ya, udah dong! Aku udah usaha!”
“Alasan
aja lo!” salah satu rekan satu timku mendorong hingga jatuh. Rasa sakit pun
muncul tiba-tiba ketika aku mendarat di rumput dengan keras.
“Hei!
Hei!” jerit salah satu pemain tim lawan.
“Jaga
aja kamu enggak becus lo!” jerit salah satu rekan satu tim seraya menampar
tanganku dengan keras, diikuti oleh dua teman dekatnya yang kebetulan menjadi
rekan satu tim.
Rasa
sakit itu, fisik dan mental, membuatku memanas, air mataku keluar, aku jadi ingin
menjerit, merengek sekeras mungkin.
“Nangis
lo! Nangis!” salah satu rekan satu tim menjewer telingaku.
“Woi,
udah, woi!” Kudengar ada teman yang ingin menghentikan perkelahian itu.
“Hei,
hei, hei!” guru olahraga menghampiri kami dengan wali kelas. “Jangan gitu dong.
Sportif dong!”
“Udah!”
wali kelas berjilbab merah itu menghampiriku, melepaskan jeweran dari sang
pelaku.
“Ah!
Cengeng banget sih jadi cowok!”
“Udah!
Mulai lagi! Main lagi! Ayo!” guru olahraga berkaos merah dan bercelana training putih itu membubarkan dan
menyuruh seluruh teman sekelasku melanjutkan permainan.
“Yoshi,
kamu kenapa?” salah satu teman cewek mengikuti aku dan wali kelas yang
memisahkan diri untuk duduk di pagar.
Wali
kelasku menyuruh, “Udah, kamu lanjut main aja ya. Ayo.”
“I-iya.”
“Yoshi.”
Sang wali kelas membujuk untuk berbicara sambil menepuk bahuku.
Aku
terengah-engah dalam berbicara, aku masih menangis, mengeluarkan air mata dan
tidak dapat menahan segala campuran emosi yang telah kualami selama bermain
bebentengan, “A-a-aku … udah … jaga … se-se-sebaik mungkin. Ta-tapi … me-mereka
… te-tetap nya-nyalahin aku! A-aku salah a-apa? Di-dibilangin … ja-jaganya
en-enggak ben-benar.” Aku meledakkan tangisanku.
“Yoshi.”
Sang wali kelas mengusap punggungku untuk memadamkan seluruh emosi yang telah
kuledakkan.
Inilah
kenapa … aku sebenarnya tidak ingin ikut main permainan olahraga tim, seperti
bebentengan, apalagi basket, apalagi futsal. Daripada aku terus menjadi
penyebab kekalahan tim sendiri, lebih baik aku tidak ikutan. Sejak saat itu,
setiap akhir pelajaran olahraga, aku tidak ikut bermain basket, futsal, atau
semacamnya, apapun yang melibatkan kerja tim.
***
“Yoshi?
Kamu kenapa?” Bang Fandy membuyarkan kilas balik yang baru saja kuputar.
“Eh?”
Aku tersadar dari kilas balik itu. “Ya … kepikiran juga yang tadi, Si Shinta.
Yoshi … jadi ingat ceritanya Sena pas dia disiksa. Ya … gimana ya? Kayak bisa
ngerasain juga gimana Sena pas disiksa sama ibu tiri.”
“Yoshi.
Mending … kita ke kamar aja deh. Istirahat aja. Oh ya, mau makan siang dulu?”
“Nanti
deh.” Aku menyusul Bang Fandy menuju kamarnya.
“Oh
ya … kamu … enggak apa-apa, kan?” Bang Fandy bertanya ketika aku sudah
menghadap pintu.
“Enggak
apa-apa.”
***
Hari
Senin yang bermasalah di itu akhirnya berakhir menuju ketenangan pada malam
hari. Hari yang melelahan fisik dan mental, masalah Shinta terhadap pacarnya
telah berakhir. Tetapi … hal ini akan menjadi salah satu kenangan yang tidak
ingin Shinta ingat sama sekali, sama seperti ketika Sena mengingat kembali
ketika dia disiksa Ayah dan ibu tirinya.
Meski
kenangan buruk merupakan masa lalu, kalau mendadak teringat, rasa seperti …
racun masuk ke dalam otak, begitu menyakitkan, pikiran akan terasa terpukul
palu, bagian tubuh akan juga ikut sakit saking tidak ingin mengingat kenangan
itu lagi. Masa lalu memang sudah berlalu, tapi … rasa sakitnya … tetap akan ada
di dalam pikiran. Itulah yang dinamakan sebuah trauma dari kejadian pahit.
Lampu
kamar Bang Fandy menyala memancarkan sinar putih, memancarkan jelas setiap
warna di sekitar dengan jelas. Bang Fandy mematikan laptopnya ketika dia
bersiap untuk berbaring di atas karpet di sampingku. Memang, jam sudah
menunjukkan jam sepuluh malam.
Aku
menyentuh kening Sena untuk memastikan apakah panasnya sudah benar-benar turun,
atau lebih singkatnya suhu tubuhnya kembali normal. Tanganku yang menyentuh
kulit kening Sena sama sekali tidak panas, berarti panasnya sudah turun.
Mungkin Sena sudah sembuh.
Bang
Fandy bangkit membujukku, “Udah agak lumayan turunnya sih. Ya … Sena tetap
harus istirahat buat jaga-jaga besok. Nanti … kita ke Surabaya-nya Rabu aja.”
“Bang.”
