Finding Childhood Love Episode 8
Membantu
Sesama
“Besok Sabtu, kan?
Lo bertiga bantu gue deh,” pinta Brian sedikit memaksa.
Aku, Aditya, dan
Febby tentu saja heran mengapa Brian terkesan memaksa. Kami bertiga menatap
Brian sambil memasang wajah datar bagaikan boneka Haniwa.
“Emangnya kenapa?”
tanyaku.
Aditya membalas, “Slow, Bro. Gue udah bilang, kalau lo
butuh bantuan, tinggal bilang aja. Tapi kenapa baru sekarang? Gue tahu kalu lo
udah mulai kesulitan dari pas kita tahu lo ….”
Brian memotong, “Stop,
Dit! Entar kedengar sama yang lain, bisa-bisa rahasia gua kebongkar.”
Aku mengingatkan
Brian, “Tapi kamu udah keceplosan belajar kelompok waktu itu.”
“Sok tahu lo!” Brian
membantah. “Yang jelas, gue enggak mau image
gue sebagai ketua kelas tuh hancur berantakan cuma gara-gara keluarga gua
jatuh miskin. Lagian, Dit, apa lu tahu kalau Setiawan sama Rayn udah
ngeberitahu yang lain?! Lo berdua juga! Mereka berdua udah tahu kan?”
Aku tahu bahwa
Setiawan dan Rayn sudah mengetahui kondisi keluarga Brian sekarang saat ia
keceplosan, tetapi hal yang tidak kuketahui apakah mereka berdua sudah
menyebarkan fakta tersebut kepada teman-teman yang lain.
Aku mengusulkan,
“Ya, setidaknya mereka berdua udah tahu kondisi keluarga kamu sekarang, jadi
nanti sore sekalian belajar di rumah kamu.”
Brian menolak,
“Enggak! Gue enggak mau! Tetap aja enggak mau! Mereka berdua bisa nyebarin
kalau gosip itu benar.”
Febby menyela, “Aduh,
Brian. Lo mau gimana lagi sih? Lo udah bilang ke kita bertiga biar enggak
bilang masalah pribadi lo ke siapapun. Kenapa enggak bilang hal yang sama aja
sama mereka sih?”
Kurasa ide Febby
juga bagus, tetapi Brian pasti khawatir, tetap saja khawatir. Seperti yang kami
pikirkan, bisa saja kami terlambat memberitahu mereka agar tidak menyebarkannya.
Sepertinya… kita takkan belajar bareng di rumah Brian.
Sejak keluarga
Brian jatuh miskin, dia menjadi tertutup tentang kehidupan pribadinya, ia
berlagak seperti selebritis, bukan, dia seperti seekor kupu-kupu yang tidak
ingin keluar dari kepompongnya.
“Jadi kita mau
belajar di mana nih?” tanya Febby.
“Udah ah! Mending
di cafe aja lah!” usul Brian.
Aditya tidak setuju,
“Brian, duit gue lagi dikit banget, man. Apalagi lo, keluarga lo enggak punya
banyak duit, kan?”
Aku setuju dengan
Aditya, “Ya, aku juga lagi hemat duit kok.”
Brian ngotot, “Ah!
Enggak ah!” Dia segera mengambil tas dari bangkunya “Udah, pokoknya, lo bertiga
bantuin gue deh!” Aku benci mengakuinya, tapi nada bicaranya cukup memaksa.
Febby berkata, “Oke
deh!”
Brian bertanya,
“Jadi sepakat nih? Kalau sepakat gue bilang ke nyokap deh.”
Aditya sepakat,
“Ya, gue sebagai teman lo, pengen ngebantu.” Dia tersenyum.
Aku juga tersenyum,
“Lagian membantu sesama teman baik.”
Febby kali ini yang
berkomentar, “Naha harus bilang sama
nyokap lo dulu sih? OMG!”
“Lu lebay ah, Feb,”
Aditya membalas.
Aku menatap ke
belakang. Rayn bangkit dari bangkunya setelah mengambil tasnya. Saat ia mulai
berjalan, aku segera berlalu menemuinya. Kutatap wajahnya terlihat murung,
sangat murung.
“Rayn, mau pulang
ya?”
Rayn menjawab
dengan nada melankolis, “Ya,”
“Kamu mau enggak
pulang bareng?”
“Um …. Tapi … si
Aditya …, si Brian …, si Febby…”
Aku memotong,
“Enggak apa-apa. Aditya mau ngumpul bareng teman-temannya dulu.”
