While We Ran Away Episode 9
Kejujuran
Abang udah nyampe!
Ketika
pesan itu muncul di ponselku, aku menuju halaman depan hotel, menyambut
kedatangan Bang Fandy yang telah tiba di sana. Aku masih berpikir sambil
berjalan menuju sana, apakah aku memang harus menceritakan sejujurnya pada Bang
Fandy? Apa tidak apa-apa kalau Bang Fandy rela menginap di kamar hotel yang
kusewa? Padahal bisa saja dia menunggu di kosan hingga besok jadi tidak akan
merepotkannya atau diriku.
Aku
tercengang ketika menghentikan langkah, menatap Bang Fandy menerima kembalian
dari pengemudi ojek online. Kulihat
dia memakai jaket biru muda, kaos oblong merah, dan celana training panjang biru, mungkin habis latihan badminton, tapi tidak jadi sampai malam.
“Yosh!”
sapa Bang Fandy begitu ojek tumpangannya pergi.
“B-Bang
….” Aku masih kebingungan kenapa Bang Fandy bela-belain kemari.
“Jadi
ini hotelnya ya?”
“Ya,”
jawabku. “Itu bawa apa?”
“Gudeg
nih! Buat makan malam! Belum makan, kan?” Bang Fandy menunjukkan kantong
plastik yang dia bawa ketika kami kembali ke dalam hotel menuju kamar.
“Belum.
Kok repot-repot juga?”
“Ya,
Abang kira kamu sama Sena belum makan. Seenggaknya, lagi liburan habis ujian,
kan?”
Aku
mengangguk ketika kami telah berada di hadapan pintu kamar. “Ba-baik banget
Abang.” Aku membuka pintu, menunjukkan kamar hotel yang sederhana dan tidak
se-wow sesuai bayangan Bang Fandy. “Sena, ada Bang Fandy nih.”
“Eh!
Sena!” sapa Bang Fandy pada Sena yang masih bermain game di ponselku.
“Sena,
pause dulu dong game-nya,” suruhku.
“Ha-halo,
Bang Fandy,” sapa Sena masih duduk di kasur.
“Udah
gede aja kamu!” seru Bang Fandy ikut duduk di samping Sena. “Udah lama enggak
ketemu! Abang bawa makan nih! Belum makan, kan?”
“Be-belum,”
jawab Sena malu-malu.
“Bang
Fandy, enggak apa-apa nih … Abang juga nginap? Yoshi … jadi … ngerepotin nih.”
“Enggak
apa-apa. Kan biasanya ada sarapan gratis kalau sewa kamar hotel. Benaran kan
ada sarapan gratis?” Bang Fandy mulai senyam-senyum.
“Jadi
… itu alasan Abang bela-belain nginap di sini bareng Yoshi?” Aku mengambil
kantong plastik berisi makanan dari Bang Fandy.
“Ingat
lho! Manfaatin kalau ada yang gratis, apalagi makanan, mumpung gratis lho!”
Bang Fandy mengingatkan perkataannya saat menghadiri pernikahan Ayah dan
Wilhelmina.
“Itu
alasan macam mana, Bang?” Aku membuka setiap bungkus makanan di lantai.
“Eh?
Sena, ini … kenapa ya?” Bang Fandy menatap goresan pada lengan Sena.
Oh
tidak! Aku lupa! Aku masih lupa kalau Bang Fandy belum tahu apa yang terjadi
sebenarnya pada Sena. Aku berbalik menatap Bang Fandy melihat beberapa goresan
pada lengan Sena, menyadari bahwa aku masih mempertimbangkan apakah aku harus
mengatakan sejujurnya.
Bang
Fandy masih belum tahu kalau aku dan Sena sebenarnya melarikan diri dari rumah,
aku … tidak ingin Bang Fandy kecewa denganku karena telah menjadi semacam
pemberontak, paling tidak … aku takut aku akan membuat Bang Fandy marah dan
kecewa meski kuberitahu kenapa aku melarikan diri.
“Ini
… juga kenapa nih?” Fandy menunjuk … warna lain pada kulit leher Sena.
Kenapa
Bang Fandy jadi ingin tahu tentang apa yang terjadi pada Sena? Kenapa? Aku …
tidak bisa membiarkannya, aku tidak ingin Bang Fandy tahu untuk sekarang.
Mungkin nanti aku akan cerita semuanya saat sampai di kosan.
