I Can't Believe My Love is A Gamer Episode 16
Chronomia
Waktu
demi waktu silih berputar tanpa peduli apa yang setiap manusia sedang lakukan.
Begitulah dengan diriku dengan Oktavian dan Abi. Kami justru menghabiskan waktu
seharian penuh di sebuah mall.
Tepat
saat mal telah dibuka, kami menuju game
center untuk sekadar bersenang-senang, tetapi itu bagian pertama.
Sebenarnya, kami ingin bersenang-senang sambil menghabiskan waktu yang
seharusnya di sekolah.
Apa
boleh buat, kami mabal, bolos sekolah. Begitu kudengar seluruh teman sekelasku
mabal sekolah, terutama demi menghindari pelajaran fisika. Pasti mereka juga
tidak ingin menyaksikan letusan kemarahan guru fisika kami, pasti.
Kami
memulai bersenang-senang di game center.
Mulai dengan diriku bermain setiap rhythm
game, mulai dari Sound Voltex, Taiko
no Tatsujin, Maimai, Beatmania IIDX,
RhythmVaders, dan Pump It Up. Dari semua rhythm game yang kumainkan, kedua
sahabatku paling ngerti Taiko no Tatsujin,
Maimai, dan Pump It Up. Mereka tentu enggak mau main Sound Voltex atau Beatmania
IIDX.
Wajar,
kedua sahabatku memang awam dalam bermain rhythm
game. Ketika mereka bermain entah itu Taiko
no Tatsujin, Maimai, atau Pump It Up, pasti mereka memilih lagu
yang sudah mainstream. Mulai dari
J-Pop dan lagu anime di Taiko no Tatsujin
dan Maimai hingga K-Pop di Pump It Up.
Yang
paling kuperhatikan ketika ketika kedua sahabatku bermain Pump It Up, mereka saling tunjuk-menunjuk lagu apa yang harus
mereka mainkan. Tentu mereka melihat-lihat boyband
atau girl group yang sudah
terkenal dan menjadi favorit kebanyakan penggemar hallyu atau juga disebut K-Poppers.
Kulihat
mereka memilih lagu Boombayah, Bang Bang Bang, dan Sugar Free, lagu-lagu K-Pop yang lebih terkenal daripada lagu-lagu
original di Pump It Up. Kurasa mereka
benar-benar orang awam yang mengincar lagu-lagu mainstream.
Hal yang
sama juga terjadi ketika bermain Maimai dan
Taiko no Tatsujin, lagu J-Pop
terkenal mereka pilih, yang penting entah itu lagu J-Pop biasa seperti bergenre
idol atau lagu-lagu anime, yang
penting mereka kenal saja dulu.
Sialnya,
kalau main Maimai, jangan harap semua
lagu J-Pop dan anime ada di versi internasional, karena masalah lisensi,
terjadi region-lock, berarti hanya
bisa dimainkan di Jepang. Hal ini sering terjadi, sangat sering terjadi. Lebih
buruknya, beberapa lagu yang sebenarnya tidak diinginkan seperti lagu-lagu Gakuen Handsome, malah tidak di-region-lock, buruk sekali. Tahu kenapa
kebanyakan player tidak menginginkan
lagu itu.
Setidaknya,
Taiko no Tatsujin lebih baik dalam
menghadapi region-lock, meski
beberapa lagu J-Pop dan anime masih harus mengalami region-lock. Itulah mengapa secara pribadi, aku lebih menyukai Taiko no Tatsujin daripada Maimai akhir-akhir ini.
Ketika
beralih ke Danz Base, Oktavian dan
Abi langsung heboh begitu menemukan banyaknya lagu Barat di game itu. Begitu heboh ketika banyak artist dari Amerika atau setidaknya
mereka kenal seperti Flo Rida, Bruno Mars, Lady Gaga, One Direction, Jennifer
Lopez, dan Ellie Goulding.
Mereka
begitu keasyikan memainkan game dance yang
sebenarnya, Danz Base, game yang enggak cuma sekadar
injak-injak, tetapi juga bermain sambil mengikuti koreografi dance avatar di layar. Gerakan dance tentu akan terdeteksi oleh sensor
dan kamera semacam Kinect di Xbox atau PlayStation Move di PlayStation 4.
Ibaratnya seperti main Just Dance,
tetapi lagu Barat di sini kurang begitu update
akhir-akhir ini, ditambah beberapa lagu K-Pop, Mandarin, dan J-Pop, beserta
lagu original.
Mereka dance begitu heboh sampai harus
bernyanyi keras, tentu akan membuat beberapa pengunjung yang menumpang lewat
jalan game center dan beberapa player lainnya teralihkan akibat
kehebohan itu. Abi dan Oktavian, kalian begitu heboh, kalian memang belum
pernah main Danz Base, sama sekali.
Demi
menghindari kebisingan mereka, aku sempat mendengarkan musik di hp menggunakan earphone. Kali ini kudengar lagu Chronomia karya Lime, salah satu entri
kompetisi BMS of Fighters Ultimate 2016.