“Indah, lo mau di
sini dulu?” kutatap ke belakang Febby bertanya padaku.
“Ya,” jawabku.
“Kalau gitu, kami
balik duluan. Kamu hati-hati,” Aditya pamit sebelum berjalan keluar bersama
Brian dan Febby membawa tas masing-masing.
Seharusnya kujawab
sebentar lagi aku akan keluar bersama Rayn, namun akan mengambil jalan yang
berbeda dari Aditya, Brian, dan Febby. Tapi kurasa tidak apa-apa, setidaknya Rayn
lebih membutuhkanku, tidak ada yang ingin berbicara dengannya.
Aku bertanya sambil
melangkah bersama menuju bangkuku, “Oh ya, kamu mau kuantar enggak sampai ke
rumah?”
“Eh? Enggak
ngerepotin nih?”
Kuambil tasku.
“Enggak apa-apa. Kamu udah kesepian, kamu butuh teman. Aku juga jarang melihat
kamu ngomong sama yang lain.”
“Oh ….”
“Ayo,” kuajak Rayn.
Kami segera
meninggalkan kelas. Kami belok kiri dari depan pintu kelas melewati selasar
sekolah yang sudah sepi, hampir tidak ada satu pun siswa yang sedang hang out di sana.
Saat kami berjalan
melewati lobi sekolah, Rayn memanggilku, “Indah ….”
Kuhentikan
langkahku sebelum berbelok kiri menuju pintu lobi. “Kenapa?”
“Gue enggak nyangka
lo mau berbicara sama gue.”
“Sudah jangan
dipikirkan,” aku tersenyum lagi. “Rumah kamu dimana omong-omong?”
“Emang kenapa?”
“Aku temanin kamu
aja.”
“Indah …. Kamu baik
banget. Makasih udah mau jadi teman gue.” Rayn menghentikan langkahnya saat
kami tiba di halte. “Sini aja, Indah. Gue jadi enggak enak.”
“Oh, enggak
apa-apa. Aku enggak akan maksa pengen bareng ko.”
“Oke, sampai ketemu
lagi.” Perkataan Rayn agak terasa canggung bagiku.
Aku kembali teringat
perkataan Brian. Rayn memang sudah dengar kalau gosip itu benar, bahwa keluarga
Brian jatuh miskin karena ayahnya di-PHK. Tapi sepertinya Rayn tidak mungkin
menyebarkan gosip tersebut adalah fakta. Tapi ….
“Rayn,” panggilku
saat bus telah datang menjemput beberapa orang di halte, termasuk Rayn.
“Ya?” Rayn
memandangiku saat beberapa orang menaiki bus tersebut setelah beberapa
penumpang turun.
Lho? Mengapa aku
harus melontarkan pertanyaan itu jika sudah tahu jawabannya? Apa itu
benar-benar perlu? Mungkinkah aku hanya penasaran? Aku tak tahu apakah harus
kutanya pertanyaan itu.
Kulontarkan kalimat,
“Enggak jadi. Um … hati-hati di jalan ya.”
“Ya,” jawab Rayn
singkat sebelum memasuki bus tersebut. Tetapi dia menatapku dengan senyuman
saat ia naik, aku berpikir senyuman itu berarti aku sudah dianggap jadi
temannya. Ya, temannya.
Aku segera berbalik
meninggalkan halte bus tersebut.
***
“Indah, gimana
kabar lo? Gue akhir-akhir ini jarang banget ketemu lo di sekolah.” Suara Ikbal
terdengar saat kudekatkan ponselku dengan telinga kananku. Aku tengah berbaring
di tempat tidur kamarku.
“Baik, ko, Bal. Kamu
kemana aja? Kok jarang kelihatan?”
Kudengar Ikbal
tertawa kecil. “Gue sibuk latihan di tempat lain, Dah. Oh ya, kapan-kapan lo
mau enggak hang out lagi bareng gue?”
Aku setuju, “Ya,
aku mau banget.”
“Kalau waktunya sih
terserah lo aja, yang penting kita berdua kagak sibuk. Gue jadi pengen hang out lagi sama lo.”
“Ya, aku juga.”
“Eh, sekarang Sabtu
ya? Gue sampe lupa ini hari apa.” Ikbal tertawa lagi.
Aku segera bangkit
dari tempat tidurku sebelum berjalan mendekati cermin untuk menatap diriku
sendiri. “Kamu kan bisa tidur lagi.” Aku tertawa.
