While We Ran Away Episode 8
Bantuan
Membutuhkan
waktu cukup lama agar mecari hotel yang setidaknya tidak menghamburkan banyak
uang, apalagi aku tidak ingin boros uang terlalu cepat. Aku tahu kebanyakan
kamar hotel bintang lima pasti harganya fantastis hingga uangku tidak cukup. Apalagi
ini adalah uang yang kucuri dari Ayah, beberapa lembar uang masih berada di
dalam dompetku, harus cukup untuk makan, apalagi tidur.
Rencanaku
untuk meminta bantuan Bang Fandy belum berjalan sama sekali. Bang Fandy bilang
lewat SMS dia akan ada kegiatan klub badminton sampai malam, paling tidak
tengah malam. Sebenarnya aku hanya ingin mengeluarkan uang hanya untuk makan
dan transportasi, sayang sekali, terpaksa aku mencari hotel yang murah.
Setelah
selesai memakan nasi goreng dan membayarnya, ibu penjaga warung memanggil
seorang bapak-bapak yang mungkin tahu tentang hotel. Bapak-bapak itu rela
mengajakku dan Sena menumpang di mobilnya hanya untuk mencari hotel.
Satu
per satu hotel kami datangi, setidaknya hotel murah. Tapi … aku bingung apakah
ada yang lebih murah daripada setiap hotel yang kami datangi. Katanya, kamar
hotel termurah seharga 150 ribuan, sementara aku … tidak ingin kehilangan
beberapa lembar uang begitu cepat. Lebih buruknya, kamar hotel termurah banyak
yang sudah fully booked ketika mengunjungi
satu per satu hotel, entah karena ini weekend
atau bukan, pasti banyak yang berkunjung ke Jogja sambil menginap setelah
merasakan penat pada akhir semester.
Tidak,
pokoknya aku tidak ingin kembali lagi, jangan sampai. Pokoknya aku harus cari
hotel murah agar Sena bisa tidur dengan tenang, tidak terganggu lagi oleh
siksaan ibu tiri. Aku ingin Sena tetap aman bersamaku apapun yang terjadi.
“Oh!
Halo?” Bapak-bapak yang rela mencarikan kami kamar hotel murah berbicara lewat
telepon. “Oh ya! Di sebelah mana?”
“Sabar
ya, Sena. Bentar lagi ketemu.” Itulah kata-kata yang hanya bisa kuucapkan saat
ini pada Sena, mungkin akan menjadi sebuah kebohongan demi menenangkannya.
Ini
dia, berkeliling kota lagi hanya demi sebuah tujuan, hotel yang mungkin akan
menjadi tempat singgah kami untuk malam ini. Semoga saja harga kamar hotelnya
murah dan tidak penuh.
Begitu
tiba, halaman hotel yang kami kunjungi bukanlah sebuah gedung dengan faktor
wow, malahan lebih sederhana dari itu. Tidak banyak mobil yang parkir di depan
halaman hotel. Kalau tidak salah, atapnya mirip rumah adat tradisional di
Jogja, pokoknya bagian atap pada setiap sisi atap seperti bertanduk lancip.
“Tumben
sepi,” ucap bapak-bapak itu seraya parkir dan mematikan mesin mobil. “Semoga
benaran enggak penuh ya, Mas.”
Aku
dan Sena turun dari mobil dan memasuki hotel itu sambil membawa tas, memasuki
ruangan depan dari hotel itu, ruang akomodasi. Aku berharap setidaknya masih
ada kamar kosong kalau harga sewanya murah.
Ah
… aku baru ingat, aku bisa saja cari di internet untuk mencari promo kamar
hotel murah. Tapi … internet di ponselku sengaja tidak kuaktifkan sama sekali,
aku hanya mengandalkan bapak-bapak yang rela membantuku mencari kamar hotel
murah.
Beruntung,
kamar murah masih ada, kamar kelas ekonomi, sudah termasuk sarapan, seorang
resepsionis berseragam putih dengan ramah mengatakan bahwa kamar seperti itu
masih tersedia, setidaknya, aku tidak perlu mengeluarkan begitu banyak lembar
uang pecahan seratus ribu.
“Ini
kuncinya, Mas,” sang resepsionis memberikanku sebuah kunci kamar hotel.
Mengingat
aku masih SMA, tentu kuanggap aneh kalau diriku menyewa kamar hotel tanpa
pengawasan orang dewasa, apalagi orangtua. Dengan canggung, kuterima kunci itu
sambil tersenyum.
“Te-terima
kasih,” ucapku sambil mengangguk-angguk. Kutatap bapak-bapak yang telah
menolongku mencari hotel murah sambil berterima kasih. “Te-terima kasih, Pak,
udah bantu cari kamar.”
“Sama-sama,
Mas. Oh ya, enggak sama orangtua ke sininya?”
Aku
lagi-lagi berbohong, “Um … lagi pengen liburan sendiri, Pak.”
“Baiklah,
Mas. Saya pamit.” Bapak-bapak itu meninggalkan ruangan depan hotel.
