I Can't Believe My Love is A Gamer Episode 10

Love is a Danger Zone

Malas, itu reaksiku ketika harus mengikuti pelajaran fisika ekstra mulai besok. Apakah aku akan tersiksa karena lagi-lagi guru fisika yang mendadak memberi quiz menambah tekanan pada setiap murid asuhannya?
Ah! Aku tahu pasti semua yang wajib ikut pelajaran tambahan dari beliau sungguh keberatan, sungguh keberatan. Aku tadi sekadar melihat ekspresi setiap teman sekelasku, yang memiliki nilai di bawah standar beliau, penuh kemasaman dan kesuraman. Aku juga berpikir kalau guru fisika kami sungguh tidak manusiawi ingin menyiksa dengan membebankan materi tambahan.
Gara-gara kabar itu, aku jadi malas bikin PR, apalagi latihan soal, seakan-akan kita terpaksa melakukan semua tugas dari sekolah di rumah. Tentu seusai sekolah, kita butuh istirahat, istirahat untuk melepaskan semua beban, bersenang-senang, membangun sebanyak baru.
Biasanya aku ke game center di mall dekat sekolah setiap pulang sekolah, tetapi gara-gara gadis brengsek yang kutemui dan menuduhku sebagai tukang RCT, aku jadi malas. Aku hanya mengurung diri di kamar, bermain PlayStation 4 sepuasnya, sepuasnya.
Aku sengaja mengunci pintu kamar demi privasi. Aku sedang ingin sendiri, benar-benar ingin sendiri tanpa ada yang menganggu sama sekali. Kalau pun aku disuruh keluar untuk makan malam, ya sudah, aku menuruti saja.
Harapkan saja aku akan dapat nasihat yang sama dan klise dari kedua orangtua. Nasihat mereka seakan-akan tidak memedulikan bagaimana anak zaman now seperti diriku ini, mereka hanya memberikan nasihat yang itu-itu saja berkali-kali. Mau itu saat makan malam, saat berangkat bareng keluarga, nasihat mereka ingin kubantah begitu saja, ingin kumarah kalau mereka tidak perlu memperlakukan anaknya yang sudah besar sebagai anak kecil lagi.
Memang, orangtuaku memperlakukan bukan hanya diriku, tetapi juga kakak dan adikku, sebagai anak kecil. Kami bukan anak kecil lagi, kami bukan anak TK lagi, kami sudah besar, tentu kami tidak ingin nasihat yang mengarahkan kami harus apa.
Anak zaman now punya caranya sendiri untuk membangun masa depan, mau tidak mau orangtua tidak berhak mengarahkan bagaimana seharusnya diriku melakukan apapun semau mereka sendiri.
“Arfian, makan malam! Kakak bikinin mi rebus nih!” panggil kakakku sambil mengetuk pintu.
Aku menekan tombol start pada joystick PlayStation 4-ku untuk mem-pause progress game sejenak. Aku berbalik membuka kunci pintu.
Aku keluar dari kamar menuju meja makan. Kulihat kakak dan adikku telah duduk di depan sana dengan semangkuk mi rebus telah berada di hadapan masing-masing.
Tunggu, kemarin kan udah makan mi di Upnormal. Apa enggak apa-apa makan lagi hari ini? Apa kakakku lupa?
Begitu kududuki salah satu kursi di depan meja makan, kakakku menaruh semangkuk mi di hadapanku. Kulihat semangkuk mie tengah seperti mengambang di kuah kekuningan dengan telur poach setengah matang.
Beruntung, ayah dan ibu belum datang ke rumah. Akhirnya aku bisa menikmati makan malam tanpa perlu mendengar nasihat mereka seperti kepada anak kecil. Kalau mereka benar-benar bersama kami, kekesalanku semakin bertambah panjang.
Kuambil garpu dan mengambil sesuap mi rebus menggunakannya. Begitu sesuap mie telah masuk ke dalam mulutku, rasa gurih penuh bumbu mendarat di lidah, tubuh seketika menjadi hangat berkat air panas bercampur mi kuah berbumbu.
Wow, aku tidak menyangka kalau kakak membuat mi rebus untuk meredakan stres dan kekesalan sehabis menghadapi kelelahan pada hari Senin, dan kita makan mi dua hari berturut-turut. Ternyata pikiranku benar, kuah mi rebus yang berbumbu seketika mampu meredakan seluruh kekesalan terpendamku berbentuk damage.
Anggap saja mi rebus dan mi goreng dari mi instan merupakan makanan penenang jiwa, makanan yang mungkin tidak begitu bagus untuk tubuh, tetapi rasa enaknya mampu menenangkan seluruh hati. Kekesalanku sedikit terobati ketika kuhabiskan setengah dari semangkuk mi rebusku.
