I Can't Believe My Love is A Gamer Episode 14
The Devil
“Cepatan,
Arfian! Udah siang! Lama amat nyiapinnya!” Beginilah omelan ibuku setiap kali
aku menghabiskan waktu lama menyiapkan segalanya sebelum berangkat ke sekolah.
“Belum makan nasi kan? Cepat makan, terus gosok gigi, pakai sepatu, lalu
berangkat!”
Wajar
saja aku menghabiskan waktu lebih lama untuk mempersiapkan diri demi rencana
mabal hari ini. Aku menaruh baju ganti berupa kaos dan celana jeans yang biasa
kupakai saat berpergian weekend untuk
berjaga-jaga. Akan terdengar mencurigakan kalau mabal ke game center masih memakai seragam, kan?
Ya, aku
sudah membuat keputusan. Aku akan mabal ke game
center di sebuah mall, tentu bukan di mall dekat sekolah, tentu saja,
melainkan game center yang sering
kukunjungi saat weekend. Tahu kenapa?
Guru fisika kami yang harus repot-repot mengadakan pelajaran tambahan segala
memang akan meledakkan seluruh amarah pada kami semua, diriku dan teman-teman
sekelas.
Memang
guru killer seperti beliau tidak akan
pernah mengerti bagaimana perasaan muridnya, mereka hanya bisa memarahi,
memarahi, dan memarahi setiap murid kalau berbuat suatu kesalahan, misalnya
ribut saat pelajaran berlangsung, diomong-omongin, dapat nilai rendah, sampai
berani bolos atau mabal pelajaran. Tentu saja kami akan tertekan dengan setiap
alasan dan ancaman mengapa kami harus tetap memiliki guru seperti beliau.
“Arfian,
cepat makan nasi dulu! Ayo!” Lagi-lagi ibuku mengomel.
Kakakku
membela, “Arfian udah makan roti, Bu.”
Oke,
tambahan barang yang kubawa di dalam tas memang menambah beban, pakaian ganti
yang telah berada di atas tumpukan buku catatan pelajaran memang tidak akan
merepotkan. Justru, kalau ingin ganti baju, aku bisa langsung mengambil kaos
dan celana jeans dari tas langsung tak perlu pakai lama.
Aku
akhirnya membawa tasku sebelum keluar dari kamar. Tidak perlu sikat gigi karena
kalau ingin ke sekolah jam segini aku akan benar-benar terlambat. Tunggu, aku
memang akan bolos alias mabal sekolah hari ini. Tetap saja, aku harus berakting
seakan-akan pergi ke sekolah.
“Arfian
pergi dulu!” Aku pamit pada Ayah dan Ibu begitu kuambil sepatu di rak dekat
pintu keluar rumah.
***
Alih-alih
memasuki halte bus, aku hanya menunggu di trotoar sambil mengambil ponsel.
Aplikasi LINE kubuka untuk mengirim pesan kepada Oktavian. Kuketik bahwa aku
sudah berada di halte bus seperti biasa saat aku akan pergi ke sekolah.
Oktavian
pun membalas kalau dia sebentar lagi akan sampai. Kulihat juga jam pada sebelah
kanan layar ponsel telah menunjukkan pukul 6:25, yang berarti sebentar lagi
kegiatan belajar mengajar akan segera dimulai.
Pada
saat yang sama, ini masih terlalu pagi kalau ingin ke mall. Kebanyakan mall
buka pada jam sepuluh pagi, jam sepuluh pagi. Aku tidak tahu kemana tujuanku
sebelum benar-benar ke mall untuk melampiaskan segala stres dari kemarin di game center.
Meski
aku tahu kalau pelajaran fisika pada hari ini mulai satu setengah jam sebelum
sekolah berakhir, akhirnya kuputuskan kalau aku akan bolos seharian penuh demi
mempermudah menghindari kemarahan guru fisika itu. Ya, kalau bolos saat jam
istirahat, akan susah, tentu saja harus menghadapi satpam yang berjaga di
gerbang depan sekolah. Bakal repot kalau kita ingin pulang lebih cepat harus
berkata alasan macam apa dengan meyakinkan dan terpercaya.
Kali ini
kulihat grup chat teman sekelas di
LINE. Sudah kuduga, berdasarkan reaksi terhadap pengumuman dari guru fisika
kami, pasti ada yang juga ikut-ikutan bolos seperti Abi, Oktavian, dan diriku.
Tetapi … sebuah kejutan telah datang.
Kulihat
salah satu pesan dari teman sekelasku yang mungkin akan ke sekolah. Perasaanku
seperti tersambar petir ketika memberi reaksi. Mendadak, otakku memainkan satu
lagu klasik yang memang cocok memberi efek dramatis setelah mengetahui hal itu.
