Finding Childhood Love Episode 3
Penolakan Teman Sekelas
Sudah hari keempat aku
memasuki sekolah formal, sangat berbeda saat homeschooling. Aku benar-benar begitu terkejut, tidak seperti yang
kubayangkan. Aku bukan hanya diajari wali kelasku yang berlagak bagaikan tutor
saat homeschooling, tetapi juga
kupikir hampir semua guru di sekolah ini datang untuk mengajar setiap mata
pelajaran yang kuambil. Aku pun bukan satu-satunya murid yang datang ke sekolah
ini untuk belajar, melainkan juga beberapa murid yang belajar di satu ruangan
diajari oleh seorang guru sebuah mata
pelajaran.
Aku terus melamun saat
pelajaran berlangsung, aku tidak
bisa berkonsentrasi saat berbicara dengan siapapun di
kelas, termasuk Aditya dan Febby. Mereka berdua bukan hanya teman terdekatku,
tetapi juga satu-satunya teman yang aku bisa ajak mengobrol. Tidak ada yang
ingin berbicara denganku kecuali mereka berdua karena aku dibilang sulit
beradaptasi di kelas baruku, aku seperti
ditolak teman sekelasku sendiri.
Aku duduk di bangku,
menatap jam dinding di atas whiteboard
yang memuat tulisan rumus-rumus fisika rumit. Jam sudah menunjukkan pukul
09:15, berarti sudah waktunya
istirahat.
Tidak ada yang mengajakku
ke kantin. Aditya dan Febby sudah pergi bersama teman yang lain ke kantin, beberapa teman masih di dalam kelas pun mengabaikanku begitu
saja. Sekali lagi, aku seperti ditolak mereka, aku bagaikan penyusup di sebuah kapal
pesiar.
Aku berjalan meninggalkan
kelas. Aku butuh udara segar yang dapat segera menenangkan diri karena aku merasa sesak
diabaikan oleh teman-teman sekelasku. Aku berjalan belok kanan mengelilingi beberapa pintu kelas. Terlihat beberapa siswa
kelas lain tengah bercakap-cakap, bahkan ada sepasang kekasih yang sedang berdampingan.
Aku segera meninggalkan
selasar yang ramai itu. Aku berjalan lurus melewati sebuah gerbang halaman
belakang sekolah. Di sana, aku memandang dua buah lapangan yang sudah dipenuhi
beberapa siswa berseragam sekolah,
lapangan sepak bola dan lapangan basket.
Pandanganku tertuju pada
lapangan sepak bola yang dibatasi pagar besi biru. Pagar itu membatasi antara
lapangan basket yang terletak di sebelah kanan dan kantin di sebelah kiri. Aku
segera mendekati lapangan sepak bola itu. Sudah ada beberapa siswa yang
menonton permainan sepak bola di depan pagar. Seperti lapangan sepak bola
sekolah, terlihat luas, penuh dengan rumput hijau, di setiap sisi samping ada
gawang putih bertali.
Aku sangat kaget ketika bola
itu melambung jauh dari penendangnya sehingga keluar dari lapangan, bahkan melampaui pagar. Bola itu terjatuh
tepat di belakangku. Aku segera mengambil bola itu.
Salah satu siswa yang
bermain sepak bola itu menemuiku, yang tak lain adalah penendang jitu.
Kupandangi rambut lurus pendeknya, otot kekarnya, dan juga banyak gadis memandangnya.
Laki-laki itu bertanya, “Lo enggak apa-apa, kan?” Aku
tersenyum sambil mengembalikan bola itu, ia berkata lagi, “Gue minta maaf, lo
hampir aja kena bola.”
“Enggak usah minta maaf.”
Laki-laki itu segera
memujiku saat dia
menatap diriku.
“Lo cantik banget, ko gue enggak pernah lihat lo? Siapa nama lo?”
“Indah,” Aku menjawab.
“Ikbal!” temannya memanggil.
“Oh, gue ke sana dulu ya,
kapan-kapan kita ketemu lagi.”
“Ya.”
Ikbal kembali ke lapangan
sepak bola melempar bola kepada temannya, Febby mendatangiku. “Indah, itu Ikbal
ya? Dia cakep pisan!” Dia berbicara
lagi, “Indah, dia teh disukai sama cewek-cewek, makanya
dia tuh salah satu cowok terpopuler di sekolah ini! Eh, Indah, kita ganti baju
yuk, habis istirahat kan ada pelajaran olahraga. Kita ambil seragam olahraga
dulu di kelas.”
