While We Ran Away Episode 7


Awal Baru



Aku ingat ketika tidak menyangka Ayah mengumumkan kalau dia akan menikahi Wilhelmina. Padahal Ayah sama sekali tidak memberitahuku, apalagi Sena. Pengumuman itu tiba-tiba terlontar dari mulut Ayah ketika membawa Wilhelmina pulang ke rumah. Aku paham Sena butuh figur sang ibu, kupikir hal itu akan menjadi awal baru yang baik untuk keluargaku.
Pernikahan pun akhirnya terjadi ketika liburan tengah tahun, ketika aku baru naik kelas 2 SMA. Sebenarnya, Ayah ingin pernikahan yang sederhana, tidak ada sesuatu yang mewah dan mengagumkan. Tetapi, karena tekanan dari sesama pejabat politik, apalagi mendengarkan saran dari Wilhelmina, akhirnya pernikahan itu berlangsung di hotel bintang lima. Harga sewanya cukup fantastis untuk menyewa aula hanya demi resepsi pernikahan mewah.
Kuingat aula yang dipakai untuk pernikahan Ayah membuatku tidak bisa berkata-kata, apalagi setiap tamu, teman dan keluarga, tertegun ketika menatap gerbang masuk berbunga-bunga menuju resepsi pernikahan.
Hampir semuanya serba putih, pilar, tirai, taplak meja, hingga panggung tempat untuk sekadar memberi selamat pada pengantin dan mempelai. Bunga-bunga bermekaran turut membuat dekorasi resepsi pernikahan menyegarkan mata, apalagi sebagai pagar pada karpet merah jalan menuju panggung.
 Sebenarnya, kebanyakan tamu yang diundang menghadiri setiap resepsi pernikahan datang hanya untuk alasan sederhana, makanan gratis, apalagi seluruh hidangan berselera di resepsi pernikahan Ayah benar-benar elegan dari pandangan, dan menakjubkan begitu tiba di lidah setiap gigitannya, terutama makanan Barat, mahal tapi cara membuatnya sebenarnya cukup mudah.
Sebagai keuntungan tamu resepsi pernikahan, setiap tamu berbondong-bondong hanya mengambil beberapa piring hidangan berselera, termasuk Sena juga yang ketagihan makan, hampir semua yang dia suka dia ambil sepiring, mulai dari siomay, sate ayam, spageti, steak, hingga puding dan es krim. Aku sampai berpikir dua kali kenapa Sena bisa makan sebanyak itu.
Aula hotel itu sangat ramai, banyak percakapan sambil menikmati hidangan, seluruhnya terdengar ketika aku berjalan-jalan sejenak, melihat-lihat apa lagi hidangan berselera yang ingin kumakan.
“Yoshi!” panggil seorang pemuda di belakangku.
Aku berbalik merespon panggilan itu, suaranya begitu familiar.
“Lho? Bang Fandy?” Aku membalas sambil berjabat tangan.
“Udah lama enggak ketemu!” Bang Fandy membalas jabat tangan sampai memelukku.
“Kirain enggak bakal ke sini. Kirain Ayah enggak undang Bu De!”
“Ya, tetap lah. Hubungan keluarga harus tetap jalan!”
Bang Fandy adalah sepupu dari keluarga mendiang Ibu. Sejujurnya, dia adalah saudara terdekat yang bisa kuandalkan ketika berbicara tentang segala masalah dan pengalaman. Dulu, Bang Fandy sering mengunjungi kami bersama keluarganya sebelum Ibu meninggal dunia karena kecelakaan. Setidaknya, dari kecil Bang Fandy dan aku sering sekadar hang out, kadang-kadang memisahkan diri dari yang lain.
Meski terakhir kali kumenemuinya saat pemakaman Ibu, setidaknya aku lega Ayah dapat mengundang Fandy dan keluarganya. Sudah sekian lama aku tidak berbicara langsung dengannya, kami hanya berbincang-bincang lewat chat, entah itu lewat LINE atau WhatsApp.
Fandy pernah berbicara padaku kalau dia hanyalah anak angkat, pantas saja dia memiliki wajah oriental jika dibandingkan dengan keluarganya. Rambutnya pendek, sisi kiri dan kanan rambutaya benar-benar tipis. Tubuhnya bahkan lebih kekar sejak terakhir kali kumelihatnya. Dia memang sering ikut aktivitas klub olahraga di sekolah.
