I Can't Believe My Love is A Gamer Episode 7
Groove
Prayer
Groove Coaster…
Groove Coaster…
Akiramekake ta sutōrī
shitsu kushi kakete ta merodi
seiza no disukujokkī
zenbu tsunage te
Groove Coaster…
Groove Coaster…
Lagu Groove Prayer, theme song dari game Groove
Coaster atau dikenal juga sebagai RhythmVaders
di Asia Tenggara, sudah tiga kali kudendangkan menggunakan hpku lewat
YouTube.
Aku
sangat bosan diam di kamar, hanya bermain PlayStation 4 hampir seharian penuh.
Beberapa judul aku sempat mainkan, Persona
5, The Last of Us, Metal Gear Solid 5: The Phantom Pain,
dan Guilty Gear Xrd Rev 2.
Kupandangi
jendela telah menunjukkan langit oranye, langit yang terpancarkan ketika
matahari telah surut ke tanah. Benar, aku seharian penuh hanya main PlayStation
4 di kamar sampai bosan mau main apa lagi.
Sampai-sampai
aku buka YouTube untuk mendengarkan musik random,
musik sesuai apa yang ingin kudengar. Bukan Despacito
sampah itu, tetapi biasanya aku dengarkan lagu rhythm game, kalau enggak Touhou
Project.
Aku
dengarkan Groove Prayer sambil
berharap, ya, berharap. Aku tidak ingin bertemu dengan gadis brengsek bernama
Nabila itu lagi. Sialnya, dia adalah adik kelas di sekolahku, jadi akan susah
untuk berharap dia tidak sering melihatku.
Kemarin
jadi hari terburukku, pengalaman gaming di
game center terburuk dalam hidupku.
Apa lagi kalau bukan gadis brengsek itu penyebabnya? Itulah kenapa aku tidak
ingin melihatnya lagi, ever.
“Arfian,”
sapa kakakku yang mengetuk pintu.
Aku
berbalik menatap pintu kamarku yang lupa kukunci. Sial, kakakku memasuki kamar.
Kuharap kakakku tidak bertanya yang jawabannya mengumbar privasiku.
“Arfian,
mau ke Upnormal enggak? Kakak sama Ade mau ke sana bentar lagi,” kakakku
bertanya.
Cukup
adil, padahal aku ingin sendirian di kamar. Ya sudah, daripada aku bosan di
kamar melulu, aku sudah tahu bakal jawab apa.
“Oke.
Arfian ikut, Kak.”
“Whoa!
Tumben mau ikutan, biasanya Arfian kalau diajak kagak mau—”
“Udah,
jangan basa-basi lagi!”
“Iya,
iya. Dasar, haha. Eh, udah ngerjain PR belum?”
Gara-gara
aku pulang lebih awal kemarin, ada sisi positifnya. Aku mencoba mengerjakan
seluruh PR sampai malam, ibaratnya untuk menghukum diri sendiri karena telah
bertemu gadis brengsek itu. Toh, aku sudah puas main di game center, puasnya pas menang duel Sound Voltex.
Akhirnya,
aku begitu senang ketika membayangkan wajah ledakan api gadis brengsek itu.
Semua reaksinya telah terekam di dalam otakku. Aku gembira ketika dia akhirnya
tidak mau terima kalau dia kalah berhadapan denganku saat main Sound Voltex. Itu ssebagai balas dendam
karena gadis brengsek itu telah mengalahkanku di setiap game yang biasa kumainkan, Maximum
Tune 5, Time Crisis 5, RhythmVaders, dan Taiko no Tatsujin.
Kalau
saja aku kalah di Sound Voltex,
mungkin saja dia akan menantangku main Pump
It Up. Aku tidak sempat melihat apakah dia jago di game dance injak-injak
itu atau enggak. Terakhir kali aku melihatnya main, sama teman-temannya, main
lagu K-Pop.
“Udah,
Kak.”
“Nah,
gitu dong! Eh, entar malam mau main Guilty
Gear duaan enggak pas balik dari sana?” Sudah lama aku tidak mendengar
ajakan kakakku yang satu ini.
Tumben
sekali, padahal kakakku selalu padat dengan tugas kuliah. Dia hampir tidak
punya waktu untuk main game akhir-akhir
ini.
Padahal,
kebanyakan orang kuliah bilang kalau kegiatannya bikin santai, jadwal tidak terlalu
penuh seperti di sekolah, pokoknya menyenangkan sekali. Aku percaya banyak
orang yang menyombongkan diri kalau kuliah itu lebih bebas daripada di sekolah.
Tetapi,
kenyataan berkata lain berdasarkan apa yang kakakku sering ceritakan saat
beberapa minggu pertama dia kuliah. Memang benar kuliah jadwalnya tidak sepenuh
seperti di sekolah, itu belum terhitung kegiatan organisasi kalau ikut, apalagi
saat di awal-awal, ospek jurusan.
