While We Ran Away Episode 6
Melarikan Diri
Aku
benar-benar muak dengan sistem penegakan hukum di negeri ini, apalagi jika
berkaitan dengan politik. Tentu aku sering mendengar perbandingan hukuman bagi
koruptor, terutama politikus, dengan orang biasa mau itu miskin atau kaya yang
telah mencuri, hingga artis yang tersandung kasus video porno.
Tentu
aku ingat, hukuman pelaku korupsi dan artis yang tersandung kasus video porno
harus menerima vonis penjara, waktu sama persis, tiga setengah tahun, mungkin
itu sudah termasuk remisi. Hal yang paling bikin aku murka adalah ketika
penegakan hukum malah membela pejabat yang sudah jelas melakukan korupsi,
sedangkan rakyat kecil seperti orang miskin sekali pun harus menderita vonis
berat setelah melakukan kesalahan sepele, mencuri. Hukum di negeri ini malah
menjadi tidak adil, kasusnya besar hukumannya ringan, dan sebaliknya, kasusnya
kecil hukumannya sangat berat. Apakah itu yang dinamakan keadilan?
Setelah ibuku meninggal dunia karena
kecelakaan mobil, Ayah begitu murka hingga dia menuntut sang pelaku karena
telah melakukan tabrak lari lewat jalur hukum. Aku ingat Ayah ingin sang
pelaku, meski dia masih merupakan mahasiswa, dihukum seberat-beratnya. Tetapi,
proses penegakan hukum ternyata tidak secepat dan semudah itu.
Meski
terbukti pelakunya telah menabrak mobil yang waktu itu Ibu tumpangi lewat
rekaman CCTV, aku tidak ingat kenapa dia sampai mengebut hingga melakukan
tabrak lari yang begitu parah. Seingatku, bagian depan mobil pelaku sampai
penyok menunjukkan retakan akibat tabrakan itu, sesuai dengan rekaman ketika
dia berupaya melarikan diri dari masalah, menghindar dari tanggung jawab.
Meskipun
begitu, pelaku di balik kematian Ibu mendapat vonis yang tidak sesuai harapan
Ayah, tidak seberat yang Ayah inginkan. Pelakunya hanya dihukum denda, aku
tidak ingat berapa banyak uang yang harus dia keluarkan, serta pembinaan,
mengingat dia masih berstatus mahasiswa.
Aku
yang sempat menonton sidang vonis sampai-sampai menjerit begitu keras tidak
dapat menerima keputusan hakim, “Harusnya dia dipenjara! Dia bunuh Ibu saya!
Dia bunuh Ibu saya!”
Ayahku
yang awalnya ingin pelaku di balik kematian Ibu tidak bisa berbuat apapun lagi
ketika hakim telah menentukan sebuah keputusan. Dia juga bilang padaku kalau
Ayah bukan ahli hukum, begitu juga denganku. Rakyat yang tidak berwenang ketika
berhadapan dengan proses penegakkan hukum memang tidak berhak jika kita
menentukan hukuman sendiri, termasuk pejabat politik sekali pun seperti Ayah.
Karena
itu, aku benar-benar muak dengan penegakkan hukum di negeri ini, tidak ada
keadilan yang ditegakkan sama sekali, yang salah malah dibela hakim hingga
mendapat hukuman ringan. Sungguh ironis, menegakkan keadilan saja tidak bisa,
main hakim sendiri juga tidak boleh, pantas saja banyak yang ingin main hakim
sendiri jika ada kesalahan fatal bagi sang pelaku.
Aku
sudah tidak ingin percaya pada penegakkan hukum di negeri ini, makanya aku
tidak memanggil polisi sama sekali demi melindungi Sena. Mungkin main hakim
sendiri tidak boleh dan melanggar hukum, tapi aku benar-benar akan
melakukannya. Aku akan menghukum ayahku sendiri, begitu juga dengan ibu tiri,
karena mereka telah menyiksa Sena habis-habisan. Aku dan Sena akan melarikan
diri, menjauh demi menghindari neraka dari mereka.
***
Berkat
kebohonganku terhadap dokter jaga di UGD, beliau menyimpulkan bahwa Sena hanya
kelelahan, mungkin karena kurang tidur. Tetapi, beliau juga berkata padaku agar
mengawasi Sena, hanya untuk berjaga-jaga jika Sena melakukan hal berbahaya bagi
anak seusianya. Kami pun diperbolehkan untuk pulang.