Aku mulai berbicara pada
Febby saat kami berdua berjalan kembali ke dalam gedung sekolah. “Feb, suka sinetron?”
Febby menjawab dengan
jujur, “Ya, gue suka banget
sama sinetron, tapi enggak suka bagian yang
alay-alay gitu deh. Yang alay tuh lebay pisan.”
Aku bertanya lagi saat
kami berdua melewati selasar,
“Kamu pasti dari kecil suka nonton, kan?”
“Ya iyalah, sampai-sampai
gue percaya pisan kalau cinta sejati
tuh benar-benar ada.”
Perkataan Febby membuatku
teringat pada perkataan tentang cinta yang kudengar pada masa kecilku, kalau
tidak salah saat aku berusia lima atau enam tahun, entahlah. Aku juga tidak ingat
bagaimana rupa cowok masa kecilku.
“Ko bengong sih, Indah?”
Aku membalas, “Siapa yang bengong, kamu kali yang bengong.”
“Ih! Lo yang bengong ah!”
Tanpa sadar, Febby menabrak seorang cowok. Cowok itu seakan-akan berwajah buruk
rupa, terlihat kusam, keriput, banyak jerawat dan terlihat tua daripada
usianya. Febby berteriak,
“Woi, jalan lihat-lihat dong!” Dia bertingkah
seperti tokoh sahabat tokoh utama yang stereotipikal di sinetron. Cowok itu
hanya diam sebelum dia
berjalan meninggalkan kami berdua. Febby lagi-lagi berteriak, “Ih! Tong diam aja atuh! Lu cowok macam naon sih?!”
“Eh, Febby, si Aditya
mana?” Aku bertanya saat kami berdua memasuki kelas.
Mood
Febby mendadak berubah saat dia menjawab pertanyaanku. “Oh, si Adit ikutan main
bola juga.”
“Masa sih?” Aku heran. “Aku enggak lihat dia sama sekali.”
Saat aku tiba di kelas akan mengambil tasku, aku
melihat dua orang cewek berjilbab putih berdiri di samping cowok yang duduk di
bangku sebelah. Mereka berdua meminta bantuan cowok itu untuk mengerjakan matematika.
Cowok itu menuliskan
jawaban akhir dari soal itu.
“Nah, kalian ngerti enggak?”
“Wah! Makasih banget,
kamu baik banget, Setiawan!” Kedua cewek itu berteriak histeris seakan-akan telah mendapat tanda tangan
dari idola favoritnya.
Cowok itu menatapku
sambil berdiri, dia
tidak berkata apapun padaku, dia
berbalik membuka tasnya sebelum mengambil seragam olahraganya.
“Indah,” Febby
memanggilku.
“Ya?” aku menyahut.
“Ayo kita ganti seragam,”
Febby tersenyum padaku sambil memegang seragam olahraganya.
Aku segera untuk
mengambil seragam olahragaku. Kuambil kaos olahraga warna putih dengan warna
biru memenuhi bagian lengan panjang, dan juga celana training panjang warna biru tua kehitaman,.
Jujur, aku bukanlah orang
yang suka berolahraga,
aku tidak begitu pandai. Aku bukanlah
seorang pemain basket, pemain sepak bola, ataupun
pemain tenis yang cukup jago. Aku tidak begitu senang pelajaran olahraga.
“Indah?” panggil Febby.
“Ya!” jawabku.
“Ayo buruan, kita ganti
baju, nanti kamar mandinya keburu penuh pisan.”
***
Pelajaran olahraga
dimulai jam 9:45, tepat setelah bel istirahat berakhir. Semua teman sekelas berkumpul
di lapangan sepak bola, kecuali laki-laki berwajah lebih tua dari usianya yang
terlihat duduk di lapangan. Masing-masing dari kami berdiri membentuk dua
barisan horizontal. Laki-laki berada di barisan depan, sedangkan perempuan
berada di barisan belakang.
Aku memperhatikan guru
olahragaku yang memakai kaus seragam dan celana training panjang hitam. Beliau melakukan beberapa gerakan pemanasan
yang harus kami ikuti.
Setelah pemanasan, kami
diminta untuk berlari mengelilingi lapangan sepak bola sebanyak tiga keliling.
Kami mulai berlari setelah guru kami membunyikan peluit. Banyak cowok-cowok
yang sudah bersemangat untuk berlari.
