I Can't Believe My Love is A Gamer Episode 5
Night of Knights
Terpaksa
aku terjebak di dalam keramaian kantin saat jam pulang sekolah. Terima kasih
kepada Abi dan Oktavian, teman dekat yang tujuan kemari hanya untuk cari cewek
buat dijadiin pacar, bukan sekadar memperluas pertemanan dengan sesama murid
sekolah.
Kantin
sekolahku bisa dibilang mendekati pujasera, dalam istilah Barat-nya bisa
dibilang sebagai food court, tetapi
tidak seluas yang ada di sebuah mall.
Kantin sekolah berada di halaman belakang gedung sekolah kami. Lantai abu-abu
berkilau seperti bersinar telah menyambut kami ketika memasuki area kantin.
Beberapa
meja melebar turut mendampingi suasana kantin yang sibuk, sangat sibuk.
Beberapa meja telah penuh dengan setiap murid yang sedang menikmati makan siang
di sana. Beberapa pedagang yang berjaga di setiap stand pujasera menjajakan menu makanan beragam, mulai dari makanan
khas negeri ini, makanan Barat, hingga Korea dan Jepang. Stand-stand yang beragam
terlihat berdiri di setiap sisi halaman belakang sekolah.
Beberapa
murid mengantre untuk memesan makanan di depan setiap stand sebelum mencari tempat duduk. Ada pula yang memutuskan untuk
membawa pulang makanan. Makanan akan dimasak sesuai pesanan sebelum diantar ke
meja.
“Wah,
biasa, rame sama cewek nih!” seru Abi, sudah jelas.
“Ya,
pada rame semua mejanya.” Oktavian menyaksikan setiap meja yang ada cewek pasti
ramai dengan cowok, baik itu teman atau pacar, atau juga penuh rame-rame.
Jelas,
mereka kerjaannya cuma pengen ngerayu cewek, terutama siswi-siswi yang ada
sini. Sungguh jelas apa tujuan mereka ke kantin sepulang sekolah.
Justru,
kalau mereka langsung dekat-dekat sama cewek, sok akrab, nilai kecurigaan
mereka akan bertambah di mata para cewek. Takutnya, mereka anti banget sama
cowok sok akrab, penggoda wanita, dan sering melecehkan mereka. Ya, sering
melecehkan.
Oke, aku
mungkin terpengaruh dengan stereotip dalam berita, kudengar pelaku pelecehan
seksual kebanyakan laki-laki. Mari berharap kedua temanku yang bodoh ini tidak
menjadi salah satu dari mereka.
“Eh, itu
ada tiga cewek tuh, sendirian, di dekat ramen!” Ya, Oktavian menemukan mangsa
wanita yang ingin mereka goda.
“Ayo,
Arfian!” Abi menyuruhku mengikuti mereka berdua.
Aku
berjalan sambil tetap memasang earphone
untuk mendengarkan musik. Lagu yang sedang kudengarkan sekarang berjudul Night of Knights, salah satu lagu Touhou Project ter-mainstream selain Bad Apple!!.
Lagu
yang berirama cepat ini bisa menggambarkan betapa diriku ingin meninggalkan
sekolah ini. Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, bolehkah aku pulang? Aku tidak ingin tercemar oleh pengaruh apel
busuk mereka, apel busuk yang akan melukai diriku sendiri karena pengaruh mabuk
cinta.
Aku
tetap memandang layar hp melihat-lihat lagu dalam playlist aplikasi music
player kali ini. Hampir tidak ada lagu mainstream
seperti Despacito, ya, Despacito sampah itu. Playlist-ku banyak lagu rhythm game, lagu Touhou Project, dan lagu EDM indie dari Jepang.
Ketika
kami berbelok menemui meja yang Oktavian tunjuk tadi di dekat stand ramen, terdengar sedikit
percakapan antara kedua teman bodohku dengan tiga siswi, mungkin saja adik
kelas, itu yang mereka pikir.
“Maaf,
ini kosong ya?” Ayolah, Oktavian, aku tahu kamu bisa menggarap kalimat lebih
baik dari itu.
“Sok
aja,” jawab salah satu dari gadis itu.
“Oh,
boleh sekalian kenalan, enggak?” Klasik sekali untuk membuat cewek-cewek itu
curiga, Abi.
“Udah,
enggak usah malu-malu. Kita kan cowok baik-baik nih! Enggak usah takut sama
kita-kita. Kita enggak bakal gigit, kok!” Alasanmu terlalu bertele-tele,
Oktavian.
“Gimana
nih?” tanya cewek berjilbab putih saat kami bertiga duduk di hadapan mereka.
“Jadi kita kenalan aja? Enggak apa-apa?”
“Enggak
usah malu-malu lah!” ucap cewek berambut bang.
“Mau siapa dulu nih?”
“Ladies first.” Nah, Oktavian mulai
mempersilakan dengan nada rayuannya, mulai.
“Kalian
kelas 10, kan?” tanya Abi.
“Iya,”
jawab cewek rambut panjang bergelombang. “Gue Vera.”
“Gue
Fatin,” sapa cewek berjilbab putih.
