Finding Childhood Love Episode 5
Hang Out
Cermin merefleksikan
diriku tengah memakai baju lengan panjang hitam putih belang dan celana jeans
putih. Kusisir rambut lurus sebelah kananku dengan rapi. Aku sebenarnya tidak
terlalu percaya diri. Aku bertanya-tanya apakah pakaian yang kukenakan terlalu
formal. Aku tidak tahu.
Kuambil
ponselku yang berdering di meja bawah
cermin. Kulihat layar ponselku menunjukkan bahwa ada telepon dari Aditya,
tetangga sebelahku. Aku segera mengangkat telepon tersebut.
“Udah bangun, belum? Kalau
belum cepat bangun. Hari Sabtu pagi nih, kamu kagak boleh malas hari libur
ginian,” kudengar suara Aditya
tertawa.
“Iya, aku udah bangun
dari tadi,” aku membalas, “Kamu
baru bangun ya?”
“Aduh,” Aditya tertawa
lagi, “Kamu kok tahu banget sih?”
“Ya iyalah, Dit,” Aku
tertawa, “Aku kan bisa dengar kalau kamu berbicara
sambil nguap.” Sebenarnya aku hanya menebak kalau dia sedang menguap.
“Oh ya, seharusnya aku .... Ya udah, selamat pagi,
Indah,”
“Selamat pagi, Aditya.”
“Aku mau ke bengkel, kamu
mau ikut enggak? Sekalian lihat motor gue diservis
sama dicuci.” Aditya tertawa lagi.
“Dit, sorry banget, aku udah ada janji sama
teman, aku mau pergi nonton film.”
Bisa kudengar Aditya
cukup kecewa.
“Oh, oke.”
“Kenapa?”
“Enggak, enggak apa-apa, Indah,” Aku
bisa mendengar bahwa Aditya tersenyum padaku meski hanya lewat telepon. “Semoga kamu
bersenang-senang hari ini. Jangan lupa ke rumahku nanti sore buat belajar
bareng.”
“Oke, Dit, aku akan
segera ke sana setelah selesai. Udah dulu ya.” Aku mengakhiri percakapan.
Saat aku memandangi
matahari yang menyinari kota Jakarta pagi ini, aku teringat saat aku
meminjamkan payungku kepada Brian sepulang sekolah karena hujan besar. Aku
hanya berharap agar tidak hujan hari ini, semoga hari ini benar-benar cerah.
Aku tidak akan bawa payung.
***
“Ah! Aku benci hujan di
saat yang tidak tepat!” seru Brian ketika dia
berdiri di depan pintu keluar gedung sekolah menatapi hujan yang sungguh deras. Terdengar pula suara
petir menyeramkan seakan-akan sekolah akan dihantam.
Kupikir suara petir telah
menghantam salah satu gedung tertinggi di sekitar Jakarta, namun kelihatannya
baik-baik saja. Aku cukup ketakutan menghadapi suara petir disertai hujan
besar, namun hal itu tidak membuatku ingin tetap di sekolah, aku tetap rela dan
berani berjalan pula sendiri kehujanan kalaupun Aditya tidak bisa mengantarku.
Aku segera berjalan
mendekati Brian sambil menelepon Aditya.
“Adit, kamu kemana? Jadi antar aku pulang enggak?”
“Jadi ko, gue tadi ada
ketemuan sama teman.”
“Oke, Dit,” Aku tersenyum
lagi sambil menutup percakapan.
Di saat yang sama, aku
berjalan mendekati Brian yang sedang bergumam sendiri. Sepertinya dia tidak
sadar kalau gumamnya keras hingga terdengar oleh beberapa murid yang setidaknya
terjebak hujan untuk tetap di dalam gedung sekolah maupun yang berlari nekad
keluar tanpa payung maupun jas hujan. Setidaknya ada murid yang membawa payung
atau memakai jas hujan.
Brian bergumam, “Huh! Gimana nih! Kapan
hujan tolol ini berhenti?! Gue mau pulang cepet!”
“Brian,” aku panggil dia.