“Enggak ah, mending
gue lari pagi aja lah.” Ikbal balas tertawa, “Sekarang lo mau kemana?”
Kutatap diriku
sudah berpakaian blouse lengan
panjang pink dan rok biru panjang, tentu saja aku masih meragukan apakah
pakaian ini cocok. Aku tidak begitu pandai dalam hal berpakaian. Aku juga
pernah dikritik oleh Febby karena selera fashionku
yang salah, benar-benar tidak mencerminkan gadis-gadis masa kini. Terlebih,
gadis-gadis Indonesia sukanya yang trendy,
sporty, cool, dan modis, membuat penampilan mereka lebih cantik.
“Halo?”
Aku segera
menyadari bahwa aku masih berbicara dengan Ikbal, “Oh, sorry, Bal.”
“Slow aja.”
“Oh ya, aku mau
ngebantu teman, dia lagi ada masalah sih. Setidaknya aku sama teman-temanku
ingin ngebantu,” jawabku. Kutatap kembali diriku di depan cermin.
Kudengar suara
ibuku, “Indah, Aditya udah datang nih!”
“Oh, udah dulu ya.
Temanku datang buat ngejemput.” Aku segera mengambil tas dari bawah meja
belajar.
“Oke. Hati-hati.
Salam buat nyokap ya.”
“Pasti, Bal.” Aku
menutup percakapan.
Aku segera berbalik
menatap pintu kamar yang terbuka. Aku segera melangkah keluar dari kamarku.
Kudatangi Aditya yang sudah duduk di atas sofa coklat ruang tamu.
Aditya memanggil,
“Indah, udah siap nih?”
“Ya,” aku
tersenyum. Aku segera pamit pada ibuku, “Ma, Indah pergi dulu!”
“Hati-hati, Indah.”
Saat Aditya bangkit
dari sofa berjalan keluar melewati pintu depan yang terbuka, aku mengucapkan ,“Oh
ya, Ma, Ikbal salam ke Mama ya.”
“Salam balik ke
Ikbal ya.” Kudengar suara ibuku sebelum aku berjalan mengikuti Aditya keluar
dari rumah.
“Emang Ikbal pernah
kenalan sama ibumu?” tanya Aditya saat kami melewati halaman depan rumah.
Aku mengangguk.
“Ya.”
“Wow.” Aditya
terlihat kagum. “Padahal dia kakak kelas, dia udah kenal sama kamu. Apalagi dia
udah jadi cowok idaman cewek lah.” Dia cekikikan.
“Aku juga enggak
nyangka banget udah kenal sama cowok idola kayak dia. Dia juga kapten tim sepak
bola sekolah. Mungkin kamu udah tahu kalau aku pernah ketemu sama dia sebelum
latihan.”
Aditya menghentikan
langkah di depan motornya, ia mengambil helm putih sebelum menyerahkannya
padaku, “Oh ya, aku ingat. Aku sampai lupa.”
Aku tertawa saat
Aditya mengambil helm hitamnya dan memakainya, “Kamu pelupa banget sih!”
Aditya membalas
saat aku memakai helm putihnya, “Udah deh, mending kita berangkat.”
Aditya segera
menduduki jok bagian depan. Aku pun juga menduduki jok bagian belakang. Aku
segera memegang perut Aditya seperti biasa. Aditya menyalakan mesin motornya.
Kami pun segera meninggalkan halaman rumahku.
***
“Aditya, Indah,
akhirnya maneh datang juga euy!!!” sambut Febby saat kami berdua
tiba di depan rumah Brian.
Aditya memarkirkan
motornya di halaman rumah Brian, setidaknya motornya muat dalam gang kecil
tersebut meskipun sempit. Aku segera turun dari motor tersebut dan melepas helm
putihnya.
Aditya bertanya
dengan nada menyindir saat dia melepas helmnya, “Lo naik apaan ke sini?”
“Gue naik angkot atuh! Gue capek keluar ongkos melulu.
Coba kalau tigaan naik motor boleh di Jakarta.” Febby seakan-akan berharap
untuk mengganti peraturan resmi pengendara sepeda motor.
“Brian-nya ada enggak?”
Aditya bertanya.
“Ini gue mau ketok
pintu!” teriak Febby.
Saat kepalan tangan
kanan Febby akan menyentuh pintu, Brian segera membukakan pintu. Brian kaget
saat menatap Febby seperti akan memukul wajahnya.
“Lo ngapain? Mau
mukul gue?!” tanya Brian tegas.
