While We Ran Away Episode 11
Untunglah,
Bang Fandy rela melewatkan lanjutan dari intervensi terhadap Shinta di ruang
tengah gedung kosan. Dia bahkan juga membelikan bubur ayam buat Sena setelah
membeli obat di apotek dekat kostan.
Bang
Fandy juga meminjam teko pemanas air bertenaga listrik dari teman satu
kostannya untuk merebus air minum, Sena memang harus banyak minum air hangat
karena tenggorokannya begitu gatal. Dia juga meminjam kompres putih yang sudah
diberi air hangat untuk meletakkannya pada kening Sena.
Aku
yang menyuapi setiap sendok bubur ayam pada Sena, meski pun begitu, Sena
memakannya sangat lambat, hingga buburnya tidak sampai habis, hanya menyisakan
setengah. Bang Fandy yang memberinya sesendok obat batuk dan demam berbentuk
sirup dan segelas air hangat. Bang Fandy menuangkan kembali air hangat dari
teko ke gelas setelah Sena menelan campuran sirup obat dan air hangat ke dalam
tenggorokannya.
Ketika
Sena sudah terlihat terlelap, aku merasa berat hati pada Bang Fandy. “Bang,
maafin Yoshi ya. Jadi ngerepotin lagi pas Sena sakit. Yoshi … juga enggak tahu
kalau bakal jadi kayak gini.”
“Yosh,
enggak apa-apa. Ini emang unexpected
kejadiannya. Jangan jadi enggak enak gitu dong, kan sama-sama saudara,” balas
Bang Fandy. “Oh ya, kalau misalnya besok belum baikan, entar pagi Abang antar
Sena ke klinik.”
Aku
menundukkan kepala sejenak. “Bang … gimana dong kalau pulangnya ketunda cuma
gara-gara kita ngerepotin Abang?”
“Enggak
apa-apa. Abang juga pengen Sena sembuh dulu sebelum pulang ke Surabaya. Apalagi
… kostan model kayak gini emang buat mahasiswa, bukan buat sekeluarga, apalagi
anak-anak kayak Sena. Kalau misalnya Sena bosan di kosan, entar Abang download kartun dulu, biar Sena bisa
nonton. Kalau TV di ruang tengah juga suka rame sama anak-anak yang lain, terus
Sena juga masih harus istirahat di kamar.”
Bang
Fandy membuka tas, mengeluarkan laptop dan meletakkannya di atas karpet. Dia
menyalakan laptop itu sekaligus memasang kabel router internet berwarna abu-abu sambil duduk.
“Bang,”
aku memanggil.
“Yosh,
syukurlah kamu minta Abang buat nginap di kosan.” Bang Fandy menepuk sebelah
kirinya, mempersilakan diriku duduk.
Aku
mulai duduk di samping Bang Fandy ketika laptopnya sudah menunjukkan desktop. “Bang, Yoshi sering rela bolos
buat ngerawat Sena sakit kayak gini, tapi … sekarang malah kerasa beda, apalagi
Yoshi sama Sena enggak lagi di rumah. Yoshi panik banget tadi, enggak setenang
pas di rumah.”
Bang
Fandy merangkul bahuku. “Yosh, tenang aja, Abang juga rela ninggalin sama
lewatin gimana intervensi ke Shinta-nya. Terus … pas Abang balik ke kosan,
intervensinya udahan. Abang juga … enggak sempat gimana pada akhirnya, apa …
Shinta emang bakal putus sama pacarnya yang emang udah toxic duluan. Abang harap sih … Shinta putusin aja itu cowok, ya
kalau emang sering mukul cewek, ya enggak bisa dong ngurusin dia.”
“Terus
… banyak yang bilang putusin aja gitu?” tanyaku penasaran.
“Ya
… cuma pengen Shinta mikir ulang, emang itu cowok pantas buat dia.
Ujung-ujungnya sih … pada minta yang terbaik buat Shinta, putusin aja itu
cowok. Udah emang kayak gitu hubungannya, tapi Shinta malah bersikeras kalau
dia masih cinta sama itu cowok. Jadi kesal juga.” Bang Fandy mengarahkan kursor
laptop untuk membuka browser internet.
Dia bertanya padaku sekali lagi untuk mengganti topik, “Oh ya, Sena suka kartun
apa?”
“Paling
… dia suka SpongeBob, dia sering
banget nonton.”
“Dia
udah nonton season 10-nya, belum?”
“Kayaknya
belum.”
“Oke
deh, Abang download season 10-nya.”