Brian memandangku sinis, “Apa lo? Gue mau pulang
sendiri, lagian lo udah tahu
rahasia gue, ayah gue bakal jemput sama malu-maluin gue nanti. Kalau gini
terus, gue enggak bisa nunjukin kalau gue
masih orang kaya.”
Aku segera membuka
risleting tasku untuk mengambil sebuah payung merah, kuputuskan untuk
meminjamkan payung itu pada Brian,
“Ini, kamu bisa pinjam payungku,”
Brian menolak sambil
buang muka,
“Gue kagak minta.”
Aku tersenyum
memandanginya,
“Kamu kan kagak mau kalau rahasia kamu keekspos, kan?”
Brian kembali menatapku, dia membuang muka beberapa kali
memperlihatkan rasa malunya, itu yang kupikir. Dia pun mengambil payungku, “Ah! Oke, gue pinjam
punya lo deh!”
Kebetulan sekali,
terdengar suara Aditya berteriak,
“Ciyee! Si Brian minjam payung si Indah nih yee! Cihuy!!” Suara itu membuat
pandangan kami berdua teralihkan pada Aditya yang sedang berjalan ke arah kami,
begitu juga dengan beberapa siswa lain yang sedang menunggu di lobi gedung
sekolah memandangi kami berdua sambil bersorak-sorai menduga bahwa kami saling
suka.
Brian segera membantah, “Lo apaan sih?!” Dia
membuka payungku sebelum menyapa dan berjalan keluar gedung sekolah. “Udah, gue duluan.”
***
Suara klakson mobil
membuatku berhenti memutar pikiran tentang Brian. Aku segera berjalan keluar
dari kamar menuju ruang tamu, memandangi dari jendela ke arah luar. Sebuah mobil sport kuning sudah terlihat parkir di
depan halaman rumahku.
“Indah, makan dulu!”
kudengar suara ibuku memanggil.
“Sebentar, Ma.” Kubuka
pintu saat kupandangi Ikbal berjalan keluar dari mobil sport kuning itu sebelum melangkah masuk
melewati halaman rumahku. Aku menyapa,
“Hai.”
“Indah, rumah lo bagus
banget.” Ikbal melihat sekeliling halaman rumahku. “Pantasan nih.” Ia tersenyum.
“Ayo masuk,” ajakku.
Ibuku segera menyambut
kami saat kami melangkah masuk ke dalam ruang tamu, “Eh, ada teman kamu ya,
Indah? Oh, kirain Aditya”
Ikbal menjawab secara
halus, “Bukan, Tante. Saya
Ikbal. Saya ngajak Indah keluar
hari ini, Tante.”
“Oh,” Ibuku menjawab
demikian, “Kalau gitu, Tante
buatkan teh sambil kamu nunggu Indah sarapan, soalnya Indah belum sarapan.”
Ibuku segera memberitahu, “Ayo, Indah, kamu sarapan dulu!”
Saat aku berjalan
mendekati meja makan, bisa kudengar Ikbal menjawab dengan halus, “Enggak usah, Tante, jadi
ngerepotin. Saya cuma bentar.”
“Udah enggak apa-apa,” Ibuku segera melangkah
melewati meja makan selagi aku mengambil sepiring nasi dari rice cooker dekat dapur. Aku segera
mengambil dua potong bistik daging buatan ibuku dan juga semangkuk sup wortel
dan buncis.
Aku segera mulai makan
dengan table manner yang biasa
kupakai sesaat setelah kududuki kursi depan meja makan. Aku makan menggunakan
sendok dan garpu dengan benar, dengan table
manner seperti yang kugunakan di luar negeri. Bedanya, kali ini aku
menggunakan sendok dengan tangan kanan, biasanya aku menggunakan pisau dengan
tangan kanan.
Saat aku sudah
menghabiskan setengah dari makanan yang kuambil, ibuku mengantar secangkir teh
manis hangat yang sudah dibuatnya di dapur menuju ruang tamu. Ia meletakkan
secangkir teh itu di atas meja depan Ikbal.