Febby segera menurunkan
kepalan tangan kanannya. “Enggak, enak aje
lo! Gue mau ketok pintu!”
“Udah gih, masuk
aja. Lo bertiga masuk. Gue bakal jelasin.”
Saat kami berempat
memasuki ruangan depan rumah kontrakan Brian, aku bertanya, “Brian, mana
adikmu?”
“Emang lo mau tahu
banget ya?” balas Brian sinis, “Dia lagi kerja jadi pembantu rumah tangga.”
Aku heran, mengapa
ada seorang laki-laki seperti Andi yang bahkan masih SD harus bekerja sebagai
asisten rumah tangga? Biasanya pekerjaan itu dilakukan seorang wanita.
“Dia sering banget
kerja jadi pembantu, dia tuh sering banget makan enak akhir-akhir ini. Ya
iyalah, dia jadi pembantu keluarga kaya. Terus ….”
Aditya menghentikan
perkataan Brian, “Stop, Brian. Jangan iri sama adik lo. Lagian pikir lagi deh,
dia jadi pembantu enggak mudah lho. Dia masih SD, dia belum tentu bisa
mengerjakan semua hal yang biasanya dikerjain sama pembantu kayak cuci piring,
masak, mengepel, menyapu, dan gitu lah.”
“Oke deh,” ucap
Brian.
Febby berkomentar,
“Oh ya, Brian, lo kan ketua kelas, lo harusnya bisa mencontoh adik lo. Lo harusnya
udah bisa apa aja yang dilakuin sama adik lo.”
“Udah deh
basa-basinya.” Brian menghentikan topik yang tidak perlu. “Sekarang, lo tigaan
bantuin gue. Nyokap gue udah nyiapin segalanya buat jualan di jalanan. Semuanya
ada di kamar nyokap lah. Nyokap gua lagi ngebantu ngantar makanan, bokap lagi
jadi supir taksi. Sekarang gue ditugasin jualan bareng lo semua. Indah, lo
jualan bouquet mawar.”
Kata-kata Brian
mulai bertele-tele bagiku, apakah ini sosok dibalik ketua kelasku yang
sebenarnya? Aku tidak tahu.
“Lho? Emang orang
miskin kayak lo bisa jualan mawar?” protes Febby.
“Namanya juga usaha
lah!” Brian menganggapi protes Febby. “Febby, lo jualan tisu. Dit, lo jualan
koran, gue bakal jualan minuman sama rokok. Ngerti?”
Aditya mengangkat
tangannya. “Jadi ini ya kelakuan lo jadi ketua?”
Aku menambah,
“Sebenarnya kamu juga tidak perlu kasar gitu sebagai ketua. Nanti kamu malah
ditakuti sama anggota kamu.”
“Udah ah,” Brian
membalas. “Kita mulai kerja aja lah. Kita mencar aja nih, tapi jangan terlalu jauh.”
Febby berkata,
“Iya, gue setuju. Lagian gue juga harus repot-repot nyamar jadi pedagang
asongan.” Ia seakan-akan tidak ingin menunjukkan rasa malunya jika harus
berperan sebagai orang miskin seperti Brian.
“Udah-udah, jangan
pada ngeluh lah,” ucap Aditya saat kuletakkan tasku di dekat tempat tidur,
“Hayu ke jalan sekarang. Mumpung lagi padat.”
“Oke deh. Daripada
basa-basi gini, mendingan kita berangkat sekarang,” ucap Brian.
Kami pun segera
melangkah menuju kamar orangtua Brian, terdapat empat buat kotak terbuat dari
bungkus rokok bekas masing-masing berisi barang-barang yang akan dijual, yaitu
minuman ringan, rokok, tisu, koran, dan bouquet
mawar. Kotak-kotak tersebut yang sudah diletakkan di dekat tempat tidur
diambil oleh kami berempat sesuai dengan masing-masing produk yang akan kami
jual.
Tapi… Masa? Bouquet mawar? Mawar merah? Ini yang
terasa janggal bagiku. Apakah memang ada seorang pedagang asongan di jalanan
yang berjualan mawar? Memang ada ya? Aku tak pernah mendengar hal itu.
Sudahlah, lupakan saja pertanyaan itu.
Kami pun segera
berjalan meninggalkan kamar tersebut membawa kotak dagangan kami masing-masing
sesuai dengan barang kami yang akan jual. Aku akan menjual mawar pada
pengendara kendaraan motor, meskipun hal ini sulit dipercaya bagiku.
