While We Ran Away Episode 5
Kutatap
Sena sedang terkujur lemas di atas tempat tidur hitam di UGD rumah sakit. Aku
hanya duduk terdiam tidak dapat menerima apa yang baru saja terjadi. Apakah … benar
firasatku menjadi kenyataan?
Kulihat
kembali luka yang kini membekas pada kulit Sena, terutama pada bagian tangan.
Kulihat garis-garis telah memudar dan mulai tertutup, warna pada luka kulit
Sena juga sedikit bertambah, meski beberapa warna memarnya telah memudar.
Kalau
saja … aku lebih peka pada apa yang terjadi pada Sena, mungkinkah keadaan jadi
berbeda? Kalau saja aku tidak meninggalkan Sena untuk menghadiri rapat English Club dan ikut bermain futsal
bersama teman sekelas demi menguras rasa penat sehabis ujian, apakah … Sena
takkan terluka seperti ini?
Aku
… merasa bodoh, begitu bodoh. Aku tahu ada yang salah pada Sena, ada sesuatu
yang salah. Cara dia menjawab pertanyaanku kalau dia baik-baik saja …
bertentangan dengan kenyataan yang terlihat pada tubuh Sena. Aku bisa
merasakannya kalau ada yang salah pada Sena.
Aku
juga mengingat ketika Sena menemui ibu tiri, Wilhelmina, ketika tidak ada Ayah
di rumah, biasanya, dia akan menghindar. Raut wajahnya juga berubah dari polos
berseri-seri menjadi berkerut, tubuhnya juga gemetar. Dia ketakutan ketika
melihat Wilhelmina, sang ibu tiri. Aku seharusnya tahu dari dulu, kalau ada
yang salah pada Wilhelmina terhadap Sena ketika Ayah dan diriku tidak ada di
rumah, bukan hanya sekadar curiga.
Aku
juga terpaksa berbohong sesuai dengan apa yang dikatakan Sena padaku pada salah
satu dokter jaga di UGD. Karena … entah kenapa, aku ingin Sena mengatakan yang
sebenarnya padaku terlebih dulu.
“Ka-Kakak?”
Aku
terlepas dari lamunanku, kaget ketika Sena sudah mendapatkan kembali kesadarannya.
Matanya terbuka lebar dan menatap padaku di samping kanannya.
“Sena,”
aku memanggilnya.
“I-ini
di mana?”
“Sena.”
Aku menyentuh tangan kanannya seraya menenangkan diriku. “Kamu … mau minum
enggak?”
“Ki-kita
enggak di rumah?”
“Kita
di rumah sakit, Sena. Kamu aman sama Kakak sekarang. Kamu … mau Kakak beliin …
keripik?”
“Kakak
kok nangis?”
Sena
perlahan mengangkat telunjuk kanan untuk menunjuk tepat pada wajahku. Dia …
tahu aku sedang mengeluarkan air mata? Mungkin aku terlalu banyak memikirkan apa
yang baru saja terjadi, rasanya ingin menangis setelah melihat kenyataan yang
terlihat pada Sena.
“Kakak
… Sena pengen ngomong … sama Kakak,” ucap Sena ketika aku mengusap air mata
yang menetes di wajahku.
“Kakak
juga pengen nanya sama kamu, Sena. Tapi … kalau Sena misalnya enggak mau jawab
atau cerita, Kakak enggak bakal maksa. Kalau Sena siap … Kakak pasti bakal dengar
cerita kamu. Sena boleh sambil cerita juga.”
“Ka-Kakak
… enggak bakal marah?”
“Kata
siapa? Kakak enggak bakal marah. Kakak pengen tahu yang sebenarnya. Kenapa …
kamu jadi begini?”
“I-Ibu
… tiri. Katanya … ibu tiri yang … jahat … itu … hanya ada di dalam cerita.”
Sena menghela napas. “A-Ayah … selalu bilang … kalau ibu tiri Sena … enggak bakal
jahat, malah … bakal sebaik Ibu. Ta-tapi … malah beda … pas Ayah … sama Kakak …
enggak ada.”