Ikbal terdengar sungkan, “Enggak usah, Tante,”
“Enggak apa-apa, kok.” Ibuku tersenyum.
“Udah, Tante, saya cuma
bentar,”
“Udah, enggak apa-apa. Silakan diminum,” Ibuku segera melangkah
meninggalkan ruang tamu dan menemuiku.
“Indah, si Aditya mana? Dia kok enggak ke sini lagi selain
ngejemput kamu ke sekolah?”
“Dia lagi sibuk ngelakuin
hobinya, tapi nanti Indah mau ke rumahnya, mau belajar bareng.”
“Oh, habis balik dari
nonton ya?” Ibuku berkata saat aku baru saja menghabiskan sarapanku, “Ya udah, Mama ada
urusan di kantor hari ini, begitu juga dengan Papa kamu. Kamu hati-hati di
jalan. Setidaknya kamu harus bawa kunci buat jaga-jaga kalau Papa sama Mama
belum pulang.”
“Ya, Ma,” aku berdiri dan
memberi salam pada Ibu, kucium pipi tangan kanannya. Aku segera berjalan menuju ruang tamu
untuk mengambil kunci rumah yang sudah
Ibu letakkan di lemari depan ruang tamu. Aku segera
menemui Ikbal yang telah menghabiskan secangkir tehnya. “Ikbal, ayo.”
“Ya,” Ikbal tersenyum
padaku.
Kami berdua segera
berjalan keluar dari rumah, kami melewati halaman rumah sebelum kami menuju mobil sport kuning milik Ikbal. Ikbal
membukakan pintu depan untukku selayaknya ia seperti supir taksi. Aku memasuki
ke dalam mobil dan duduk di jok depan dekat jok supir sebelum Ikbal menutup
pintu mobilnya untukku. Lalu Ikbal segera membuka mobil untuk duduk di kursi
supir. Ia segera menutup pintu setelah ia memasukkan kunci mobilnya.
“Gimana?” tanya Ikbal.
“Gimana apanya?” aku
tanya balik.
“Mobil gue? Keren kan?”
Kupandangi bagian dalam
mobil itu, joknya sangat empuk, tachometer yang sungguh digital dan keren, tak lupa kulihat ada radio layar sentuh
dilengkapi dengan pemutar MP3 dan internet radio.
“Keren banget,” ucapku.
“Sip sip. Lo belum lihat apa-apa, apalagi ini,”
Ia menekan tombol untuk menyalakan mesin mobilnya sambil menekan pedal gas
dengan keras.
Suara pedal gas tersebut
sungguh keras hingga mengagetkan diriku.
“Astaga!”
Ikbal tertawa, “Tenang dong, enggak apa-apa.” Dia segera
memindahkan gigi mobilnya untuk mulai menyetir. Kembali kulihat ke depan, kami
berdua sudah mulai meninggalkan rumahku. Dia memintaku sambil memasang sabuk
pengamannya.
“Siap-siap, Indah, mending lo
pake sabuk pengaman lo. Kita keliling komplek bentar deh.”
“Eh? Katanya ....”
“Masih pagi, Indah,”
ucapnya sambil menekan pedal gas dengan keras lagi agar mobilnya mengebut.
Aku segera memasang sabuk
pengamanku saat aku berteriak,
“Jangan kebut-kebut di komplekku!!!” Aku panik karena Ikbal bisa saja
mengganggu ketenangan di seluruh komplek.
Ikbal menyetir bagaikan
seorang tokoh di film Fast and Furious atau
dalam game Need For Speed, ia kebut
menyetir lurus, ia bahkan belok dengan kecepatan tinggi.
“Whoa!” Aku panik lagi
saat kulihat Ikbal membelokkan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Aku takut
kalau mobil Ikbal akan terlambat membelok, oleng, dan akhirnya menabrak sebuah
rumah apalagi penghuni komplek.
Tetapi Ikbal mampu
menghindari akibat-akibat tersebut bagaikan pembalap profesional
seperti pada di Formula 1. Dia tidak menabrak apapun! Tidak menabrak sama
sekali!
