I Can't Believe My Love is A Gamer Episode 2
Conflict
Akhirnya,
aku telah tiba di salah satu tempat favoritku! Tempat untuk membuang segala
beban yang kudapat dari sekolah dan mengubahnya menjadi manisnya kebahagiaan.
Beban
dari semua materi pelajaran yang kudapat telah menumpuk di seluruh otak. Kini
saatnya aku membebaskannya dari sangkar dengan kunci utama, bermain game di game center.
Game center yang kukunjungi berada di
lantai tiga sebuah mall. Setidaknya mallnya begitu luas, banyak outlet branded high-end, terutama buat fashion, ya, fashion. Banyak sekali brand pakaian
yang setidaknya classy dan sering
menjadi pusat perhatian para gadis.
Sudahlah,
entah kenapa aku membicarakan hal-hal fashion
seperti tadi. Kembali ke topik utama! Begitu tiba di game center, aku bisa bernapas lega ketika menatap setiap mesin game satu per satu.
Mesin Pump It Up alias mesin dance injak-injak dari Korea yang mirip Dance Dance Revolution menyambut
pengunjung game center di dekat pintu
masuk sebelah kiri. Di pintu masuk bagian kanan, terlihat Danz Base, game dance yang
sesungguhnya di mana pemainnya bisa actually
dance. Sejujurnya, Danz Base menjiplak
Dance Evolution Arcade dari segi gameplay dan mesin.
Kedua game itu memang game arcade terpopuler di negeri ini, tahu kenapa? K-Pop masih
menjajah setiap anak muda. Pasti orang awam yang bukan hardcore gamer sepertiku akan memilih lagu K-Pop jika mulai bermain
kedua game itu.
Tentu
aku tidak akan bermain kedua game itu
hari ini, tentu aku akan bermain game yang
berada tepat di pintu masuk bagian tengah, di antara kedua game itu. Sound Voltex.
Sayang sekali mesinnya hanya satu, jadi belum bisa multiplayer dan bermainnya harus berganti-gantian.
Beruntung,
teman-temanku dari sebuah grup komunitas game
arcade belum ada yang datang. Saat aku mengecek kembali grup chat di LINE, sepertinya tidak akan ada
lagi yang datang untuk hari ini berdasarkan jawaban mayoritas dari mereka.
“KYAAAAAAA!!”
jeritan salah satu gadis yang menonton permainan Pump It Up bisa kudengar jelas.
Begitu
kutatap sebelah kiri, setidaknya dua siswi SMA berseragam mendadak heboh ketika
menonton layar game Pump It Up. Dua
siswi terlihat sedang memilih lagu K-Pop yang akan dimainkan. Seperti biasa,
memang masih awam mereka dalam dunia rhythm
game di game center seperti ini.
“BlackPink dong!” jerit salah satu dari siswi itu.
“Ih! Big
Bang aja lah!”
Aku
mengabaikan mereka sejenak untuk menaruh tasku di depan mesin Sound Voltex. Kuambil dua kartu dari
elektronik, kartu saldo game dan eAmuse Card dari dompet. eAmuse Card sebenarnya semacam ID card untuk game-game dari Konami, termasuk Sound
Voltex.
Ku-tap eAmuse Card untuk login, kumasukkan PIN empat angka, lalu
ku-swipe kartu saldo game bergantung
berapa credit yang kubutuhkan sesuai
dengan mode game. Kupilih Standard Start yang membutuhkan enam credit.
Begitu
aku telah selesai memilih avatar dan navigator, kehebohan dari Pump It Up
kembali kudengar. Kudengar siswi-siswi itu bahkan menyanyikan lagu
yang sedang dimainkan dengan suara keras. Ya, mereka memilih Boombayah.
(Hot) BLACKPINK in your area
Been a bad girl, I know I am
And I’m so hot, I need a fan
I don’t want a boy, I need a man
Click-clack Badda bing badda boom
Muneul bakchamyeon modu nal barabom
Gudi aesseo noryeok an haedo
Modeun namjadeuleun kopiga pangpangpang
Pangpang parapara pangpangpang
Jigeum nal wihan chukbaereul jjanjjanjjan
Hands up nae sonen
Bottle full o’ henny
Nega malloman deuddeon gyaega naya Jennie
Kembali
ke urusanku dengan Sound Voltex, aku
harus memilih lagu untuk stage pertama.
Lagu di Sound Voltex begitu banyak,
sampai aku bingung mau main yang mana lagi. Aku pernah memainkan beberapa lagu
yang kusuka berkali-kali. Sayangnya, time
limit untuk memilih lagu hanya 60 detik, 60 detik! Waktu yang tidak lama
untuk memilih salah satu dari sekitar 800 lagu di Sound Voltex. Lagu-lagu Sound
Voltex terdiri dari lagu original, crossover
dan remix BEMANI, lagu Vocaloid,
lagu Touhou Project, dan beberapa
lagu dari kompetisi BOFU (BMS of Fighters Ultimate).