Alunan
piano bercampur kehebatan suara “tik tok” pada jam dan hentakan gitar serta
terompet membuat lagu bertema waktu ini begitu epik. Tak heran, lagu ini salah
satu lagu favoritku dari BMS of Fighters Ultimate 2016.
Beberapa
jam sudah kami habiskan di game center,
kini saatnya kami melangkah menuju bioskop. Dari game center sebenarnya cukup dekat, hanya di seberang hingga kamu
harus melangkah beberapa kali menuju sana.
“Eh, Justice League coming soon nih!” seru
Abi begitu melihat poster film Justice
League terpampang di dinding depan bioskop sebagai pemberitahuan coming soon. “Kapan tayangnya nih?”
“Katanya
minggu depan rilis di Amerika. Kalau di Indonesia kurang tahu,” jawab Oktavian ikut
bersemangat. “Kapan-kapan nonton lah!”
Kami pun
akhirnya memasuki daerah bioskop itu. Karpet coklat sudah kami injak sambil
melihat dinding coklat. Tidak perlu basa-basi lagi, kami akhirnya berbaris
mengantre menghadap tiket counter sekaligus
popcorn zone.
Tiket counter dan popcorn zone di bioskop ini memang mirip dengan kebanyakan area
kasir di restoran cepat saji seperti McDonald’s dan KFC, sungguh mirip, atau
kurang lebih mendekati. Kulihat beberapa menu snack dan minuman sambil menunggu giliran kami.
“Pada
mau sekalian popcorn enggak?” tanya
Oktavian.
“Iya
nih, kan enggak afdol kalau nonton
bioskop enggak pakai ngemil,” jawab Abi.
Mau
pakai cemilan atau enggak, tetap aja nonton, menikmati filmnya. Mau itu di
bioskop atau di rumah atau dimanapun, tetap bisa menikmati film tanpa perlu
membeli cemilan terlebih dahulu.
“Eh,
Arfian, mau sekalian juga enggak? Beli popcorn?”
tawar Oktavian.
Aku
akhirnya memutuskan, “Iya deh, mumpung lagi banyak duit sih.”
Oke,
entah kenapa aku ingin makan sesuatu sambil menonton film, kali ini aku akan skip makan siang karena sudah makan brunch di McDonald’s bersama Oktavian.
Makan siang kali ini hanya popcorn,
hanya popcorn.
Begitu
tiba giliran kami, Oktavian meminta pada sang kasir, “Thor: Ragnarok buat tiga orang.”
Sang kasir
juga menawarkan paket popcorn sekaligus
minuman bersoda, ini sebagai trik promosi pada unwilling customers agar tergiur dengan produk tersebut. Akhirnya,
aku juga menjadi korban yang tergiur itu, mengikuti Oktavian dan Abi. Kami akan
menonton sambil ditemani popcorn dan
Coca Cola.
Kami
menyerahkan uang yang harus dibayar. Setelah tiga tiket dan tanda terima kami ambil,
sang kasir menyiapkan tiga paket popcorn
dan Coca Cola. Kami menatap kasir itu mengambil popcorn dengan semacam sekop menuju bungkus popcorn. Coca Cola juga dia tuangkan dengan menekan tombol menuju
masing-masing gelas.
“Silakan,
selamat menonton,” ucap kasir itu sambil memberi paket minuman dan popcorn.
“Eh?
Gimana si Vera?’ tanya Abi. “Udah hubungin lagi kapan kita makan barengnya?”
“Slow aja deh, gampang. Nanti habis
filmnya selesai gue LINE deh,” jawab Oktavian ketika kami berjalan meninggalkan
area kasir, mencari tempat duduk untuk menunggu.
Begitu
kulihat bungkus popcorn yang
kugenggam dengan tangan kiri, wah, aroma mentega yang asin dan gurih mulai
menggoda-goda penciumanku, bahkan membuatku tidak sabar ingin memasukkan satu
per satu popcorn ke dalam mulut.
Beruntung,
pengumuman pintu studio di mana kami akan menonton Thor: Ragnarok sudah dibuka telah terdengar. Suara ibu-ibu begitu
menjernihkan dan menyegarkan setelah harus menunggu lama, begitu lama untuk
masuk ke dalam studio.
“Ayo
gih! Udah dibuka!” seru Oktavian mengajak kami melangkah memasuki studio layar
bioskop.
Kami pun
akhirnya mengantre sekali lagi ketika tiba di hadapan pintu studio tersebut.
Kulihat seorang petugas meminta setiap penonton menunjukkan tiket masing-masing
sebagai alasan keamanan. Kulihat petugas itu merobek bagian tiket film demi
bukti keamanan.
Kami
akhirnya menunjukkan tiga tiket pada petugas itu. Dia melihat dan merobek
bagian tiket itu sebelum mempersilakan kami masuk.
“Silakan.
Selamat menonton,” ucap petugas itu.
Kami pun
memasuki studio layar bioskop itu. Kulihat layar bioskop begitu besar dan lebar
seperti mendominasi seluruh dinding di hadapan kursi penonton. Dinding hitam
putih kotak-kotak juga kami pandang begitu berbalik menghadapi kursi penonton
berwarna merah.