“Wow! Kamu hebat banget!”
seruku.
“Yup!” Ikbal membalas, “Sekarang kita ke luar
komplek, yuk.”
“Ayo, tapi jangan kebut
kayak tadi, nanti kamu ditahan polisi lho.”
“Tapi kalau di jalan tol
boleh, kan?”
“Dasar kamu!” Aku tertawa, “Oke, tapi jangan
ngelanggar batas kecepatan ya!”
“Siap!” ucap Ikbal saat kami
berdua telah meninggalkan gerbang komplek.
Namun, kabar buruknya,
kami telah memasuki salah satu kawasan macet di Jakarta, berarti kami berdua
harus bersabar menghadapi kemacetan jalan raya yang sudah biasa terjadi di kota
tersebut.
“Macet nih, gimana kalau
kita dengarin radio dulu?” usul Ikbal
sambil menyalakan radio mobil tersebut.
“Boleh,” aku membalas.
Kudengarkan siaran radio
yang sedang memutarkan beberapa lagu hits
mancanegara, begitu juga dengan beberapa lagu hits Indonesia. Terdengar juga suara announcer yang bukan hanya menghibur,
tetapi sungguh lucu jika menjelaskan suatu topik yang diperbincangkan oleh
kebanyakan anak muda di social media.
Kami berdua tertawa setiap
ada joke sambil menunggu agar kami
lolos dari kemacetan parah ini menuju jalan tol dalam kota. Ikbal memajukan
mobilnya sedikit demi sedikit karena macetnya minta ampun.
Kami sudah tidak peduli
dengan kemacetan, kami malah tertawa mendengar setiap omongan announcer yang lucu dan ikut menyanyikan
setiap lagu yang diputar. Kami sampai-sampai jadi karaokean di dalam mobil.
Setelah satu jam, kami
akhirnya lolos dari kemacetan parah itu tepat saat Ikbal membelokkan mobilnya
menuju sebuah jalan tol dalam kota. Namun tentu saja kami harus mengantre untuk
membayar tarif masuk tol.
Saat kami tiba di gerbang
tol, Ikbal mengeluarkan kartu e-tollnya
untuk digunakan agar secara otomatis ia sudah membayar tarifnya. Lalu Ikbal
mulai mengendarai mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi yang tentu saja
membuatku ragu, tetapi aku percaya pada Ikbal kalau kami bisa tiba di tempat
tujuan dengan selamat.
Aku mendapat SMS masuk
dari Aditya saat kami menepi menuju salah satu jalan keluar. Aditya
meng-SMS-ku, Kamu mau ga dianterin ke
rumahku habis nonton? Kamu nonton di mana? Hehe...
Kubalas SMS-nya, Ga usah, aku nanti dianterin teman pulang
ko.
“Itu SMS dari teman lo?”
tanya Ikbal.
Aku membalas
pertanyaannya saat kami berdua kembali memasuki jalan yang macet, “Kamu mau tahu banget atau mau tahu aja?”
“Indah, udah dong, itu
pertanyaan klise.”
“Oke, oke,” aku tertawa, “Dia bukan cuma teman
sih, dia tetanggaku.”
“Wow, dia pasti teman lo
yang baik banget.”
“Ya.”
“Itu Aditya, ya?”
“Ya.”
Ikbal pun segera
mengganti topik pembicaraan sambil memandangi beberapa kendaraan bermotor
mengantre menghadapi kemacetan kota Jakarta lagi. “Omong-omong, lo mau jadi apa?”
Aku heran, “Maksudmu?”
“Ya, cita-cita lo.”
Dia nanya cita-citaku?
Aduh, aku punya banyak cita-cita sejak kecil, tapi aku belum menentukan
pekerjaan mana yang kuinginkan. Makanya aku jadi ingin menjawab apa yang sudah
pasti kuinginkan.