“Kita jualan di
jalan dekat sini dulu,” perintah Brian yang membawa kotak dagangan rokok dan
aneka minuman sebelum memimpin kami bertiga berjalan keluar dari rumah
tersebut.
Kami pun belok kiri
setelah melewati halaman rumah kontrakan Brian menuju jalan raya. Kami pun
memisahkan diri setelah kami tiba di depan gerai 7-Eleven. Aditya dan Febby
segera menawarkan barang dagangannya pada beberapa pengendara mobil.
“Kenapa lo diam
aja? Cepat jualan!” Brian segera memintaku untuk membantunya.
“Iya,” Aku segera berlalu
menuju jalan raya mulai beraksi menuju jalan raya.
Ada banyak
kendaraan bermotor yang sedang berhenti di depan lampu merah, jadi ini mungkin
kesempatan kami untuk mendapat penjualan banyak. Mungkin saja kami dapat banyak
uang jika konsumennya banyak.
Tapi bagiku
masalahnya, aku tidak pernah turun langsung ke jalanan menjual sesuatu. Ini
benar-benar pertama kalinya aku melakukan hal seperti ini. Aku tidak punya ide
aku harus berkata apa untuk menawarkan mawar-mawar ini pada pengendara dan
penumpang kendaraan bermotor. Aku merasa kata-kata yang akan kukatakan tidak
akan seaktraktif yang kubayangkan.
Dan saat aku
menemui para pengendara kendaraan bermotor, baik itu motor atau mobil, aku
segera menawarkan mawar-mawar tersebut, namun jawaban mereka tetap sama,
mengangkat tangan kanan yang berarti ‘No’,
mereka tidak berminat untuk membeli mawar yang kujual.
Aku terus
berkeliling di sekitar jalanan berusaha untuk mendapat pembeli yang mau
membayar untuk mengambil mawar yang sedang berada di kotak yang kupegang.
Namun, nihil, benar-benar nihil. Sejauh ini, belum ada yang ingin membeli.
Saat lampu hijau,
aku segera berlari menuju trotoar sebelum beberapa kendaraan bermotor melewati
perempatan. Kupandangi juga beberapa pedagang asongan termasuk Aditya, Febby,
dan Brian, serta pengamen jalanan menyingkir dari jalan menuju trotoar. Ada
pula yang singgah di halte busway
meskipun hanya di seberang jalan.
Kuputuskan untuk
singgah di halte busway untuk
mendapat pembeli lebih banyak lagi, aku segera mengikuti arah kendaraan
bermotor berjalan lurus melewati zebra
cross, kulihat juga di sebelah kiri beberapa kendaraan bermotor berhenti
menunggu lampu hijau.
Aku menghentikan
langkahku saat menghadap ke kanan. Halte busway
sudah di depan mata, hanya dihalangi motor dan mobil yang terus berjalan saat
lampu hijau menyala.
Saat lampu merah
kembali menyala, aku segera seberangi zebra
cross menuju trotoar seberang sebelum memasuki halte busway. Kudengar juga beberapa suara terompet yang dibunyikan
klakson mobil.
Aku memasuki halte busway, kebetulan sedang ada banyak
calon penumpang yang sedang menunggu bus, jadi ada kemungkinan salah satu dari
mereka membeli mawar jualanku. Aku segera menemui masing-masing calon penumpang
untuk menawarkan mawar-mawar itu. Tetapi tentu saja aku ragu, tetap saja. Aku
segera berkata-kata pada calon pembeli sambil berharap agar mereka berminat,
tetapi, tetap saja, kebanyakan berkata ‘tidak’ atau mengangkat tangan kanan
mereka yang menandakan menolak.
Aku mulai duduk
saat kebanyakan calon penumpang berbondong-bondong mulai menaiki sebuah bus
TransJakarta. Ada juga beberapa penumpang yang turun, jadi aku bangkit dan
mulai menawarkan mereka.
Jawaban mereka
tetap sama, kata ‘tidak’ dan angkat tangan itulah jawaban yang kudapat. Mereka
pun akhirnya turun meninggalkan halte busway.
Aku benar-benar
kebingungan, tidak ada yang ingin membeli mawar daganganku, memang barang yang
kujual ini merupakan barang yang tidak wajar bagi pedagang asongan. Aku sangat
ingin membantu Brian, tetapi kali ini aku merasa aku telah mengecewakannya.
“Indah!” Suara
Febby mengagetkanku dari belakang.
Aku berbalik bahwa
Febby sedang berdiri di depan pintu masuk halte seiring beberapa orang masuk.