“Kak Arfian,” adikku memanggil. “Kakak udah punya cewek belum?”
Apa? Kok masih SD nanya gituan? Aku tidak percaya anak SD sudah kenal yang namanya cinta-cintaan.
Sebenarnya, ini bukan hal baru bagiku, benar-benar bukan. Buktinya, ada anak SD yang berani belajar bagaimana untuk jatuh cinta, mungkin bisa lewat media bermacam-macam, misalnya, novel, sinetron, drama Korea, drama India, dan media apapun itu.
Faktanya, banyak TV nasional yang menayangkan seputar cinta-cintaan, tema yang sama persis itu-itu aja. Tak heran, banyak anak-anak zaman now, apalagi anak SD, terpengaruh sama kata dan tema cinta.
Bahkan, aku pernah melihat di Facebook, berkat share teman online-ku, sesungguhnya bukan teman di dunia nyata, kalau ada kabar bahwa sudah ada anak SD yang terang-terangan mempraktekkan bagaimana rasanya jatuh cinta, sesuai dengan yang ditunjukkan setiap media.
Aku sungguh miris, masa orang seumur anak SD aja bisa menyatakan cinta dengan berpacaran. Pertama yang kulihat adalah surat cinta, surat kepada cewek yang sama-sama anak SD, sungguh ironi.
Selanjutnya, kuingat kalau ada foto anak SD yang berpacaran terang-terangan. Sampai harus selfie segala demi memamerkan kemesraan menuju khalayak umum di Facebook. Lagi-lagi ini sebuah ironi.
Yang paling buruk adalah … ketika ada yang menge-share foto dua anak SD berciuman layaknya seperti berpacaran di dunia Barat. Ini benar-benar titik terendah bagaimana anak SD bisa lakukan zaman now.
Tentu saja, pasti mayoritas warganet bereaksi negatif, sungguh negatif hingga berserk button mereka harus dipencet sekuat tenaga. Mereka memaki anak SD seperti mereka karena sudah berani berpacaran layaknya usia remaja dan dewasa. Ada pula yang menasihati kalau mereka terlalu muda untuk jatuh cinta, sungguh terlalu muda. Lebih buruk lagi, mereka bahkan mengutuk secara harfiah kalau seharusnya anak SD memang belajar yang baik.
Ya, anak SD yang sudah berani berpacaran pasti mulai memakan apel busuk berasal dari cinta, tanpa perlu memedulikan apa konsekuensi yang akan mereka dapat. Aku sungguh ingin membayangkan bagaimana menderitanya anak SD sehabis putus hubungan akibat memakan cinta busuk.
Makanya, aku sendiri tidak usah peduli dengan yang namanya cinta. Cinta itu seperti zona berbahaya ekstrim jika sekali menyentuhnya. Sekali kamu menyentuhnya, siap-siap, penderitaan yang akan kamu dapat.
“Kak Arfian?” Adikku membuyarkan apa yang sedang kulamunkan.
“Eh? Apa?”
“Kok kecil-kecil nanyanya gitu?” Untunglah kakakku mengajukkan pertanyaan. “Emang anak seusia kamu udah boleh pikirin cinta?”
“Ya elah, ketinggalan zaman, Kakak. Kan banyak film zaman now ngomongin tentang cinta lah! Di socmed aja banyak yang pamer cinta.”
Ya, ketinggalan zaman, itu yang sering dibilang anak-anak zaman now, apalagi ngomongin soal cinta. Apalagi, teknologi zaman now memudahkan setiap orang buat pamer, bukan hanya kabar pembajakan film anime lewat live streaming, tentu saja.
Pamer kemesraan dengan pacar secara gengsi? Sering banget terjadi. Ada yang berani pamer selfie pelukan pacar, ciuman pacar, dan bahkan pegangan tangan pacar. Tak heran, aku sendiri muak dengan ajang pamer foto kemesraan bersama pacar masing-masing di media sosial.
Ironisnya, banyak yang bereaksi terhadap foto-foto jenis itu, percintaan. Boleh jadi bisa nge-thumb up dan memberi comment di Facebook hingga memberi like berbentuk hati merah di Instagram. Foto-foto percintaan menjadi panen like di setiap media sosial.
Tidakkah mereka muak dengan memamerkan diri? Tidakkah mereka muak dengan memamerkan kemesraan bersama pacar? Mereka ingin eksis di media sosial, tidak peduli mereka bersama sang kekasih atau bukan. Sungguh, sebuah apel busuk telah menyusupi tubuh setiap pengguna media sosial yang ingin famous secara fabulous.