Masa
bodoh, aku akhirnya memilih lagu-lagu yang kusuka selama game berlangsung sebanyak tiga stage
per play. Aku memilih lagu-lagu
di kisaran level 15 sampai 17, baik
itu difficulty EXHAUST, GRAVITY, atau
MAXIMUM.
Cara
bermain Sound Voltex sebenarnya
sangat mirip dengan Beatmania IIDX, GuitarFreaks, dan DrumMania, atau yang paling familiar
Tap Tap Revenge dan O2Jam.
Faktanya, Sound Voltex merupakan
variasi dari Beatmania IIDX dengan
cara bermain yang identik. Alih-alih dengan tombol piano yang familiar, kontrol game itu terdiri dari
deretan empat tombol kotak putih, dengan dua tombol “FX” yang lebih besar tepat
di bawahnya, dan juga effector knob di
dua sisi agar player bisa memutar
secara lambat sesuai dengan arah, atau dengan cepat memutarnya dengan keras.
Seperti rhythm game yang lain, terutama Beatmania IIDX, akan ada empat kotak
berderet di bagian bawah layar, anggap saja seperti tuts piano. Sesuai dengan
ritme dan alat musik, nada-nada berjatuhan ke kotak-kotak itu dan pemain harus
menekannya tepat ketika nada bertemu dengan kotak. Jika nada berbentuk kotak
putih mendekati bagian bawah layar, player
harus menekan tombol kotak putih kecil. Kalau nada berbentuk kotak besar
oranye yang muncul mendekati bagian bawah layar, berarti player harus menekan tombol “FX”. Kalau nadanya panjang, berarti player harus menekan tombol lama hingga
akhir dari nada itu.
Yang
membuat Sound Voltex unik adalah dua effector knob berbentuk lingkaran di
sebelah kiri dan kanan semua tombol. Jika muncul semacam sebuah laser yang
menunjukkan gentle slope, player harus memutar knob secara perlahan. Jika laser itu menunjukkan
tikungan tajam membentuk sudut, player harus
memutar knob lebih kuat. Laser berwarna biru untuk knob kiri, sedangkan laser berwarna
merah untuk knob kanan.
Begitu
tiga stage selesai, aku akhirnya
ingin main lagi. Masa bodoh, lagipula tidak ada yang menunggu giliran
selanjutnya untuk bermain Sound Voltex.
Aku sedang ingin sendirian menikmati hingga seluruh beban di otak meleleh.
Setidaknya
aku mendapat rank sekitar A sampai
AAA dalam setiap stage. Aku merasa
sebagai player Sound Voltex semakin
berkembang saja, skor dan rank-ku
naik, ada juga yang malah turun.
Oke, ini
stage terakhir dari play keduaku, aku memainkan lagu Conflict dari Siromaru dan Cranky, salah
satu lagu infamous dari BOFU. Lagu
itu berawal dari embusan angin berbunyi wesh
wosh menjadi lagu awesome. Aku
bermain mengikuti irama musik dan liriknya.
(In a desperate conflict with a ruthless
enemy.)
zuorhi viyantas was festsu ruor proi
yuk dalfe suoivo swenne yat vu henvi nes
sho fu briyu praffi stassui tsenva chies
ien ryus sois nyat pyaro shennie fru
prasueno
turoden shes vi hyu vu praviya
tyu prostes fis hien hesnie ryanmie proshuka
wi swen ryasta grouts froine shienhie var yat
nyam raika rit skuois trapa tof
Kudengar
lirik lagunya menggunakan bahasa fiktif dari teman-teman sekomunitas. Kukira
lirik lagunya berbahasa Jepang, wow. Aku tidak pernah menyangka sebelum mereka
memberitahuku.
Di luar
dari itu, aku begitu kesulitan dalam memainkan lagu Conflict, effective rate-ku
bahkan belum sampai 70 persen, yaitu batas minimal untuk clear sebuah stage di Sound Voltex. Effective rate-ku naik dan turun saking kesulitan dalam menekan
tombol dan memutar knob.
Oke,
lagu telah mencapai klimaks, mungkin ini kesempatan untuk menaikkan effective rate sampai ke 70 persen!
zuorhi viyantas was festsu ruor proi
yuk dalfe suoivo swenne yat vu henvi nes
sho fu briyu praffi stassui tsenva chies
ien ryus sois nyat pyaro shennie fru
prasueno
turoden shes vi hyu vu praviya
tyu prostes fis hien hesnie ryanmie proshuka
wi swen ryasta grouts froine shienhie var yat
nyam raika rit skuois trapa tof
TRACK
CRASH
Ya, effective rate-ku hanya mencapai 65
persen, hanya tinggal lima persen untuk clear
stage terakhir. Sialan! Padahal tinggal sedikit lagi. Apa boleh buat.
Setidaknya aku mendapat rank A+.
Begitu game berakhir, kukeluarkan kembali kartu
saldo game dan eAmuse card untuk kembali bermain Sound Voltex. Tetapi ….
“RCT!”
jeritan seorang gadis terdengar di belakangku.
“Eh?”
ucapku berbalik menghadap sang gadis.