Kuduga bahwa Febby berhasil menjual dagangannya, kotak-kotak tisu.
“Aduh, enggak ada
yang mau beli tisu dari gue euy. Euleuh-euleuh, hari gini mah orang-orang butuh tisu atuh. Kan sekarang lagi musim penyakit
tau!” keluh Febby.
Aku tersenyum,
“Ternyata jadi pedagang kayak gini kagak mudah ya.”
“Emang! Susahnya
minta ampun deh! Hari gini mana mau yang beli tisu ginian sih di jalanan!
Palingan pada beli di supermarket sama mall sana tah!” Sepertinya Febby tidak
menikmati hal yang bisa membantu keluarga Brian.
“Udah, Feb,
daripada ngeluh gini, mending kita cari pembeli lagi, lagian masih banyak yang
bisa ditawarin nih, sama pedagang-pedagang di jalanan enggak pada ngeluh tuh.”
“Itu mah menurut kamu aja!”
“Mending kita
jualan bareng yuk.”
“Oke deh.” Febby
sepakat.
Kami pun segera
berjalan meninggalkan halte busway tersebut
untuk kembali berjuang mendapatkan pembeli, tentu saja mendapatkan hasil
penjualan barang dagangan kami berdua, mawar dan tisu. Mungkin Febby lebih
beruntung mendapat barang dagangan tisu karena hal tersebut masih wajar.
Tanpa keluh kesah
terhadap udara yang tidak menyejukkan berasal dari cahaya menyilaukan matahari
dan asap-asap knalpot kendaraan bermotor, aku tetap harus berjuang mendapatkan
pembeli. Kebetulan, seorang pengendara sepeda motor berjaket kulit biru ingin
membeli barang daganganku.
“Berapa, Neng?” tanya
pria itu.
“Tujuh ribu
rupiah.”
Pria tersebut
segera mengeluarkan dompetnya dari saku celananya, diambilnya selembar uang
sebelum memberikannya padaku. Aku juga menyerahkan sebuah mawar kepada pria
tersebut sambil tersenyum.
“Makasih, Neng.”
“Sama-sama.”
Tanpa basa-basi
lagi, aku segera berlari meninggalkan jalan raya menuju trotoar bersama Febby
menjelang lampu hijau menyala. Mobil-mobil pun mulai berjalan melewati jalan
tersebut meski pada awalnya kembali terdengar suara terompet dari mobil dan
motor. Aku segera mencari calon pembeli yang sedang berjalan, berdiri, atau
sekadar diam di trotoar. Febby juga melakukan hal yang sama denganku.
***
Kami berempat
kembali berkumpul di depan gerai 7-Eleven saat awan berwarna kegelapan mulai
memenuhi langit biru. Benar-benar hari yang melelahkan bagi kami semua, apalagi
aku dan Febby mendapat lebih sedikit pembeli daripada Aditya dan Brian.
Sebenarnya aku mendapat pembeli lebih banyak daripada Febby. Kupandangi kotak
dagangan Aditya dan Brian, kurang lebih setengah hingga tiga perempat barang
dagangan mereka terjual. Memang wajar, kebanyakan pedagang jalanan menjual
koran, minuman ringan, dan rokok.
“Oke, pada dapet
berapa nih?” tanya Febby sinis, “Gue cuma dapet dikit doang. Cuma lima bungkus
tisu yang kejual.”
Aditya meledek,
“Bungkusnya doang?”
“Sama isinya dong!”
“Gue sih mending,
banyakan gue daripada lo, Feb.” Aditya tertawa. “Tapi kita udah coba ngebantu
Brian. Brian yang lebih banyak dapet pembelinya.” Dia menatapku. “Indah, kamu
gimana?”
“Um …. Aku …
mawarnya cuma delapan yang kejual,” aku menjawab dengan malu meskipun jumlah
penjualan yang kudapat lebih besar daripada Febby.
“Bagus lah, lumayan
nambah duit buat Brian.”
Brian pun segera
menyela, “Udah deh. Udah mendung nih, mending kita balik buat ngitung. Sebelum
yang lainnya pada ngelihat gue,” Dia rupanya masih tidak ingin terlihat sebagai
orang miskin oleh teman-teman yang lain, “Kita balik sekarang.”
Febby mengeluh saat
kami berempat mulai berjalan memasuki gang kecil menuju rumah kontrakan
keluarga Brian, “Lo sih enak banget, jualan minum sama rokok.”