“Nabila,”
gadis rambut bang memperkenalkan
diri.
“Woi!”
Oktavian melepas paksa earphone kiriku.
“Jangan main hp melulu, lagi pada kenalan nih!”
Ayolah,
Oktavian, Abi, justru kalian yang memaksaku kemari, mengikuti tingkah kalian
untuk menggoda cewek atau terserah apa namanya. Aku hanya ingin pulang, nge-heal diri dari stres akibat quiz fisika tadi.
Ya
sudah, aku tidak pilihan lagi. Aku memperkenalkan diri sambil melepas earphone kanan dan menatap ketiga gadis
itu, “Gue … Arfian.”
“Oktavian,”
Oktavian memperkenal diri.
“Abi,”
sapa Abi.
Kutatap
ketiga gadis itu. Vera, gadis berambut panjang lurus yang duduk di sebelah
kanan; Fatin, gadis berjilbab yang duduk di sebelah kiri; Nabila, gadis
berambut bang yang duduk di tengah
mereka berdua.
Tunggu
dulu! Gadis berambut bang? Aku pernah
bertemu dengan gadis itu! Wajahnya juga sama persis seperti saat aku bertemu
gadis brengsek di game center kemarin!
Gawat! Kurasa ketika dia memandang wajahku, dia memasang wajah seperti
tersambar petir. Oh tidak, plot twist macam
apa ini?
Ternyata
benar! Salah satu gadis yang duduk di hadapanku adalah gadis brengsek! Gadis
brengsek yang sebelumnya kutemui di game
center kemarin! Dia adalah gadis brengsek yang menuduhku sebagai RCT! Dia
sama sekali tidak mau mengikuti aturan sederhana sebelum main!
Nabila
tercengang ketika mengatakan, “Lo kan … tukang RC—” Dia menghentikan
omongannya.
“Cewek
bangs—” balasku mengumpat, tetapi tidak jadi demi menghindari kesalahpahaman.
Dengan
heran, keempat teman semejaku memandang diriku dan Nabila. Oh tidak, sepertinya
mereka bertanya-tanya dalam hati. Kenapa aku dan Nabila begitu terkejut saat
bertemu tatap muka kali ini.
Oktavian
bertanya sambil menunjuk Nabila, “Arfian? Ini cewek lo … pernah ketemu?”
Nabila
menjawab, “Uh … kayaknya gue pernah ngelihat dia di sebuah game center di mall. Dia … lagi asyik main sih kayaknya.”
“Um …
iya. Gue juga ngelihat dia sama teman-temannya lagi main game injak-injak, maksudnya … kayak Dance Dance Revolution, versi Korea,” saking kesalnya, aku menambah
penjelasan gadis brengsek yang biasa dipanggil Nabila.
“Habis
itu, gue ngelihat ada cowok yang enggak mau gantian mainnya. Gue udah ingetin
dia kalau setiap game di game center itu milik umum, bukan
individu itu doang. Gue pernah cerita ke lo soal ini kan, Fatin?” Sialan,
Nabila malah ngarang buat menyindir kelakuanku di game center kemarin!
“I-iya,”
ucap Fatin. “Emang dia yang lo sebut RCT?”
Bisikan dia terdengar jelas olehku, sialan.
“Mungkin,
dia belum tahu kalau ada papan antrean di dekat mesin game itu,” aku juga mengarang sambil membalas sindiran cewek
brengsek itu. “Ya wajar kalau dia baper kayak
gitu lah.”
“Tumben
lo ngomongnya kayak gitu,” ucap Abi.
“Udah,
bukan apa-apa!” tegurku.
“Dua
nasi gila.” Pedagang nasi gila tiba menaruh dua piring nasi gila di hadapan
Fatin dan Vera.
“Makasih,
Mbak,” ucap Fatin.
“Lo pada
enggak makan nih?” tanya Vera menunjuk kami bertiga, para cowok yang duduk di
hadapan ketiga cewek.
“Oh ya,
lupa nih!” ucap Oktavian bangkit dari tempat duduk. “Abi, Arfian, mau pada
nitip enggak?”
Abi
meminta, “Nitip nasi goreng ya!”
“Gue
juga sama,” ucapku spontan karena tidak tahu mau makan apa di kantin yang ramai
ini.
“Ya
elah, pada sama semua,” ucap Oktavian sebelum berlalu meninggalkan kami menuju stand pedagang nasi goreng.
***
Lagi-lagi
aku mendengar lagu Night of Knights
saat aku meninggalkan kelas. Kumelangkah mendekati pintu depan gedung sekolah
menuju halaman depan. Kulewati jalan lurus di antara lapangan basket berpagar
besi cat biru dan tempat parkir sepeda motor.
Ah!
Sekali lagi, terima kasih banyak, Abi dan Oktavian. Kalian membuat stresku
bertambah parah! Ternyata salah satu gadis yang kita temui adalah gadis penuduh
RCT! Sialan!
Kukira aku
tidak pernah melihat gadis brengsek itu lagi, tetapi … pada akhirnya aku jadi
tahu kalau dia adalah adik kelas di sekolahku. Ini kehidupan macam apa yang
sedang kujalani?
