I Can't Believe My Love is A Gamer Episode 15
Kiss Candy Flavor
Setelah
berlama-lama di McDonald’s menikmati sarapan dan wifi gratis, ya, tidak terasa
sudah jam sembilan lebih. Kami juga menunggu Abi datang kemari biar bisa pergi
ke mall bareng-bareng.
Aku
hanya menghabiskan waktu sambil menunggu hingga jam sembilan lebih hanya
bermain game mobile seperti Fate/Grand Order, Arcaea, Dynamix, Cytus, Voez, dan Granblue Fantasy,
pokoknya se-random semauku. Kalau aku
bosan main Fate/Grand Order atau Granblue Fantasy terlalu lama, rhythm game seperti Arcaea, Dynamix, Cytus, dan Voez menjadi pilihan, terlebih aku juga lebih suka mendengar
lagu-lagu yang tersedia di game-game itu.
Menjelang
jam sembilan, aku hanya mendengar musik lewat aplikasi YouTube, tapi bukan
musik mainstream, melainkan musik
yang lebih mengutamakan kreativitas terutama lagu dari rhythm game atau bergenre doujin.
Kali
ini kudengarkan salah satu lagu dari kompetisi BMS of Fighters 2013 yang
kebetulan juga baru masuk song list
Maimai Murasaki Plus. Ketika aku mendengar pertama kali saat teman
komunitas game bermain lagu itu,
liriknya begitu simple dan suaranya membuat lagu ini menjadi earworm.
Di
dalam hati, aku juga menyanyikan lagu yang berjudul Kiss Candy Flavor itu sambil menonton betapa sederhana animasi
dalam video musik tersebut.
kiss candy flavor
give me more pop pop
kiss candy flavor
give me more pop
kiss candy flavor
give me more pop
crazy lovely monsters play with no no love
Nagai yoru ni futo mayoikon da
amai kaori ni sasoware ta no
kurai meiro o nuke ta saki ni
gĹŤru ga aru wake ja nai
asai nemuri ni tsui ta totan ni
hada kasumerusame ta toiki
koron de koron de nigedashi ta tte
nukedase nai asa ga kuru made
mamono tachi to surechigau
mokuto me ga atte te o toriau
arere? ki ga tsuke ba
I've become a monster
kiss candy flavor
give me more pop pop
kiss candy flavor
give me more pop
kiss candy flavor
give me more pop
crazy lovely monsters I and you
kiss candy flavor
give me more pop pop
kiss candy flavor
give me more pop
kiss candy flavor
give me more pop
crazy lovely monsters play with no no love
kiss candy flavor
give me more pop
pop pop pop...
kiss candy flavor
give me more pop
pop pop pop...
kiss candy flavor
give me more pop
pop pop pop...
kiss candy flavor
give me more pop
pop pop pop...
nagai yoru mo hitori ja nai n da
amai kaori wa todoka nai no
ano hi kure ta kiss candy flavor
mada wasure ta wake ja nai kedo
“Abi!”
sahut Oktavian ketika aku mengalihkan pandangan dari layar hp, menyaksikan Abi
baru saja tiba.
“Hei!
Ternyata di sini lo!” seru Abi sambil bersalaman dengan kami berdua.
Kulihat
Abi tengah mengenakan jaket coklat, kaos biru, dan celana jeans biru muda.
Untunglah, bukan seragam yang dia pakai.
“Mau
gimana nih? Kita mabal kayak anak kuliahan aja, bisa nyantai lah, enggak perlu
ke sekolah buat sehari.”
“Kita
ke game center aja dulu. Entar nonton
Thor: Ragnarok. Biasa, mau ngelihat
Arfian mainnya kayak gimana.”
“Oh
ya, Arfian, pasti main yang mesin injak-injak itu, kan?” Maksud Abi adalah
mesin Pump It Up. “Mau coba dong,
main lagu K-Pop!”
“Oh
ya, ada lagu apa aja di itu game?”
“Di
mesin injak-injak? Maksudnya Pump It Up ya?”
Aku mengatakan judul game injak-injak
itu. “Ya … ada Big Bang, BlackPink, CN Blue, T-ara, Block B. Sayang banget
enggak ada Super Junior.”
“Yaaa…
kok kerasa dikit banget ya?” tanggap Abi.
“Kalau
game dance sebelah, yang cuma gerak
seluruh tubuh, ada banyak lagu K-Pop kok. Lagu Barat juga ada.”
Oktavian
mengangguk. “Nah, itu aja! Kan banyak lagu Barat! Eh, ada lagu Despacito enggak?”
