Finding Childhood Love Episode 2
Selamat
Datang, Sekolah Baru
Jam menunjukkan
pukul 05:48 pagi. Aku berdiri di depan cermin memandangi diri. Aku sudah memakai seragam, yaitu
kemeja putih, rok panjang dan jas abu-abu. Aku tidak bisa berkata apapun saat
memandang diriku memakai seragam sekolah untuk pertama kalinya. Aku juga tidak
bisa membayangkan seperti apa sekolah yang akan menjadi rutinitasku.
Aku tidak lupa sarapan pagi sebelum aku kembali ke kamar untuk berdandan
sambil melihat penampilanku. Aku menyisir rambutku yang panjang di depan cermin
agar rambutku rapi.
Tak lama setelah aku menaruh sisirku, ibuku memanggil, “Indah, ada
Aditya!”
Aku menutup lemari pakaian. “Ya, Bu.”
Aku segera berjalan keluar dari kamarku setelah kuambil tas punggung Roxy berwarna putih. Aku sudah melihat
Aditya sudah duduk di sofa di samping ibuku sedang bercakap-cakap sambil
menungguku. Kira-kira ada apa Aditya kemari sebelum ke sekolah?
“Jadi ngerepotin aja.” Itulah yang kudengar dari ibuku.
Aditya tersenyum pada ibuku. “Enggak apa-apa, Tante.”
Ibuku lagi-lagi menawarkan makan pada Aditya, “Ayo, sarapan dulu.”
Aditya menolak dengan halus saat kulihat dirinya berseragam sama
sepertiku, tetapi ia juga memakai dasi biru. “Enggak usah, Adit udah makan
kok.” Aditya menatap diriku sambil berdiri, ia tersenyum. “Wow, kau terlihat
cantik memakai seragam itu.”
Aku tersipu malu telah dipuji laki-laki keren seperti Aditya, aku tidak
bisa berkata apa-apa, aku ingin berterima kasih, tetapi aku malu.
Ibuku berkata, “Eh, Aditya mau ngantarin kamu katanya.”
“Hah?” ucapku sontak kaget. “Aditya, enggak usah repot-repot kok. Aku bisa
naik bus ke sekolah kok.”
“Enggak apa-apa. Lagian kalau pakai mobil atau bus bakal macet lho,” jawab
Aditya.
“Ayo cepat pakai sepatumu,” suruh ibuku.
Aku berbalik menuju ruang keluarga, belok kanan menghadap jendela yang
menunjukkan dalam garasi. Ayah tidak terlihat, sepertinya sudah pergi bekerja
lebih awal. Aku membuka lemari sepatu di depan jendela, mengambil sepasang
sepatu kets hitam, kaus kaki putih panjang, dan segera memakainya.
Aditya menghampiriku sambil tersenyum, dia sudah memakai tas punggung Quicksilver
warna hitam perak. “Kamu enggak usah terlalu cemas tentang sekolah barumu,
santai aja, Indah.”
Aku menjawab, “Ya, aku juga enggak gitu cemas, kok.” Aku sebenarnya tidak
ingin Aditya dan ibu mengkhawatirkanku karena aku sebenarnya merasa cemas
dengan sekolah baruku.
Ibu kembali menemuiku, aku memberikan salam dengan menciumi pipi tangannya.
“Hati-hati, Indah, belajar yang baik, Nak.”
“Ya, Bu. Hati-hati di rumah. Assalammu alaikum,”
“Waalaikum salam,” jawab ibuku.
Aku dan Aditya menemui motor Suzuki Satria Black
Predator yang telah diparkir di depan halaman rumahku. Aditya mengambil
helm putih sebelum memberikannya kepadaku untuk kupakai.
Aku memakai helm putih itu saat Aditya menduduki jok bagian depan motor
sambil memakai helm hitamnya. Dia menyalakan mesin motornya sambil berkata
dengan halus, “Ayo naik.”
“Ya, kita harus cepat-cepat sampai ke sekolah.” Aku menaiki jok bagian
belakang motor Aditya. “Jadi … enggak enak nih.”
