I Can't Believe My Love is A Gamer Episode 23
U Got Me Crazy
“Akhirnya! Enggak ada pelajaran tambahan!”
seru salah satu teman sekelasku merayakan absennya guru fisika kami.
Kami
akhirnya bisa pergi ke lapangan futsal tepat setelah Jumatan, secara otomatis,
hukuman pelajaran tambahan kami bisa skip,
begitu juga dengan membersihkan kamar mandi bagi siswa yang terpergok merokok
saat mabal waktu itu.
Setelah
Jumatan usai, kami sekadar merayakan pesta kebebasan kami dari segala hukuman.
Oktavian menggunakan hpku untuk menyetel setiap lagu yang kusuka, lagu anti-mainstream. Kali ini, dia menggunakan
aplikasi YouTube.
Aku
tidak dapat bergabung ke dalam kesenangan pesta perayaan itu. Masih saja
kupikirkan kemarahan yang kupendam dari pagi. Sungguh, aku masih tertekan
gara-gara tuntutan kedua orangtuaku.
Guru
fisika kami berhalangan hadir hari ini, mana mungkin aku bilang aku butuh
pelajaran tambahan lagi. Ibuku benar-benar ingin membuat diriku menderita, masa
harus minta pelajaran tambahan lagi? Aku sudah cukup menderita ketika ibu dan
ayahku telah memaksa untuk masuk jurusan IPA.
Aku
sudah dibuat gila dengan setiap rumus fisika dan kimia, ditambah lagi
rumus-rumus matematika, serta penjelasan biologi yang cukup rumit. Oh,
setidaknya biologi lebih baik daripada setiap rumus di pelajaran fisika, kimia,
dan matematika.
Kupikirkan
kegilaan ini sambil mendengar lagu U Got
Me Crazy yang disetel Oktavian. Ya, crazy,
kubisa gila. Banyak yang berkomentar kalau koleksi lagu kesukaanku tidak kalah
keren dengan lagu-lagu mainstream.
Andai
saja bisa kupanggang setiap rumus itu agar bisa kumakan, jadi aku bisa mengerti
apa maksudnya. Aku bisa mengerjakan soal-soal fisika dan kimia apalagi
matematika jika kujadikan setiap rumus sebagai makanan untuk otak. Tidak
mengerti apa maksudku, kan?
Terpaksa
aku ikut futsal bareng teman-teman sekelasku, kali ini gadis-gadis di kelasku
juga ikutan untuk menonton, tidak bareng tidak rame, itu prinsipnya. Lebih
parahnya, kelasku akan berhadapan dengan kelasnya Nabila. Ya, sebenarnya ini
bukan pertandingan layaknya pertandingan profesional, melainkan hanya untuk
bersenang-senang, simply have fun to be
happy together.
Apa
boleh buat, ini demi melancarkan rencanaku untuk menjauh dari orangtua. Aku
akan menginap di rumah Oktavian mulai malam ini. Oktavian juga akan ikut futsal
dan mengajakku ikut serta pula.
“Arfian,
We Alive-nya Cosmograph enakan
enggak?” tanya salah satu teman sekelas yang mengenggam hpku.
“Iya,
enak,” jawabku.
“Oke!”
Dia menyetel lagu We Alive karya
Cosmograph, nama lain Lunatic Sounds.
“Nah,
ini enakan!” seru Oktavian begitu alunan lagu itu mulai berterbangan menuju
telinga.
Setidaknya
alunan musik dari We Alive karya
Cosmograph membuat kemarahanku mereda, semakin mereda setelah kegilaan
akhir-akhir ini. Kulihat seluruh teman sekelasku mulai menari-nari menikmati
lagu itu, seperti sedang ada di pesta dansa atau di sebuah klub.
Kulihat
Oktavian yang semakin menikmati lagu itu. Kuingat juga bahwa dia belum
mengungkapkan rasa suka pada Vera. Memang, masih terlalu awal baginya untuk
berpacaran, padahal baru sebentar kenalan. Tapi, kurasa Oktavian memang tidak
sabar ingin membacakan puisinya pada sang pujaan hati.
Tentu
saja, aku tidak ingin termakan sandiwara Nabila si gadis brengsek. Baru saja
kenal, sudah berantem di game center gara-gara
masalah RCT. Dia malah berpura-pura menjadi pacarku untuk menghancurkan
hidupku. Mungkinkah dia akan datang menonton futsal sore ini setelah Jumatan.
“Eh,
Arfian, ayo gabung!” seru salah satu gadis menghampiriku. “Ini lagu kesukaan
lo!”