Here we go again. Kenapa anak zaman now seperti mereka begitu suka dengan Despacito yang memang seharusnya menjadi
sampah. Sekali lagi, aku menge-rant di
dalam hati. Despacito seharusnya
memang lagu sampah karena liriknya yang sangat tidak senonoh. Lagu itu terkenal
gara-gara Justin Bieber! Justin Bieber, entah kenapa aku menganggap artis yang
bermasalah itu juga membuat lagu sampah seperti Despacito terkenal kepada para penggemarnya.
Makanya,
aku tidak suka dengan lagu mainstream yang
sudah menjadi sampah, hanya mengandalka keuntungan ekonomi industri musik tanpa
memikirkan proses kreativitas dan penggemarnya sendiri. Wajar saja banyak
penggemar yang meninggalkan idola bermusik mereka.
Zaman
now, tentu masyarakat semakin
selektif dalam memilih apapun, apapun, termasuk lagu, terutama lewat media streaming seperti YouTube, Spotify, dan
JOOX. Musik mainstream semakin ke
depan malah semakin menjadi pantas dibuang ke tempat sampah seperti Despacito.
Aku
menjawab pertanyaan Oktavian, “Enggak ada Despacito.”
“Ah!
Enggak seru ah!” seru Oktavian.
Ini
dia, kalau orang awam main rhythm game,
pasti pilihannya lagu mainstream seperti
K-Pop, J-Pop, lagu anime, hingga lagu sampah seperti Despacito, ditambah lagi lagu-lagu Vocaloid yang penggemarnya tentu
tidak sedikt. Kalau rhythm gamer hardcore pasti akan
mengincar lagu original dari game tersebut.
Tentu
saja, Abi dan Oktavian merupakan orang awam kalau berurusan dengan rhythm game. Mereka hanya mengincar
lagu-lagu mainstream terkenal tanpa
perlu peduli dengan lagu-lagu original dari game
itu.
Beberapa
rhythm game seperti Maimai, RhythmVaders, Pump It Up,
dan Danz Base tentu bukan hanya
mengincar hardcore gamer, tetapi juga
orang-orang awam terhadap rhythm game.
Makanya, lagu-lagu mainstream masuk
ke dalam song list masing-masing game sebagai tujuan agar konsumen baik
itu gamer atau bukan tertarik
memainkannya, terlepas apakah simple cara
mainnya atau tidak.
Tetapi,
lagu-lagu mainstream tentu tidak akan
bertahan lama di songlist masing-masing
game karena alasan lisensi. Lisensi
merupakan hal rumit untuk dijelaskan. Developer
game tentu harus membayar lisensi kepada label rekaman mainstream kalau tertarik memasukkan salah satu lagu terkenal ke game-nya. Kalau kontrak lisensi
berakhir, biasanya lagu itu akan dihapus dari song list kalau memang beralasan untuk menghemat uang. Jika begitu
banyak yang memainkan lagu itu, developer
game itu akan bernegosiasi untuk memperbaharui kontrak lisensi tersebut.
“Wah!
Lihat grup LINE gih!” seru Abi.
“Eh!
Ini apa-apaan?” tanyaku begitu membuka grup LINE teman sekelasku. “Kok … yang
masuk pada mabal pas istirahat?”
Ini
pasti tidak mungkin terjadi, benar-benar tidak mungkin. Bahkan seluruh siswa
yang mendapat nilai di atas KKM di kelasku juga ikut-ikutan mabal. Aku berpikir
bagaimana bisa mereka menerobos satpam di gerbang keluar. Kalau ini benaran
terjadi, ini pasti mimpi. Sayangnya, ini bukan mimpi, ini kenyataan kalau semua
teman sekelasku tidak ingin menghadapi letusan kemarahan guru fisika kami.
Ya,
memang guru fisika kami killer, itu
yang generasi zaman now sebut kalau
menghadapi guru galak seperti beliau. Bukan hanya memaksa seluruh siswa di
kelasku untuk mengerjakan quiz,
tetapi juga menambah stres kami dengan mengadakan pelajaran tambahan. Tentu
kami tidak suka dengan kelakuan beliau, tentu mayoritas dari kami.
“Eh!
Gimana keadaan pacar lo?” Abi mendadak bertanya padaku.
Sial,
berapa kali aku ingin bilang kalau Nabila alias gadis brengsek bukanlah pacarku!