Aditya menatapku sambil tertawa. “Kamu ngapain harus enggak enak gitu?
“Ya, kamunya entar capek.”
“Enggak apa-apa.” Aditya mulai
menyetir meninggalkan rumahku. “Oke, let’s go!” Dia
mulai menyetir motornya dengan kecepatan kebut.
Kulihat jalan di depan kami sudah padat dengan kendaraan bermotor, Aditya
berusaha yang terbaik agar kami tiba di sekolah tepat waktu. Aditya
mengendalikan motornya agar menyelip beberapa bagian jalan yang kosong tidak
terhalang oleh bagian motor dan mobil, seperti beberapa motor lainnya.
Aditya berbicara, “Jakarta pagi hari macet banget!”
Aku membalasnya dengan tertawa, “Ya, macetnya minta ampun.”
***
Setelah kami harus melewati beberapa jalan yang macet dan padat, kami
akhirnya melihat beberapa siswa berseragam memasuki gedung sekolah. Inilah SMA
Global Taruna. Gedung sekolah itu memiliki dinding warna abu-abu dengan pilar di
depan pintu masuk.
Aditya membelokkan motornya ke arah kiri menuju tempat parkir. Tempat
parkir yang dipenuhi oleh sepeda motor. Aku tidak melihat ada banyak mobil di
tempat parkir itu. Aditya memarkirkan motornya di depan pagar batu bata dan di
sebelah kanan motor Honda Beat warna putih.
Aku turun dari jok sambil melepas helm putih. Aditya menaruh helm putih
itu di bawah layar tachometer. Aditya juga melepas helmnya sebelum
meletakkannya pada salah satu gagang setir motornya.
Aku melihat sekeliling, aku berpikir tentang SMA Global Taruna. Ini sangat
berbeda daripada homeschooling.
Benar-benar menakjubkan bahwa aku akan menghabiskan masa SMA-ku di sekolah ini.
Aditya menatapku, “Kita ke kantor kepala sekolah dulu, yuk.”
“Eh, enggak langsung ke kelas?” Aku heran.
Aditya menggeleng, “Ayo, kita harus tahu kelas kamu di mana.”
Sebelum kami berdua berjalan memasuki gedung sekolah, suara seorang gadis
terdengar dari belakang kami. “Adit!!”
Aditya menatap ke belakang saat pundaknya ditepuk oleh gadis itu. “Febby,
manggil keras-keras aja,” Ia tertawa.
Febby menatapku. “Dit, eta saha?
Apa dia murid baru di sini?”. Febby merupakan gadis berambut ikal dan
berkacamata, dia sepertinya orang Sunda jika kulihat dari gaya bicaranya.
Aku memperkenalkan diri, “Aku Indah,”
Febby berjabat tangan denganku dengan semangat. “Gue Febby, ketemu cewek geulis kaya maneh benar-benar menyenangkan pisan.”
Dia menggunakan kata-kata dengan berlebihan. “Tenang aja, aku akan menjadi
teman kamu kok,” Dia tersenyum padaku. “Oh ya, Dit, kita ke kelas, yuk.”
Aditya menjawab, “Feb, aku mau nemenin Indah ke kantor kepala sekolah buat
tahu di mana kelasnya Indah.”
“Oke kalau gitu, moga-moga dapet kelas yang nyaman pisan buat kamu ya, Indah. Aku duluan.” Febby bersemangat berjalan
memasuki gedung sekolah.
“Ayo, kita ke kantor kepala
sekolah,” ajak Aditya
“Ya,” aku tersenyum.
Saat aku
memasuki gedung sekolah tersebut, di hadapanku sudah ada dua arah jalan, terdapat papan pengumuman dengan banyak kertas lembar tertempel di
sana. Aku juga melihat papan tanda bahwa kantor administrasi ada di sebelah
kiri, sedangkan kelas-kelas, kantin, dan lapangan ada di sebelah kanan.