“Udah gede aja kamu,” Bang Fandy mengesekkan tangan kanan pada rambutku. “Makan banyak enggak?”
“Enggak juga sih. Sena yang makan banyak. Oh ya, Bang Fandy … lebih berotot.”
“Ya … sering olahraga juga sih, akhir-akhir ini sering ikutan klub badminton! Oh ya, Yoshi.”
“Eh?” Kulihat Bang Fandy mulai merangkul bahuku.
“Abang senang banget kamu dapat ibu baru. Abang juga senang ngelihat Sena mulai bisa bahagia. Ya, Abang juga lihat Sena makannya banyak banget. Kamu juga harus makan banyak dong! Mumpung gratis!”
“Iya. Bingung juga mau makan apa lagi, tapi … takut kenyang juga.”
“Ah! Enggak usah mikirin kenyang apa kagak! Makan aja sepuasnya! Abang juga puas juga udah makan banyak, tapi belum cobain semua!”
“Ah! Entar gendut lagi lho!”
“Oh ya, Yoshi. Selamat ya buat pernikahan Om Gunawan. Punya Tante lagi nih.”
“Makasih, Bang. Terus … kata Ayah, IPK Abang bagus. Enak banget jadi anak kuliah, jadwalnya banyak kosong, terus … enggak perlu repot.”
“Ya, enggak juga kali!” Bang Fandy memukul pelan bahuku. “Ya, banyak yang mikir kuliah itu enak, tapi … sebenarnya repot dari tugas terus ikut himpunan, Abang juga ikut klub badminton lah. Rajin-rajin aja masuk, terus ngerjain tugas, biar impress dosennya. Mumpung masih SMA kamu, nikmati masa-masa indah yang bakal kamu alami, sambil kerja keras juga buat masuk PTN kayak Abang.”
“Ya.” Aku berbalik menatap Fandy secara langsung. “Yoshi bakal berjuang yang terbaik. Terus … habis itu, Yoshi bakal masuk negeri kayak Unpad atau enggak UNJ, atau enggak UI kali.”
“Gitu dong! Usaha keras, tapi ada kalanya kamu santai aja ya. Nikmatin aja. Pas kuliah, pasti kepikiran pengen balik ke masa SMA. Apalagi, kamu udah punya ibu baru. Pokoknya, nikmatin aja.”
“Ya!”
Itulah terakhir kali aku bertemu Bang Fandy dan keluarganya, saat pernikahan Ayah dengan Wilhelmina yang menjadi ibu tiri. Kupikir dari situ … semuanya akan berjalan lancar, kami mungkin akan menjadi keluarga bahagia lagi.
Tapi … kenyataan tidak sesuai ekspektasi, ibu tiri yang kumiliki ternyata sama saja seperti di kebanyakan cerita. Ibu tiriku … ternyata telah menyiksa Sena. Entah kenapa, Ayah juga membela ibu tiri sampai-sampai harus ikut-ikutan menyiksa Sena, aku tidak tahu apa alasan mengapa Ayah melakukan hal keji seperti itu.
***
“Bangun, Mas.” Tepukan seorang petugas seolah membawaku kembali dari mimpi menuju kenyataan.
Mataku terbuka secara cepat, tercengang ketika diriku telah mengira mimpi sebagai sebuah kenyataan alternatif. Pikiranku seakan kosong ketika kutatap petugas dari sisi kanan. Tubuhku terasa berat hingga menusuk otot, mungkin karena aku tidur dalam posisi duduk selama perjalanan. Mataku juga masih berat ketika mengedip, seakan-akan tidak puas setelah tidur.
“Udah mau sampai,” ucap petugas bis itu yang berlalu untuk membangunkan penumpang lain.
Mimpi? Apakah mimpi itu mengingatkanku dalam bentuk flashback? Bang Fandy? Entah kenapa, aku bermimpi bertemu Bang Fandy lagi, hanya saja itu pada masa lalu, saat pernikahan Ayah dengan Wilhelmina.