“Di atas
kan?” tunjuk Abi ketika kami menaiki tangga mencari tempat duduk kami sesuai
dengan tiket.
Oke,
kami mengambil posisi tempat duduk di barisan paling belakang, tentu bagian
tengah agar afdol mengalami experience dalam menonton film di
bioskop. Sebenarnya, tempat duduk terbaik di bioskop adalah barisan belakang
karena alasan sudut pandang menonton lewat layar dan mendengar suara lebih
jernih.
Begitu
kami mulai duduk di kursi masing-masing, layar pun menyala dan memulai cuplikan
selamat datang dan beberapa peringatan apa yang harus dan tidak boleh lakukan
di dalam studio.
“Udah
gih, LINE aja sekarang, bisa aja lupa,” ucap Abi pada Oktavian.
“Iya
deh, gue LINE si Vera. Sekalian ngajak Fatin sama Nabila,” jawab Oktavian
sambil mengeluarkan hp dari saku celana.
Kulihat
beberapa penonton berdatangan ketika trailer-trailer film lain mulai diputar.
Beberapa dari mereka, seperti biasa, berpasangan, pasangan pacaran. Inilah
salah satu stereotip penonton bioskop. Tentu sudah menjadi hal wajib kalau
menonton bioskop sekali-kali harus bersama sang kekasih. Entah bisa
bermesra-mesraan sambil nonton atau hanya mengobrol dan berdiskusi bagaimana pendapat
masing-masing.
Ada juga
bersama keluarga, baik itu dengan anak kecil atau sesepuh. Tentu mereka sangat excited untuk menonton film di bioskop.
Ada juga yang rame-rame bersama teman-teman, segerombolan, bukan, kompak
mencari tempat duduk yang berdekatan.
“Oh ya,
coba cek grup LINE dong, Arfian!” ucap Abi.
Kenapa
tidak mengecek grup LINE teman sekelasmu sendiri, Abi? Apakah baterai hpmu
habis? Apakah hpmu sengaja dimatikan? Atau jangan-jangan tidak punya kuota
internet sama sekali?
Apa
boleh buat, aku membuka aplikasi LINE di hp, ingin melihat bagaimana grup teman
sekelas setelah semuanya bolos alias mabal dari pelajaran fisika demi
menghindari letusan kemarahan guru fisika kami. Ya, murid-murid sepintar
seperti enam orang yang mendapat nilai bagus di quiz fisika waktu itu juga pengecut, pengecut seperti mayoritas
dari kelas kami. Sudah tidak datang untuk pelajaran tambahan, malah mabal
seharian penuh.
Tidak
banyak yang mereka bicarakan. Setidaknya beberapa dari teman sekelas kami
mabalnya bareng-bareng, ada yang ke mall sama seperti kami, ada juga yang malah
ke warnet main Point Blank atau Dota, ada juga yang ke rental PS,
seperti biasa, main Pro Evolution Soccer.
Ada juga yang memutuskan untuk ke tempat futsal untuk sekadar menonton atau
main futsal rame-rame dengan orang asing.
Semoga
saja guru fisika kami sadar kami benar-benar muak dengan segala pelajaran
tambahan dan penjelasan yang membuat kami semua tidak mengerti. Sungguh, guru
fisika kami alih-alih membuat kami tambah mengerti, malah menambah beban stres kami. Bukan hanya semakin terserap
setiap penjelasan lisan dan di tulisan spidolnya, malah semakin menyesatkan
otak, sesat, sungguh sesat.
Kami
tentu tahu apa konsekuensinya, kami akan menghadapi letusan kemarahan, hanya
saja kami tak tahu bagaimana kemarahannya ketika kami bertatap muka di
pelajaran seperti biasa minggu depan. Apapun bisa terjadi, apakah beliau tetap
akan marah atau tidak, aku tidak tahu.
Kelas
kami begitu kompak, benar-benar kompak, bukannya kompak secara positif yaitu
dapat nilai bagus, saling membantu dalam hal pelajaran, atau mengumpulkan tugas
bareng-bareng, kali ini malah lebih buruk, bolos, bolos berjamaahan. Kenapa
disebut berjamaah? Karena anak zaman now sering
berkata begitu kalau ramai-ramai.
Setidaknya,
aku juga tidak perlu bertemu gadis brengsek itu saat di sekolah untuk hari ini.
Tapi … masalahnya, aku terpaksa bertemu dengannya lagi saat kita akan makan
bareng, ibaratnya double date, atau triple date sekalian. Aku harus
menghadapi gadis brengsek yang berani sekali ingin berpura-pura pacaran
denganku. Padahal dia sendiri tidak mau, aku juga tidak mau!
Karena
dia sudah telanjur ingin berpura-pura pacaran denganku, kuanggap dia hanya
ingin menganggu hidupku, hidupku yang sudah kubangun baik-baik dari masa kecil.
Aku kini memasuki kesuraman gara-gara pertemuan gadis brengsek di game center, tukang tuduh RCT.
Comments
Post a Comment