Aku menjawab, “Aku .... Pas lima tahun, aku udah
suka sama seorang bocah yang
nemenin aku saat aku kepisah sama ibuku. Aku jadi selalu ingat kebaikannya,
tapi aku enggak tahu namanya, aku juga udah
lupa wajahnya. Sejak itu, aku enggak pernah ke Indonesia lagi
sebelum sekarang, aku sering ke luar negeri karena pekerjaan kedua orangtuaku.
Oleh karena itu, aku sedang mencari cowok itu, cowok yang kusuka.”
“Dia benar-benar baik banget,
semoga lo ketemu sama dia.”
“Ya,” Aku tersenyum. Aku
bertanya balik,
“Kalau kamu cita-citanya apa?”
“Gue?” ucap Ikbal, “Gue juga belum fix sih, tapi gue pengen jadi pemain
sepak bola, tapi gue juga pengen jadi seorang pengusaha sukses. Rencananya gue
pengen masuk UI (Universitas Indonesia), itu kata bokap gue kalau gue pengen
sukses di masa depan. Bokap selalu bilang kalau gue harus masuk UI, ITB
(Institut Teknologi Bandung), atau UGM (Universitas Gajah Mada) kalau gue mau
sukses di masa depan.”
“Ya, aku juga pengen
kuliah di Indonesia, aku pengen kuliah di UI, terus nerusin kuliah S2 di luar
negeri kalau dapet beasiswa,” ucapku,
“Tapi moga-moga aja orangtuaku enggak bakalan ke luar negeri
lagi, jadi aku bisa tinggal di Jakarta. Aku tidak tahu kenapa, kurasa aku sudah
mulai menyukai keadaan sekolah formal daripada homeschooling.” Aku tidak tahu mengapa aku mengucapkan kalimat
seperti itu.
“Mungkin lo udah dapet
teman sejati lo.” Ikbal tersenyum
padaku, mungkin saja kalimatnya bisa menjadi alasan mengapa aku mulai menyukai
keadaan sekarang.
***
“Dua frapuccino, Mbak.” Kudengar Ikbal menyatakan pesanannya kepada
kasir di counter pemesanan.
“Frapuccino yang mana?” kasir itu bertanya balik.
“Yang Dark Mocha.”
“Atas nama siapa?”
“Ikbal.” Ikbal pun
berkata padaku yang sedang berdiri di belakangnya, “Gue yang traktir,”
“Eh?” Aku terkejut.
“Udah, gue aja yang
bayar, minum kopi sama nonton, gue bayarin punya lo.” Entah mengapa menurutku
dia terlihat gengsi ingin mentraktirku, sama seperti Aditya saat di 7-Eleven
Kamis lalu.
Setelah Ikbal membayar,
kasir tersebut berkata sambil menulis nama Ikbal di secarik kertas, “Nanti kami panggil.”
Ikbal bilang kepadaku, “Aku tungguin di konter
pengambilan, kamu cari tempat duduk aja.”
“Ya.”
Aku segera mencari tempat
duduk, kupilih tempat duduk di dekat jendela, kududuki sofa coklat tersebut
sambil kukeluarkan handphone-ku. Aku
dapat dua SMS, satu dari Aditya, satu lagi dari Brian.
Kubuka SMS dari Brian
terlebih dahulu, Selamat pagi, Indah, moga-moga
kamu bisa dateng ke rumah Aditya buat belajar bareng, sekalian ngerjain tugas.
Sorry ngeganggu lo. Udah deh, gue balikin payung lo hari ini, sebelum gue
pulang abis belajar. Sepertinya Brian sudah baik padaku berdasarkan dari
SMS yang dia kirim kepadaku.
Aku membalas SMS
tersebut, Tumben banget kamu berani SMS
aku. Iya, nanti aku ke sana abis balik sama teman.
Aku segera membaca SMS
dari Aditya setelah SMS yang kukirimkan kepada Brian benar-benar terkirim, Gimana hang out pertama kamu? Menyenangkan? Amburadul? Atau malah ga keduanya? Hehe...
Aku harap aku jadi yang pertama ngajak kamu hang out bareng, tapi ga apa-apa lah. Baik-baik ya.
