I Can't Believe My Love is A Gamer Episode 22
U Got Me Rocking
“Arfian,
kamu memang ada masalah? Apa kamu tidak mengerti?”
Tragedi
yang dimulai semalam berlanjut ketika aku mengambil sarapan roti isi meises.
Ibuku masuk ke kamar tanpa izin semalam, dia mengambil hasil quiz-ku, mungkin aku tidak sengaja
meninggalkan di lantai begitu saja begitu kukeluarkan semua isi tas sepulang
sekolah beberapa hari sebelumnya.
“Kamu
tuh jangan main aja, belajar dong!” Ini nasihat yang sering kudengarkan dari
ibu. “Mending ibu telepon guru fisika kamu aja biar kamu dapat belajar lebih
banyak lagi.”
Aku
sudah tidak tahan dengan segala omelan ibu dari tadi malam, ingin kuingatkan
kalau ibuku tidak berhak menilaiku seperti itu, ingin sekali kukatakan kalau
aku tidak perlu nasihat yang berulangkali dia lontarkan. Gara-gara itu,
kemarahanku mulai terpendam di hati, bersiap untuk meledak, tetapi harus
kutahan karena aku tidak boleh meluap di depan ibuku sendiri.
Aku
makan roti begitu cepat, tidak peduli sudah berapa kali kukunyah, aku hanya
ingin pergi dari sini, menyingkir dari kekecewaan ibuku. Aku sudah tidak peduli
lagi, aku tidak sedih, aku kecewa, aku marah dengan ibuku sendiri!
“Lain
kali, coba hubungin gurunya. Kalau nilai kamu jelek terus, gimana UAS nanti?
Gimana mau naik kelas? Gimana mau lulus UN? Gimana mau lulus kuliah?” Ibuku
terus menasihatiku begitu aku memasang sepatu dan melangkah menuju pintu kamar.
Aku
membuka pintu dengan keras hingga menghentakkan kaki, secara spontan, entah
mengapa, aku membentak berbalik menghadap ibu, terlebih kakak, adik, dan ayahku
juga melihatku bereaksi, “DIAM! DIAM!”
Aku
mempercepat langkah keluar dari rumah dan mendobrak pintu. Kubanting pintu
sambil kulampiaskan kemarahan yang selama ini kupendam. Aku hanya tidak ingin
ibuku melakukan apa yang seharusnya kulakukan.
Aku
memperkeras hentakan langkah meninggalkan pintu. Kemarahanku sudah meledak. Aku
tahu aku tidak perlu kembali ke rumah malam ini, aku tidak mau mendengarkan
semua nasihat kedua orangtuaku berulang kali. Bukan mereka yang berada di
posisiku sekarang, berarti mereka tidak berhak untuk mengaturku semau sendiri!
***
Oke,
kemarahanku semakin terlihat ketika di kelas, sangat terlihat. Begitu aku masuk
kelas, kubanting tas di bangkuku sendiri. Seluruh teman sekelasku yang tiba
mengalihkan perhatian padaku seperti menyaksikan sebuah kecelakaan.
Aku tahu
hari ini, Jumat, aku termasuk salah satu piket. Kulihat papan tulis masih
mengandung noda bekas tulisan pelajaran fisika tambahan kemarin. Aku hentakan
langkah kaki sekali lagi sambil mengeraskan volumenya.
Kuambil
penghapus papan tulis dan kugenggam sekuat tenaga kemarahanku sendiri.
Kutabrakkan penghapus pada papan tulis seperti menabrakkan mobil pada pagar,
menimbulkan bunyi kemarahan yang keras. Kugesekkan penghapus itu seraya
menghapus setiap tulisan pada papan tulis. Kecepatan gesekanku sendiri kutambah
sesuai dengan kemarahan yang sedang kupendam.
“Lho? Si
Arfian kenapa?” Kudengar salah satu temanku bertanya.
Kubayangkan
setiap tulisan itu sebagai setiap nasihat bertele-tele kedua orangtuaku,
terutama setiap kata-kata yang terlontar dari mulut ibuku sendiri pagi tadi.
Aku seakan-akan ingin mendobrak energi kemarahan setiap kali orangtuaku berkata
apa yang seharusnya kulakukan sekaligus melarang apapun yang ingin kulakukan.
Kudengar
Oktavian menjawab pertanyaan salah satu teman sekelasku, “Enggak tahu. Dia
datang-datang udah marah gitu kelihatannya.”
Sudah
kugunakan setiap energi kemarahan untuk menggesekkan penghapus pada papan
tulis. Semua tulisan di papan tulis sudah terhapus tanpa sisa. Papan tulis
sudah kembali putih tanpa noda spidol hitam ataupun biru ataupun merah sama
sekali.
Kubanting
penghapus itu ke lantai sebagai pelampiasan ledakan kemarahan, benar-benar
menjadi bencana ketika salah satu teman sekelasku yang baru saja tiba di kelas
tercengang menyaksikanku. Hal itu menjadi lebih buruk ketika kaki kananku
menendang tembok berkali-kali.
“Whoa!
Whoa!” jerit salah satu teman sekelasku.