“Sena,
kalau misalnya … terlalu seram, enggak apa-apa. Pelan-pelan aja.”
“Se-Sena
… kangen Ibu. Sena … kira ibu tiri Sena … baik sama Sena. Tapi … pas Kakak sama
Ayah enggak ada, ternyata … ibu tiri Sena … jahat sama Sena.” Sena mulai
mengeluarkan air matanya saat dia menceritakan semuanya. “Sena … udah bilang
sama Ayah …. Tapi … Ayah malah marahin Sena. Sena … dibentak-bentak sama Ayah …
buat baik sama ibu tiri. Ayah nuduh Sena berbohong tentang ibu tiri.
“Terus
… pengen juga ceritain sama Kakak, tapi … Sena takut Kakak bakal marah sama
kayak Ayah.”
Aku
mengusap bahu Sena. “Sena, Kakak enggak bakal marah. Kakak tahu … ada sesuatu yang
terjadi sama kamu, sama ibu baru juga. Kakak cuma pengen … kamu ceritain yang jujur
aja. Kakak janji enggak bakal marah sama kamu. Kemarin malam, Sena ngapain aja?”
“Enggak
tahu …. Tiba-tiba aja … ibu tiri marah-marah sama Sena pas masuk kamar.”
***
“BANGUN!”
jerit Wilhelmina memukul Sena yang sedang terlelap di tempat tidurnya
menggunakan sapu lidi.
Rasa
sakit harus Sena terima ketika kembali dari mimpi menuju kenyataan. Punggungnya
terkena cambukan gagang sapu oleh Wilhelmina. Sena berbalik spontan menatap
Wilhelmina yang tengah meratapinya sambil memegang sapu.
“Kamu
yang mencuri uang, kan? Uang di laci hilang. Terus kamu yang mengambilnya, kan?”
“Bu-bukan
Sena yang ngambil, Bu—”
“BOHONG
KAMU!” jerit Wilhelmina sambil menarik paksa tubuh Sena dari tempat tidur dan
membantingnya ke lantai. “Ini anak kerjanya cuma nangis pengen dapat simpati, terus
dimarahin sama Ayah kamu. Terus, kamu curi uang dari Ibu. Kamu pengen balas dendam?”
“Bu-bukan,
Bu. Sena enggak mencuri uang. Sena enggak mencuri.”
“BOHONG!
Sini kamu!” jerit Wilhelmina menarik tangan Sena agar berdiri.
“Sena
enggak mencuri, Bu.”
“NGAKU!”
Wilhelmina menempaskan ayunan sapu lidi untuk memukul punggung Sena dengan keras.
Beberapa
kali merasakan sakit pada punggungnya akibat empasan sapu lidi dari Wilhelmina,
Sena mulai meringis sambil meneteskan air mata, memohon ampun pada sang ibu
tiri.
“SAKIT!
SAKIT, BU!!”
Tidak
peduli berapa kali Sena memohon ampun sambil meronta dan meneteskan air mata,
Wilhelmina semakin gemas hingga dia menggunakan sapu lidi sebagai cambuk. Tanpa
henti, sang ibu tiri mencambuk setiap anggota tubuh Sena. Tangan kirinya juga
mengikat kedua tangan Sena agar dia tidak bisa lolos dari siksaan.
“NGAKU
KAMU! NGAKU! KAMU YANG NYURI UANG, KAN!”
“SAKIT, BU! SAKIT! AMPUN!”
“NGAKU!
NGAKU!”
Jeritan
mereka begitu keras, bahkan sampai menandingi sepinya malam hari, saat semua orang
seharusnya sudah terlelap. Wilhelmina tetap tidak peduli, dia melampiaskan
kemarahannya terhadap Sena yang seharusnya tidak bersalah.
***
“Kamu
mencuri uang lagi dari saya, kan?” jerit Wilhelmina ketika sore datang
menyingsing, ketika Yoshi sedang tidak berada di rumah. “Enggak puas juga udah dihukum,
malah curi lagi.”
