I Can't Believe My Love is A Gamer Episode 11
Cosmical Rhythm
sasil-eun ajig gomintuseong-i
banbogdoego jiluhan ilsang-eun No
gidalyeowass-eo ije sijaghae
naui Stagee
seo boneungeoya
kkumkkwoon lideum myujig
To call all True Emotion
nae an-eseo modu
ilueojineun mellodi
kkumkkuneun nae simjang-eul
To make a True Emotion
lideum-e majchwo heundeullae
tteodeullae chumchullae
sumgyeoon lideum myujig
jeulgyeo Cosmical Rhythm
nuga amuli mwolago haedo
sang-gwan-eobs-eo
bichnaneun nae mudaeleul
neukkyeo Cosmical Rhythm
moduga nal hyanghae ppajyeodeulgeoya
kkumkkwoon lideum myujig
To call all True Emotion
nae an-eseo modu
ilueojineun mellodi
Kudengarkan
salah satu lagu favoritku dari Pump It Up
sejak pertama kali memainkannya dari versi Prime pada 2015 lalu. Jujur, lagu ini benar-benar salah satu moodbooster saat aku bad mood seperti saat ini. Setidaknya
irama lagu yang mendekati lagu K-Pop biasanya bisa sedikit mengobati
kebosananku di sekolah.
Here we go again. Jam belajar mengajar
hari ini telah usai, tetapi sesungguhnya belum. Begitu mayoritas dari kelasku
harus mengikuti pelajaran fisika tambahan, bel pertanda jam belajar mengajar
berakhir seperti tipuan belaka.
Padahal
kami sudah belajar setiap materi yang diberikan, kami juga sudah berusaha
sekuat tenaga, memang wajar, kebanyakan dari kami tidak ingin belajar karena
begitu berat materi yang diberikan. Seharusnya pelajaran tambahan yang
diberikan saat kami semua mendapat nilai rendah ditiadakan saja daripada
buang-buang tenaga. Itulah yang kupikir, pelajaran tambahan sungguh bikin
malas, bukan hanya diriku, tetapi juga semuanya, seluruh siswa yang wajib ikut,
titik.
Tapi,
aku tidak bisa berkata apa-apa lagi, mau tidak mau, aku wajib ikut pelajaran
tambahan karena nilai quiz fisikaku
begitu rendah, tidak memenuhi standar kriteria kelulusan minimal alias KKM.
Katanya
semakin muda generasinya, semakin tinggi standar yang harus ditetapkan, berarti
hal ini berlaku pada KKM setiap pelajaran di sekolah. Apakah KKM dinaikkan
untuk membebani seluruh siswanya? Apakah sekolah ingin membuat seluruh siswanya
sendiri tertekan?
Memang,
ke depannya, generasi selanjutnya harus lebih baik daripada generasi
sebelumnya, tetapi, aku yakin, setiap generasi pasti punya caranya sendiri agar
bisa menghadapi masa depan. Memang capek diriku memikirkan hal begini, KKM,
pelajaran tambahan yang mengklaim biar siswanya lebih baik, dan standar terlalu
tinggi.
Tak
heran, sering kulihat di media sosial kalau kebanyakan siswa manapun pasti
mengeluh, mengeluh, mengeluh, dan mengeluh. Bisa jadi itu pelajarannya yang
berat, ujiannya susah, dan guru galak atau lebih sering zaman now sebut guru killer. Benar-benar bikin stres segalanya.
Sekarang,
aku hanya bisa berharap kalau guru fisika kelas kami tidak masuk, alhasil,
pelajaran tambahan untuk hari ini dibatalkan. Tetapi, aku juga belum mendapat
kabar apakah beliau benar-benar hadir di sekolah ini.
“Arfian!”
panggil Oktavian.