Aku menatap Sena masih tertidur, kepalanya masih bersandar di dekat jendela. Kulihat bus mulai mempelankan langkah ketika akan memasuki terminal pemberhentian. Ya, kami telah tiba di Jogjakarta, kota destinasi kami untuk melarikan diri. Aku tahu, aku punya sebuah alasan mengapa Jogja menjadi destinasi kami.
Kutepuk pelan pundak Sena seraya membangunkannya. “Sena? Sena?”
“Uh ….” Sena membuka mata hingga menggerakkan kepala menjauh dari sandaran bawah jendela.
“Udah mau sampai. Siap-siap.”
Memang, ini adalah pengalaman berbeda, jauh berbeda jika dibandingkan ketika aku berangkat ke luar kota bersama Ayah dan Ibu. Bahkan sebelum Ibu meninggal, Ayah sering rela cuti untuk berkunjung ke rumah Bang Fandy di Surabaya, begitu jauh hingga kami rela menginap selama long weekend. Atau sebaliknya, Bang Fandy dan keluarganya juga ikut menginap ketika berkunjung ke rumah saat libur panjang.
Sebelum tidur pada malam keberangkatan, aku juga terpikir … apakah akan aman jika berangkat tanpa orangtua. Ini pertama kalinya bagiku, apalagi Sena, berangkat ke luar kota tanpa pengawasan orangtua sama sekali.
Aku mengecek ponsel ketika Sena menatap ke arah jendela bahwa bus telah memasuki daerah terminal dengan perlahan, mencari tempat parkir. Kutatap menu aplikasi pada layar ponselku, ya, aplikasi chat seperti WhatsApp dan LINE telah kuhapus semua, aplikasi media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram juga kuhapus. Semua kontak juga telah kuhapus, termasuk teman sekelas dan dari English Club, kecuali satu, Bang Fandy. Aku hanya bisa menghubungi Bang Fandy lewat telepon dan SMS. Aku juga sengaja tidak membeli paket data internet.
Cukup aneh ketika kuanggap hanya Bang Fandy yang bisa kuandalkan dan kupercaya. Mungkin saja ini berisiko, aku bisa saja kembali ke kota asal dan menjalani kehidupan bagaikan neraka, Sena bisa saja tersiksa kembali. Aku hanya ingin adikku aman dari siksaan mereka, apalagi dari ibu tiri yang ternyata berbahaya baginya.
Sebuah notifikasi SMS masuk terlihat pada layar ketika kulihat kembali kontak. Kutekan notifikasi untuk membaca pesan dari Bang Fandy.
Sorry baru bls, Yosh. Hari ini Abang sampai mlm latihan badminton. Paling besok Abang kosong. Ujiannya tinggal Senin doang.
Aku segera membalas, Yaaaa… Yoshi udah keburu nyampe.,Bbsk Yoshi ke kampus Abang ya
Oke, aku tidak bisa menginap di kosan Bang Fandy malam ini, berarti aku harus mencari penginapan untuk sementara. Kalau mengingat jumlah budget yang kucuri dari Ayah, aku tidak bisa boros hanya untuk menyewa kamar hotel mahal, apalagi yang sudah terkenal dan mewah.
“Kakak?” panggil Sena. “Nanti kita … ke kosannya Bang Fandy habis ini?”
Aku menjawab, “Uh … Bang Fandy-nya lagi ada acara sampai malam. Jadi … kita bakal cari penginapan.”
“Hotel?”
“Iya, Sena. Kita bakal cari tempat buat istirahat. Kakak juga enggak puas tidurnya. Sena juga, kan?”
“Jogja! Jogja! Harap periksa kembali barang bawaan Anda!” seru petugas ketika bus yang kami tumpangi telah parkir.
“Ayo, Sena. Kita sarapan dulu.” Aku mengambil tas sebelum bangkit mengajak Sena keluar dari bus.
***
“Dua nasi gorengnya, De, silakan.”
Dua piring nasi goreng telah tersaji di meja hadapanku. Karena belum sarapan, aku mengajak Sena untuk makan di warung dekat terminal bus. Kebanyakan warung makan dekat terminal merupakan lapak kaki lima, tempat duduknya beratap … mungkin kain biru, aku tidak yakin atapnya terbuat dari apa, kurang lebih menyerupai tenda.