“Bu
….”
“Apa
lo! Mau bohong lagi kamu?” bentak Wilhelmina.
“Bukan
Sena yang curi, Bu. Sena enggak pernah ambil uang dari laci.”
“Bohong!”
jerit Wilhelmina seraya menampar wajah Sena.
Sena
pun terjatuh akibat tamparan keras dari sang ibu tiri. Dia tidak dapat menahan
ledakan air matanya ketika menatap sang ibu tiri sudah meledak-ledak, tetap
bersikukuh menuduh Sena mencuri uangnya.
Wilhelmina
mendekati Sena sambil menghentakkan kaki dengan keras, meluapkan seluruh emosi
yang dia tampung demi penyiksaan sang anak tiri. Dia sudah mengambil garpu dari
meja makan seraya mengancam Sena.
“Pencuri
memang harus dihukum. Kamu mencuri uang saya, kamu saya hukum! Kamu enggak mau
ngaku-ngaku juga!”
Bentakan
Wilhelmina pun bertepatan dengan suara pintu depan rumah terbuka. Sena pun
berbalik berharap ada pertolongan agar bisa lolos dari tuduhan.
Sena
kembali lega ketika orang yang tiba di rumah adalah ayahnya. Dia berlari
menemuinya sambil ketakutan. “Ayah!”
Tetapi,
karena telah mendengar bentakan Wilhelmina pada Sena, sang Ayah memukul gadis
malang itu menggunakan tumpukan kertas yang dia bawa hingga terjatuh. “Nakal!
Kamu curi uang Ibu, kan?”
“Enggak!”
jerit Sena sambil menghindar menuju kamarnya.
“Hei!
Sini kamu! Ngaku!” jerit Ayah sambil mengambil sapu yang tergeletak di dekat
meja makan dan memasuki kamar Sena.
“Enggak!
Sena enggak curi!” jerit Sena mulai merengek dan meneteskan air mata serta
menutup pintu.
“NAKAL!”
jerit Ayah mendobrak pintu kamar Sena dengan paksa.
Begitu
Sena terjatuh, Ayah mulai melampiaskan emosinya, terlebih mengetahui bahwa Sena
yang mencuri uang sang ibu tiri. Dia menarik tangan Sena erat dan memukulkan gagang
sapu tepat pada kepala berkali-kali.
“Nakal!
Nakal!” jerit Ayah tetap memukul setiap anggota tubuh Sena termasuk kepala
menggunakan gagang sapu.
“AYAH!
JANGAN!” rengek Sena sambil meledak-ledak mengeluarkan air mata.
“Kamu
mencuri uang! Ayah benci kalau kamu enggak suka sama Ibu! Ngaku! Ngaku!” Tenaga
Ayah semakin mengeras ketika dia memukul Sena menggunakan gagang sapu, tidak
peduli betapa tidak berdayanya putrinya sendiri.
***
Mendengar
cerita dan pengakuan dari Sena, aku tidak bisa bereaksi lagi, selain meluapkan
seluruh emosi terhadap apa yang telah sebenarnya terjadi. Kukepalkan kedua
tangan menahan ledakan emosi yang telah kudapat.
Kenapa?
Kenapa Ayah juga? Kenapa Ayah malah ikut-ikutan menyiksa Sena? Padahal … Ayah
bisa saja bertanya yang sebenarnya? Ayah malah ikut-ikutan menuduh Sena yang
mencuri uang dari ibu tiri. Kalau Ayah bertanya tentang kebenarannya, hal seperti
ini takkan terjadi!
Kenapa
harus Sena? Kenapa harus adikku yang masih SD harus menjadi korban seperti ini?
Kenapa ibu tiri seperti Wilhelmina ingin menyiksa Sena ketika aku tidak berada
di rumah?