Aku tidak ingin percaya kalau aku benaran pacaran dengan gamer sebrengsek dia. Oktavian, dia sudah tahu kalau Nabila sengaja
ingin berpura-pura pacaran dengan dia.
“Oh
ya, Abi, gue pengen bilang ke lo juga kalau—” Oktavian berkata.
Oke,
Oktavian, saatnya moment of truth!
Katakan kalau aku tidak berminat pacaran sama gadis brengsek itu! Apalagi saat
dia mendadak memanggilku sayang dan
ingin berpura-pura pacaran demi bisa mengangguku sekali lagi, maksudku
berkali-kali.
“—Gue
jadi suka sama temannya Nabila.”
Ah!
Oktavian! Seharusnya kamu tidak berkata seperti itu! Kenapa malah memberitahu
kalau memang suka dengan temannya gadis brengsek itu.
“Lo
suka sama Fatin? Gadis jilbab itu?” tanya Abi.
“Bukan,
bukan dia. Tapi Vera. Ingat kalau dia sering ngomong ke gue pas kita ke
kantin.”
Oke,
berulang lagi. Oktavian menceritakan persis sama dengan yang dia ceritakan
padaku. Anak zaman now, kerjaannya
hanya mencari cinta, bukan untuk bersenang-senang seperti diriku, menghabiskan
masa muda yang produktif. Tunggu, aku juga sebenarnya pemalas, hanya
menghabiskan waktuku dengan bermain game.
“Kira-kira
enggak bakal kebayang deh kalau kita semua bolos bareng-bareng hari ini,” ucap
Oktavian.
Aku
tentu tidak ingin membayangkan bagaimana letusan kemarahan guru fisika kami. Kami
sudah pernah menyaksikan beliau meledakkan kemarahannya ketika nilai ulangan
dan ujian mayoritas dari kami di bawah KKM. Beliau pasti akan murka kalau
menemui kami.
Yang
penting, bukan saatnya untuk memikirkan itu. Kami hanya ingin bersenang-senang,
bebas dari stres akibat pelajaran tambahan yang merepotkan dan menambah beban
itu. Kami akan menghabiskan masa muda dengan cara kami sendiri.
“Entar
lo bisa dekat-dekat sama Vera, Oktavian! Sekalian double date sama Arfian dan Nabila nih! Eh, mending malam ini lo
hubungin Vera deh! Atau lo, Arfian, lo LINE pacar lo aja, janjian kalau malam
ini kita double date, sekalian cari
tempatnya,” usul Abi.
Kencan?
Dengan Nabila alias gadis brengsek itu? Enak saja! Berapa kali aku harus
berkata di dalam hatiku kalau Nabila bukan pacarku! Aku bahkan tidak ingin kaau
Nabila dekat-dekat denganku sambil memanggil kata sayang.
“Eh,
bentar, mau beli minum dulu,” ucap Abi meninggalkan kami.
“Bawa
pulang aja! Kita langsung ke mall sekalian!” seru Oktavian sebelum berbicara
denganku. “Emang lo enggak keberatan kalau lo benaran ikutan double date bareng Nabila?”
“Enak
aja! Kencan sama Nabila? Ya, enggak lah! Gue enggak sudi pacaran sama cewek
sebrengsek dia.”
“Tapi
ini demi kebaikan lo juga. Biar Abi tahu kalau lo benaran pacaran sama dia.
Sama … gue pengen ngomong sama Vera dong, please.”
“Masalahnya
gini, dekat-dekat aja enggak mau, gue juga enggak punya LINE dia,” tanggapku.
“Gini
aja, kita ajak tuh tiga cewek, terus kita ke tempat itu entar malam. Habis lo
senang-senang ke game center.”
Muncul
masalah baru, aku tidak pernah pulang terlalu malam. Kalau aku benaran pulang
pas malam, tentu orangtuaku akan merasa khawatir. Mereka bakal ngoceh sama
ngeberi nasihat sekali lagi kalau aku enggak boleh ini itu. Aku tidak ingin
membuat mereka kecewa apalagi marah, kalau itu benaran terjadi, pasti aku
habis, benar-benar habis. Mereka akan sekali lagi memperlakukanku sebagai anak
kecil, tentu ini memalukan.
“Please! Lo ngejawab enggak mau melulu kalau diajak kemana weh,” Oktavian memelas atas
nama solidaritas teman.
“Oke
deh, nanti habis nonton deh.”
“Nah,
gitu dong!”
“Tapi
… gue pengen main dulu sebelum nonton, biar bisa puas-puasin.”
Comments
Post a Comment