“Eh,
enggak ah, enggak usah,” aku menolak dengan mengangkat tangan kanan.
“Ayo!
Biar lo happy lagi!” Gadis itu
menarik tanganku hingga meninggalkan bangku, bergabung dengan keramaian yang
lain.
Ya,
aku mulai menari asal-asalan begitu bergabung dengan keramaian akibat musik
favoritku sendiri. Setidaknya, semua orang di kelas menikmati lagu We Alive karya Cosmograph alias Lunatic
Sounds. Aku pun perlahan mulai menyembuhkan kemarahanku sendiri berkat lagu
itu. Membuat semua orang happy, juga
membuatku happy.
“Gitu
dong, Arfian!” seru Oktavian. “Kalau lo happy,
semuanya happy dong!”
***
Aku
tidak tahu apa yang sedang kulakukan, hanya duduk menatap teman sekelasku,
terutama laki-laki, bermain futsal di lapangan rumput sintesis. Ibaratnya aku
sedang duduk di bangku pemain cadangan, menunggu giliranku untuk masuk.
Sungguh,
aku tidak ingin bermain futsal, sama sekali. Meskipun mencoba untuk bribe diriku dengan memainkan lagu-lagu
favoritku yang anti-mainstream demi
mengembalikan happiness, aku sama
sekali tidak ingin ikutan futsal.
“Kok
lo jarang kelihatan di game center?”
Sial, kudengar gadis brengsek itu berbicara denganku dari sebelah kiri.
Beruntung,
semuanya, terdistraksi dengan keramaian pertandingan futsal, hanya untuk
sekadar happy-happy. Ini dia, akhirnya aku bisa meluapkan apa yang ingin
kukatakan saat ini pada gadis brengsek itu.
“Gue
sibuk. Pelajaran tambahan,” jawabku. “Emang kenapa? Pengen ganggu gue main?
Pengen nuduh gue RCT?”
“Lo!”
ucap Nabila sebelum menahan diri dari luapan emosi.
Aku
berdiri menghadap gadis brengsek itu. “Gue pengen ngomong, di luar.”
***
“Lo
kenapa sampai pengen pura-pura pacaran sama gue segala?” Aku mulai mengonfrontasi
Nabila si gadis brengsek ketika berada di depan pintu gedung lapangan futsal
“Terus?
Lo keberatan?” balas Nabila.
“Lo
mau apa dari gue? Lo pengen ngeganggu gue?”
“Lo
gila ya!” balasku. “Lo udah ngeganggu hidup gue lah! Dari pas lo nuduh gue
tukang RCT! Terus, lo pengen pura-pura jadi pacar gue buat apa sih?”
“Oke,
gue jawab pertanyaan lo!” tanggap Nabila. “Lo emang sendirinya pengen
sendirian, lo main arcade game di game center sendiri melulu! Gue enggak
pernah ngelihat lo main sama orang lain! Terus, lo juga sering mainnya enggak
mau gantian! Gue lihat sebelum kita ketemu, lo main emang kagak mau gantian!”
“Lo
salah! Gue emang ikut aturan, lo sendiri yang enggak mau ikut aturan! Tinggal
tulis aja nama lo di antrean!”
“Lo
enggak tahu malu! Lo puas mau marahin gue! Lo puas?”
“Iya!
Emang!” jeritku. “Gue enggak mau lo ngeganggu hidup gue lagi! Lo juga enggak
mau hidup lo keganggu sama gua, kan? Udahin aja lah! Enggak usah jadi pacar
gue, apalagi benaran! Gue enggak sudi ketemu sama lo lagi! Lo gadis brengsek
tahu enggak! Pantas aja enggak ada yang mau pacaran sama lo! Lo enyah aja dari
kehidupan gue!”
Akhirnya
aku melampiaskan kemarahan yang kudapat dari ibuku sendiri pada si gadis
brengsek itu. Aku berbalik begitu Nabila tidak bisa berkata-kata lagi, aku
tidak peduli. Aku hanya ingin membuat dia menangis bombay. Kurasa aku berhasil membuatnya dia menangis tersedu-sedu.
Aku
tidak perlu berbalik ke belakang menatap wajah Nabila. Aku juga merasa kalau
Nabila memang akan menangis mengeluarkan air mata buaya. Itu akibatnya kalau
berurusan denganku, apalagi menganggu hidupku dari pertemuan pertama di game center.
Aku
kembali menemui teman sekelasku dan kembali duduk menonton futsal. Beruntung,
kemarahanku sudah terlampiaskan untuk hari ini. Aku sudah tidak tahan dengan
segala penderitaan, kemalangan, dan kesuraman masa kiniku.