***
“Akhirnya
bisa tiduran, Kak!” seru Sena mulai berbaring di tempat tidur bersprei putih
dengan motif mirip batik berwarna cokelat menghadap televisi.
Kututup
pintu yang terletak di dekat televisi dan menguncinya. Dinding biru, dua
lukisan tertempel di dinding, gorden cokelat, cermin, meja, dan pintu kamar
mandi bisa kulihat saat berbalik menatap di dalam kamar. Memang murah dan
sederhana, setidaknya cukup nyaman untuk beristirahat.
Aku
memasang senyuman ketika menatap Sena akhirnya melepas ketidaksabarannya untuk
segera berbaring di tempat tidur. Lelah, apalagi setelah apa yang dia alami
selama ini. Aku juga lelah harus berlama-lama duduk dan berdiri tanpa berbaring
di tempat tidur sangat lama.
Ketika
kutaruh tas di dekat meja dan kursi menghadap cermin dinding, kurasakan
ponselku bergetar di saku celana. Kuambil ponsel dan menatap jam telah
menunjukkan hampir pukul dua siang dan sebuah notifikasi pesan dari Bang Fandy.
Hampir pukul dua siang, begitu lama kami berangkat naik bus, makan nasi goreng,
dan mencari hotel murah.
Kulihat
pesan dari Bang Fandy, oooh… nginep dmn?
Kubalas
pesan itu dengan mengetik nama dari hotel di mana kami menginap untuk malam ini
tanpa perlu bertele-tele lagi. Kuanggap ini sebuah pertanda bahwa Bang Fandy
akan bersedia untuk menerima kami di kosannya besok untuk menginap.
“Kak,”
panggil Sena.
“Ya,
Sena?”
“Apa
… kita bakalan ke Bang Fandy besok?”
Aku
ikut berbaring di tempat tidur sambil mengambil guling yang menjadi pembatas
antara diriku dan Sena. “Kakak juga enggak tahu. Kalau misalnya enggak bisa,
mau enggak mau, cari tempat lagi, terus … butuh duit. Kakak juga punya duit
enggak banyak.”
“Terus
… gimana dong kalau enggak punya uang lagi?”
“Mau
enggak mau, paling kita tidur di jalan, kayak anak jalanan, pengemis, sama
pengamen. Tapi … kalau tidur di jalan, kan Sena enggak nyaman, Kakak juga
enggak bakal nyaman. Dingin, terus … harus tidur di pinggir jalan, bukan di
kasur kayak ginian.” Kutepuk kasur itu dengan pelan.
“Kalau
gitu nanti dapat uangnya gimana?”
“Kakak
enggak tahu. Tapi … jangan sampai kita ikut-ikutan ngamen atau ngemis, secara
enggak langsung kita maksa minta bayaran sama orang lain. Paling simple jualan tisu, terus air, atau enggak
rokok. Mendingan jualan aja daripada ngemis atau ngamen sebenarnya.”
“Terus
… kalau bisa jualan, kok masih ada yang ngamen sama ngemis, Kak? Terus, ada
anak kecil juga yang ngemis di jalanan.”
Kuletakkan
telapak tangan sebagai bantalan kepala sambil menjawab, “Kakak juga enggak
ngerti … kenapa mereka lebih milih ngemis atau ngamen daripada jualan sesuatu.
Kalau menurut Kakak, mereka malah milih jalan pintas buat cari uang. Tapi …
jalan pintasnya kan enggak ada usaha, enggak ada rintangan.
“Ibu
pernah bilang … kesuksesan itu … didapat saat kita … dapat rintangan
sebanyak-banyaknya. Kalau kita dapat rintangan, mau enggak mau kita harus
hadapi, bukan hindari. Rintangan itu buat diselesaikan. Gini, ujian di sekolah
itu masuk rintangan, ya diselesaikannya dengan ngerjain semua soal, terus …
hasilnya … berupa nilai. Gitu contohnya, nanti makin banyak rintangan yang
diselesaiin, banyak hasil, bisa jadi itu pengalaman, bisa jadi itu sukses, bisa
jadi itu uang.
“Contoh
lagi deh, Bang Fandy lagi kuliah sekarang, Bang Fandy lagi menghadapi rintangan
buat jadi lebih dewasa, terus nanti pas lulus kuliah, dapat kerja. Gitu lho,
Sena.”
Ketika
aku selesai berbicara, Sena tidak menjawab. Aku bangkit sejenak untuk memanggil
Sena sejenak. Kulihat Sena sudah menutup mata, tertidur, sedikit mendengkur,
menghadap guling yang menjadi pembatas. Aku menjawab pertanyaannya terlalu
panjang hingga mengantuk.
Aku
akan biarkan Sena tidur sambil berbaring setelah sekian lama hanya duduk dan
berdiri. Perjalanan begitu panjang membuatku juga lelah, meski sudah tidur
sambil duduk di dalam bus. Aku juga butuh istirahat.