Oktavian
dengan cepat menemuiku bertanya apa yang terjadi, “Arfian, udah. Lo kenapa?”
Aku
menggeleng, entah kenapa airmataku keluar, semakin kulampiaskan seluruh
kemarahan akibat mendengar kata-kata ibu tadi pagi. Aku sebenarnya tidak ingin
menangis, justru, aku hanya ingin melampiaskan seluruh kemarahanku sendiri.
Oktavian
membantuku berbalik menuju bangkuku. Dia menepuk bahu kananku seraya
menenangkan. Begitu kami kembali duduk, semua orang di kelas dengan sigap
menemuiku bertanya apa yang terjadi.
“Lo
kenapa?” tanya salah satu dari mereka ketika salah satu teman perempuan
mengusap bahu kiriku.
“Gue
lagi … agak enggak mood,” aku
menjawab tanpa mengungkapkan alasan yang sebenarnya.
“Lo
berantem sama Nabila lagi tadi pagi?” tanya Oktavian.
Demi
sebuah alasan sempurna, aku berbohong, “Iya, gue … berantem lagi sama dia. Dia
sih … susah mau gimana jadinya.”
“Kalem
aja, Arfian,” ucap salah satu teman sekelasku.
“Sabar,
Arfian. Sabar ….”
Mana
bisa sabar? Aku masih saja memendam sebuah kejujuran, aku terpaksa tidak
mengatakan hal yang sebenarnya pada seluruh teman sekelasku, terpaksa! Aku pun
menundukkan kepala dan menempelkan pada kedua lengan di atas meja, membiarkan
semua energi keluar dalam bentuk air mata.
***
“Oktavian,
gue pengen ngomong,” ucapku begitu keadaan kelas sudah sepi, hanya ada sedikit
yang masih berada di sana. Aku tidak bisa menahan kebohongan ini lebih lama
lagi, saatnya untuk mengatakan yang sebenarnya.
“Eh?
Kenapa?”
“Gue
boleh nginap enggak weekend ini?”
Entah kenapa, aku memutuskan untuk menunda kejujuran.
“Whoa,
kok tiba-tiba sih? Emang kenapa?”
“Gue …
lagi enggak pengen ke rumah aja sih,” ucapku.
“Terus?
Lo marah sama Nabila? Lo pengen ke rumah gue nginap?” Oktavian tahu masalahku
lain lagi daripada yang kukatakan. “Emang ada masalah di rumah lo juga?”
Aku
menggeleng, entah kenapa air mataku kembali keluar, aku ingin menangis seperti
bayi. Kepalaku lagi-lagi kutempelkan pada kedua lengan di atas meja, ingin
kulampiaskan seluruh kemarahan yang kudapat tadi pagi.
“Arfian,
lo mending ceritain aja yang sebenarnya,” ucap Oktavian. “Lo sih kenapa
tiba-tiba nanya pengen nginap di gua. Pasti ada masalah di rumah lo lah.”
Aku
bingung apakah memang harus mengatakan yang sebenarnya pada Oktavian, sahabatku
sendiri? Ini merupakan hal berat, hal berat. Tentu saja aku tidak ingin
Oktavian ikut sedih setelah mendengar penderitaanku tadi pagi.
“Gue
bakal dengarin kok.”
“Eh, si
Arfian kenapa katanya?” Abi pun tiba menemui kami. “Katanya dia marah-marah pas
datang ke kelas.”
“Emang,”
tanggap Oktavian sambil mengelus-elus punggungku. “Dia sampai ngebanting
penghapus sama nendang tembok. Kayaknya sih … ada masalah di rumahnya.”
“Eh?
Jadi gara-gara itu dia marah-marah gini?” tanya Abi lagi. “Masalah kayak
gimana?”
“Dia
belum mau cerita soalnya.”
“Arfian,
lo ngomong aja lo kenapa,” Abi mulai berkata padaku. “Kita kan teman lo, kita
pengen ngebantu lo. Lo coba ngomong lo kenapa sampai punya masalah di rumah.
Kita enggak bakal nge-judge kok. Kita
cuma pengen ngebantu sebagai sahabat lo.”
“Udah
deh, Arfian, mau nitip apa? Gue ke kantin duluan,” ucap Oktavian. “Atau mau
bareng aja?”
Aku
kembali menangkat kepalaku menatap Oktavian dan Abi. Wajahku seperti ternoda
oleh bekas air mata tangisanku sendiri. Tetap saja akan terasa sulit untuk
mengatakan yang sebenarnya, apa yang sedang kuhadapi di rumah. Apa masalahku di
rumah pagi tadi.
Oktavian
menambah pada Abi, “Dia sih, pengen nginap di gua. Jadi gue tahu sebenarnya dia
marah gara-gara masalah di rumah.”
“Gue …
gue ….” Aku memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya, meski aku tahu pasti
kedua sahabatku akan sama saja dengan kedua orangtuaku. “Gue dimarahin ibu.”
“Eh?
Nyokap lo emang kenapa?” tanggap Abi.