Kami
berdua belok kiri menuju kantor administrasi, kantor kepala sekolah terletak di salah
satu ruangan tersebut. Kami memasuki lobi kantor administrasi. Terdapat sofa dan meja dengan vas bunga di dekat pintu lobi. Di
sebelah kiri, terlihat dua meja dan kursi yang ditempati dua orang karyawati
yang berjilbab sedang sibuk mengetik. Di sebelah kanan, ada sebuah pintu yang
terbuka.
Kami
berdua berjalan lurus, saat kami hampir mendekati pintu, muncul seorang wanita berjilbab hijau berjalan menghampiri. Aditya
langsung mengenali wanita tersebut sebagai kepala sekolah SMA Global Taruna.
“Permisi,
Bu,” Aditya menyapa kepala sekolah itu dengan santun, lalu ia memperkenalkan
beliau kepadaku, “Indah, ini Bu Rima, kepala sekolah SMA Global Taruna.”
Aku
berjabat tangan dengan Bu Rima. “Saya Indah, suatu kehormatan bertemu
Anda.”
“Saya Bu
Rima, kepala sekolah SMA Global Taruna. Saya dengar kamu ini homeschooling sebelum pindah ke sini,
ya?”
“Ya,
Bu.”
“Bu
Rima,” Aditya menyela dengan sopan, dia berbisik pada Bu
Rima sehingga aku tidak tahu apa yang dia katakan pada beliau. Bu Rima hanya
mengangguk dan setuju. Tak lama kemudian, aku mendengar bel tanda masuk
berbunyi.
Bu Rima
meminta Aditya, “Oke, Aditya, kamu masuk kelas duluan saja. Indah di sini dulu.”
“Ya,
Bu.” Aditya tersenyum. “Indah, aku duluan ke kelas ya.”
“Ya,
Dit.” Aku tersenyum balik pada Aditya.
Setelah
Aditya meninggalkan kantor administrasi, aku melihat Bu Rima menelepon
seseorang. Aku melihat-lihat ke arah pintu yang terbuka di hadapanku, aku bisa melihat
itu adalah ruangan guru.
Bu Rima
pun selesai menelepon wali kelasku sebelum menyapaku kembali, “Indah, sekarang kita ke kelasmu ya.”
***
Aku tiba
di depan pintu kelasku, pintu kelas tersebut berwarna abu-abu dengan jendela di
bagian paling atas. Kelas tersebut adalah kelas itu XI IPA 8.
Aku sangat gugup, meskipun aku sudah mengenal Aditya dan Febby. Mungkin saja
aku tidak sekelas dengan Aditya ataupun Febby. Aku menarik napas perlahan-lahan
mencoba menenangkan diri dari ketegangan yang kurasakan.
Aku bisa
mendengar kalimat terlontar dari wali kelasku. “Kelas
kita kedatangan murid baru. Silakan masuk.”
Aku
membuka pintu. Aku menatap ke arah jendela saat aku memasuki kelas itu. Aku
juga menatap seorang guru
sekaligus wali kelas berkacamata dan
rambut sebahu serta bertubuh agak gemuk. Wali kelasku memakai kemeja merah dan
celana kain hitam.
Aku
memandangi beberapa teman-teman sekelasku yang duduk di bangku masing-masing, kursi hitam biasa ditambah meja putih,
seperti yang biasa kulihat di sebuah kelas universitas. Aku kaget saat aku menatap
Aditya duduk di bangku barisan tengah. Aditya tersenyum padaku. Aku juga
melihat Febby duduk di bangku paling kanan barisan kedua di dekat jendela, di
sebelahnya, ada bangku yang kosong. Wali kelasku
memintaku memperkenalkan
diri.
“Saya
Indah Syifa Lestari, mohon kerjasamanya.” Aku memperkenalkan diri, namun tetap masih
merasa tegang. Biasanya aku belajar
pelajaran sekolah di rumah dengan satu guru, sekarang aku belajar bersama
teman-teman sekelasku.