***
“KPK
mengumumkan setidaknya enam orang tersangka baru dalam kasus suap terkait
sejumlah proyek.”
Suara
news anchor dari siaran televisi
merupakan hal pertama yang kudengar ketika bangun tidur. Aku duduk sambil
mengumpulkan tenaga sambil menatap Sena sedang menonton TV.
Sial,
lagi-lagi berita tentang korupsi. Kenapa setiap berita korupsi selalu muncul
sebagai headline news atau berita
utama, mulai dari koran, televisi, hingga situs berita? Ini sebabnya … aku
tidak ingin berminat atau percaya pada politik, apalagi beritanya.
Aku
ingat ada seorang teman yang pernah membahas ini di kelas. Katanya, pantas saja
banyak proyek yang belum selesai, termasuk monorel, jalan tol, hingga untuk
penanggulangan banjir, tetapi … malah terhambat, dia menyalahkan pejabat yang
membawa kabur setiap dana dari proyek itu, singkatnya, dananya malah dikorupsi.
Pejabat bisa jadi kaya tanpa memedulikan rakyatnya sendiri.
Cukup,
aku tidak ingin melihat berita tentang korupsi seperti itu lagi. Aku menambil remote control dan memindahkan menuju channel lain. Kalau bukan sinetron yang
kualitasnya jangan ditanya lagi, paling tidak komedi ber-gimmick dan reality show rekayasa
mendominasi jam sore televisi negeri ini. Setidaknya, kupindahkan ke channel yang menampilkan acara komedi
tentang konten di media sosial.
Aku
bangkit setelah meletakkan remote di
dekat Sena. “Sena, Kakak bisa tinggalin dulu bentar enggak?”
“Kemana,
Kak?” Sena dengan polos bertanya.
“Mau
ke minimarket. Sena mau dibeliin apa?”
“Um
… cokelat aja, Kak.”
“Oke
deh. Kalau misalnya ada orang yang ngetuk, jangan dibuka ya. Kakak bentar kok
ke minimarketnya. Baik-baik ya!” Aku pamit sambil membuka pintu kamar untuk
keluar.
“Hati-hati,
Kak,” ucap Sena sebelum menutup pintu.
Saat
keluar dari kamar, kusadari aku masih memakai jaket biru, berarti aku tidak
sempat melepas jaket sebelum ketiduran, pantas saja! Kulihat juga taman rumput
berbunga-bunga di hadapan masing-masing kamar, dekat ruang depan adalah sebuah
restoran yang memang sepi pada sore hari.
Kuambil
ponsel sambil berjalan menuju halaman depan hotel. Kulihat notifikasi pesan dan
panggilan tak terjawab telah menanti saat ketiduran, dari Bang Fandy. Sial, aku
tidak sempat membaca apalagi membalas pesannya!
Kuhentikan
langkah untuk membaca pesan dari Bang Fandy, Agak sorean Abang otw, latihan badmintonnya g jd.
Ah!
Bang Fandy mungkin udah berangkat dari kosan beberapa jam setelah aku dapat
pesan ini! Sial! Aku tidak sempat membalasnya karena ketiduran! Kalau begitu,
aku mulai mengetik pesan balasan secepat mungkin.
Ketikanku
terganggu ketika muncul notifikasi bahwa ada panggilan masuk dari Bang Fandy.
Karena tidak ingin membiarkan Bang Fandy menunggu lagi, kujawab panggilan itu
dan kudekatkan layar ponsel pada telinga.
“Halo?”
“Yoshi!”
jawab Bang Fandy. “Lama banget balas SMS-nya.”
“So-sorry,
Bang. Tadi Yoshi ketiduran.”
“Yoshi,
Abang lagi otw dari kosan, masih di
sana, kan?”
“I-iya,
Bang.”
Mendadak,
aku teringat kalau aku sama sekali belum mengungkapkan alasan mengapa aku dan
Sena berada di Jogja. Bang Fandy sama sekali belum tahu kondisi Sena yang
menjadi alasan mengapa kami berada Jogja sekarang. Mungkin, ini kesempatan
untuk memberitahunya, lewat telepon.
“Bang
Fandy.”
“Kenapa,
Yosh?”
Tunggu?
Haruskah aku bilang sekarang? Kalau aku bilang, bagaimana reaksinya? Apakah ini
momen yang tepat untuk menceritakannya? Apalagi dalam percakapan telepon?
Aku
mengurungkan niat untuk menceritakannya setelah jeda selama lima detik, “Yoshi …
tunggu ya.”
“Iya,”
Bang Fandy menutup percakapan.
Ah!
Sialan! Baru kusadari setelah Bang Fandy menutup telepon, aku lupa mungkin Bang
Fandy juga akan ikut menginap di kamar hotel yang kusewa! Aku yang memintanya
untuk menumpang di kosannya. Aku sama sekali tidak tahu apa yang akan terjadi
jika orang di kamar yang kusewa bertambah satu lagi.
Comments
Post a Comment