Aku berlari menyusul
beberapa cewek, aku tidak menyangka aku berada di posisi depan di antara
mereka, di depanku hanyalah beberapa orang cowok. Tak lama kemudian Aditya
memperlambat larinya agar ia bisa lari bersamaku.
“Bagus, Indah, gitu dong,”
Aditya memberikan semangat padaku.
“Aku benar-benar enggak nyangka kamu bakal lari
secepat gini.”
Aku juga mendengar
perkataan Brian yang berlari di depanku.
“Cih, dasar murid baru,” Entah mengapa, aku tidak suka dengan sikap Brian.
Aku bertanya sambil
berbisik, “Itu si Brian kenapa
ya?”
“Enggak tahu,” Aditya menjawab
demikian, “Aku penasaran kalau
gosip itu benar atau enggak.”
Tak lama kemudian, aku
menebak, “Oh ya, Dit, kamu juga
salah satu pemain tim sepak bola di sekolah ini ya?”
“Bukan.”
“Eh?” Aku heran.
“Aku emang suka main
bola, tapi aku mau fokus ke hobiku pas weekend,
lo pasti udah tahu, kan?”
“Oh ....”
“Gimana kalau gini, ntar
aku ngajak kamu lihat
latihan tim sepak bola di sini sepulang sekolah, tentu aja abis makan. Kamu mau, kan?”
Aku menjawab, “Ya, aku juga enggak ada kegiatan abis pulang
sekolah.”
“Oke, kita juga ajak
Febby makan siang, habis
itu kita nonton latihan bola, trus kita jajan sesuatu di 7-Eleven, aku
traktir,” Aditya tersenyum.
Aku jadi sungkan, “Sebenarnya kamu enggak usah traktir juga kali.”
“Enggak apa-apa, kok.”
Aku jadi heran kenapa
Aditya baik padaku, apa dia sudah
menganggapku sebagai teman terdekatnya? Apakah dia ingin memperlakukanku secara
istimewa sebagai murid baru di sekolah ini? Aku sangat penasaran, sangat
penasaran.
***
Waktu itu sudah pukul
12:15, kegiatan belajar mengajar pada hari ini telah berakhir. Kebanyakan dari
siswa SMA Global Taruna segera meninggalkan area sekolah, ada juga yang
memutuskan untuk sekadar hang out dan
mengobrol dengan teman di bermacam tempat di sekolah, termasuk kantin,
dan ada lagi yang mengikuti kegiatan ekstrakurikular.
Aku tetap duduk di kelas
sambil mengeluarkan bekal makan siangku dari
dalam tas. Aku tidak
begitu ingin membeli makanan di kantin saat itu.
Kulihat juga beberapa siswa meninggalkan kelas membawa tas masing-masing untuk
pulang, termasuk Setiawan.
Aditya menemuiku sambil
bertanya dan membawa tasnya.
“Setiawan udah balik, kan? Aku boleh enggak duduk di sini?” Dia
ingin duduk di bangkunya Setiawan.
“Ya,” jawabku.
Aku membuka kotak bekal
makan siang warna merah, menu makan siangku adalah
nasi putih, rendang, salad selada dan tomat, serta sepotong semangka. Kulihat
juga Aditya membuka kotak bekal makan siang warna biru miliknya, menu makan
siangnya adalah nasi putih, chicken katsu dan omelet keju, sungguh enak.
“Wow, kelihatannya
lezat!” Aku mengomentari makanan Aditya.
Aditya menjawab, “Aku yang masak
omeletnya,
lho.”
Febby juga duduk di
sampingku memandangi Aditya,
“Aduh, Aditya! Kamu enak pisan makan
siangnya! Kalau aku mah apa atuh? Lihat. Nasi sama ini apa sih ....”
Kulihat lauk makan siang
Febby sangat gosong, benar-benar gosong dan tidak bisa dimakan. Aku pun tidak
tahu apa itu. Bentuk lauk makan siang Febby bagaikan kue yang gagal panggang.
Aditya bertanya sambil
tertawa, “Pasti lo yang masak
lauknya kan? Hayo ngaku. Enggak
boleh bohong!”
Febby akhirnya mengaku, “Ya, ya, emang gue yang
masak.” Hal itu membuat aku dan Aditya tertawa. Dia juga meminta makanan kami, “Bagi dong,”
Aditya melihat Brian
berjalan meninggalkan bangkunya,
dia menyahut, “Brian, makan siang?
Mending bareng aja!”
Brian menjawab dengan
angkuh, “Enggak ah, gue mau makan
sendiri di kantin,” dia berjalan keluar
dari kelas.