Saat kami tiba di
depan rumah kontrakan Brian, kami melihat ada teman-teman sekelas, setidaknya
ada tiga orang laki-laki. Hal ini tentu saja mengagetkan kami semua, terutama
Brian.
Ekspresi Brian
terlihat datar saat mereka memanggil namanya dengan heran. Inilah hal yang
tidak diinginkan Brian, kehidupan keluarganya sebagai orang miskin akibat
ayahnya di-PHK kini terbongkar sudah.
Brian menggeleng
saat ia memandang ketiga teman sekelas kami, salah satunya Aldi, sang sekretaris
kelas yang memakai kaos biru tua dan celana panjang coklat, melangkah
menghampiri Brian.
Tetapi Brian
berbalik menjatuhkan barang dagangannya di jalan halaman rumah, ia berlari
belok kiri dengan cepat, cepat sekali. Kurasa ia malu, sangat malu dengan
kondisi keluarganya yang sekarang.
“Brian!” Aditya
tanpa basa-basi lagi segera berlari mengikuti Brian untuk membujuknya.
Febby protes, “Oke,
udah cukup! Lo semua tahu darimana tempat ini?! Ngomong!” Dia butuh penjelasan,
kurasa demi melindungi Brian.
Aldi menjelaskan
segalanya, “Gini, gue kebetulan lagi jalan-jalan bareng mereka. Gue ketemu
supir taksi yang mirip sama bokapnya Brian. Gue nanya kalau dia tuh benaran
bokapnya Brian. Ternyata benar, gue udah duga kalau bokapnya Brian benaran jadi
supir taksi.”
Febby memotong
tegas, “Jadi intinya lo yang nyebarin gosip itu? Hah?!”
Aku segera
menenangkan Febby, “Febby, sudah, kamu enggak usah kayak gitu jawabnya. Kita kan
udah tahu kalau Brian tuh udah punya masalah ….”
Aldi memotong,
“Jadi lo selama ini udah tahu kalau keluarga Brian kayak gini? Lo tahu kalau
dia emang udah punya masalah sejak lama jadi kayak gini?” Dia menarik napas
sejenak, “Febby, Indah, gue nanyain gini karena gue teman Brian, gue sekretaris
kelas juga. Gue emang pengen ngebantuin Brian. Gue juga enggak masalah kondisi
Brian kayak sekarang, gue bisa terima kalau dia punya masalah sampai dia jadi
miskin kayak gini. Tapi gue kagak bisa terima kalau kelakuan Brian kayak gitu.
Seakan-akan dia nyembunyiin fakta kalau dia berubah dari orang kaya jadi
miskin. Gue sebagai teman, jujur aja, malu banget sama kelakuan dia kayak gitu.
Harusnya dia move on. Seengaknya dia
masih punya bokap, nyokap, sama adiknya yang selalu sayang sama dia.”
Penjelasan Aldi
agak berlebihan bagiku, bukan hanya panjang pada dasarnya. Aku bahkan tidak
mengerti apa yang Aldi katakan, meski hanya sebagian. Aku salut Aldi bisa
terima keadaan Brian sekarang.
Febby bertanya,
“Terus apa enggak apa-apa kita ngebiarin Brian kayak gini? Terus gimana dong?
Kita udah janji sama Brian kalau kita enggak boleh bilang hal ini sama
siapa-siapa. Kalau Brian bilang ke lu juga, kalau lu juga ikutan sama kita
waktu itu, lu enggak bakalan bilang hal ini sama siapa-siapa.”
Aldi berargumen,
“Feb, kata gue ini bukan aib sih, tapi semuanya, teman sekelas kita, pada
penasaran sama kelakuan Brian akhir-akhir ini di kelas! Gue bakal bilang sama
yang lainnya, ini demi kebaikan Brian! Demi kebaikan Brian!”
Aku berbicara
baik-baik pada Aldi, “Aldi, mungkin harusnya Brian aja yang ngatain yang
sebenarnya.”
“Eh?!” Febby kaget
dengan pendapatku. “Indah, maneh serius?
Tapi lu tahu, kan Brian enggak rela rahasianya diketahui orang lain! Kasihan kan
si Brian!”
“Maaf, Feb, aku
ingin cari Brian dulu. Dia sama Aditya, kan?”
Namun, setetes air
mendarat tepat di kepalaku, terutama pada helai rambutku, kutatap ke atas,
langit mulai menjadi abu menandakan banyak tetesan air akan turun. Aku segera
berlari memasuki rumah Brian.