Wali
kelasku menjelaskan sedikit tentangku, “Indah baru saja masuk sekolah formal setelah sekian lama homeschooling. Pekerjaan kedua orangtuanya membutuhkan keluarganya keliling
dunia. Indah akan memerlukan
penyesuaian dari kalian, jadi mohon kerjasamanya dari kalian.” Wali
kelasku menunjukkan bangku kosong di dekat Febby, “Indah,
kamu duduk di sebelah Febby.”
Aku
berjalan mendekati bangkuku sebelum kududuki. Aku menduduki bangkuku. Di kelas
di sebuah sekolah formal tidak seperti keadaan belajar di rumah saat aku
menjalani homeschooling, suasananya sangat
berbeda.
Sementara
wali kelasku pamit sebelum meninggalkan kelas. Aku memandangi sekitar kelas.
Setiap dinding dipenuhi dengan beberapa display yang bermuat mading kelas,
pengumuman, dan catatan cita-cita semua teman sekelasku.
Aku
menatap sebelah kananku ada seorang laki-laki berwajah Tiongkoa dan
berambut hitam spike yang tampaknya
sedang mengerjakan sesuatu, kurasa ia sedang mengerjakan beberapa soal. Terlihat tempat pensil, buku
catatan, dan buku pelajaran, tetapi juga kertas kotretan warna abu-abu untuk
corat-coret.
Kudengar suara Febby yang
tampaknya berbicara kepadaku,
“Cowok di sebelah lo murid terpintar di kelas.” Aku menatap ke arah Febby, dia
bercerita tentang cowok itu,
“Nilainya teh bagus pisan pas pembagian rapot, apalagi
fisika, matematika sama kimia, dia tuh ranking
satu di kelas loh.”
“Eh?” Aku kaget.
Febby melanjutkan, “Semester lalu,
banyak banget UAS kelas 11 seangkatan diremed,
alias di bawah KKM.”
Aku baru mendengar
istilah KKM, aku sangat heran KKM itu artinya apa. “KKM?”
“Ya, itu standar nilai
buat kelulusan. Jadi pelajaran lo jangan sampe ada yang di bawah KKM.”
Ya, aku benar-benar tidak
menyangka sekolah formal memasang standar kelulusan setiap mata pelajaran yang
kami ambil. Jika kami memenuhi standar dalam sebuah mata pelajaran, kami
dianggap tuntas menyelesaikan belajar pada semester tertentu. Oleh karena itu,
aku harus serius belajar demi meraih nilai di atas KKM.
Aku
melihat seorang laki-laki berdiri dari tempat duduknya. Dia terlihat sedang kesal setelah menerima telepon.
Tak lama
kemudian, Aditya berdiri dari bangkunya dan menemuiku. “Indah, sambil nunggu gurunya masuk, kamu mau keluar dulu enggak sebentar?”
“Ya, ke kantin mungkin?” usulku.
Aditya
menolak dengan tertawa kecil, “Indah, Indah, kita enggak boleh ke kantin sebelum jam istirahat.”
“Wah,
ternyata enggak kayak yang aku bayangin dong.” Aku segera mengajak Febby
yang memasang earphone putih pada
Samsung Galaxy Tab-nya, “Kamu mau ikut enggak?”
“Enggak ah. Gue mending tunggu di sini aja, ngapain keluar kalau
kagak ke kantin.”
“Oke, Febby.”
Aku tersenyum saat kulihat Febby mulai menonton video di tabletnya. Aku berdiri sebelum berjalan mengikuti Aditya. “Kita mau ke mana, Dit?”
“Keliling
aja,” jawab Aditya dengan tulus.
Saat
kami berjalan melewati pintu kelas, kami lagi-lagi melihat laki-laki berambut
jabrik yang keluar tadi yang berdiri di depan kursi samping papan pengumuman, dia marah-marah dengan lawan teleponnya.
Aku
bertanya, “Dia kenapa sih marah-marah gitu?”
Aditya
menjawab, “Kurang
tahu tuh.”
“Dia
kayaknya lebay banget ngelampiasin kemarahannya.”
“Enggak biasanya si Brian kayak gini.”
Aku
heran, “Brian?”