Memikirkan
hal itu, emosiku tercampur aduk, api kemarahan dan air kesedihan bercampur
menjadi badai emosi di dalam otakku. Air mataku juga kembali keluar semakin
lama memikirkannya. Aku menutup mataku yang semakin banyak meneteskan air mata.
Ini
semua salahku. Aku tidak melakukan apapun. Padahal aku tahu ada yang salah pada
Sena semakin memikirkan tanda-tanda yang janggal jika mengingat kembali jawaban
beberapa pertanyaanku. Seharusnya aku berada di rumah untuk menjaga Sena dan
melihat jika ada apapun yang terjadi. Seharusnya aku langsung pulang begitu selesai
rapat English Club, bukan ikut-ikutan
futsal demi menekan rasa penat sehabis ujian. Aku malah mendapati Sena
tergeletak pingsan di kamar begitu aku pulang, aku … telah melakukan kesalahan
besar.
“Ma-maafkan
Kakak,” ucapku sambil terisak-isak. “Kakak … enggak cepat-cepat pulang. Kalau
Kakak tahu ini dari awal … Kakak mungkin—”
“Kakak
marah sama Sena?” Sena memotong ucapanku.
Kuhapus
air mata menggunakan tangan kanan sebelum menjawab, “Kakak enggak marah sama
kamu. Kakak cuma … kurang peka sama apa yang terjadi sama Sena. Kakak ngerti Sena
udah jujur sama Kakak. Kakak … enggak bisa nerima kelakuan Ayah sama Sena tadi.”
“Kakak.
Sena udah bilang jujur sama Kakak.”
Kalau
begitu, setelah mendengar semua yang Sena alami, aku telah membuat keputusan,
keputusan yang mungkin konyol, tapi setidaknya aku ingin agar Sena tetap aman untuk
sementara. Kupegang pundak kiri Sena ketika aku ingin berkata tentang keputusanku.
“Sena,
dengarin Kakak. Kakak … bisa aja telepon polisi sekarang setelah dengar cerita
kamu. Kakak juga sebenarnya bisa telepon polisi pas nemu kamu pingsan di rumah
sepulang dari futsal. Tapi … Kakak enggak bakal nelepon polisi. Soalnya, bakal
butuh waktu yang lama prosesnya, bisa aja … ibu tiri kita … enggak jadi dihukum,
kalau cuma cerita aja, sama yang terjadi sama Sena, keadilan bisa aja
disalahgunain sama mereka, bisa aja mereka mihak yang salah, terus yang benar
malah dihukum seberat-beratnya.
“Sena,
kita bakal tinggalin rumah, terus kita kabur, ke luar kota, seenggaknya kamu
bakal aman untuk sementara. Intinya, kita bakal kabur dari rumah, setelah apa
yang terjadi sama kamu.”
“Kakak,
tapi … kita enggak bakal punya rumah kalau kabur.”
“Iya,
Kakak tahu.”
“Terus
… kita mau tidur di mana?” Sena kembali terisak-isak. “Kalau kita kabur dari
rumah … kita mau tidur di mana? Kalau kita di rumah … ibu … tiri … bakal nyiksa
Sena lagi. Ayah marahin … Sena pas ngaduin itu.” Tangisan Sena meledak ketika
menyelesaikan kalimatnya.
“Sena.”
Aku menghapus air mata Sena. “Biar Kakak yang atur. Kakak bisa … ngatur soal
itu. Serahin sama Kakak aja ya, Sena. Sekarang, kita bakal menjauh dari kota
ini, kota di mana ayah dan ibu tiri tinggal sekarang.”
Ya,
itulah keputusanku agar Sena aman dari siksaan ibu tiri, apalagi Ayah sudah
tidak mempedulikan mana yang benar dan mana yang salah. Kalau aku berkata apapun
sesuai dengan kenyataan yang Sena katakan, pasti Ayah takkan mengerti.
Benar,
aku dan Sena akan melarikan diri dari rumah. Aku tidak ingin tinggal di rumah
yang sudah seperti neraka, apalagi mengetahui Sena telah menjadi korbannya.
Comments
Post a Comment