Bang Fandy.mengetik keyword SpongeBob
Season 10 dalam search engine.
“Lo
ngapain ke pacar lo?” Suara seorang gadis menganggu kami di depan kamar kostan.
“Lo emang enggak ngerti juga ya, Shinta?”
“Lo
ngapain sih ikut campur urusan orang lagi?” Akhirnya, aku mendengar bagaimana
suara Shinta.
“Lo
udah dibilang berapa kali, pacar lo emang toxic
ya!”
“Sorry ya, gue cuma ketemuan sama dia
buat ngomong. Lo repot-repot amat nanyain semuanya tadi, semuanya coba, pada
maksa gue buat putusin dia! Terus lo mau apa, Stella?” Shinta tetap angkuh.
“Kalau
dia udah kayak gitu ke lo, lo masih nganggap dia sayang lo apa?”
“Bang
Fandy?” panggilku. “Itu Shinta?”
“Ah,
udah deh! Daripada Sena keganggu.” Bang Fandy bangkit dan keluar dari kamar.
“Ini kenapa lagi?”
“Udah,
gue mau cabut deh! Gue cuma pengen ngomong sama cowok gue nih!” Kudengar langkah
kakinya setelah Shinta mengelak.
“Shinta?
Shinta! Woi!” panggil Bang Fandy begitu keluar dari kamar.
Aku
hanya menatap pintu, melihat Bang Fandy mencoba untuk menghentikan Shinta,
tetapi … tidak bisa. Stella yang kulihat memiliki rambut panjang dicat cokelat
tua mengungkapkan keresahannya pada Bang Fandy.
“Lo
lihat kan, Fandy? Dia masih aja enggak mau ngerti sama omongan kita pas
intervensi. Padahal dia yang tahu sendiri kelakuan cowoknya kayak gimana, tapi
dia tetap aja bilang dia masih cinta sama itu cowok toxic!”
Bang
Fandy menahan Stella. “Udah, Stella, udah. Sabar.”
“Mana
bisa sabar, Fandy! Gue tahu cowoknya Shinta itu emang bad boy dari SMA, ya cuma dari cover-nya
doang, kan? Tapi dalamnya? Enggak kayak yang diceritain di novel lah! Enggak
kayak di novel jebolan Wattpad. Kenyataannya, bad boy kayak dia juga
bahaya kalau gini terus ke Shinta. Terus … Shinta juga nganggap bad boy yang ada di novel juga sama aja
kayak di dunia nyata, cocok jadi pacarnya. Gue tahu Shinta enggak baik-baik aja
selama cowok itu … masih ada di dalam kehidupannya! Makanya, gue sebenarnya
pengen Shinta putusin aja itu cowok, biar enggak kapok lagi.”
“Stella,
udah. Ada saudara gue yang lagi—"
Stella
memotong perkataan Fandy, “Sia-sia aja buat ngadain intervensi ke Shinta kalau
ujung-ujungnya bakal gini! Ya kitanya juga pengen Shinta mikir ulang tentang
cowoknya, kalau bisa putusin aja itu—”
“Udah,
Stella, kita ngomonginnya nanti aja. Saudara gue lagi sakit.” Bang Fandy dengan
tegas memotong.
Stella
menggelengkan kepala sambil menghela napas, berbalik menuju kamarnya, sama
sekali tidak menerima apa yang telah sahabatnya lakukan dalam mengambil
keputusan. Bang Fandy menggosok-gosok rambutnya seraya kebingungan.
“Oh
ya, sorry banget tadi. Soal
intervensi tadi,” ucap Bang Fandy padaku.
“Enggak
apa-apa, Bang,” ucapku sambil mencari link
download setiap episode SpongeBob
Season 10.
“Emang
gini ya, kalau yang sering baca Wattpad atau novel-novel online lainnya. Jujur aja, Abang udah enggak tahan sama tren bad boy sama CEO kotor lah. Mungkin penyebabnya dari bacaan sih, jadinya
pikirnya kurang realistis. Lagian, ceritanya itu-itu aja lah.” Bang Fandy
mengambil ponselnya dan membuka aplikasi Wattpad.
“Abang
sering baca di sana?”
Bang
Fandy kembali duduk di sebelahku. “Abang kadang baca juga. Tapi … cerita bad boy sama CEO udah bikin Abang risih.