Kusapa ayah Brian
yang berjalan menuju halaman depan saat kulewati ruang tamu, “Permisi, Om. Mau pinjam
payung sama cari Brian. Maaf ke kamar Om ngambil payung!”
Aku segera berlari
menuju kamar orangtua Brian untuk mengambil payungku dari dalam tas. Aku
berlari meninggalkan kamar dan rumah tersebut saat hujan sudah mulai deras.
Kubuka payungku dan kupegang agar kepalaku tidak terkena hujan. Payungku
membuat kepalaku tetap teduh.
Aku melangkah ke
kiri melewati gang kecil menuju jalan raya, aku segera mengambil ponselku dari
saku rokku untuk menelepon Aditya.
Saat Aditya
mengangkat telepon tersebut, aku segera bertanya, “Dit, kamu lagi dimana?”
“Lagi di busway yang lagi sepi nih, Indah.
Mendingan gue aja yang ngomong sama Brian. Kamu enggak usah ke sini, Indah.”
“Tapi aku juga mau
ngomong.” Aku sudah keluar dari gang kecil dan mendarat di depan gerai
7-Eleven.
“Indah, aku juga
lagi berusaha buat yang terbaik ngomongnya, si Brian masih aja enggak mau
nerima kalau temannya tahudia ….” Telepon tiba-tiba terputus.
“Adit? Halo?” Aku
segera berlari melewati zebra cross
menuju halte busway. Aku sudah
melihat Aditya sedang berbicara dengan Brian di dalam halte busway yang sudah disebutkan Aditya,
sepi.
Kudengar suara
Brian berteriak, “Image gue sebagai
ketua kelas udah tercemar, Dit! Mereka udah tahu kalau gue jadi miskin!! Mana
bisa gue nunjukin muka gue di depan teman-teman?!”
Aditya tampak tidak
bisa berkata apapun lagi, dia seperti sudah kehabisan ide untuk menasihati
Brian. Ia sudah mencoba untuk memberitahu segalanya, tapi Brian tetap saja
ngotot.
Aku menghampiri
mereka berdua saat kututup payungku, “Brian, Aditya,”
“Lo ngapain ikutan
ke sini?!” teriak Brian.
“Brian, udah,
jangan jadi gini lah,” ucap Aditya.
“Dit.” Aku menepuk
pundak Aditya sebelum menghadapi Brian. “Brian, aku udah bicara sama Aldi. Dia
nerima kondisi kamu kayak gimana, masalahnya tinggal kamu. Kamu belum nerima
kondisi kamu sekarang.”
“Sok tahu lo!”
“Aku bukannya sok
tahu, Brian,” aku membantah. “Aku udah bicara tatap muka sama Aldi, jadi itulah
mengapa aku mengatakan ini.” Lalu aku menambah sambil teringat, “Aku jadi ingat
apa yang dikatakan Aditya pas pertama kali kita ke kontrakan kamu. Kita teman
kamu, Brian. Kamu enggak kehilangan teman kamu yang selalu di sampingmu.
Apalagi kamu ga kehilangan keluargamu, ada ayah, ibu, sama adik kamu yang
selalu sayang sama kamu, hal itu enggak bisa kamu nilai sama uang atau materi
apapun. Mungkin ini cobaan yang lagi keluarga kamu hadapin.”
Brian berkata, “Tapi
lo enggak tahu inti masalahnya. Masalahnya ….” Brian terlihat sudah tidak bisa
berkata apapun lagi. “Apa …. Apa …, kenapa …, kenapa gue…”
“Brian,” panggil
Aditya.
Badan Brian mulai berguncang,
begitu juga setetes air keluar dari kedua matanya. Tangannya segera mengusap
wajahnya.
“Jangan nangis,
Brian,” ucap Aditya.
“Gue enggak
nangis!” teriak Brian.
“Brian, kalau kamu
mau ngebantah perkataanku, katakan saja,” ucapku. “Aku tak akan marah.”
Brian secara
tiba-tiba berlari mendekatiku, ia mengikat perut dan pinggangku dengan kedua
tangannya, hal tersebut tentu saja mengagetkanku.
“Bri …, Brian?!”
“Indah, sejak lo
datang, gue anggap lu udah buat hidup gue sebagai orang miskin… bukan, sebagai
orang tak mampu …, bukan, maksud gua, sebagai anak yang ayahnya udah di-PHK dan
menjadi supir taksi, jadi lebih baik. Gue akui itu.”
“Brian,” kupanggil
namanya seraya menenangkannya.
Comments
Post a Comment