Kutatap sepiring nasi goreng yang telah mendarat di hadapanku. Bumbu nasi goreng berkecap manis mewarnai setiap butiran nasi bercampur telur orak-arik dan sayuran, kebanyakan wortel, buncis, dan bawang, Setidaknya tampilan sepiring nasi goreng seperti yang kulihat benar-benar khas pedagang kaki lima, mungkin tidak seelegan di restoran.
Aku mengangkat tangan pada seorang pedagang yang merupakan seorang wanita berjilbab merah. “Oh, maaf, Bu. Apa di sini ada yang tahu penginapan murah?”
“Oh, ada. Nanti saya panggilkan ya. Mau sekarang?”
“Nanti aja, Bu. Habis makan aja.”
“Berapa semuanya, Bu?” salah satu pelanggan yang telah menyelesaikan makan bertanya.
“Dua empat ribu, Mas,” jawab wanita itu.
Kutatap Sena hanya mengaduk-aduk sepiring nasi gorengnya di sampingku, sama sekali belum memasukkan sesuap ke dalam mulut. Sial, aku lupa, nasi gorengnya juga bercampur sayuran, harusnya aku bilang buat dia tidak pakai sayuran.
Dengan tenang, aku bertanya, “Enggak makan, Sena?”
Sena hanya terdiam, masih menggerakkan sendok hanya untuk mengaduk nasi gorengnya. Hiasan sayuran pada sepiring nasi gorengnya kini seperti terselimuti butiran nasi berwarna coklat.
“Kalau enggak mau makan sayurnya, sisihin aja, entar Kakak aja yang makan.”
Sena menggeleng. “Bukan, Kak. Sena … kangen ….”
“Sena.” Kurangkul bahunya. “Kakak ngerti kita enggak di luar kota sama Ayah, ini juga pertama banget buat Kakak.”
“Bukan, Kak. Sena … kangen … masakan Ibu.”
“Ibu?”
Mendadak, aku teringat setiap kenangan ketika Ibu selalu memasak untuk kami. Sejak kedatangan ibu tiri, jarang ada yang memasak makan untuk keluarga, hanya mengandalkan delivery dari restoran atau hanya beli di warung. Ibu sering sekali memasak makanan enak untuk keluarga, terutama nasi goreng untuk sarapan saat akhir pekan. Ketika menatap nasi goreng yang berada di hadapanku sekali lagi, aku ingat bagaimana rasanya, gurih, asin, dan manis bercampur dengan kasih sayang. Aku yakin, kasih sayang dari Ibu dulu menambahkan rasa enak dan nikmat ketika memakan setiap suap masakannya, terutama nasi goreng buatannya.
“Kakak juga kangen masakan Ibu. Ya, ini penampilannya mendekati buatan Ibu, jadi … anggap aja Sena makan nasi goreng buatan Ibu pas weekend. Hari Sabtu kan ini? Ya, emang beda banget sama buatan Ibu, tapi Sena anggap aja gitu, biar bisa nafsu makan. Nah, ayo makan.”
“I-iya, Kak.” Sena mulai memasukkan sesuap nasi gorengnya. “E-enak banget, Kak.”
Aku mengangguk. “Iya, gitu dong. Habisin ya. Kalau enggak suka sama sayurnya, sayurnya buat Kakak aja ya.”
“Enggak usah, Kak. Sena … juga suka sayurnya,” ucapnya sambil menikmati satu suap lagi.
Giliranku untuk memasukkan suapan pertama pada mulutku. Kuambil sesendok beberapa butiran nasi dan potongan telur dan sayuran dan memasukkannya ke dalam mulut. Rasa asin, gurih, dan manis dari resapan bumbu pada nasi bercampur kesegaran dari sayuran mendarat di lidah. Rasanya … mungkin tidak mirip dengan buatan Ibu, karena … rasa kasih sayang … tidak semirip buatan Ibu.
Aku menatap Sena mulai cepat melahap nasi goreng di hadapannya, dia telah menganggapnya sebagai nasi goreng buatan Ibu. Kalau saja Ayah bisa masak … mungkin … keluargaku tidak akan bergantung pada delivery, restoran, atau warung. Kalau saja Ayah bisa menambahkan kasih sayang pada masakannya dulu, aku tidak tahu apakah Sena akan bernasib lebih baik.

Comments

Popular Posts