Katanya … banyak cerita bad boy atau
enggak CEO yang ngegambarin hubungan … apa ya … masokis gitu, gampangnya toxic. Heran juga kenapa banyak anak
muda yang suka cerita gituan. Ya, bisa aja kalau terjadi di kenyataan,
ujung-ujungnya malah … kayak Shinta lah contohnya. Pantas aja negeri ini enggak
mau maju-maju kalau cuma bergantung sama tema itu-itu aja dalam bacaan.”
“Bang.”
Aku
mengerti memang kebanyakan kenyataan tidak sesuai dengan kebanyakan karangan,
apalagi cerita. Aku memang menganggap cerita ibu tiri jahat itu hanya cerita
belaka, memang … ini menjadi stereotip dalam cerita kalau ibu tiri haruslah
jahat, beberapa dari pembacanya justru menganggap demikian. Ujung-ujungnya …
Sena menjadi korban siksaan ibu tiri.
Aku
kembali membayangkan bagaimana seharusnya keluargaku kembali bahagia berkat
kedatangan Wilhelmina, sang ibu tiri, menganggap bahwa cerita ibu tiri jahat
hanyalah bayangan hasil dari cerita, baik itu dongeng, novel, atau drama.
Tetapi, kenyataan berkata lain, ada yang salah dengan Wilhelmina ketika aku
menyadari beberapa pertanda dari Sena, apalagi setelah mendengar penjelasannya.
Ayah juga tidak ingin mendengar kenyataan bahwa istrinya telah berbuat jahat
pada Sena.
Apakah
setiap cerita karangan setiap orang merupakan representasi dari kenyataan?
Apakah kenyataan memang harus berbeda dari cerita karangan, bahkan melampaui
ekspektasi?
“Yosh,
kalau misalnya mau baca novel, usahain jangan baca bad boy sama CEO ya. Pasti ada cerita yang lebih baik daripada
cerita-cerita enggak jelas itu. Ya, banyak banget cerita gituan nongol di
posisi teratas di Wattpad. Mendingan anti-mainstream
aja,” pesan Bang Fandy.
“Iya,
Bang. Yoshi ngerti maksud Abang. Lagian … Yoshi juga kurang suka baca novel,”
jawabku.
“Oh
ya, Yosh. Nanti malam mau dibeliin makan apa? Mau delivery aja?”
“Paling
… kalau buat Sena … bubur atau sup, kalau ada itu.”
“Delivery aja berarti ya,” ucap Bang
Fandy ketika aku menge-klik tombol download
pada salah satu episode SpongeBob.
***
Siang
pun akhirnya berlanjut hingga sore, bahkan sampai malam. Ketika sore telah
mulai menyingsing, Sena akhirnya bangun dari lelapnya tidur, meski dia masih
sering batuk. Aku dan Bang Fandy berganti-gantian membawakan segelas air hangat
buatnya.
Menunggu
hingga sore berakhir menjadi malam, Bang Fandy mengajak Sena untuk menonton
semua episode SpongeBob yang sudah
dia download. Sena tercengang ketika
menyadari bahwa tidak ada episode SpongeBob
yang dia sedang tonton pernah dia lihat. Semuanya episode baru bagi Sena.
Aku
juga ikut menonton sambil duduk di dekat Sena di kasur, dapat menikmati Sena
dapat kembali tertawa ketika menatap adegan atau dialog lucu baginya. Bang Fandy
juga ikut berkomentar tentang beberapa adegan dari setiap episode.
Kurasa
… Sena sudah cukup baikan, meski dia masih batuk, suhu tubuhnya juga … sudah
lebih baik, masih sedikit panas. Sena juga masih harus beristirahat untuk
sementara waktu. Tinggal menunggu waktu yang pas buat berangkat ke rumah Bang
Fandy di Surabaya.
“Oh
ya, udah nyampe delivery-nya,” ucap
Bang Fandy ketika membaca SMS masuk.
“Bang,
Yoshi aja yang ngambil ya,” aku mengajukkan diri sambil bangkit.
“Enggak
usah, biar Abang aja.”
“Enggak
apa-apa kok, Bang. Nanti Yoshi aja yang bayarin.”
“Eh?
Enggak usah, Yosh.”
“Enggak
apa-apa kok, Bang.”
Aku
keluar dari kamar sambil mengeluarkan dompet, mengeluarkan berapa banyak uang
yang harus dibayar sambil menuruni tangga. Kulihat petugas delivery berseragam merah hitam
telah berdiri di depan pagar membawa seplastik isi tiga bungkus kotak
makanan menyerupai bento makan siang dan sebungkus isi semangkuk putih sup
hangat.
“Sore,
Kak,” sapa petugas delivery itu.