Berapa jumlah teman sekelasku yang masuk kelas hari ini untuk menyaksikan
kemarahan guru fisika kami?
Sepuluh,
sepuluh, sepuluh murid di kelasku! Hanya sepuluh murid di kelasku yang hari ini
rencananya bakal masuk sekolah. Yang benar saja? Ternyata hari ini banyak yang
sengaja membolos sekolah dari pagi sampai sore. Aku tentu saja tidak bisa
memikirkan apakah seluruh sepuluh teman sekelas yang rencananya masuk hari ini akan ikut-ikutan
bolos pada jam istirahat atau tepat sebelum pelajaran fisika dimulai.
Sepertinya hati mereka akan mengalami kebakaran atau kebanjiran stres akibat
menyaksikan kemarahan guru fisika kami.
Aku
tidak tahu apakah di antara kesepuluh murid yang masuk merupakan enam orang
pemegang nilai di atas KKM. Apakah mereka yang memiliki nilai standar hingga
tinggi juga bakal ikut-ikutan? Apapun bisa terjadi. Bahkan mereka berenam juga
tidak ingin terkena getahnya, kurasa.
Musik
klasik yang kumainkan di otakku bukan sembarang musik orkestra, melainkan
bercampur dengan crossover EDM.
Semakin dramatis, semakin cepat tempo yang terdengar. Lagu itu tak lain adalah The Devil karya BanYa Production dari Pump It Up.
The Devil karya BanYa Production
sebenarnya merupakan remix dan rearrange dari In the Hall of the Mountain King karya Edvard Grieg, salah satu
lagu yang paling terkenal berkat media manapun, termasuk game. Sayangnya, lagu ini juga lagu terakhir BanYa Production
sebelum bubar.
Setidaknya
setelah BanYa Production bubar, Pump It
Up masih punya lagu-lagu yang lebih keren. Aku tidak begitu mengenal BanYa
atau BanYa Production sebelum pertama kali bermain Pump It Up, itu wajar.
Lagu The Devil merupakan salah satu lagu
original Pump It Up yang sering
dimainkan oleh orang awam sekalipun, selain Beethoven
Virus dan Sorceress Elise. Tak
heran lagu ini juga menjadi sering kuperdengarkan di dalam otak.
“Woi,
Arfian!” sahut Oktavian sambil membunyikan klakson, mengagetkan di hadapanku
setelah menghentikan laju motornya.
“Lo
datang juga!” ucapku. “Mau ke mana dulu nih? Biasanya mall buka jam sepuluh.”
“Gampang
lah, nyantai aja. Sekalian ke McD nih, belum sarapan gue. Sekalian bisa
nge-wifi, hehe,” jawab Oktavian. “Lo kok masih pakai seragam?”
Aku
memperhatikan apa yang sedang Oktavian kenakan saat ini, tentu saja selain
helm. Dia mengenakan jaket hijau, kaos abu-abu, dan celana jeans hitam
alih-alih seragam sekolah.
Kalau
aku langsung mengenakan baju bebas alih-alih seragam sekolah, pasti orangtuaku
akan langsung curiga kalau aku memang ingin mabal. Sudahlah, semuanya telah
terjadi, yang jelas aku harus ganti baju dulu, ya jangan di McD juga.
“Lo bawa
baju ganti kan?” tanya Oktavian.
“Emang,”
jawabku. “Kan katanya enggak bakal ke sekolah.”
“Udah
deh, naik gih. Cari tempat dulu biar lo bisa ganti baju.”
“Jangan
di toilet umum!”
“Ya,
terserah lah!”
***
“Lo mau
yang mana?” tanya Oktavian ketika kami melihat menu sebelum menemui salah satu
kasir.
Aku
sudah memakai kaos coklat, jaket hitam, dan celana jeans hitam. Tidak ada lagi
seragam sekolah yang tersisa, aku seakan-akan menjadi seorang mahasiswa yang
sedang bersantai.
Kulihat
menu McDonald’s di hadapanku sebelum berhadapan dengan kasir. Memang, pagi hari
McDonald’s hanya menawarkan menu sarapan dan beberapa menu reguler seperti nasi
dan ayam goreng.
Oktavian
akhirnya mengatakan menu yang ingin dia pesan pada kasir, “Egg McMuffin combo kopinya satu, Mba.”
“Hmmm
….” Aku masih memutuskan menu apa yang ingin kupesan. “Apa ya? Egg McMuffin combo juga deh.”
“Ah!
Ngikutin lo!” seru Oktavian.
“Gue
sama teh hangat kok,” ucapku sambil mengeluarkan dompet dari saku celana.
Begitu
kami telah membayar kepada kasir, kami menunggu agar pesanan kami segera tiba
di tray yang telah berada di sebelah
mesin kasir.