Febby penasaran. “Gue enggak nyangka banget, sejak
libur semester, Brian jadi kayak gitu. Dia jadi pemarah lho.”
Aku memang tidak tahu
bagaimana kelakuan Brian pada semester lalu. Brian memang tidak seperti
sekarang, sering marah-marah, melampiaskan emosinya secara berlebihan, dan
angkuh, ataukah Brian yang kulihat memang seperti
itu? Aku bingung.
Aditya membalas perkataan
Febby, “Ya, gue juga enggak tahu kenapa si Brian jadi
kayak gitu.”
“Aduh, tahu gini mah gue enggak
bakal pilih Brian jadi ketua kelas, gue jadi enggak
enak dikendaliin sama ketua kelas pemarah kayak dia.” Febby mengeluh sambil
cemberut, “Lagian, katanya si
Brian udah mau dikudeta sama anak-anak yang lain.”
“Kudeta?!” Aditya kaget,
begitu juga denganku.
Kudeta? Masa dikudeta?
Aku tahu alasan mengapa teman-teman sekelasku ingin mengkudeta Brian, tetapi
bagiku, ini terlalu buru-buru.
“Dit, gue boleh minta
Katsu lo enggak?” Febby bertanya.
Aditya menjawab, “Kagak boleh.”
“Eh??”
Aku tertawa melihat Febby
dan Aditya duduk sambil mengobrol, meskipun aku duduk di tengah-tengah mereka,
saling bercanda. Tetapi, meskipun begitu, aku melihat ke belakang, seorang
cowok berwajah lebih tua dari usianya tadi menatap ke arah jendela.
Febby bertanya padaku, “Lo lihat apa sih?” Dia melihat
cowok itu.
“Oh, cowok
yang tadi tabrakan sama gue ya? Udah deh, biarin aja, dia mah orangnya kayak gitu, suka bertindak sembrono, dia tuh pendiam pisan.”
“Lo lebay ah,” Aditya
protes, “Sama enggak boleh ngomongin jelek
soal dia.”
“Ih, lo kenapa sih, Dit?”
Aku tertawa saat mereka
berdua saling bercanda. Ini membuat
persahabatan kami bertiga makin erat. Aku hanya menyaksikan asyiknya mereka
mengobrol seperti saat mereka mengobrol padaku. Sayangnya, aku mungkin juga
ditolak mereka saat mereka asyik mengobrol berdua.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 12:57. Aku
sedang bersama Aditya dan Febby di depan lapangan sepak bola yang sudah
ditempati oleh pemain tim sepak bola sekolah. Begitu pula dengan cewek-cewek yang ngefans
beberapa pemain tim sepak bola, terutama pada Ikbal.
“Tumben banget, banyak
yang nonton,” kata Aditya.
Aku bertanya, “Emang enggak sebanyak ini?”
“Enggak biasanya.” Aditya
menempatkan kedua tangannya di sisi pagar.
“Tuh, lihat, mereka lagi pemanasan.”
Beberapa pemain tim sepak
bola sedang melakukan pemanasan agar
mereka tidak kaku dan
tidak terjadi kram. Aku
melihat Ikbal memandangku dan
menghampiriku.
“Hai, Indah,” sapa Ikbal.
“Hai, Ikbal,” jawabku.
Dia bertanya saat melihat
Aditya dan Febby sudah berada di sampingku,
“Oh, lo udah temanan sama Aditya dan
Febby ya?”
Febby menjawab sambil
senyam-senyum sendiri,
“Iya dong! Indah kan temannya Febby. Aduh, Ikbal, gue teh pengen banget lihat
lo latihan bola.”
Aditya protes, “Bukannya lo sering lihat dia latihan semester
lalu?”
Saat suara peluit sudah
terdengar,
Ikbal pamit padaku “Udah ya, gue mau latihan, gue duluan.” Dia segera berlari
menemui pelatih dan rekan setimnya.
Aku berpikir dalam hati,
apakah seperti ini kegiatan ekstrakurikuler? Kegiatan ekstrakurikuler di
sekolah umum tentunya dibantu oleh orang yang sudah mampu dalam bidangnya,
sedangkan aku belajar secara otodidak.
Aku menemukan lagi satu
perbedaan antara homeschooling dan
sekolah formal biasa. Hal itu masih berlanjut bagiku.
***
“Eeeh?! Enggak bisa tigaan?” Febby
berteriak.
Kami bertiga telah selesai
menonton latihan sepak bola, kami pun sedang berada di tempat parkir, tepatnya
aku sudah duduk di jok motor di belakang
Aditya yang sudah memegang
gagang setir motornya.