Di balik
jadwal yang begitu bisa bikin santai, itu yang mereka klaim, pasti ada sebuah
konsekuensi. Konsekuensinya tentu tidak lain berupa tumpukkan tugas dari setiap
dosen mata kuliah. Tugas kuliah sebenarnya lebih berat daripada tugas atau PR
sekolah biasa, lebih berat.
Baiklah,
demi kebaikkan kakak sendiri, aku menjawab, “Ayo, entar main Guilty Gear pas balik.”
“Sip!
Ayo siap-siap!”
“Eh?
Sekarang berangkatnya?”
“Ya
iyalah, mau kapan lagi? Kalau nanti, entar macet lagi.”
***
Upnormal
yang kita kunjungi sungguh ramai seperti biasa, apalagi saat weekend seperti hari Minggu ini. Kulihat
hampir setiap meja penuh dengan anak muda yang hang out bersama teman atau keluarga demi menikmati sepiring mie
kekinian dan beberapa makanan serta minuman sebagai pendamping.
Ya,
akhirnya, aku bisa hang out dengan
keluarga, minus orangtua, benar, hanya
bersama kakak dan adikku. Beruntung diri sekali diriku, aku diajak oleh kakak
dan aku langsung mau, mungkin pertama kalinya.
Kalau
ayah dan ibu yang mengajak, mereka pasti memaksaku ikut, mau enggak mau. Ke
tempat random lah. Terus pas di
perjalanan, pasti ocehan sama omelan bisa kudengarkan, terlalu menggurui. Harus
ini itu lah, selalu berkata udah bilang gimana
ceritanya. Itulah kenapa aku enggak mau ikut kalau diajak orangtua. Aku sekali
lagi ingin bilang berisik pada
orangtuaku sendiri kalau mereka berkali-kali ngomel pada anak-anaknya sendiri.
Satu
lagi, lagi-lagi aku teringat sama gadis brengsek itu. Karena aku ada di luar,
aku malah kepikiran apakah dia juga berada di tempat yang sama. Enggak, ini
bukan sebuah film yang sering ditonton, ini kenyataan. Enggak lucu kalau sering
ada kebetulan, kebetulan ketemu gadis brengsek itu.
Pandanganku
beralih ke menu yang telah berada di atas meja. Kubuka setiap halaman
melihat-melihat makanan dan minuman. Ya, setiap gambar atau ibaratnya ilustrasi
setiap makanan begitu menggoda isi dompet sampai mengabaikan harga begitu saja.
Pantas saja setiap gambar di menu restoran seperti Upnormal sudah menggugah
selera mulut pelanggannya, tentu tahu tujuannya apa, uang.
Mie, Rice bowl, roti bakar, dan es krim
menjadi andalan Upnormal. Jangan lupa minumannya yang bikin tubuh semakin
membutuhkan kesegaran. Itu yang bisa kulihat di dalam menu.
“Ayo,
mau pada apa nih?” Kakakku bertanya.
Adikku
sudah menentukan pilihan dengan cepat, “Indomie Upnormal aja, Kak.”
“Indomie
Upnormal, satu. Arfian mau apa?”
“Oh, ini
dia. Indomie Chilli Beef,” aku juga
sudah menentukan menu.
“Oh ya,
lupa, pada mau apa minumnya?” Aku juga lupa seperti yang dikatakan kakakku ini.
Sekali
lagi, aku melihat menu bagian minuman. Begitu aku hanya melihat gambar setiap
minuman, aku bisa merasa setiap minuman menawarkan kesegaran pada tubuhku,
tidak sabar ingin dipilih. Gambar-gambar minuman berusaha untuk mengungkapkan
alasan mengapa aku harus memilih salah satu dari mereka.
Aku pun
akhirnya memutuskan, “Green tea latte
aja aku.”
Adikku
juga memutuskan, “Ice chocolate aja
deh.”
“Baiklah,”
ucap kakakku sambil mencatat pesanan kami. “Kakak ulangi ya? Indomie Upnormal
satu, Indomie Chilli Beef satu, green tea latte satu, ice chocolate satu. Kakak pesan Indomie
Sambal Matah sama banana latte.”
Aku dan
adikku mengangguk memastikan seluruh pesanan kami tepat. Kakakku mengangkat
tangan seraya memanggil pelayan yang berjalan sibuk melayani pelanggannya.
Kulihat pelayan itu mengambil catatan pesanan kami.
Entah
kenapa aku membayangkan bagaimana jadinya si gadis brengsek benaran melihatku,
sama seperti saat aku main di game center
kemarin. Kurasa itu tidak memang tidak mungkin terjadi, karena kehidupan
mana seru kalau terlalu banyak kebetulan.
Kalau
saat gadis brengsek itu melihatku makan di sini, restoran terkenal ini, dia
pasti akan mempermalukanku di depan umum, pasti. Dia akan mengumbar seluruh
kesalahanku padanya pada semua orang, pada khalayak umum, kalau aku main game arcade di game center tidak mau bergantian giliran, dia akan membuat semua
orang memanggilku RCT.