Oke,
kemarin aku sama sekali tidak enjoy main
di rental PS dengan kedua sahabat fanatic bola ini, aku harus pulang lebih
awal. Kenapa? Aku tidak suka sepak bola, apalagi main Pro Evolution Soccer, aku malah lebih menikmati game-game
seperti Uncharted, Persona, dan Guilty Gear.
Sejujurnya,
aku lebih suka ke game center di mall
daripada ke rental PS yang mayoritas hanya menyediakan game Pro Evolution Soccer. Rental PS tentu punya PlayStation 4,
jadi ekspektasiku benar-benar tinggi, mereka seharusnya mempunyai banyak game. Kenyataannya, mana keberagaman game-nya? Hanya Pro Evolution Soccer yang populer. Jika ada, pasti itu-itu aja, tak
jauh dari sepak bola seperti FIFA dari
Electronic Arts, atau bahkan cabang olahraga lain.
Game center di mall tentu banyak variety, ada fighting game, shooting game,
rhythm game, racing game, hingga game untuk
anak-anak dan keluarga. Sudah jelas kenapa aku lebih memilih game center di mall daripada rental PS.
“Yuk
ke rental PS lagi!” seru Oktavian.
“Ya
elah, lo yakin pengen mabal pelajaran tambahan?” tanya Abi.
“Ya
iyalah, malas banget ikut pelajaran tambahan! Yuk, mabal ke rental PS kayak
kemarin lagi.”
Ini
salah satu kebiasaan buruk dari generasi zaman now, mabal. Kalau sudah jenuh dengan pelajaran, mabal saja, alias
kabur dari jam pelajaran. Apalagi kalau lupa mengerjakan PR terus gurunya
benar-benar killer, ya udah, alasan
sempurna buat mabal.
Kupandangi
beberapa teman sekelasku membawa tas dan keluar dari kelas lebih awal, lebih
awal daripada yang kukira. Padahal guru fisika kami mengatakan bahwa siswa yang
memiliki nilai di bawah standar wajib ikut pelajaran tambahan mulai hari ini.
Sepertinya
mereka sudah tidak tahan dengan tekanan sehabis menyerap seluruh materi
pelajaran yang berat. Apalagi kalau mereka ikutan pelajaran tambahan, semakin
penat fisik dan mental. Ya, mereka juga memutuskan untuk mabal, seperti kedua
sahabat bodohku ini, Oktavian dan Abi.
“Arfian,
lo jadi ikutan enggak? Hayu ke rental PS lagi gih!” ajak Oktavian, aku tidak
tahu apakah dia benar-benar memaksa atau tidak.
Kubayangkan
dua buah skenario, masing-masing dengan konsekuensi berbeda. Skenario pertama,
aku tetap di kelas begitu Abi dan Oktavian pergi. Aku harus mengikuti pelajaran
tambahan dari guru fisika kami. Masalahnya, kulihat kebanyakan dari teman
sekelas yang wajib ikut memutuskan untuk mabal alih-alih tetap di kelas. Kurasa
ini akan jadi pelajaran tambahan yang sepi.
Skenario
kedua, aku memutuskan untuk ikut ke rental PS bersama Abi dan Oktavian, meski
aku tidak ingin main Pro Evolution Soccer
ataupun FIFA, atau game-game yang berkaitan dengan olahraga
apapun. Sisi positifnya, aku bisa menghindar dari pelajaran tambahan yang hanya
bertujuan menambah beban setiap siswa. Stresku pada hari ini bisa terangkat
berkat mabal dari pelajaran tambahan. Tetapi, kami bisa saja mendapat
konsekuensi ketika bertemu kembali dengan guru fisika kami di pelajaran sesuai
jam sekolah.
Aku
masih kebingungan harus memilih apa, menambah atau mengurangi stres yang
kuhdapat hari ini? Masing-masing keputusan memiliki keuntungan dan kekurangan
yang akan kuhadapi. Sungguh, aku sungguh berputar-putar memikirkan apa yang
akan kulakukan selanjutnya.
“Ikutan
enggak nih?” tanya Oktavian lagi.