“Lo naik angkot aja deh ke 7-Eleven, nanti
ketemuan di sana,” ucap Aditya pada
Febby.
“Yaaa, aku mah apa atuh kalau enggak dibonceng.”
“Gue mendingan ngebonceng
Indah daripada lo.” Aditya langsung menyalakan mesin motornya. “Gue duluan, nanti
ketemuan di sana.”
Aku memegang perut Aditya
seperti biasa jika dibonceng naik motornya, aku merasakan angin yang berhembus
cepat saat Aditya menyetir motornya dengan kebut melewati beberapa jalan yang
cukup padat.
Pada akhirnya, kami
berdua tiba di depan 7-Eleven yang terdekat dari SMA Global Taruna, cukup dekat
dengan beberapa gang yang dipenuhi oleh beberapa kontrakan. Aditya memarkirkan
motornya. Aku segera turun dari jok. Aditya melepas helmnya.
Saat aku dan Aditya
memasuki 7-Eleven, kulihat pemandangannya seperti restoran, namun seperti
minimarket juga. Ini benar-benar berbeda daripada 7-Eleven yang pernah
kukunjungi di luar negeri.
“Aku ambilin minumannya,
kamu mau apa?” Aditya bertanya padaku.
“Big Gulp Fanta strawberry saja,” aku menjawab.
Aditya tersenyum padaku
sambil mengambil keranjang belanja.
“Kamu ambilin snack-nya, nanti aku
yang bayarin, tenang aja.”
“Ah, dasar kamu, coba cek
duit kamu dulu deh.” Aku tidak mau
merepotkan Aditya.
“Enggak apa-apa. Ayo, ambil snack-nya.” Aditya menyerahkan
keranjang belanja itu kepadaku.
“Iya, iya.”
Aku segera berjalan
menuju snack corner saat Aditya
berjalan mendekati mesin Gulp yang
terletak di dekat mesin minuman lainnya termasuk mesin Slurpee. Aku berjalan memandangi beberapa rak yang biasanya kulihat
di sebuah minimarket berjejerkan minuman ringan dan snack. Terdapat pula beberapa alat
tulis, sabun, shampo, dan obat-obatan.
Aku mengambil beberapa
bungkus snack sebelum kumasukkan ke
dalam keranjang belanja. Aku berjalan meninggalkan snack corner sebelum menemui Aditya yang sudah mengambil tiga gelas
Big Gulp Fanta Strawberry.
“Kita ke kasir sekarang?”
Aditya memasukkan tiga gelas Big Gulp tertutup itu ke dalam keranjang belanja
yang kupegang.
Kami berdua berjalan
menemui kasir, aku menempatkan keranjang belanja yang kupegang di meja kasir.
Kasir tersebut mengecek satu per satu barang yang kami beli. Ia secara ramah
mengatakan harga yang harus kami bayar.
Aditya
mengeluarkan uang pas sesuai dengan harga yang harus kami bayar sebelum
mengambil belanjaan kami yang sudah dimasukkan ke dalam kantong plastik putih
oleh kasir.
Sebelum kami berdua
segera berjalan keluar dari 7-Eleven. Kasir tersebut mengangguk sambil
tersenyum,
“Terima kasih, ditunggu kedatangannya kembali,”
Aditya bertanya, “Si Febby mana ya? Dia
belum nyampai juga.”
Aku menatap ada seorang
cowok yang pernah kulihat sebelumnya menyebrangi jalan mendekati 7-Eleven.
Semakin dekat, semakin aku mengenalnya, maka aku memanggil, “Brian?”
“Lho?” Brian heran
mengapa aku dan Aditya berada di depan 7-Eleven. Dia terlihat tidak memakai tas
punggungnya, ia memakai kaus coklat dan celana pendek abu-abu, dia tidak
memakai seragam sekolahnya lagi.
“Brian,” Aditya
memanggilnya.
Kulihat Brian terlihat kaget saat kami berdua
memandang dirinya. Dia memanggil dengan nada heran “I ... Indah? Adit?”
Tak lama setelah itu,
sebuah taksi putih tiba di jalan raya samping kami, ada seorang anak laki-laki
berseragam SD memanggil,
“Kakak, aku sama ayah pulang.” Aku juga hanya melihat seorang supir di dalam
taksi itu.
Apakah gosip yang sering
dibicarakan teman-teman
sekelasku itu
benar?
Comments
Post a Comment