Eh, ini
bukan sinetron yang terlalu banyak mengandalkan kebetulan alias keajaiban, ini
kehidupan nyata. Tapi, aku tetap berharap agar hal yang tidak kuinginkan, yaitu
bertemu dengan gadis brengsek itu tidak terjadi sama sekali.
Kembali
ke dunia nyata, kulihat kakak dan adikku seperti biasa sibuk dengan hp, ya,
sepertiku, sibuk dengan hp. Entah itu main game
atau cek Facebook, pokoknya fokus mereka tetap ke gadget, seperti yang sering dikeluhkan orangtuaku sendiri.
“Silakan.
Green tea latte, ice chocolate, sama banana latte-nya,” seorang pelayan tiba
untuk menaruh minuman yang telah kami pesan sebelum pergi lagi.
Aku
mengalihkan pandangan pada layar hp. Beruntung, memori internal-ku lebih banyak daripada hp-hp normalnya, jadi aku bisa
meng-install lebih banyak game, terutama rhythm game seperti Cytus,
Deemo, Voez, Lanota, dan Arcaea.
Bukan
hanya rhythm game, tetapi juga game-game
RPG MOBA yang mengandalkan gacha sebagai
kekuatan. Gacha memang menjanjikan
kekuatan lebih. Kalau aku bosan main Granblue
Fantasy, aku pasti akan main Fate/Grand
Order atau Brave Frontier.
Jangan
harap aku meng-install game-game mainstream seperti Clash of Clans, Clash royale, Mobile Legends,
dan Arena of Valor. Keempat itu
adalah game yang paling kudengar di
media sosial manapun atau dunia nyata, teman-temanku sering sekali main salah
satu dari keempat game itu.
Jujur,
kebanyakan temanku tergiur dengan promosi Arena
of Valor yang bisa kukatakan terlalu berlebihan. Cuma main Arena of Valor bisa dapat uang senilai
tujuh miliar rupiah? Uangnya dapat darimana? Dapat dari gacha atau premium content?
Waduh, biasa, kebanyakan temanku bisa kubilang telah tertipu oleh iklan ini,
mereka hanya ingin uang untuk memperkaya diri. Tentu saja.
Aku
berdoa saja semoga iklan Arena of Valor jarang
nongol di televisi, radio, maupun di YouTube. Ya, jangan heran kalau Arena of Valor juga sering muncul di
papan iklan di pinggir jalan, sama seperti iklan aplikasi Grab, Go-Jek, dan
Tokopedia.
Lebih
parahnya, kedua sahabat bodohku, Abi dan Oktavian, bahkan pernah memaksaku
untuk main salah satu dari empat game
mainstream tadi. Aku tentu menolak karena aku memang lebih suka main Granblue Fantasy dan Fate/Grand Order daripada Arena of Valor dan Mobile Legends yang lebih mainstream.
Kulihat
layar hp adikku sebentar, benar saja, dia sedang bermain Arena of Valor. Aku pernah mendengar dia tergiur dengan hadiah
sejumlah tujuh miliar rupiah, alasan yang lemah kenapa game itu wajib dimainkan, lemah.
“Indomie
Upnormal, Indomie sambal matah, sama Indomie chili beef-nya.” Kali ini pelayan yang sama tiba menaruh
masing-masing makanan pada meja kami.
“Yuk
makan. Taruh hp-nya dulu,” ucap kakakku. “Oh ya, De, mau ikut main Guilty Gear pas sepulang sekolah,”
Seperti
yang ku-expect, ini jawaban adikku,
“Enggak ah. Enggak ngerti main gituan.”
Aku
melihat semangkuk Indomie chili beef yang
berada di hadapanku sekarang. Indomie berhiaskan potongan cabai dan daging sapi
matang kecoklatan membuatku tidak sabar ingin menghilangkan rasa lapar.
Kuambil
sesuap Indomie berhiaskan cabai dan daging sapi itu menuju mulutku. Bisa
kurasakan rasa pedas dari cabai bercampur dengan bumbu Indomie dan keempukan
daging sapi matang. Rasa gurih untuk sementara menghilangkan rasa kekesalanku
pada gadis brengsek itu.
Beruntung,
tidak ada lagi yang namanya kebetulan, aku tidak perlu bertemu dengan yang
namanya gadis brengsek alias Nabila. Di saat yang sama, aku menghilangkan
kejenuhanku sendiri ketika menerima ajakan sang kakak.
“Oh ya,
Arfian. Nanti kunci aja deh kamarnya pas kita main, biar orangtua ngerti kalau
ini urusan cowok,” kakakku mengungkapkan alasan agar orangtua tidak bisa
mengganggu privasi kita berdua saat main Guilty
Gear.
“Siap,
Kak!”
Comments
Post a Comment