“Masa Kakak belum punya pacar sih? Ayo dong! Gaet cewek biar bisa cepat nikah!” bujuk adikku pada sang kakak, tentu saja bukan pada diriku.
“Ih! Fokus belajar dulu dong! Kuliah dong! Cinta kan bisa lain kali! Ntar deh, kalau Kakak udah kerja, baru Kakak bisa nikah kalau itu cukup duitnya,” balas kakakku.
Aku membantu menjawab, “Nanti lah, cinta kan urusan belakangan. Kita usaha dulu, nikmatin hidup sebaik-baiknya. Kalau kita langsung terbujuk sama yang namanya cinta, bisa aja kita kesiksa, kan?” Tumben banget aku berbicara sebijak itu.
“Iya, sih,” ucap kakakku. “Kan enggak bakal happy kalau berhadapan yang namanya putus. Berarti kita enggak bisa pilih cinta sembarangan. Kita enggak bisa jatuh cinta sama sembarang orang dong.”
“Tapi kan …. Kalau orang yang saling jatuh cinta pasti bahagia dong,” ucap adikku.
Ini dia, doktrin media telah mempengaruhi seluruh orang. Orang yang saling jatuh cinta itu sudah pasti dapat happy ending, sederhana. Padahal, kehidupan nyata tidak semudah itu. Aku percaya orang yang jatuh cinta akan begitu tersiksa. Pertengkaran baik fisik maupun mental pasti akan terjadi pada setiap orang yang jatuh cinta.
“Ah! Kebanyakan nonton kamu!” seru kakakku. “Jangan mikirin film deh, belum tentu yang terjadi di film itu pasti jadi kenyataan, kan? Udah deh, yang penting kamu senang sama hidup ini. Jangan ngikutin anak-anak yang udah berani pacaran lah, nanti kamu malah tahu gimana rasanya.
“Tugas anak seusia kamu belajar sama main deh. Nikmatin jadi anak-anak. Kalau udah gede, entar kerasa … pengen jadi anak-anak lagi. Gitu loh. Udah habisin gih makannya.”
Aku hanya melamun soal cinta, betapa berbahayanya. Kusudahi makan begitu aku meminum seluruh kuah berbumbu gurih hingga tetes terakhir. Aku bangkit dan mengambil mangkuk menuju dapur.
Syukurlah, aku tidak perlu mendengarkan setiap ocehan kedua orangtua untuk malam ini. Setidaknya, makan malam tadi terasa damai, meski topik percakapan kami tentang seputar cinta.
Sial, lagi-lagi aku malah memikirkan gadis brengsek alias Nabila itu, apalagi tepat setelah aku memikirkan kata cinta. Gadis itu memang tidak pantas untuk jatuh cinta kalau kepribadiannya seperti itu. Aku akan senang kalau menyaksikan dia menangis tersedu-sedu habis diputusin seorang pacar, sangat senang. Itu akibatnya kalau menghina seorang cowok dan menuduhnya yang enggak-enggak.
Aku kembali ke kamar dan kembali berbaring di atas kasur, betapa malasnya diriku. Aku memutuskan untuk menyudahi game PlayStation 4-ku untuk malam ini. Ku-save progress-nya sebelum benar-benar mematikan PlayStation 4.
Aku ingin mendengarkan lagu lewat hp-ku, tentu saja lewat aplikasi YouTube. Tentu saja bukan lagu mainstream yang tentang sembarang cinta-cintaan berujung hubungan terlarang, pasti tahu apa maksudnya hubungan terlarang. Menurutku alasan lagu mainstream kebanyakan lagu cinta-cintaan agar mendapat banyak pendengar dan uang, tentu saja uang.
Aku memutuskan untuk mendengar lagu game yang bertema tidak jauh dari cinta, tetapi menunjukkan bahwa cinta itu tidak segampang yang dibayangkan. Cinta memang seperti apel busuk.
Kuketik kata kunci “love is a danger zone” di search bar aplikasi YouTube, itu judul lagu yang ingin kudengar sekarang. Love is A Danger Zone oleh BanYa, salah satu lagu terpopuler di Pump It Up, mesin dance injak-injak buatan Korea.
Beruntung, aku menemukan full version dari lagu itu. Kulangsung dengarkan lagu yang berdurasi empat menit dan lima detik itu. Lagu ini memang tidak kalah dengan lagu dance yang mengutamakan tema cinta dan dance, setidaknya lagu ini lebih baik daripada kebanyakan lagu mainstream.
Aku setuju dengan judul lagu ini, cinta memang merupakan zona berbahaya bagi siapapun, zona berbahaya. Love is a danger zone.

You're like the sun
Shine on me forever
You are the one
Take me even higher
Shine on me
Shine on me
Shine on me forever
Like a star, in the sky
Burnin' out

Forever on fire

Comments

Popular Posts