“Bang,
bantuin dong!” seruku mengalihkan perhatian Bang Fandy.
***
Kutatap
layar ponselku menunjukkan sudah pukul 9:11 malam, begitu melelahan, tidak
terasa siang hari harus berlalu menuju larutnya sinar bulan di luar. Aku
terdiam di kasur menatap Sena yang sudah ketiduran sehabis makan malam.
Bang
Fandy berada di bagian terdepan kasur sambil menonton acara debat di televisi
setelah sekian kali dia memindah-mindahkan channel
menggunakan remote control. Kudekati
dia sambil mendengar topik dari acara debat itu.
Sial,
topiknya lagi-lagi korupsi. Dengan cepat, aku mengambil remote dari genggaman Bang Fandy dan memindahkan ke channel lain. Aku muak dengan korupsi
yang selalu menjadi perbincangan publik, apalagi berkaitan dengan politik.
“Oh
ya, Yosh, itu Sena kenapa ya?” Bang Fandy mulai bertanya.
“Eh?
Kenapa apaan?”
“Itu
… ada … semacam luka gores atau memar di lengannya, terus … lehernya juga …
kelihatannya bengkak.”
“Um—”
Aku sekali lagi berbohong, “—Sena bilang itu … habis ngupas mangga, jadi … kena
pisau. Terus … dia juga gadang buat belajar. Sena juga … bilang … dia kepeleset
pas lantainya habis dipel. Dia juga … bosan, jadi … pengen ketemu Bang Fandy
juga. Yoshi juga … pengen ketemu Bang Fandy, udah lama enggak ketemu sih,
terakhir ketemu pas Ayah nikah lagi.” Entah kenapa, kebohonganku semakin
bertele-tele.
Kalimat
yang terlontar dari mulut Bang Fandy adalah yang tidak ingin kudengar. “Kamu
bohong?”
“Kata
siapa? Enggak.”
“Enggak
usah bohong, Yosh. Abang tahu kalau luka kayak gitu bukan dari pisau, apalagi
bukan yang enggak disengaja. Yosh, kalau kamu ada masalah, mending cerita aja,
jujur aja sama Abang. Abang bakal ngerti.”
“Ta-tapi
… kan … Abang enggak bakal ngerti kalau Yoshi—”
Bang
Fandy memotong, “Coba cerita dulu, Abang pasti dengar kok. Abang usahain ngerti
kok.”
Aku
menghela napas sambil menundukkan kepala, mempertimbangkan apakah aku harus
mengatakan sejujurnya mengenai alasan aku dan Sena berada di sini, meminta
bantuan Bang Fandy untuk menginap di kosan untuk sementara waktu.
Bang
Fandy merangkul bahuku. “Ceritain aja. Kalau belum, Abang enggak bakal maksa
secepatnya.”
“Bang,”
panggilku. “Sebenarnya … Yoshi sama Sena … kabur dari rumah. Sorry udah bohong sama Abang. Sena …
disiksa sama ibu tiri.”
“Eh?”
ucap Bang Fandy tercengang. “Disiksa? Benaran?”
“Iya,
Bang.: Aku mulai bercerita, “Pas jemput dia habis ujian … Yoshi lihat … luka di
lehernya. Terus … pas malam, Yoshi ngedengar suara teriak anak kecil minta
ampun sama ibunya yang nyiksa, Yoshi kira … itu dari tetangga sebelah. Pas
malam berikutnya … Yoshi tuh sadar. Sena ternyata anak kecil yang minta ampun
waktu itu.”
Aku
tidak tahu harus bercerita seperti apa, karena … gejolak emosi telah bercampur
di pikiranku, entah karena aku tidak ingin menceritakan yang sebenarnya atau
bukan. Ceritaku seperti bertele-tele, aku takut kalau Bang Fandy tidak akan
mengerti.
Aku
mengepalkan kedua tangan sambil merunduk kembali. “Yoshi … enggak percaya,
kalau ibu tiri di dunia nyata itu … ternyata sama aja kayak di kebanyakan
cerita, seenggaknya buat Yoshi sama Sena. Ibu tiri … udah nyiksa Sena selama
ini … sementara … Yoshi enggak tahu apa-apa. Apalagi … pas Yoshi nemu Sena
pingsan sepulang dari futsal.