Ada
dua kemungkinan jika kami berdua kembali ke rumah, mungkin Ayah dan ibu tiri
sudah pulang duluan dan bertanya kami ke mana malam-malam begini. Mungkin saja
… Ayah dan ibu tiri belum pulang. Kalau mereka belum pulang, mungkin rencana
untuk melarikan diri bisa berjalan mulai dari sekarang, aku bisa persiapkan
segalanya untuk melarikan diri dari rumah.
Aku
memesan taksi online begitu kami keluar dari halaman rumah sakit yang sudah
begitu sepi, meski beberapa mobil telah terparkir pada malam itu. Udara memang
sedang dingin pada malam hari seperti ini, sialnya aku tidak pakai jaket karena
terburu-buru dan panik ketika Sena jatuh pingsan di kamar. Dinginnya hingga
menusuk kulitku hingga tegang, tapi aku tetap harus fokus pada rencanaku.
Sebuah
mobil sedan oranye tiba menemui kami. Ketika menatap nomor polisi mobil itu,
ya, mobil itu merupakan mobil bernomor polisi sama yang tertera di aplikasi
taksi online, berarti itu adalah mobil driver
yang mengambil order-ku.
Kubuka
pintu belakang kiri dan membiarkan Sena masuk terlebih dulu. Aku juga masuk
sambil menutup pintu rapat. Kami berdua duduk di kursi belakang ketika supir
kembali mengendarai untuk menuju tujuan, rumah.
Jika
pagi dan sore jalanan sering sekali mengalami kepadatan kendaraan bermotor,
terutama mobil, di kota ini, siang dan malam lumayan lancar, meski terkadang
masih padat. Beruntung, langit malam sudah mulai larut dalam waktu, jalan
pulang yang kami lewati benar-benar lancar, kalau padat, setidaknya supir kami
bisa mengendarai dengan leluasa tanpa harus berhenti.
Lampu
neon putih pada jalan turut menemani larutnya malam dan setiap pengemudi agar
mendapatkan keamanan dalam mengemudi. Kulihat juga beberapa gedung pencakar
langit mulai padam cahayanya. Mall terkenal yang kami lewati juga sudah mulai
mengalami waktu tutup ketika kulihat kebanyakan pengunjung mulai berkumpul di trotoar
menggenggam ponsel.
Ketika
kami memasuki komplek rumahku, aku hanya memikirkan skenario terburuk sebelum
rencanaku benar-benar dimulai, bagaimana kalau Ayah dan ibu tiri masih ada di
rumah? Apakah aku harus menunda melarikan diri? Apakah aku harus membiarkan
Sena berada di dalam neraka buatan mereka?
Lamunanku
terhenti ketika mobil terhenti di samping rumah. Beruntung, seluruh lampu
rumah, termasuk teras rumah, belum menyala sama sekali, tidak ada mobil sedan silver yang terparkir di samping sepeda
motor di garasi, berarti mereka belum pulang.
Aku
buru-buru mengeluarkan dompet dari saku, mengeluarkan uang pas dan
menyerahkannya pada pengemudi mobil. Kami akhirnya keluar dari mobil dan
menempatkan kaki pada jalan aspal. Kami melangkah memasuki teras rumah.
Kubuka
kunci rumah begitu keras hingga menimbulkan bunyi karena sedang terburu-buru.
Aku juga berkata pada Sena, “Kita siapin baju dulu. Terus kita langsung ke
terminal.”
“Kak
… kenapa enggak langsung aja?” tanya Sena penasaran.
Aku
menjawab ketika membuka pintu, “Enggak enak juga kalau misalnya enggak ganti
baju habis mandi. Ayo masuk, cepat. Sena ke kamar dulu, ambil baju yang pengen
dibawa. Kakak bakal cari sesuatu dulu.”
Aku
tahu melarikan diri butuh uang, apalagi ketika saat darurat. Ketika Sena
memasuki kamarnya, aku menyalakan lampu ruangan rumah. Lampu neon pada rumah
akhirnya menerangkan ruangan depan rumah dari kegelapan yang sunyi. Semua
tampak seperti biasa, tidak ada makanan yang tersisa di meja makan, tidak ada
koran bekas baca di meja ruang tamu, semuanya tidak bernoda sama sekali.
Kudekati
rak di bawah televisi LCD dan pemutar DVD dekat pintu kamar Ayah, menghadap
pintu kamarku dan meja makan. Kubuka satu per satu laci untuk mencari jika ada
uang atau sesuatu yang berguna. Tetapi, yang kutemukan hanyalah beberapa CD
musik favorit Ayah, genre jazz, dan
DVD film. Ayah sering beli CD jazz dan
mendengarkannya untuk melepas penat setelah kerja, jika sempat.
