I Can't Believe My Love is A Gamer Episode 19
AMAZING MIGHTYYYY!!
Bayangkan
dalam seminggu lebih kalau aku mendapat minggu yang amazing, amazing-nya
parah. Dimulai saat Jumat, tepat setelah Jumatan, kami tetap harus mengikuti
pelajaran tambahan fisika sebagai hukuman kompak mabal. Sebenarnya dari hari
Kamis, kami sudah wajib ikut. Entahlah apakah akan selesai Jumat depan.
Diriku
stres, benar-benar stres, hingga terpaksa ke game center. Lagi-lagi aku bertemu dengan Nabila, si gadis brengsek
itu. Dia bahkan mengejekku saat aku bermain, dia mengangguku, mengangguku. Aku
tidak dapat high score yang
kuinginkan, alias naik, dalam setiap rhythm
game, Sound Voltex, Maimai, RhythmVaders, dan Taiko no
Tatsujin.
Sabtu,
aku ke game center seperti biasa
kembali, masa bodoh kalau aku bertemu dengan gadis brengsek itu lagi, yang
penting aku ingin meredakan stres dari hari Kamis. Cukup adil, kalau aku
kebetulan bertemu Nabila lagi, lengkap sudah penderitaanku.
Beruntung,
waktu itu adalah gathering komunitas arcade, terutama rhythm games. Ya, aku bisa puas-puasin main setiap rhythm game di game center yang sedang kukunjungi
sekaligus tempat gathering. Setidaknya
bermain bersama teman komunitas jauh lebih menyenangkan daripada bermain
bersama Nabila si gadis brengsek.
Ketika
tengah hari, ketua komunitas rhythm game
pun akhirnya mengadakan kegiatan yang akan diadakan bulan depan. Aku tahu kalau
akan ada lomba setiap rhythm game a
la Tenkaichi Otogesai.
Tenkaichi Otogesai? Itu
kompetisi rhythm gamer yang
melibatkan enam rhythm game di game center di Jepang. Enam game itu adalah Taiko no Tatsujin, Maimai,
RhythmVaders, Sound Voltex, Chunithm,
dan Synchronica. Sayang sekali di
negeri ini belum ada Chuntihm dan Synchronica, sayang sekali. Juga, akan
ada beberapa lagu yang diciptakan khusus untuk babak penyisihan dan final
kompetisi tersebut, Tenkaichi Otogesai.
Ya,
ketua komunitas ingin agar kami, komunitas, pandai memainkan keempat rhythm game yang tersedia di game center seperti Taiko no Tatsujin, Maimai,
RhythmVaders, dan Sound Voltex. Sistemnya, aku juga kurang
mengerti seperti apa. Setidaknya, kalau Nabila benaran ikut dan menang
kompetisi ini, kami akan malu, sebagai komunitas.
Puas
bermain di game center, Minggu adalah
hari terburuk dalam minggu ini. Aku malah terpaksa ikut jalan-jalan bersama
keluarga. Lebih buruknya, aku harus mendengarkan omelan dan nasihat dari kedua
orangtua. Ingin sekali aku mengatakan berisik
atau semacamnya, agar bisa menghentikan omelan mereka.
Beruntung,
dalam perjalanan, aku membawa earphone.
Aku bisa mendengarkan musik alih-alih nasihat dan omelan dari kedua orangtua.
Kali ini, kudengarkan dengan volume agak
tinggi, hentaman musik bisa mengalahkan suara omelan orangtuaku.
Kudengar
lagu yang akhir-akhir ini menjadi favorit dari Maimai di aplikasi YouTube. Kali ini, lagu electro yang cukup menendang gendang telingaku. Lagu ini
benar-benar se-amazing judulnya, Amazing Mightyyyy!! karya Waikuro, another alias dari BlackY yang sudah
lebih dulu terkenal di Sound Voltex.
Setidaknya,
setiap beat lagu yang menendang itu
bisa menenangkanku dari omelan dan nasihat kedua orangtuaku. Kalau ayahku
menyuruh untuk melepas earphone, aku
tidak mau, aku lebih baik bersenang-senang sendiri daripada harus menderita
mendengar omelannya sepanjang perjalanan.
Weekend ini benar-benar seperti tercampur aduk.
Pertama, Nabila si gadis brengsek lagi-lagi menganggu waktu bermainku di game center. Kedua, aku bisa lebih
bersenang-senang karena gathering bareng
komunitas rhythm game. Ketiga, aku
terpaksa ikut dalam perjalanan bareng keluarga sambil mendengarkan setiap
omelan dan nasihat dari orangtua, sebenarnya aku yakin, kakak dan adikku juga
tidak ingin ikut.
Aku
ingin melihat seperti apa dari hari Senin. Aku sangat menantikannya.
***
“Ya,
udah mendingan puisinya!” ucap Abi begitu membaca puisi dari Oktavian. “Tapi
tinggal tunggu waktu aja. Jangan buru-buru, Bro.