Aku SMS balik, Haha, baru nyampe ko, Dit. Baru aja mau
minum kopi di Starbucks. Abis itu nonton film. Ga tau mau nonton film apa,
soalnya temanku yang nentuin. Eh, gimana cuci motor sama servis motor kamu?
Lancar kan?
Setelah SMS tersebut
terkirim Ikbal menghampiriku sambil membawakan dua gelas Frapuccino dengan krim
kocok putih yang cantik. Ia memberikan segelas Frapuccino kepadaku.
“Thanks, Ikbal,” ucapku.
“Woles aja.” Ikbal
tertawa kecil.
Aku segera membuka
sedotan. Kumasukkan sedotan ke dalam gelas Frapuccino, dan kuminum minuman
tersebut. Kurasakan bercampurnya pahit manisnya kopi dengan rasa moka yang kuat
dan krim kocok.
Aku curhat, “Biasanya aku ke tempat
kayak gini sama orangtuaku, tapi kalau sama teman seperti kamu kerasa beda ya.”
“Ya, lo kan lagi sama
teman kayak gue. Coba lihat
sekitar lo, banyak anak muda hang out bareng di mall. Kebanyakan sih bareng pacar,
bareng teman, tapi ada juga yang bareng sama keluarga. Yang paling menyenangkan sama teman
kayak gue. Apalagi, banyak banget yang nge-date
di tempat kayak Starbucks cuma buat minum kopi.”
“Oke, deh, nanti aku coba
ajak Aditya sama Febby ke sini, sama Brian kalau bisa. Nanti kita hang out bareng kapan-kapan.” Aku
tersenyum sambil kembali menikmati Frapuccino-ku hingga habis, begitu juga
dengan Ikbal.
Aku dapat SMS lagi saat
Ikbal berdiri berkata,
“Ayo, kita ke bioskop sekarang.”
“Ya.”
Kami berdua berjalan
keluar dari Starbucks. Keadaan mall sudah mulai dipadati beberapa orang yang
berkunjung dari beberapa kalangan, mulai dari yang nge-date, hang out bareng
teman, hanya jalan-jalan sendirian, dan ada yang bermain bareng keluarga.
Kami berdua mulai menaiki
eskalator selagi aku membaca SMS yang baru saja kuterima dari Aditya, Woles, Indah, hehe... Lancar, lancar,
hehe... Kamu lagi ngapain nih sekarang? Hehe...
Kurasa Aditya pengen tahu
banget aku sedang apa dan dimana. Jadi aku membalas SMS saat kami berdua sampai
di lantai satu. Lagi mau ke bioskop nih,
baru aja selesai minum kopi di Starbucks. Kamu lagi dimana sekarang? Pengen
tahu banget kamu, jadinya aku pengen tahu aja.
Aku membaca SMS dari
Brian saat kami sekali lagi menaiki eskalator menuju lantai paling atas. Lo biasa aja kali! Lo jangan bikin malu gue
deh. Tapi gue pengen tau lo lagi apa sekarang?
Aku membalas SMS Brian, Aku lagi hang out bareng temen nih.
Setelah pesan terkirim,
Ikbal dan aku sudah menginjak lantai bioskop. Kami sudah melangkah menuju loket
tiket untuk menonton untuk mengantre. Kupandangi juga film-film yang akan
tayang di setiap studio bioskop tersebut beserta jadwalnya.
Untung saja antreannya
cukup panjang, jadi kami punya waktu untuk menentukan film mana yang akan kami
tonton. Kami berdua berdiskusi manakah film yang cocok untuk kami tonton,
pokoknya harus kelihatan rame dan menarik.
“Kayaknya yang itu rame
banget, mau nonton film itu?” tanya Ikbal.
“Ya,” aku tersenyum
karena film itu sudah banyak diperbincangkan di social media, mungkin saja filmnya bagus dan rame. Kami memutuskan
untuk menonton film tersebut. Aku pun lalu memanggil Ikbal, “Ikbal,”
“Apa?”
“Makasih buat hari ini,”
Aku tersenyum.
Comments
Post a Comment