“Ibu gue
… nemu hasil quiz fisika gue yang
jelek, terus dia marah-marahin gue. Gue udah capek, capek! Gue capek ngehadapin
kata-kata ayah sama ibu, maunya kayak gimana. Gue pilih jurusan IPA gara-gara
mereka! Terus gue nurutin aja! Terus gini, ibu gua marah-marah cuma gara-gara
gue bodoh, bodoh fisika!
“Gue
tahu gue harusnya pilih IPS, cuma karena mata pelajaran IPS lebih gede daripada
IPA! Ya, kepaksa sama mereka gue pilih IPA! Apa orangtua berhak ngatur anaknya
semau mereka sendiri! Gue capek! Capek tahu!” Aku melanjutkan tangisanku
seperti bayi.
Oktavian
menepuk pundakku. “Udah, Arfian, udah. Jangan nangis dong. Gue dapat nilai quiz juga jelek kok. Gue juga sama, pas
nyokap tahu, dia juga marahin gue. Gue marah? Enggak kok, gue justru pengen
bisa mendingan ke depannya.”
“Udah,
enggak kayak gitu nganggepinnya. Dia butuh waktu,” respon Abi.
“Lo juga
nilai quiz jelek, kan? Terus kita
semua wajib ikut pelajaran tambahan lah!” ucap Oktavian.
“Arfian
butuh waktu sih buat nerimanya.”
“Oh ya,
lo mending ikutan futsal deh, biar mendingan. Kita bakal happy-happy bareng. Ya
enggak enak juga kalau lo sedih kayak gini terus,” ajak Oktavian.
“Eh?
Hari ini enggak ada pelajaran tambahan? Guru fisikanya enggak masuk hari ini?”
tanggap Abi begitu mendengar pengumuman itu.
Syukurlah,
setidaknya salah satu beban berat telah terangkat, kami tidak perlu mengikuti
pelajaran tambahan karena guru fisika kami berhalangan hadir hari ini. Bukan
hanya diriku, tetapi seluruh teman sekelasku.
Aku
masih punya beban berupa kemarahan. Aku teringat ketika membentak ibuku sendiri
bahkan sebelum berangkat meninggalkan rumah. Aku sungguh tidak enak dan nyaman.
Di saat yang sama, kuharap ibuku puas mendengar tanggapan dari anaknya sendiri
yang capek mendengar setiap nasihat. Ibuku tidak berhak mengatur seluruh
hidupku, aku sendiri yang berhak. Ini bukan kehidupan ibu atau ayahku, ini
kehidupanku. Aku berhak melakukan apa yang kumau.
“Arfian,
biasanya lo suka ngedengar musik, kan? Gue colokin hp lo ke speaker. Biar lo semangat lagi. Lagian,
lo suka lagu-lagu anti-mainstream sih,”
pinta Oktavian.
“Sok
aja. Lagunya terserah lo,” ucapku sambil menyerahkan hp pada genggaman
Oktavian.
“Oke
deh, gue mainin U Got Me Rocking ya.”
Oktavian bangkit dan melangkah mendekati colokan kabel aux speaker di dekat papan tulis dan stop kontak.
Kulihat
Oktavian mencolokkan kabel aux speaker pada
hpku dan mulai memainkan lagu U Got Me
Rocking. Abi pun menempati bangku Oktavian seraya menghiburku. Aku tetap
saja memendam lebih jauh lagi bagaimana reaksiku terhadap setiap nasihat
bertele-tele dari kedua orangtuaku.
“Anjir!
Bagus banget lah!” seru Oktavian. “Gue boleh minta enggak?”
“Gitu
aja kok repot sih? Cari aja di YouTube, gampang!” tanggap Abi.
“Kuota, man! Kuota!”
Satu
beban telah terangkat, pelajaran tambahan dari guru fisika kami. Tinggal
menyingkirkan Nabila, si gadis brengsek itu, dari hidupku, Aku juga harus
menghadapi masalah baru setelah meluapkan kemarahan pada ibuku sendiri. Untuk
sekarang, aku hanya ingin menjauh dari rumah, ibaratnya kabur dari rumah.
Sebenarnya
sudah jauh-jauh hari aku ingin kabur dari rumah, hanya karena aku sering
dimarahi ayah dan ibu. Pada akhirnya, aku bisa mewujudkan impianku untuk
menjauh dari orangtua. Aku mengharapkan kebebasan dari orangtuaku yang selalu
mengatur. Ini adalah saat yang tepat.
Menginap
di rumah Oktavian merupakan langkah awal dari acara kabur dari rumah. Aku tidak
tahu apakah aku akan tetap berada di sana ke depannya. Aku hanya ingin
melarikan diri setelah capek mendengar segala nasihat, bualan, dan kemarahan
kedua orangtuaku. Mereka tidak tahu siapa diriku. Mereka tidak berhak mengatur
diriku sama sekali. Aku yang berhak mengatur kehidupanku sendiri.
I can't believe my eyes
This club is oversized
Let me give you one advice
Burn the roof down, no disguise (yeah!)
The themperature is growing
So everybody is going
Down... down... down... down....
If you want i can take that
I feel the rhythm go down (yeah!)
If you want i can take that
I'm just your girl, decide
Comments
Post a Comment