Kalau emang tergesa-gesa, peluang ditolak entar lebih gede lho.”
“Iya,
gue entar nunggu waktu yang tepat,” tanggap Oktavian.
“Masa
baru aja kenal langsung pengen nembak sih?”
“Ya,
enggak sabar lah!”
Senin
ini, kami menunggu agar pelajaran tambahan fisika dimulai, sebagai hukuman
karena telah mabal hari Rabu lalu. Sepertinya seluruh seisi kelas tidak
menginginkannya. Hanya karena nilai quiz fisika
mereka rendah, tidak perlu juga guru fisika kami mengadakan pelajaran tambahan
selama seminggu lebih.
“Arfian,
gimana Nabila?” Abi bertanya yang tidak perlu tentang pacar pura-puraku.
Aku
mengarang sebuah jawaban, “Ya, sering berantem juga akhir-akhir ini sih.
Makanya, dia sering pura-pura pamer kemesraan saat di depan umum kayak lo.”
“Ya
iyalah! Lo kecepatan jadiannya! Saling kenal dulu dong harusnya. Lo sih
buru-buru pengen pacaran! Lo iri ya sama kita yang suka ngegoda cewek?”
Oktavian
menyela, “Udah gih, itu kan urusannya dia lah!”
“Udah
deh, Oktavian, lo jangan kayak Arfian deh. Dia buru-buru banget pengen
pacaran.”
“Kasihan,
kan? Dia lagi bad mood kalau
ngomongin si Nabila,” Oktavian memang tahu perasaanku yang sebenarnya terhadap
gadis brengsek itu. “Arfian, sabar aja. Kalau lo emang pengen putusin aja,
omongin dulu baik-baik sama kita-kita.”
Putus.
Itu dia, aku memang ingin memutuskan hubungan dengan gadis brengsek itu.
Sebenarnya bukan sekadar putus cinta pura-pura ini, tetapi juga putus hubungan
kontak agar dia tidak bisa bertemu denganku lagi. Wajar saja, aku memang tidak
menginginkan hubungan ini, aku bahkan membenci gadis brengsek itu alih-alih
menyukai atau mencintainya.
Aku
harus pikirkan sebuah skenario bagaimana cara memutuskan hubungan baik-baik.
Tentu kalau putus, pasti harus menghapus segala jejak sang mantan kekasih, dari
manapun, baik itu dari media sosial atau sekadar kontak telepon-teleponan.
Tapi,
akan sulit juga kalau pacaran pura-pura harus putus. Apalagi, bisa saja kami,
aku dan Nabila, sudah menjalankan hubungan secara publik, berarti seluruh
sekolah sudah tahu kalau kami pacaran benaran.
***
“Oktavian,”
panggilku ketika jam istirahat pada Selasa. “Gue mau ngomong.”
“Mau
ngomong di mana?”
“Di sini
aja deh, mumpung kelas rada sepi.” Aku menunjuk ruangan kelas hanya ada sedikit
teman sekelas yang masih saja duduk berkumpul. Beruntung, Abi sedang entah ke
kantin atau hanya main bola di lapangan halaman sekolah.
“Ini
soal Nabila, kan?” Oktavian tahu apa yang ingin kubicarakan.
“Emang,”
aku mengangguk. “Gue emang pengen putus hubungan sama dia.”
“Lho, lo
kan emang pura-pura pacaran.”
“Itu dia
masalahnya, Oktavian. Kalau dia enggak manggil gue sayang pas kita skip pelajaran
tambahan pas Selasa kita ke rental PS, semuanya enggak bakal terjadi! Masa baru
aja kenal, malah langsung pacaran, aneh, kan?”
“Iya
sih, benar kata Abi. Harusnya Nabila emang mikir kalau mau pacaran sama lo,
kecepatan. Harusnya saling kenal dulu. Emang lo ada masalah apa sama dia?”
“Lo
sendiri tahu kan!” aku mengingatkan, “Gue ketemu sama dia di game center, terus dia nuduh gue enggak
mau gantian mainnya. Gue udah ngingetin tuh cewek brengsek buat ngikutin
aturan, nulis di papan antrean dulu. Terus, dia terus aja ngeganggu pas gue
main ke game center, biar dia puas.”
“Jadi
gitu ceritanya? Wow, emang lo sama Nabila pandai ngarang nih. Apa emang dia
suka sama lo.”
“Brengsek
lo!” ucapku sambil memukul pelan bahu Oktavian. “Ya, enggak mungkin dia suka
sama gue. Gue juga enggak suka sama dia. Dia udah ngeganggu hidup gue lah!”
“Ah,
mungkin lo aja yang enggak ngerti nih. Lo jarang ngomong sama cewek-cewek nih,
jadinya gini. Lo emang enggak ngerti perasaan cewek lah.”
“Udah
deh, gue lagi bete mikirin gimana cara putus pacaran pura-pura terus ngejauh
dari itu cewek.”