“Yoshi
bawa Sena ke rumah sakit, terus … Sena cerita semuanya, semuanya, tentang
gimana dia disiksa ibu tiri. Pantasan aja Sena takut dekat-dekat sama ibu tiri,
apalagi pas dia bilang ke Ayahnya. Ayahnya akhirnya nyiksa dia juga! Nyiksa
terus tinggalin gitu aja sebelum Yoshi nyampai rumah! Kalau Yoshi pulang malam
banget habis dari futsal … Yoshi enggak tahu Sena bakal gimana. Sena bisa aja
mati!”
“Yosh
….” Bang Fandy menepuk pundakku.
“Kenapa
… kenapa harus Sena yang jadi korban? Kenapa harus dia? Kalau aja Ibu … masih
ada … enggak bakal gini jadinya! Yoshi … bisa aja manggil polisi, tapi … Yoshi
enggak mau lama-lama nunggu. Yoshi enggak mau Sena menderita lagi. Apalagi …
saat dia kangen Ibu. Ibu tiri bilang … dia bakal jadi baik, tapi kenyataannya
beda. Kayak enggak ada rasa kasih sayang seperti Ibu dulu,” aku semakin
bertele-tele dalam bercerita.
Eh?
Kurasakan beberapa butir air mata menetes menuju pipi, semakin ingin kuledakkan
bom emosi yang tergejolak di pikiranku, apalagi ketika memikirkan Ibu, apalagi
ketika memikirkan bagaimana Sena akan bahagia kalau Ibu benar-benar masih ada.
Kuhapus
air mataku menggunakan lengan, aku tidak ingin menangis, aku hanya ingin marah.
Aku benar-benar marah pada Ayah dan ibu tiri yang telah menyiksa Sena
habis-habisan tanpa pernah memikirkan kasih sayang darinya, tidak seperti Ibu
dulu. Semakin kuingat, semakin ingin kuledakkan seluruh tumpukan emosi.
Entah
kenapa, wajah Ibu terbayang kembali. Aku ingat saat Ibu memberi segala sesuatu
padaku penuh kasih sayang. Saat aku sedang ada masalah, aku selalu ceritakan
semuanya pada Ibu, bahkan termasuk saat Ayah memarahiku sampai menangis. Aku …
rindu saat Ibu selalu ada untuk menghiburku.
“Ke-kenapa?”
Aku kembali mengusap air mata yang tidak ingin berhenti mengalir. “Kenapa?
Enggak! Enggak! Enggak boleh! Enggak—"
“Yoshi.”
Fandy kembali menepuk pundakku.
“Ma-maaf,
Bang. Yo-Yoshi … enggak tahu kenapa … kebayang Ibu pas cerita.”
“Yoshi,
jangan ditahan. Mending nangis aja. Keluarin aja semuanya.”
Kusandarkan
kepalaku pada bahu kiri Bang Fandy, entah kenapa, secara spontan aku butuh
bantalan untuk meledakkan seluruh emosi. Tangisanku benar-benar meledak,
apalagi ketika mengingat kembali saat Ibu masih ada.
Aku
menjerit pelan dan merengek seperti anak kecil, begitu kangen dengan Ibu. Bukan
hanya itu, aku juga terbayang kembali cerita Sena waktu di rumah sakit bahwa …
ternyata sang ibu tiri kerap menyiksanya.
Aku
… mungkin benar-benar bodoh mengambil keputusan, kuajak Sena melarikan diri
dari rumah agar dia selamat dari siksaan fisik dan mental oleh ibu tiri dan
Ayah. Kalau Bang Fandy … tidak ada … aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku
yang bertanggung jawab atas Sena, adikku sendiri. Bagaimana kalau aku dan Sena
tidak punya uang lagi saat melarikan diri? Bagaimana kalau aku dan Sena memang
harus kembali? Bagaimana kalau … aku dan Sena berakhir tinggal di jalanan dan
menjadi pengamen atau pengemis? Apakah aku harus pasrah begitu saja?
Kuledakkan
seluruh pikiran bercampur emosi melalui tangisan dan rengekan di hadapan Bang
Fandy, sampai-sampai aku terengah-engah dalam mengambil napas untuk
menyeimbangkan diri. Semua emosi yang telah menjadi beban kulampiaskan menjadi
tangisan.