Setelah
kututup seluruh laci rak di bawah televisi dan pemutar DVD, kini saatnya
kumasuki kamar Ayah. Sudah lama aku tidak pernah masuk ke kamar Ayah semenjak
Ibu meninggal. Kudorong pintu perlahan untuk membukanya lebar.
Kutekan
tombol di dekat pintu tuk nyalakan lampu kamar. Lampu neon putih seakan-akan
memberi cahaya putih memancarkan dinding putih polos. Kutatap tempat tidur king size berada di hadapanku, lemari
pakaian berada di sisi kiri, kursi kecil berbantal coklat empuk dan cermin
ber-rak penuh dengan perlengkapan kosmetik juga berdiri di samping kanan.
Entah
kenapa, naluriku mengantar menuju lemari pakaian, apa memang menurutku ada
rahasia yang disembunyikan setiap orang di lemari pakaian? Ketika kubuka pintu
kiri lemari pakaian, beberapa pakaian, terutama pakaian formal seperti jas
tergantung di dalamnya menggunakan gantungan baju berwarna-warni.
Begitu
kubuka pintu kanan lemari itu, terlihat beberapa pakaian yang telah terlipat
rapi, berdasarkan kategorinya sesuai tingkatan. Kulihat ada empat tingkat pada
lemari sebelah kanan. Tetapi, di tengah-tengahnya, ada satu laci. Mungkin ini
memisahkan yang mana pakaian Ayah dan yang mana pakaian ibu tiri.
Begitu
kubuka laci itu, kulihat sebuah amplop putih berada di posisi puncak beberapa
kertas dokumen, entah itu berkaitan dengan politik atau bukan. Amplop
menggelembung itu terbuka, sama sekali belum tertutup dengan perekat.
Kumasukkan tangan kanan ke dalam amplop itu untuk meraba isinya.
Isi
dari amplop itu adalah sebuah tumpukan, ketika kuraba puncaknya, begitu tebal
dan bertekstur kasar, ini berarti …. Kukeluarkan puncak dari isi itu, aku
begitu tercengang ketika menatap isi yang telah kusentuh.
Uang
kertas pecahan seratus ribu, berarti isi dari amplop itu adalah tumpukan uang
masing-masing bernilai seratus ribu. Kulihat kembali isi dari amplop itu,
ternyata benar, warna merah mendominasi isi dari amplop itu.
Tapi
… kenapa? Kenapa Ayah menyimpan uang sebanyak itu di dalam amplop? Apalagi di
dalam laci lemari pakaian? Apakah Ayah memang sedang menyiapkan uang cadangan
untuk berjaga-jaga? Apa tujuannya?
Tidak,
bukan waktunya untuk mengajukan pertanyaan pada diriku sendiri tentang tujuan
Ayah menyimpan uang seperti itu. Kuambil beberapa lembar uang dari amplop itu,
berarti aku mencuri uang dari ayahku sendiri. Setidaknya, menurutku, cukup
untuk memberi biaya segala sesuatu untuk melarikan diri, apalagi transportasi
menuju luar kota.
Kututup
rapat laci itu dan pintu lemari pakaian, Kukeluarkan dompet untuk menaruh uang
yang telah kucuri dari ayahku sendiri. Aku cepat-cepat keluar dari kamar Ayah,
kembali menekan tombol untuk mematikan lampu dan menutup pintu dengan rapat.
Kubuat seakan-akan aku tidak pernah masuk ke kamar Ayah lagi.
Kupercepat
langkah ketika memasuki kamarku sendiri. Kubuka pintu lebar, buru-buru ingin
mendekati tas backpacker-ku yang
telah kugeletakkan di bawah meja belajar. Begitu kubuka setiap risleting, semua
isinya kukeluarkan, mulai dari alat tulis, beberapa kertas hasil tugas, hingga
beberapa buku catatan. Semuanya kuletakkan di meja belajar, kuatur juga
seakan-akan telah merapikannya.
Tas
telah kukosongkan semua isinya, tinggal mengambil baju. Dengan cepat kudekati
lemari pakaian. Kubuka lebar kedua pintu lemari pakaian. Tidak ingin menunggu
lama lagi, kupilih pakaian yang memang biasa kupakai, kebanyakan kaos oblong
dan celana jeans, hanya satu celana training hitam yang kuambil, serta
pakaian dalam. Kumasukkan semua pakaian yang ingin kubawa ke dalam ruangan
paling belakang tas. Kutumpuk semuanya, celana terlebih dahulu, lalu kaos, lalu
pakaian dalam. Kututup risleting tas begitu cepat.