Ya
sudah, begitu kulewati gerbang depan halaman sekolah, suara jeritan sontak menghentikanku,
meski aku sedang asyik mendengarkan lagu yang membuatku ingin cepat-cepat
keluar dari sekolah ini.
“Jangan
sambil dengarin musik kalau jalan! Nanti ketabrak lho!” Itulah peringatan gadis
brengsek yang memaksaku melepas kedua earphone
di telinga.
Aku
berbalik menghadapnya. “Lo … tadi bilang ke gua?”
“Ya
iyalah! Emang siapa lagi? Sekolah udah sepi gini, halaman sekolah sekarang udah
jarang ada orang, mungkin udah pada pulang kali!” Perkataan gadis brengsek itu
bertele-tele.
“Lo mau
apa?” aku langsung menanyakan intinya.
Gadis
brengsek itu bertanya balik, “Lo kaget kalau gadis brengsek kayak gua satu
sekolah sama lo?”
Gue
membalas pertanyaannya, “Gue kaget, kaget banget. Sebagai adik kelas, lo berani
nentang kakak kelas lo sendiri. Mentang-mentang di luar sekolah, lo emang kagak
sopan kalau menghadapi orang.”
“Itu
gara-gara lo enggak mau gantian mainnya. Lo enggak peduli yang lain,
mentang-mentang masih sepi, lo harusnya peduli sama player lain yang lagi nungguin gilirannya.”
“Lo …
enggak mau patuh sama aturan aja bisa gue anggap lo enggak mau ngehormati orang
lain. Harusnya lo nanam sopan santun seperti budayakan mengantre. Pantas saja
kebanyakan orang di negeri ini tidak ingin mengantre, mereka menerapkan prinsip
siapa cepat dia yang dapat. Mungkin
lo salah satu dari mereka yang tidak peduli dengan antrean sama sekali.
Inginnya buru-buru,” aku menyindir dengan kalimat yang terlalu panjang.
“Sorry, gue enggak ngerti maksud lo.”
Gadis brengsek itu menaikkan nadanya. “Lo bicara pakai kalimat yang panjang
amat sih! Ya dikit-dikit lah, biar gue bisa ngerti maksud lo.”
Aku
menahan agar tidak kehilangan kesabaran. “Justru lo yang enggak sabaran, pengen
langsung ke intinya, kan?”
“Oh ya,
Arfian alias tukang RCT. Lo pasti nganggap gue lelucon gitu? Lo nganggap adik
kelas lo sendiri sebagai gadis brengsek yang menuduh lo enggak mau gantian
mainnya.”
“Itu
emang kenyataan, Nabila. Oh, harusnya gue panggil … lo … apa ya? Ah, gini aja.
Cewek sontoloyo.”
Gadis
brengsek itu perlahan mendekatiku. “Lo berani ngecemar nama baik gue sebagai
seorang cewek. Siap-siap aja, lo ketemu gue lagi, gue bakal ganggu lo sampai lo
minta maaf. Oh, minta maafnya harus gini, lo harus nangis bombay enggak peduli
gimana caranya sambil berlutut di hadapan gue, lo bilang aja lo nyesal udah
ngecemar nama baik seorang cewek kayak gue.”
Minta
maaf macam apa itu? Masa gue harus pura-pura nangis di hadapan gadis brengsek
kayak dia? Enggak lah! Harusnya dia yang kayak gitu ke gue! Gue bisa anggap
impas kalau gadis brengsek itu melakukan apa yang dia katakan. Aku pengen
ngelihat dia nangis tersedu-sedu menyesali perbuatannya padaku.
Aku
menahan emosiku sambil berkata, “Ya udah. Lagian, gue enggak bakal ke game center hari ini.”
“Apa lo
bilang?” ucap Nabila melongo.
“Kalau
misalnya game center-nya ramai, jalan
di sekitarnya ramai, tapi game-nya
sepi, lo pasti bakal ngelakuin kesalahan sama, kesalahan sama. Lo enggak mau
nulis nama lo di papan antrean, terus lo nuduh orang yang main terus tukang RCT
atau apa namanya lah.”
Seperti
yang kukira, gadis brengsek itu naik darah. “Lo …. Lo ngehina gue lagi ya!”
“Kalau
lo mau ke game center, sorry, gue pulang aja. Mendingan gue
sendirian di rumah daripada ngelihat lo di game
center. Gue cabut duluan, dasar sontoloyo.” Aku akhirnya pamit, melepas
beban ketika melihat gadis brengsek itu lagi.
Kudengar
gadis brengsek itu menjerit ketika berbelok kiri. “Sialan! Lo yang sontoloyo!”
Aku
menahan emosi ketika berbicara dengan gadis brengsek yang menuduhku sebagai
tukang RCT. Beruntung, aku bisa meledakkan emosi saat berhenti di sebelah halte
bus yang sepi. Aku akhirnya mampu meledakkan diriku ke udara. Aku ingin berkata
kasar ….
“BANGSAT!!”
Comments
Post a Comment