Aku menatap Bang Fandy. “Bolos sekolah sampai ke luar kota itu … kayak campur
aduk. Yoshi juga … kepikiran gimana … kalau teman-teman pada nanyain, apalagi …
kalau udah beberapa hari enggak masuk juga, jadi kepikiran gimana nasib Yoshi
entar. Ya … kan sekarang … dua minggu terakhir itu … pekan olahraga dan
kesenian di sekolah, jadi … udah enggak ada pelajaran.”
“Udah
deh. Entar, kalau misalnya mau ambil rapor entar, nanti Abang pikirin dulu. Kalau
mau kembali cuma buat ambil rapor, sok aja. Tapi … Abang pikir matang-matang
dulu. Apalagi kan … kamu enggak mau ketemu Ayah sama ibu baru kamu di sekolah.”
“Bang.
Kalau gitu … nanti Yoshi juga mikirin.”
Bang
Fandy menepuk pundakku. “Yosh, sorry ya,
udah melibatin kamu ke masalahnya Shinta tadi. Jadi enggak enak—”
“E-enggak,
enggak apa-apa, Bang. Justru … Yoshi enggak pengen Shinta berakhir kayak Sena,
apalagi lebih buruk,” aku memotong sambil mengangkat tangan kanan.
“Enggak,
Yoshi. Abang enggak enak kalau kamu juga jadi ikut-ikutan terlibat gini.
Mungkin … kayak enggak tepat juga pas ada masalah ginian—”
Aku
sekali lagi memotong perkataan Bang Fandy. Entah kenapa, aku ingin mengikat
erat Bang Fandy pada pelukanku, cukup canggung, apalagi kalau sama-sama cowok. Aku
ingin memeluk Bang Fandy agar bisa lebih tenang dalam memikirkan masalah.
Tujuanku melarikan diri hanyalah untuk menyadarkan Ayah kalau istri keduanya …
memang bermasalah dengan Sena. Kalau tidak bisa dengan kata-kata, terpaksa aku
melakukan hal ini, memberi hukuman pada ayahku sendiri.
Bang
Fandy tercengang ketika kuikat bahunya dengan tanganku pada pelukan. Kedua
matanya menatap pada wajahku, tidak tahu apa lagi harus dia katakan.
“Ma-makasih,
Bang—" ucapku mematahkan keadaan hening dan canggung, “—udah mau ngebantu
Yoshi.”
“Ya.”
Bang Fandy menepuk pundakku sekali lagi. “Woi, udah dong pelukannya, jadi awkward gini.”
“So-sorry.”
Aku melepas pelukan Bang Fandy yang kembali berbaring di atas karpet.
“Udah
gih. Ayo tidur. Pasti capek lah habis tadi.”
“I-iya,
Bang.” Aku berbaring di samping Bang Fandy, bersiap untuk tidur.
***
Akhirnya,
setelah beristirahat selama Selasa, kami akhirnya menyiapkan segalanya untuk ke
rumah Bang Fandy di Surabaya. Bang Fandy telah memasukkan beberapa pakaian,
peralatan mandi, dan handuk ke dalam tas. Beberapa buku dan lembaran kertas
yang telah menumpuk di dalam tasnya juga dia keluarkan.
“Ayo,”
ucap Bang Fandy ketika dia mulai menggendong tasnya.
“Iya,”
aku mengangguk ketika sudah menggendong tasku. Sena juga sudah memakai jaket
sebelum berangkat.
Kami
akhirnya keluar dari kamar kosan Bang Fandy. Ketika aku dan Sena melewati
tangga, Bang Fandy mengunci pintu kamar kosannya sebelum menyusul.
“Eh?
Pada mau balik nih?” tanya Richard yang sedang menonton siaran berita di ruang
tengah sambil memegang puntung rokok.
“I-iya
nih,” ucapku sambil menghampiri Richard. “Belum balik?”
“Gue
baliknya besok, masih ada ujian entar siang.” Richard kembali memasukkan bagian
belakang puntung rokoknya ke dalam mulut.
“Udah
pada balik nih?” tanya Bang Fandy ikut menghampiri Richard.
“Ada
yang belum.” Richard mengeluarkan asap putih dari mulut ketika berbicara.
“Komisi
Pemberantasan Korupsi telah memeriksa setidaknya enam orang tersangka terkait
kasus korupsi sebagian besar dana megaproyek nasional.” Kudengar suara news anchor membacakan berita di TV.
“Yoshi!
Yoshi! Itu Om Gunawan, bukan? Yoshi!” Bang Fandy tercengang ketika menatap
seseorang yang familiar pada layar
televisi.
Aku
menatap pada layar televisi. Aku tercengang, aku seperti ada yang menyilaukan
hatiku. Kutatap seorang bapak-bapak yang tengah beberapa wartawan dari media
televisi dan radio hampiri. Bapak-bapak itu berkacamata, wajahnya juga familiar. Ketika kutatap nama dari
narasumber itu, aku … tertegun ketika namanya adalah nama ayahku, Gunawan.
Ayahku
terlihat berbicara pada wartawan media sambil dikawal polisi, “Saya … yakin …
saya telah dijebak … karena … saya tidak mungkin melakukan hal sekotor itu.
Saya … menjadi penjabat … ya untuk melayani rakyat dong! Mereka cuma asal tuduh!
Mana buktinya! Mana bukti kalau saya melakukan korupsi! Kalau gini, berarti
saya dijebak dong sama mereka! Saya dijebak! Saya dijebak oleh KPK! KPK cuma
asal tuduh terus jebak saya! Saya dijebak oleh KPK!”
“Pak!
Pak!” Terdengar suara beberapa reporter berbondong-bondong bertanya.
A-Ayah
… jadi … tersangka … korupsi?
Comments
Post a Comment