“Oh ya,
Abi bentar lagi mau nyampai. Sekalian ngajak nonton dia,” ucap Oktavian. “Udah
nonton Thor: Ragnarok belum?”
“Belum.
Gue belum sempat nonton.”
“Ah! Lo
nontonnya film kartun atau anime melulu ah!”
“Ya,
enggak juga kali. Gue juga suka sama film superhero
Marvel sama DC.”
“Silakan.
Terima kasih,” ucap sang kasir berseragam menaruh pesanan kami di tray.
Oktavian
akhirnya membawa tray itu begitu kami
meninggalkan meja kasir. “Oh ya, gue mau ngomong sesuatu. Mending duduk di
mana?”
“Di situ
aja,” usulku sambil menunjuk sofa dekat jendela.
Begitu
kami berjalan menuju tempat duduk pilihan kami, kulihat keadaan di dalam
restoran tidak seramai saat siang biasanya, wajar, menu yang ditawarkan pagi
ini kebanyakan menu khusus sarapan.
Kami pun
duduk dan mengambil masing-masing pesanan, sebenarnya menu makanan yang persis
sama, bedanya hanya minuman. Aku mengambil sebungkus Egg McMuffin dan segelas
air panas dengan teh celup dan gula.
Kubuka
bungkus Egg McMuffin. Kulihat sandwich roti English
muffin warna putih kecoklatan melapisi telur mata sapi, daging ayam asap,
dan keju. Dari aromanya saja aku bisa merasakan bagaimana gurihnya sandwich
ini.
Kumulai
gigit sandwich itu. Rasa gurih dari roti telah mmelumer dimulutku, ditambah
lagi kematangan telur yang pas, lembutnya daging ayam, dan keju yang
seakan-akan meleleh.
“Oh ya,
Arfian, itu lo benaran pacaran sama Nabila?” tanya Oktavian setelah mulai
meneguk segelas kopi panas.
Ini dia,
apakah aku harus berkata jujur atau tidak? Sebenarnya, Nabila memanggilku
sebagai sayang juga membuatku kaget
kemarin. Mana mungkin aku ingin berpacaran dengan gadis brengsek seperti dia.
Apa dia perlu berpura-pura pacaran denganku agar bisa dekat kedua sahabat
bodohku ini?
“Gue
tahu kok tingkah laku lo berdua,” Oktavian mengungkapkan.
Aku
tidak perlu kaget karena Nabila duluan yang ingin berpura-pura pacaran
denganku, sama sekali tanpa persetujuan apapun, tidak ada. Aku bahkan tidak
ingin berpura-pura pacaran, apalagi pacaran benaran dengan gadis brengsek itu.
Aku
mengatakan yang sebenarnya, “Dia bukan pacar gue.”
“Heee,
tuh kan, udah gue duga. Kan enggak mungkin baru kenalan udah langsung pacaran.
Kan pasti awkward banget lah.”
“Iya
juga sih.”
“Oh ya,
gue sebenarnya suka—”
Aku
buru-buru memotong, “Lo suka sama Nabila?”
“Bukan!”
Oktavian membantah. “Gue suka sama temannya. Yang namanya siapa ya? Gue sering
ngelihat dia barengan sama Nabila di kantin. Waktu itu sama lo pas ketemuan
sama Nabila. Siapa ya? Pokoknya enggak pakai jilbab.”
Beruntung,
aku ingat nama gadis itu. “Vera. Vera namanya.”
“Oh! Itu
dia! Vera! Vera namanya! Ya, gue sebenernya suka sama dia. Makanya, dia sering
ngedatangin gue pas istirahat di kantin, bareng Abi lah.”
Ini dia,
Oktavian menceritakan alasan kenapa dia suka sama Vera, salah satu dari teman
Nabila. Cinta yang berwujud apel busuk telah tersusupi pada tubuh sahabat
bodohku ini. Aku hanya mengiyakan dan mengangguk memperhatikan ceritanya sampai
selesai.
“Gimana?
Lo enggak keberatan kalau gue suka Vera?” Ini sungguh pertanyaan ter-awkward yang kudengar dari Oktavian.
“Lagian, lo lagi pura-pura pacaran sama Nabila, kan?”
“Siapa
bilang? Gue enggak pernah bilang kalau gue setuju pacaran sama cewek brengsek
itu. Sama sekali enggak pernah. Dia yang ngedadak panggil gue sayang. Terus gimana, kita nunggu sampai
jam 10 mau gimana? Nge-wifi di sini doang?”
“Kalau
udah bosan, mending kita keliling aja, gimana? Sebelum ke mall.”
“Ya, enggak gitu juga kali!”
Comments
Post a Comment