Aku
mengambil bungkus makanan itu sambil membayar semuanya. Karena tidak ingin
merepotkan, aku beri semua uang kembalian pada petugas delivery itu sambil mengangguk tersenyum.
Kuletakkan
kembali dompet di dalam saku sambil membawa dua plastik masing-masing berisi
makanan dari delivery. Begitu aku
hampir mendekati tangga, suara debrakan kaki mendengung menuju telinga.
Aku
berbalik menatap sumber suara itu. Benar saja, seorang gadis melangkah memasuki
rumah dengan mempercepat langkah. Gadis itu terlihat mengeluarkan air mata
sambil gemetar, aku tercengang ketika dia memegang tangan kirinya, dia meringis
menahan tangisan sambil menyilangkan kedua tangan di dada. Jangan-jangan … itu
benaran Shinta?
Aku
tercengang menatap wajahnya. Gadis berambut bang
ikal panjang itu memiliki lebam di dekat bibir dan di dekat mata kanannya.
Entah kenapa, aku kembali terbayang cerita yang Sena bilang di rumah sakit.
Sebuah bayangan cerita entah kenapa kembali muncul di dalam otakku.
“Shi—”
Aku memanggilnya.
“Shinta!”
beberapa penghuni kosan yang berada di ruang tengah menemuinya setelah menatap
Shinta dengan khawatir.
Salah
satu penghuni cowok bertanya, “Shinta, lo kenapa?”
“G-gue
… dipukul,” jawab Shinta terengah-engah.
“Sama
cowok lo, kan?” tebak salah satu gadis penghuni kosan.
Shinta
menghindari pertanyaan itu, “G-gue … pengen ke kamar. Gue pengen sendiri.”
“Tuh
kan, dibilang juga apa!”
“Woi!
Jangan gitu ngomongnya!” bentak Stella. “Shinta, lo ngomong aja lo kenapa.
Cowok lo—”
“Enggak,
gue pengen sendiri dulu.” Shinta menggeleng dan menaiki tangga.
Stella
mulai blak-blakkan, “Ah! Kalau aja Shinta enggak ngebantah cowoknya toxic banget sama dia, hal ginian enggak
bakal terjadi!”
“Udah,
Stella, udah. Udah telanjur terjadi,” ucap salah satu penhuni cowok berambut
hitam pendek berkulit mulus.
“Gue
tahu, Richard! Ya, habisnya dia udah gue larang ketemu sama dia, eh, malah gini
jadinya!” bentak Stella.
“Shinta,
lo kenapa?” kudengar Bang Fandy bertanya pada Shinta.
Aku
terdiam, tidak tahu aku berada di dalam posisi apa. Aku ini memang asing di
kosan ini, hanya sebagai tamu, tidak tahu apalagi yang harus kukatakan. Aku
benar-benar kehabisan ide ingin bertanya seperti apa pada mereka tentang Shinta.
***
Kusisihkan
masalah Shinta dan pacarnya sejenak ketika aku, Sena, dan Bang Fandy menikmati
makanan dari delivery. Menunya adalah
nasi putih dengan potongan ayam krispi bersaus yakiniku dan salad sayuran, Buat
Sena, ditambah cream soup karena dia
harus makan yang hangat terlebih dahulu agar tenggorokannya bisa lebih enak.
“Kak,
itu tadi kenapa ya di bawah?” Sena bertanya.
Aku
kebingungan, ini mungkin seharusnya tidak Sena ketahui. Anak SD memang
seharusnya tidak mengenal dunia pacaran ataupun soal cinta. Sayang sekali, sinetron
percintaan sudah mencemar kebanyakan anak SD, apalagi novel-novel percintaan
tentang kisah cinta anak SMA atau orang dewasa. Ini sebenarnya bukan urusan
anak-anak, melainkan orang dewasa.
“Sebenarnya
ini masalahnya orang dewasa, tapi … ya tahu kan kenapa dulu Ayah sama Ibu
nikah, ya itu karena mereka saling jatuh cinta,” jawab Bang Fandy.
“Bang!”
Aku memukul pelan bahu Bang Fandy.
“Fandy,”
panggil Richard mengetuk pintu pelan.
“Eh,
Richard.,” balas Bang Fandy.
“Sorry banget, man. Jadi ngeganggu saudara lo juga, ya gara-gara masalah tadi sih,
soal cowoknya Shinta.”
“Enggak
apa-apa, man,” jawab Bang Fandy
bangkit setelah menyelesaikan makan dan mengajakku untuk menemui Richard. “Kenalin,
ini Yoshi. Yang lagi di kasur, Sena.”