Aku
akhirnya menjawab dengan keputusan bulat, “Iya. Hayu. Mumpung yang lainnya pada
enggak ikut, ya udah.”
“Nah,
gitu dong! Daripada ikut pelajaran yang enggak jelas, kan?” ucap Oktavian
seraya mengambil tas bersiap untuk meninggalkan kelas.
“Hayu,
gih, entar keburu datang Bapaknya!” ajak Abi mengambil tas.
“Iya,
hayu!” ucapku mengambil tas sebelum kami meninggalkan kelas.
Akhirnya,
kelegaan telah tiba, sebagian dari beban di otakku terangkat begitu aku
meninggalkan kelas dengan sahabatku yang mengajak ke rental PS. Oke, aku tahu
kalau lebih baik ke game center sendiri
daripada ke rental PS sama mereka berdua. Ya sudah, seenggaknya buat ngurangin
kecurigaan ….
“Sayang!”
Suara seorang gadis nan lembut seperti bersemangat terdengar di belakangku
begitu kami telah menginjakkan kaki di jalan halaman sekolah.
Aku
berbalik ketika mengenali suara itu, suara yang familiar bagiku. Dan … ternyata benar! Yang mengatakan kata sayang itu tak lain adalah si gadis
brengsek penuduh RCT!
Aku
melongo ketika gadis brengsek itu seperti berpura-pura tersenyum padaku,
apalagi di hadapan kedua sahabatku! Otakku bagai tersambar petir ketika gadis
brengsek itu dengan berani ingin berpura-pura memanggilku sebagai sayang.
“Sa-sayang?”
Aku heran ketika menghentikan langkah setelah berbalik menatap gadis brengsek
yang melangkah mendekati kami.
“Sayang.”
Gadis brengsek itu benar-benar berusaha merayu sambil memegang tangan kiriku!
“Katanya mau pulang bareng, sayang. Dari kemarin diriku udah nunggu, tapi
dirimu malah pulang duluan kemarin. Hari ini, dirimu … malah pulang sama
teman-temanmu.”
Aku
tidak ingin termakan oleh kepalsuan gadis brengsek itu, aku melepas
genggamannya dengan cepat. “Sayang?”
“Lho!
Lo … udah punya cewek?” Oktavian menatapku heran. “Lo kok enggak bilang sih?”
“Ah!
Kita kan pernah kenalan,” ucap Abi pada gadis brengsek itu. “Pas lo sama
teman-teman lo makan nasi gila di kantin kan? Kalau enggak salah lo Nabila,
kan?”
“Ah
…. Gue ingat lo berdua. Lo Oktavian,” gadis brengsek itu menunjuk Abi sebagai
Oktavian.
“Bukan,
gue Abi,” jawab Abi.
Oktavian
mengangkat tangan kanan. “Gue yang Oktavian.”
Lagi-lagi
gadis brengsek itu mengenggam lengan kananku. “Oh ya, lo enggak tahu kalau gue
sama Arfian sebenarnya udah pacaran. Ya, dia enggak sempat bilang ke lo
gara-gara malu kali.”
Aku
menatap gadis brengsek itu, aku tidak ingin termakan dengan kebohongannya. “Lo
ngomong apa sih?”
“Apa?
Kamu masih malu ya, sayang? Kamu enggak mau jalan-jalan bareng aku di depan
umum ya? Di depan sahabatmu yang ganteng ini, kan? Kamu kan ngaku suka sama aku
di game center Sabtu lalu.”
“Ah!
Gimana sih lu!” jeritku sambil menahan pusing tujuh keliling.
“Udah,
enggak perlu nyembunyiin segala deh! Lihat deh, semuanya udah ngelihat pacar
lo, Arfian. Pacar lo, Nabila.” Oktavian menunjuk pada setiap orang yang
menyaksikan percakapan kami.
“Ah!”
jeritku. “Abi, Oktavian, gue mau ngomong dulu sama Nabila. Cuma berdua.”