Kuambil
jaket biru dari gantungan baju yang menggantung di gagang pintu dan memakainya.
Udara malam ini memang menusuk kulit, pantas saja aku tidak mengenakan jaket ketika
ke rumah sakit mengantar Sena setelah memanggil ambulans tadi, aku memang baru
ingat saat perjalanan menuju rumah sakit kugantungkan jaket itu di gagang pintu
kamar. Dengan begini, tusukan udara dingin akan berkurang ketika kukenakan jaket
biru yang biasa kugunakan saat mengendarai motor.
Ketika
kuambil tas sebelum keluar dari kamar, oh sial, suara mesin mobil mendekat
menuju telingaku, begitu keras menandakan Ayah sudah tiba di halaman rumah. Aku
mempercepat langkah sambil menggandeng tas menuju kamar Sena.
“Sena?”
panggilku ketika memasuki kamar Sena.
Kututup
pintu dengan rapat sambil menatap beberapa pakaian yang telah Sena letakkan di
atas kasur. Sena begitu tertegun ketika menatap wajahku yang penuh kepanikan,
mengetahui bahwa Ayah sudah kembali ke rumah.
“Kenapa,
Kak?”
“Ayah
udah balik. Kamu diam dulu ya. Ayah enggak boleh tahu rencana kita,” ucapku
sambil berdiri di belakang Sena. “Dekat sama Kakak, ayo.”
“Sayang,
pasti capek kan,” suara ibu tiriku terdengar begitu keras.
“Se-Sena
takut,” ucap Sena.
Kututup
mulut Sena menggunakan tangan kanan sambil berbisik, “Tenang, Sena. Tenang.”
Keadaanku
tidak berbanding lurus seperti perkataanku pada Sena. Aku menarik napas pelan
untuk menangkan diri. Aku berkata pada diri sendiri dalam hati agar tidak
panik, yakin saja kalau melarikan pasti akan berhasil.
Kudengar
Ayah telah membuka pintu untuk masuk bersama ibu tiri. Langkah kaki dan
percakapan mereka berdua mulai terdengar ketika kututup mata, berharap agar
mereka tidak mengecek kamarku sama sekali.
“Yoshi
sama Sena udah pada tidur?” ucap Ayah ketika terdengar pintu rumah telah
kembali tertutup dan terkunci.
“Eh,
udah jam segini, pasti mereka udah tidur. Biarin aja. Enggak enak kalau
keganggu kan? Udah, Ibu capek banget.”
Percakapan
itu terhenti ketika kudengar suara pintu kamar Ayah yang tertutup rapat. Aku
menghela napas sambil kembali membuka mata merasakan beban telah terangkat
untuk sementara. Kulepas mulut Sena agar dia bisa mengembuskan napas.
Dengan
cepat, kubuka risleting tengah tasku, menumpuk setiap pakaian Sena dengan
berhati-hati, khawatir ketika kutumpuk akan menimbulkan sebuah suara kencang.
Kutepuk pelan tumpukan pakaian Sena di dalam tas setelah memasukkannya. Kututup
risleting perlahan agar tidak menimbulkan bunyi.
“Sena,
dengar Kakak. Kita bakal pelan-pelan jalannya, biar enggak berisik.” Kuambilkan
jaket merah dari lemari Sena.
“Ta-tapi
… gimana kalau ketahuan?” tanya Sena memasamkan wajahnya ketika aku kembali
menggandeng tas.
Aku
menenangkan Sena lagi sambil memakaikan jaketnya, “Bisa aja kita ketahuan, tapi
pikir positif aja, kita bakal keluar dari sini. Tapi pelan aja. Pas kita udah
di luar, Sena bisa lari, kan?”
“Se-Sena
capek, Kak. Enggak naik motor aja?”
“Ya
udah, kita percepat jalan aja pas udah di luar. Soalnya, kalau naik motor,
takutnya bakal ketahuan. Kakak bakal pesan taksi online, terus kita ke terminal, naik bus ke luar kota. Kita bakal
lolos. Kalau Sena percaya sesuatu pasti akan terjadi, pasti bakal terjadi.” Aku
mengenggam erat tangan kanan Sena bersiap untuk keluar dari kamar. “Oke, kita
keluar dari kamar, jalannya pelan aja ya. Ayo.”