Meski
pun sulit dan berat, kualihkan pikiran sejenak, mengingat kembali saat Ayah
menikah lagi dengan Wilhelmina. Aku bisa membayangkan Ayah mampu mendapat
kebahagiaannya kembali, begitu juga dengan Sena yang membutuhkan figur sang
ibu. Awalnya aku pikir … keluargaku akan bahagia kembali. Seharusnya kami
berempat mampu saling memberi kasih sayang … memang seharusnya.
***
“Eh?”
Aku bangkit begitu membuka mata dan kembali ke dunia nyata setelah berlama-lama
di dalam kegelapan. “Lho? Aku … ketiduran?”
Kutatap
sebelah kiri yang dibatasi oleh guling, Sena masih terlelap di dalam mimpinya.
Kuambil ponselku yang menunjukkan sudah pukul 05:21.
Kusentuh
kening sejenak, kebingungan apa yang telah terjadi semalam. Berat untuk
mengingat setiap detil peristiwa yang telah kualami hingga akhirnya tertidur.
Aku seperti telah menghadapi hangover.
Kudengar
pintu kamar mandi telah terbuka. Aku mengalihkan pandangan menuju sebelah
kanan, menatap Bang Fandy baru saja keluar dari kamar mandi dan hanya
mengenakan boxer hitam. Seperti
dugaanku, badannya cukup kekar, perutnya hampir terbentuk beberapa kotak, mungkin
dia sering berolahraga selain hanya latihan badminton.
“Udah
bangun, Yosh?” Bang Fandy meletakkan handuk merahnya di atas bahu.
“Ya.
Tadi malam … kenapa ya? Yoshi … ketiduran.”
Bang
Fandy tersenyum sambil menjawab, “Kamu cerita semuanya, terus … kamu nangis
sampai ketiduran. Ya … awkward juga
apalagi sama-sama cowok. Terus … kamu tidurnya … enggak bisa diam, sampai
pelukan sama Abang segala, erat … amat peluknya, Mas.”
“EEEEEH!!”
jeritku tercengang ketika mendengar kenyataan kalau aku memeluk Bang Fandy saat
tertidur. “Aku tidur sampai meluk Abang? Ma-maaf, Bang!”
“Oh
ya, Yosh. Jadi … mau gimana sekarang?” Fandy berlutut membuka risleting tas
ranselnya.
“Eh?
Apaan?”
“Jangan
bilang apaan lagi. Kamu kan udah
ceritain semuanya tadi malam.” Bang Fandy mengambil kaos oblong hitam dan
memakainya.
“Um
…. Enggak tahu mau gimana. Palingan … Yoshi nginap di kosan Abang. Ya … Abang
juga bentar lagi pulang habis ujiannya selesai, Yoshi enggak tahu mau nginap di
mana lagi habis Abang balik ke Surabaya.”
“Gimana
kalau balik bareng ke Surabaya?” tawar Bang Fandy.
Aku
melongo, “Bilangnya aja gampang, terus … enggak ngerepotin kalau Yoshi sama
Sena tinggal di rumah Abang tuk sementara? Terus gimana dong bilang ke
Tante-nya? Yoshi enggak bisa bilang kalau Yoshi sama Sena kabur dari rumah
gara-gara masalah yang udah disebutin tadi malam gitu aja dong. Jadi enggak
enak juga ke Abang, ke Tante, terus sama keluarga Abang sendiri.”
“Nanti
Abang pikirin!” Bang Fandy duduk di sampingku begitu dia memukul pelan
pundakku. “Kan kasihan ke kamu juga, kasihan Sena. Abang jadi enggak enak kalau
kalian harus tinggal di jalanan, terus … Abang juga enggak bisa ngelihat kalian
kepaksa pulang, apalagi … ujung-ujungnya kamu sama Sena bakal menderita lagi.”
“Bang
… apa … enggak repot?”
“Slow aja! Udah gih, sana mandi. Habis
sarapan, kita langsung check out terus
cabut ke kosan! Lagian sarapannya gratis, kan?”
“Huh!
Abang nginap cuma ngincar sarapan gratis!” Aku bangkit.
“Sekalian
ngebantu juga! Kan kasihan kamu sama Sena.” tambah Bang Fandy ketika aku
melangkah menuju kamar mandi.
Syukurlah,
untung Bang Fandy bisa mengerti inti dari ceritaku yang bertele-tele semalam.
Mungkin ada yang belum kuungkapkan padanya, tapi … tinggal menunggu waktu untuk
melanjutkan agar Bang Fandy dapat lebih mengerti lagi.
Comments
Post a Comment