“Yoshi.”
Aku berjabat tangan dengan Richard.
“Richard.”
Richard membalas jabat tanganku.
“Itu
… Sena kenapa tuh?” Richard menunjuk Sena dengan menganggukkan kepala.
“Oh,
dia lagi demam sama batuk, ya … dia udah rada mendingan, tapi … masih butuh
istirahat juga.” Bang Fandy mengambil dua kotak bento hitam kosong dan menumpuknya.
“Richard,
si Shinta-nya masih enggak mau buka pintunya!” sahut Stella dari hadapan pintu
kamar Shinta.
“Udah
tidur kali,” Richard menyimpulkan.
“Enggak
ah! Ada suara kok, dia belum tidur,” bantah Stella. “Shinta? Buka dong
pintunya. Kita mau ngomong sama kamu baik-baik. Please!”
“Itu
cowoknya Shinta emang terlalu banget, kalau emang dia yang ngebuat Shinta kayak
tadi.” Richard menggelengkan kepala. “Emang toxic
banget itu cowok.”
Kudengar
suara putaran kunci pada pintu kamar sebelah, berarti … Shinta membuka kunci pintu.
Kami tercengang ketika Shinta memutuskan untuk membuka pintu setelah Stella dan
Richard menunggu lama agar bisa berbicara dengannya.
“Shinta
….” Kudengar suara Stella.
“Oh
ya, gue barengan Stella pengen ngomong ke Shinta dulu deh,” ucap Richard.
Entah
kenapa, aku juga masih penasaran dengan keadaan Shinta. Aku bangkit dari karpet
dan menatap Bang Fandy meninggalkan kamar dan membuang sampah di sebelah pintu
kamar.
Aku
ikut keluar ketika Bang Fandy juga mengunjungi kamar Shinta. Bang Fandy justru
mempersilakan aku untuk masuk dengan memberi isyarat tangan. Kulihat Stella
sudah duduk di samping Shinta di tempat tidur, sementara Richard berjongkok
menatap mereka, dan Bang Fandy hanya berdiri.
“Emang
Alex … yang udah ngebuat gue jadi gini.” Akhirnya, aku tahu siapa nama pacar
Shinta. Shinta histeris meledakkan air mata ketika ingin bercerita,
“Terus,
udah dibilangin cowok lo kayak gitu, ya kenapa lo pengen ketemuan sama dia?”
tegur Stella.
“Gue
… pengen ngomong baik-baik sama dia. Gue tahu dia cinta sama gue, gue cuma
pengen minta … dia berubah. Lo pada benar, bad
boy yang jadi pacar gue … enggak kayak di novel kebanyakan. Gue tahu gue
salah, gue kekecoh. Tapi … dia emang kayak gitu, terus … gue pengen dia beru—”
Richard
memotong, “Enggak, Shinta. Kalau cowok emang cinta sama ceweknya, ya pasti dia
enggak bakal ginian sama lo.”
“Jadi
… mau gimana sekarang?” tanya Bang Fandy.
“Telepon
polisi aja?” Richard menawarkan solusi.
“Enggak,
enggak. Jangan. Gue … mau putus aja sama Alex. Kalau itu mau lo, kalau pada
mau, gue SMS, gue putusin dia aja.” Shinta mengambil ponselnya.
“Shinta,
lo pikir lagi deh,” Stella membujuk. “Putus lewat SMS itu bukan solusinya lah!
Mending ngomongin aja kalau lo emang mau putus secara langsung, baik-baik lah.”
“Ma-maafin
gue ….” Shinta kembali histeris mengeluarkan air mata.
“Udah,
Shinta. Udah.” Stella memeluk Shinta untuk menenangkannya sambil menepuk kedua
bahu.
Entah
kenapa, mendengar Shinta bercerita … mengingatkanku ketika Sena bercerita di
rumah sakit tentang siksaan ibu tiri dan Ayah. Memang … seorang pria, apalagi memiliki
sejarah sebagai bad boy, bisa menjadi
toxic ketika berurusan dengan wanita
dan anak-anak yang sering menjadi pelampiasan emosi.
Aku
begitu kasihan pada Shinta, aku bisa merasakan penderitaan yang sama seperti
Sena melalui ceritanya. Bedanya, dia memang disiksa oleh pacarnya sendiri, sama
sekali belum terikat sumpah penikahan dan keluarga.
Memang
… kenyataan … tidak ada yang bisa mengatur sama sekali. Semuanya terjadi begitu
saja.
Comments
Post a Comment