“Brian
tuh ketua kelas XI IPA 8, makanya dia enggak suka banget sama image-nya
yang enggak kita kira.”
“Maksud
kamu?”
“Aku
dengar dari teman-teman,
tadi pagi, Brian turun dari taksi,
supirnya tuh mirip sama ayahnya, terus adiknya duduk di kursi belakang.
Biasanya dia pakai motor ke sekolah. Pas ditanyain kalau supir taksinya adalah
ayahnya, dia ngejawab bukan.”
Aku
mengangguk. “Jadi gitu masalahnya.” Tak lama kemudian, Brian menemui
kami berdua dengan wajah angkuh. Aku menyapa, “Brian, selamat
pagi,”
Brian
menjawab dengan nada marah, “Selamat pagi, Indah.” Dia berjalan
kembali ke kelas.
Langkahnya
terhenti saat Aditya bertanya, “Brian, lo kenapa? Lo ada masalah?
Gue dengar ....”
“Diam
lo!” teriak Brian. Sekarang aku tahu kenapa Brian sangat marah, dia memiliki
masalah yang sebenarnya tidak ingin dia ungkapkan, tapi
kurasa ini tentang keluarganya. “Lo enggak tahu apa-apa soal gue, Dit! Lo enggak berhak ngepoin gue!”
“Brian,
gue cuma mau bantu lo.”
Brian
memotong lagi dengan bantahan, “Diam! Gue enggak butuh dibantuin!” Dia langsung berteriak, “Cepat masuk kelas! Ntar dimarahin guru pas kita lagi di
sini.” Dia melangkah menuju kelas.
Aku
spontan berkata, “Kamu kasar banget sih.” Perkataanku menghentikan langkah
Brian.
“Apa lo?
Murid baru?” Brian benar-benar marah.
Aku pun
berpikir bahwa inilah sifat asli Brian, meskipun ia ketua kelas, tetapi ia
benar-benar pemarah dan tidak sopan. Kupikir dia tidak pantas menjadi ketua
kelas jika sikapnya seperti itu. Aku membalas, “Apanya
yang ketua kelas kalau kamu kayak gitu?”
Brian
membalas dengan kasar, “Lo enggak boleh ngatain gue kayak gitu, murid baru! Lo enggak pantes nilai gua kayak gitu!”
Aditya
berusaha menghentikan pertengkaran kecil kami. “Udah,
udah, Brian, jangan marah sama dia dong! Dia kan murid baru di sini.”
“Alah,
murid baru, dia enggak pernah masuk sekolah manapun, lagian dia homeschooling, kan?”
Aditya
berteriak, “Cukup, Brian! Lo enggak dewasa banget! Lo seenggaknya
hormatin dong!”
“Lo
apa-apaan sih ngebelain cewek homeschooling
dekil kayak dia?!” Brian membalas teriak.
Aditya
menarik napas. “Brian, please,
jangan teriak dan ngebesarin masalah kayak gini dong.”
“Lo yang
nyebabin masalah!” Brian berteriak sebelum berjalan kembali ke kelas.
“Si
Brian, dasar.”
Aku
segera menenangkan Aditya, “Udah, Dit, jangan kepancing emosi dong.”
“Tapi
dia ngejek kamu kan?”
Aku
menggeleng. “Enggak apa-apa, kok. Lagian kamu enggak usah ngebela aku.”
Aditya
menolak, “Indah, enggak bisa gitu dong, kamu kan temanku. Jadi enggak bisa dong ngelihat kamu diejek gitu
aja.”
“Enggak apa-apa.” Aku tersenyum dan berusaha terlihat
baik-baik saja “Ayo kita balik ke kelas.”
Saat kami berdua berjalan kembali memasuki,
aku terpikir bahwa aku tidak suka pada sikap Brian yang buruk. Apa ini ada
kaitannya dengan percakapannya di telepon tadi, ya? Aku
juga teringat apa yang Aditya katakan padaku tentang gosip ayah Brian adalah
seorang supir taksi, aku ingin tahu apakah gosip itu benar.
Comments
Post a Comment