Hanya
tinggal menunggu waktu, Oktavian akan mengantarku ke rumahnya untuk menginap,
demi menjauh dari orangtua. Aku lelah kalau harus mendengar segala omelan,
nasihat, dan keluhan dari mereka ketika berada di rumah. Sudah cukup aku
menderita di rumah, saatnya aku ….
“Arfian,
gue boleh ngomong enggak?” tanya Oktavian menemuiku.
“Iya,”
“Di
sana aja,” Oktavian menunjuk dekat vending
machine minuman. “Tentang masalah lo di rumah. Gue pengen coba ngomong
tentang itu.”
“Iya
deh.”
Begitu
aku bangkit, kami berjalan mendekati vending
machine tersebut. Dinding jingga juga memantapkan mata. Kami pun berdiri di
depan vending machine itu, aku
penasaran apa yang ingin Oktavian katakan padaku.
“Gue
yakin lo udah mendingan sekarang, lo juga udah rada happy lah. Tentang masalah lo di rumah itu. Lo mendingan ambil
baiknya, ambil positifnya. Gue tahu nasihat orangtua itu nyebelin, nyebelin
banget. Kita dikasih tahu ini itu kayak anak kecil kek, gue tahu gue enggak
suka cara mereka nyampaiin gimana ke kitanya. Kadang-kadang, gue juga ngerasa
enggak perlu. Tapi, gue belajar juga gimana bisa jadi orang lebih baik lagi.
“Lo
coba belajar terima nasihat, kritik, sama saran, mulai dari orangtua lo
sendiri. Kalau enggak, gimana ke depannya? Gimana mau nerima kritik dari orang
luar? Gue tahu nyokap sampai marah-marah kayak gitu ke lo artinya dia sayang
sama lo. Orangtua lo, bokap, nyokap, ngasih tahu apa-apa itu bukti kalau lo
disayang sama mereka.
“Arfian,
gue bilang gini karena lo sahabat gua. Lo enggak bisa gini terus lah sama
orangtua lo. Lama-lama, lo malah nyadar kalau nasihat itu kayak kata mutiara ke
lo sendiri. Keluarga lo, bokap, nyokap, selama ini ngeharap lo bisa jadi orang
berguna di tengah-tengah masyarakat.
“Sekarang,
bukannya gue pengen bilang enggak boleh, tapi gue pengen lo balik ke rumah, lo
ngomongin baik-baik sama nyokap bokap lo. Lo enggak usah marah-marah lagi ke mereka,
lo udah mendingan. Mereka pengen ngebantu lo.” Oktavian menepuk bahuku.
Aku
merenungi setiap perkataan Oktavian. Selama ini aku menganggap nasihat dari
kedua orangtuaku sebagai gangguan tanpa memikirkan pesan positifnya. Aku
sebenarnya tidak ingin mengikuti apa kata orangtuaku sejak mereka memaksa untuk
masuk jurusan IPA. Aku jadi capek sendiri gara-gara sering kepikiran kalau
semua nasihat orangtuaku yang berulang-ulang selama ini merupakan sampah.
Di
saat yang sama, aku juga menyimpulkan belum saatnya aku mengungkapkan bagaimana
aku “putus” dari hubungan pura-pura dengan Nabila, si gadis brengsek itu. Aku
hanya ingin merenungi apa yang Oktavian tadi katakan.
“Oke,
sekarang lo ikut futsal gih. Pas udahan, gue antar lo ke rumah,” ucap Oktavian.
“Atau gini aja? Kita ke rumah gue, gue ambil barang, terus gue ke rumah lo.”
“Emang
mau ngapain di rumah gue?” aku melontarkan pertanyaan bodoh.
“Nemanin
lo ke rumah. Ya, bisa aja lo masih marah sama nyokap bokap lo. Oke, gue
sekalian nginap di rumah lo aja deh.”
“Terus?
Lo nginap? Lo ngap—"
“Udah
gih, ikutan futsal biar lo rada mendingan,” ajak Oktavian. “Kita main futsal
bareng, biar kita happy-happy bareng. Ayo!”
Setidaknya,
aku masih punya sahabat yang peduli denganku. Oktavian, dia memberiku nasihat
layaknya seorang saudara. Di saat yang sama, aku juga dapat merenungi
perkataannya, semuanya bagaikan sebuah peringatan wake up call.
Oktavian
mungkin ingin melihatku meminta maaf kepada orangtuaku. Paling tidak, dia ingin
aku baikan dengan mereka dan masalah terselesaikan baik-baik.
Comments
Post a Comment