“Terus,
lo jadi ke rental PS-nya?” Oktavian begitu tidak sabaran.
“Jadi
lah! Tungguin aja.” Aku menarik tangan kanan gadis brengsek itu. “Ayo! Ikut
gue!”
“Eh,
sayang, kok keras banget nariknya! Mau kemana sih?” jeritnya, tetapi aku tidak
peduli.
***
“Lepasin!
Lepasin!” jerit gadis brengsek itu saat tiba di halte bus tidak jauh dari
sekolah, beruntung, tidak ada orang yang menunggu di sana.
Aku
berbalik mengonfrontasinya, “Lo ngapain pura-pura ngaku jadi pacar gue?”
“Habisnya
lo enggak datang ke game center,
tukang RCT! Terus lo mau kemana?”
“Terus
lo ngapain pura-pura mesra-mesraan di halaman sekolah? Ya, banyak yang lihat
lah! Kalau ada guru yang ngelihat, bisa kena hukum! Gue mau mabal bareng mereka
lah!”
Gadis
brengsek itu memukul pundak kiriku dengan keras. “Lo ngapain pakai kata mabal segala?”
“Ah!”
jeritku tidak dapat menahan sakit akibat pukulan gadis brengsek itu.
“Sekolah
udah selesai dari tadi tahu! Lo emang mau cari-cari alasan buat ngehindar gue,
kan? Lo emang sengaja enggak ke game
center akhir-akhir ini biar gue enggak bisa ganggu lo, kan? Emangnya lo
pikir lo bisa nge-RCT sepuas lo di setiap game
center!”
“Ah!
Gue makin stres ngehadapin lo! Lagian, gue enggak mau pura-pura jadi pacar lo,
apalagi jadi pacar lo benaran! Bentar-bentar kenal, malah pengen pura-pura
pacaran. Pacaran enggak secepat itu kenalnya!”
“Kata
siapa gue pengen jadi pacar lo benaran? Enak aja! Mending lo pacaran aja sama
sapi!”
Sungguh,
stresku semakin meledak-ledak ketika menemui gadis brengsek itu. Gara-gara dia,
aku tidak mampu meredakan stres sambil mabal ke rental PS bersama Abi dan
Oktavian. Ini mau gadis brengsek apa sih sama diriku?
“Woi!”
panggil Oktavian melangkah menemui kami belakang dengan Abi. “Jadi enggak ke
rental PS?”
“Oh!
Mungkin lo pengen ajak pacar lo juga ke sana. Lo sengaja pengen misahin diri
buat nanya apa pengen ikut ke rental PS ke cewek lo,” Abi mengucapkan kalimat
omong kosong.
“Kata
siapa?” ungkapku kesal.
“Iya,”
jawab gadis brengsek sambil memasang wajah polosnya. “Dia emang ajak aku ikut
ke rental PS kok. Katanya dia juga suka main PS, terus mungkin dia pengen
ngajak aku main juga lah.”
“Ciyeee!
Ternyata malah ngajak ceweknya ke rental PS bareng kita juga!” Oktavian berkata
yang tidak perlu.
“Oh
ya, kalau lo mau, hayu, gue udah pesan lewat LINE tempat yang bagus!” ajak Abi.
Aku
menyela, “Ah …. Sebenarnya dia ada urusan, jadi—”
Sialan,
gadis brengsek itu memotongku, “Urusannya bisa ditunda kok. Aku juga pengen
main PS dong!”
“Ya
udah, lo bareng gue aja!” Abi menawarkan. “Arfian bareng sama Oktavian, oke?”
“Baiklah,”
jawab gadis brengsek itu dengan polos.
Terpaksa,
lagi-lagi aku harus berurusan dengan Nabila, si gadis brengsek tukang tuduh
RCT. Ternyata seharusnya aku tidak memilih keputusan untuk ikut ke rental PS.
Comments
Post a Comment