“Arfian,
ke kantin deh biar lo enggak bete lagi,” ajak Oktavian.
“Terus?
Biar gue bisa ketemu sama itu cewek brengsek? Biar gue cepat-cepat putus
hubungan pura-pura?”
“Enggak
gitu juga kali! Udah deh, habis beli makan atau enggak minum, kita ke kelas
lagi.”
***
Kamis,
karena Rabu tidak ada yang menarik jika kuceritakan. Aku melihat Oktavian
membacakan puisi buatannya sendiri, di hadapanku dan Abi. Ini semua demi latihan
untuk meluluhkan hati es Vera, taksirannya.
Kulihat
Oktavian menambahkan nada-nada puitis alias over
the top dalam membacakan puisinya sendiri. Setiap kata-kata yang dia
lontarkan sejauh ini akan mampu meluluhkan hati Vera. Terlebih, aku sering
melihat Oktavian sering menggoda para cewek di kelas, kalau enggak di kantin.
Akhirnya,
aku tidak perlu melihat Oktavian sering menggoda cewek-cewek, kelakuan playboy, karena dia memang lebih
menyukai Vera, sahabat Nabila si gadis brengsek. Kuharap Vera dapat menerima
rasa suka dan sayang dari Oktavian, kuharap saja.
“Gimana
menurut lo?” Oktavian bertanya padaku dan Abi setelah selesai membaca puisi
itu.
“Udah
pas lah!” jawab Abi.
“Iya,
nih, udah sesuai sama ekspektasi gue,” jawabku spontan.
“Ekspektasi
lo? Emang kayak gimana?” tanggap Abi.
“Ya,
Oktavian sering ngegoda-goda cewek sih. Jadi enggak masalah kalau dia keterima
cintanya sama Vera.”
Oktavian
berucap, “Makasih ya, udah ngebantu.”
“Emang
kapan lo nembaknya?” Abi bertanya lagi.
“Kapan
ya? Nunggu aja waktu yang tepat. Sesuai kata lo, Abi, masa buru-buru pacaran
kalau emang baru kenal?”
“Ah!
Gitu deh! Kebayang juga kalau pacaran lewat chat
atau semacamnya, peluang buat putus bisa lebih.”
“Oh,
Fatin nge-LINE gue nih!” Abi menatap layar ponselnya. “Dia bilang entar, habis
kita dapat pelajaran tambahan, katanya Nabila pengen ngajak kita ke rumahnya,
main PS bareng.”
“Lho,
emang dia punya PS? Terus ngapain dia ke rental PS waktu itu?”
“Ya,
pengen dua-duaan sama Arfian nih!” Abi menepuk bahuku. “Kan dia kangen berat
sama pacarnya ini.”
“Enggak
gitu juga lah. Kan baru aja pacaran,” aku mengarang lagi. “Kata lo gue
kecepatan pacarannya.”
“Emang!”
ucap Abi. “Udah deh, gue ke kantin dulu, mau ketemuan sama si Fatin.” Dia
berdiri meninggalkan kelas.
“Eh,
Arfian, soal si Nabila. Lo mau putus sama dia besok?” Oktavian berbicara
denganku.
“Enggak
tahu juga sih. Nunggu aja waktu yang tepat,” jawabku.
“Oke, lo
udah bantu gue.” Oktavian menepuk kedua bahuku. “Giliran gue buat bantu lo biar
putus dari pacar pura-pura lo, cewek brengsek alias Nabila.”
“Wow,
gue enggak nyangka lo ikut-ikutan bilang gitu.”
“Habisnya
sih, lo ceritanya gitu. Kalau enggak, lo pengen bilang kalau lo emang pura-pura
pacaran sama semua orang?”
“Ya,
entar aja habis putus. Entar aja. Gimana kalau gini, kita ngarang aja kalau dia
emang gila. Dia gila pengen jadian terus kita aja baru kenalan. Gila, kan?”
“Terus,
gimana kalau dia emang suka sama lo.”
“Enggak
mungkin! Dia enggak mungkin sama gue. Gue aja udah enggak suka sama dia,
benar-benar enggak suka.”
“Tapi,
kalau lo emang putus dari pacaran pura-pura ini, bisa aja dia nangis lho.”
“I don’t care, gue malah pengen dia
nangis bombay,”
“Jahat
lo!” seru Oktavian. “Ya udah deh, gue bantu, gue enggak peduli mau apa, yang
penting lo emang mau lolos dari sandiwaranya sendiri.”
“Nah!
Gitu dong!” seruku.
Aku
memang harus memikirkan skenario bagaimana aku akan memutuskan hubungan dengan
Nabila. Meski Oktavian ingin membantu, ini takkan begitu mudah.
Setidaknya,
setelah aku putus hubungan dengannya, meski ini pura-pura, dia takkan mau
mendekatiku lagi, apalagi mengangguku. Aku ingin dia lenyap dari hidupku,
lenyap untuk selamanya, selamanya.
Comments
Post a Comment