Aku
mulai melangkah dan membuka pintu perlahan sambil mengenggam tangan Sena. Kami
melangkah begitu pelan dan mengendap-endap menuju pintu rumah. Beruntung, pintu
kamar Ayah tertutup rapat, seperti dugaanku. Kami memelankan langkah menuju
pintu rumah.
Kubuka
kunci pintu perlahan, tidak menimbulkan suara sama sekali, begitu sulit harus
mengurangi tenaga agar pembukaan kunci tidak terdengar keras. Kubuka pintu
perlahan dan kami keluar dari rumah menuju teras.
Begitu
kututup perlahan pintu dengan rapat dan kukunci, kami cepat-cepat memakai
sepatu yang telah kami letakkan di samping. Ketika mengikat sepatu, debar
jantungku menambah kecepatannya, sangat tegang dan takut jika ketahuan.
“Ayo,
Sena.”
Akhirnya,
kami berdua mempercepat langkah ketika kami meninggalkan halaman rumah. Detak
langkah kami pada jalan aspal berbunyi pelan ketika kamu terburu-buru ingin
meninggalkan komplek meski angin malam berembus terlalu sejuk. Kupesan taksi online ketika sampai di gerbang komplek.
***
Meski
langit gelap semakin larut, bisa terlihat masih ada begitu banyak bus yang
tengah mterparkir menunggu waktu keberangkatan. Satu per satu penumpang
berbondong-bondong mendekati bus ketika waktu keberangkatan menuju tujuan
masing-masing telah dekat.
Kami
telah membeli dua tiket bis menuju destinasi yang kami tuju, harganya lumayan
mengocek dompet, apalagi ketika berangkat berdua. Beruntung, kudapatkan dua
tiket terakhir karena katanya tiket bus menuju kota tujuan kami sering laris
hingga terjual habis semuanya.
Begitu
waktu keberangkatan telah tiba, seluruh penumpang berbondong-bondong melangkah
mendekati salah satu bus putih yang terparkir di jalan aspal ketika seorang
supir mengumumkannya. Tempat parkir bus memang masih penuh dengan beberapa bus
yang menunggu keberangkatan menuju destinasi masing-masing, berbaris berjajar.
Kuputuskan
untuk mengambil salah satu kursi barisan belakang sebelah kiri bus, setiap sisi
barisan memiliki dua tempat duduk berwarna abu-abu, memang empuk jika diduduki
mengingat kami mengambil tiket bus kelas bisnis. Lampu neon memang masih
menerangi menjelang keberangkatan.
Kuambil
ponsel dari saku celana sekaligus bungkus kartu perdana prabayar yang telah
kubeli setelah mendapatkan dua tiket terakhir bus menuju tujuan. Kukeluarkan
SIM card lama dari ponsel secara hati-hati dan perlahan.
“Kak,
kenapa itu dikeluarin?” Sena menunjuk SIM card lama yang telah kukeluarkan.
Kutaruh
SIM card lama itu ke dalam plastik kecil sambil menjawab, “Kakak ganti nomor
baru, biar Ayah enggak bisa SMS, apalagi nelepon. Sena enggak mau kan kalau
dipaksa pulang sama Ayah, apalagi dimarahin, terus—”
“Sena
ngerti, Kak,”
“Sena
capek kan habis jalan sama nunggu? Kakak juga capek banget. Ya mending tidur
aja. Jangan dipaksa buat gadang ya.”
“Iya,
Kak. Sena ngantuk … banget.” Sena membuka mulut lebar seraya menguap.
Kutepuk
pundak Sena sekali lagi ketika mesin bus telah terdengar dan menyala. “Gitu
dong. Nanti Kakak bangunin kalau udah nyampai. Tidur aja. Nanti Kakak juga
tidur.”
Sena
menyandarkan kepala pada jendela kaca sambil menutup mata, kelelahan terlihat jelas
pada tubuhnya. Setelah apa yang telah dia alami, kurasa pantas baginya untuk
beristirahat. Aku tahu Sena kelelahan setelah tersiksa oleh ibu tiri, apalagi
Ayah. Aku tidak ingin ada apa-apa lagi pada adikku.
Akhirnya,
bus yang kami tumpangi lepas landas dari terminal. Perjalanan menuju destinasi
kami dimulai, melarikan diri dari rumah yang sudah bagaikan neraka.
Comments
Post a Comment