“Lo
kagak mau gantian main ya?”
Oke,
ternyata dia salah satu siswi yang bermain Pump
It Up tadi. Sejak kapan dia berdiri di hadapanku? Tadi saat aku bermain,
aku hanya lihat dia berkeliling! Jujur saja, aku tidak suka seseorang yang menunggu
giliran tanpa pemberitahuan terlebih dulu. Terlebih, dia sama sekali tidak
menulis namanya di bawah namaku di papan antrean. Papan antrean memang berada
di atas mesin generator gacha kartu.
“Oh,
mungkin kamu lupa nulis nama di papan antrean. Kalau kamu emang pengen main,
tulis aja nama—” Ucapanku terhenti ketika gadis berambut gaya bang lurus dan berjaket merah muda itu
memukul pundakku. “Woi! Enggak usah pukul juga kali! Ini tempat umum!”
“Masa
bodoh! Lo main dari tadi enggak mau gantian! RCT lo!” balas gadis itu kembali
mengepalkan tangan. “Orang yang nunggu Sound
Voltex aja sepi, ya jadi enggak perlu nulis lah!”
“Woi!
Jangan pukul, lo tahu ini tempat umum, kan!” Aku memundurkan langkah seraya
menjauhi mesin Sound Voltex setelah
mengambil tas.
“RCT lu!
RCT lu!” Gadis itu mempercepat langkahnya.
“Jangan
pukul gue! Ini tempat umum!” jeritku ketika sang gadis akan melancarkan
pukulannya. “Gue bakal tahu giliran lo kalau lo emang nulis nama di papan
antrean—"
Gadis
itu tanpa ragu menampar jidatku, meski kuingatkan berkali-kali bahwa kami
berada di sebuah mall. Sayangnya, petugas game
center malah sedang sibuk mengobrol di sekitar area kasir, tanpa perlu
peduli konflik kami. Aku juga tidak melihat pengunjung berjalan melewati game center. Nasib macam apa ini?
Pengunjung
yang melihat kami dari kejauhan mengabaikan kami begitu saja hanya karena
masalah sepele. Ah! Aku ingin menjerit meminta tolong pada seseorang untuk
menjauhkan gadis gila ini, gadis yang menuduhku sebagai RCT.
RCT? RCT
itu singkatan dari Red Clown Team, entah mengapa. Singkatan itu ditujukkan pada
orang yang tidak mau main bergantian di game
arcade. Kudengar asal-usul dari singkatan itu berasal dari sebuah komunitas
Pump It Up.
“Udah,
kalau gitu, lo nulis dulu, terus lo main,” aku memberitahu gadis itu aturan
mainnya secara sederhana.
“Kagak
bisa gitu dong! Papan antrean dibutuhin kalau rame doang!” gadis itu menolak
mengikuti aturan.
“Lo
lihat aturan di atas papan antrean, mau rame atau kagak, lo tetap wajib tulis
nama di papan antrean! Udah ketulis di sana! Oke, giliran lo main sekarang,
tapi tulis nama dulu,” aku menawarkan giliran untuk bermain.
“Lo
sadar enggak sadar emang niatnya enggak mau gantian, emang!” gadis itu
menuduhku sekali lagi. “RCT lo!”
“Udah.
Enggak perlu kayak gini. Lo tinggal main aja, enggak usah marah-marah ke gue
juga. Simple banget!”
“Udah
deh! Lain kali gantian mainnya! Nih! Gue lakuin apa yang lo suruh!” Gadis itu
akhirnya menulis nama di papan antrean dengan terburu-buru. “Puas lo?”
“Iya,
sok aja main!” gerutuku sambil berbalik meninggalkan game center itu. “Gue pergi aja! Lo sok aja main sendirian sepuas
lo! Biar lo puas!”
Sialan! Mood-ku benar-benar hilang gara-gara
gadis itu. Sekarang beban yang sebelumnya berkurang malah bertambah! Terus,
kenapa teman-temannya yang tadi tidak ada untuk menghentikannya, apa mereka
emang udah pulang duluan?
Aku
mengeraskan suara injakan kaki pada lantai keramik jalan mall untuk melampiaskan kemarahanku sendiri. Benar-benar
keterlaluan dirku harus bertemu gadis brengsek seperti dia, apalagi di tempat
umum kayak mall ini.
Dalam
sekejap, aku kehilangan keinginan untuk bermain game di game center itu
gara-gara gadis berambut bang itu.
Gara-gara gadis itu, aku benar-benar mengumpulkan bom atom yang siap meledak di
dalam otak.
Ketika
aku berbelok menuju eskalator ke bawah, kemarahan masih saja menumpuk. Ingin
rasanya aku menjauh dari gadis gila itu, kalau bisa, aku tidak ingin bertemu
gadis itu lagi untuk selamanya. Kalau bertemu lagi, konflik dengan dia sebagai
musuh bebuyutanku akan berlanjut ke tingkat berikutnya.
In a desperate conflict with a ruthless enemy.
Comments
Post a Comment